Anda di halaman 1dari 26

PANDUAN RESUSITASI

INSTALASI GAWAT DARURAT


RUMAH SAKIT DAERAH R.A.A TJOKRONEGORO

Jl.Soekarno-Hatta, Purworejo 54171 Telp.(0275)2973040


Email: rsudtjokronegoro@purworejokab.go.id
Website: rsudtjokronegoro.purworejokab.go.id
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan buku Panduan Resusitasi. Buku ini disusun dengan
tujuan sebagai panduan dalam pelayanan Resusitasi di RSUD RA.A.
Tjokronegoro dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat yang membutuhkan dalam rangka meningkatkan mutu
pelayanan.
Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan
bantuan serta arahan dan dorongan yang berarti sejak dari persiapan
sampai dengan terselesainya buku Panduan Resusitasi.
Kami menyadari bahwa buku Panduan Resusitasi ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu sejalan dengan penerapannya, kami
akan terus memonitor, mengevaluasi dan melakukan revisi bila
dibutuhkan pada waktunya.
Semoga buku ini bermanfaat, di pahami dan dapat diaplikasikan
oleh semua pihak dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat.

Purworejo, Maret 2020

Penyusun
SAMBUTAN
DIREKTUR RSUD R.A.A. TJOKRONEGORO

Kami menyambut dengan gembira upaya yang telah berhasil


menyusun Buku Panduan Resusitasi Rumah Sakit RSUD R.A.A.
Tjokronegoro. Buku ini hendaknya digunakan sebagai panduan dan
petunjuk dalam melaksananakan pelayanan kepada masyarakat yang
membutuhkan dan dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan.
Harapan kami buku ini dapat dipelajari dan dipahami oleh
seluruh karyawan khususnya di Instalasi Gawat Darurat di RSUD
R.A.A. Tjokronegoro sebelum melaksanakan tugasnya, sehingga
kegiatan pelayanan RSUD R.A.A. Tjokronegoro dapat berjalan dengan
lancar, tertib dan benar.
Tak lupa kami ucapkan selamat dan terima kasih kepada
penyusun yang telah berhasil menyusun Buku Panduan Resusitasi
Rumah Sakit RSUD R.A.A. Tjokronegoro.
Selamat Bertugas
Purworejo, Maret 2020
Direktur RSUD R.A.A. Tjokronegoro

dr. Tolkha Amaruddin, M.Kes., SpTHT, K-L


Penata Tk.I
NIP : 19750307 200902 1 002
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
KATA SAMBUTAN
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. TUJUAN
C. SASARAN
D. RUANG LINGKUP
E. DASAR HUKUM
BAB II KETENTUAN UMUM
BAB III PENATALAKSANAAN
A. TATA LAKSANA RESUSITASI BAYI BARU LAHIR
B. RESUSITASI CAIRAN PADA KEGAWATAN MEDIS
BAB IV MONITORING DAN EVALUASI
A. MONITOR
B. EVALUASI
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pasien kritis memiliki morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. Dengan mengenali ciri-ciri dengan cepat dan
penatalaksanaan yang dini serta sesuai dapat membantu
mencegah perburukan lebih lanjut dan memaksimalkan peluang
untuk sembuh. Pada pasien gawat darurat yang perlu diwaspadai
adalah terjadinya henti jantung dan henti napas. Menurut
Resusitation Council (2006) dalam Jevon & Ewens (2009) henti
jantung paru biasanya terjadi secara tiba – tiba dan tidak dapat
diprediksikan. Jantung paru berhenti biasanya timbul sebagai
tahap akhir dari suatu sekuens penyakit yang ada secara
progresif, termasuk hipoksia dan hipotensi. Menurut penelitian
dari ACADEMIA menunjukkan bahwa dari kejadian henti jantung
55 % nya berujung kematian. Nolan et al dalam Jevon & Ewens
(2009) menyatakan hanya 17 % pasien yang bisa bertahan hidup
setelah mengalami henti jantung. Sebagian besar pasien dapat
bertahan hidup setelah mendapatkan resusitasi jantung paru
atau defibrilasi dengan segera. Menurut Hudak & Gallo (2000)
yang menyatakan bahwa resusitasi pada pasien yang mengalami
gawat nafas merupakan tindakan kritis yang harus dilakukan
oleh tenaga yang kompeten. Pendapat lain dari Purwadianto &
Sampurna (2000) menyatakan bahwa agar suatu pertolongan
dapat berhasil maksimal tentu saja memerlukan penolong yang
cekatan dan terampil, sehingga tindakan yang diberikan sesuai
dan tepat. Selain keterampilan juga diperlukan pengetahuan
yang baik dari penolong dan sarana yang memadai serta
dibutuhkan pengorganisasian yang baik untuk keberhasilan
dalam penatalaksanaan kedaruratan medik.
Resusitasi Jantung Paru sangat penting dalam kehidupan
dunia medis, sehingga setiap dokter harus bisa melakukan
Resusitasi Jantung Paru. Juga petugas paramedis lainnya. Malah
orang awam pun yang bekerja di tempat tempat yang banyak
orang (keramaian) atau tempat tempat pekerjaan yang banyak
mengandung resiko kerjaan harus bisa untuk dilatih Resusitasi
Jantung Paru yang sederhana sampai petugas medis yang lebih
berwenang datang. B-GELS atau dalam bahasa Indonesia dikenal
dengan Pertolongan Pertama Pada Gawat Darurat (PPGD) adalah
serangkaian usaha-usaha pertama yang dapat dilakukan pada
kondisi gawat darurat dalam rangka menyelamatkan pasien dari
kematian. Di luar negeri, PPGD ini sebenarnya sudah banyak
diajarkan pada orang-orang awam atau orang-orang awam
khusus, namun sepertinya hal ini masih sangat jarang diketahui
oleh masyarakat Indonesia.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Terlaksananya pelayanan resusitasi yang sesuai dengan
standar mutu pelayanan pasien gawat darurat di rumah sakit.
Penyusunan buku pedoman pelayanan ini di masa kini dan
mendatang adalah sebagai dasar bagi para praktisi dan
professional lainnya dalam memberikan pelayanan yang
seragam kepada semua pasien henti nafas atau henti jantung.
Dan diharapkan buku ini dapat dijadikan referensi dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien gawat
darurat di rumah sakit, yang tentunya buku pedoman ini
harus diperbaharui sesuai kebutuhan pelayanan dan
menyesuaikan dengan buku pedoman pelayanan terbaru dari
Kementrian kesehatan.
2. Tujuan Khusus
a. Perawat dapat memahami tentang Resusitasi
b. Dapat memberikan pelayanan Kegawat Daruratan
khususnya Resusitasi
c. Petugas kesehatan mampu mengaplikasikan teori sesuai
dengan pedoman yang sudah ditentukan
C. Sasaran
Sasaran buku pedoman ini di peruntukan bagi semua praktisi
kesehatan yang langsung memberikan pelayanan kepada pasien
terutama pasien gawat darurat yang mengalami henti jantung
maupun henti nafas serta, pelaksanaan resusitasi Rumah sakit
Umum Daerah R.A.A Tjokronegoro. Adapun para professional
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Semua Dokter baik dokter umum maupun spesialis
2. Perawat
3. Bidan
4. Dan praktisi lainnya

D. Ruang Lingkup
1. Ruang lingkup buku pedoman pelayanan ini mengatur
pemberian pelayanan resusitasi
2. Akses untuk pemberian pelayanan yang bermutu, yang
diberikan oleh praktisi yang kompeten tidak tergantung atas
hari-hari tertentu atau waktu tertentu.
3. Ketepatan (acuity) mengenali kondisi pasien menentukan
kecepatan dan ketepatan tindakan resusitasi
4. Pasien dengan kebutuhan pelayanan resusitasi menerima
pelayanan yang setingkat diseluruh rumah sakit.

E. Dasar Hukum
Daras hukum dan undang-undang yang berlaku untuk
mengarahkan asuhan yang seragam bagi semua pasien ;
1. Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
2. Undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
3. Undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran
4. Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1996 Wajib Simpan
Rahasia
5. Permenkes Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam
Medis.
BAB II
KETENTUAN UMUM

Resusitasi merupakan sebuah upaya menyediakan oksigen ke


otak, jantung dan organ-organ vital lainnya melalui sebuah
tindakan yang meliputi pemijatan jantung dan menjamin ventilasi
yang adekwat (Rilantono, 1999). Tindakan ini merupakan tindakan
kritis yang dilakukan pada saat terjadi kegawatdaruratan terutama
pada sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler.
kegawatdaruratan pada kedua sistem tubuh ini dapat
menimbulkan kematian dalam waktu yang singkat (sekitar 4 – 6
menit).
Tindakan resusitasi merupakan tindakan yang harus
dilakukan dengan segera sebagai upaya untuk menyelamatkan
hidup (Hudak dan Gallo, 1997). Resusitasi pada anak yang
mengalami gawat nafas merupakan tindakan kritis yang harus
dilakukan oleh perawat yang kompeten. Perawat harus dapat
membuat keputusan yang tepat pada saat kritis. Kemampuan ini
memerlukan penguasaan pengetahuan dan keterampilan
keperawatan yang unik pada situasi kritis dan mampu
menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan pasien kritis. Berhasil
tidaknya resusitasi jantung paru tergantung pada cepat tindakan
dan tepatnya teknik pelaksanaannya. Pada beberapa keadaan,
tindakan resusitasi tidak dianjurkan (tidak efektif) antara lain bila
henti jantung (arrest) telah berlangsung lebih dari 5 menit karena
biasanya kerusakan otak permanen telah terjadi, pada keganasan
stadium lanjut, gagal jantung refrakter, edema paru refrakter,
renjatan yang mendahului “arrest”, kelainan neurologik berat,
penyakit ginjal, hati dan paru yang lanjut.
Sehingga penatalaksanaan resusitasi jantung paru dilaksanakan
sesegera dan sedapat mungkin diberikan.
Tahun lalu American Heart Association (AHA), dalam Jurnal
Circulation yang diterbitkan 2 November 2010, mempublikasikan
Pedoman Cardiopulmonary Resucitation (CPR) dan Perawatan
Darurat Kardiovaskular 2010. Seperti kita ketahui, para ilmuwan
dan praktisi kesehatan terus mengevaluasi CPR atau yang lebih kita
kenal dengan Resusitasi Jantung Paru (RJP) ini dan
mempublikasikannya setiap 5 tahun.
Evaluasi dilakukan secara menyeluruh mencakup urutan
dan prioritas langkah-langkah CPR dan disesuaikan dengan
kemajuan ilmiah saat ini untuk mengidentifikasi faktor yang
mempunyai dampak terbesar pada kelangsungan hidup. Atas dasar
kekuatan bukti yang tersedia, mereka mengembangkan
rekomendasi yang hasilnya menunjukkan paling menjanjikan.
Rekomendasi 2010 Pedoman mengkonfirmasi keamanan dan
efektivitas dari banyak pendekatan, mengakui ketidakefektifan
orang lain, dan memperkenalkan perawatan baru berbasis evaluasi
bukti intensif dan konsensus para ahli. Kehadiran rekomendasi
baru ini tidak untuk menunjukkan bahwa pedoman sebelumnya
tidak aman atau tidak efektif, melainkan untuk menyempurnakan
rekomendasi terdahulu.
Setelah mengevaluasi berbagai penelitian yang telah
dipublikasi selama lima tahun terakhir AHA mengeluarkan
Panduan RJP 2010. Fokus utama RJP 2010 ini adalah kualitas
kompresi dada.
Berikut ini adalah beberapa perbedaan antara Panduan RJP
2005 dengan RJP 2010.
1. Bukan lagi ABC, melainkan CAB
Sebelumnya dalam pedoman pertolongan pertama, kita
mengenal ABC: Airway, Breathing, Ciculation (Chest
Compression) yaitu buka jalan nafas, bantuan pernafasan, dan
kompresi dada. Pada saat ini, prioritas utama adalah Circulation
baru setelah itu tatalaksana difokuskan pada Airway dan
selanjutnya Breathing. Satu-satunya pengecualian adalah hanya
untuk bayi baru lahir (neonatus), karena penyebab tersering
pada bayi baru lahir yang tidak sadarkan diri dan tidak bernafas
adalah karena masalah jalan nafas (asfiksia). Sedangkan untuk
yang lainnya, termasuk RJP pada bayi, anak, ataupun orang
dewasa biasanya adalah masalah Circulation kecuali bila kita
menyaksikan sendiri korban tidak sadarkan diri karena masalah
selain Circulation harus menerima kompresi dada sebelum
kita berpikir memberikan bantuan jalan nafas.
2. Tidak ada lagi Look, Listen, and Feel
Kunci utama menyelamatkan seseorang dengan henti
jantung adalah Bertindak bukan Menilai. Telepon ambulan
segera saat kita melihat korban tidak sadar dan tidak bernafas
dengan baik (gasping). Percayalah pada nyali Anda. Jika Anda
mencoba menilai korban bernapas atau tidak dengan
mendekatkan pipi Anda pada mulut korban, itu boleh-boleh saja.
Tapi tetap saja sang korban tidak bernafas dan tindakan look
listen and feel ini hanya akan menghabiskan waktu.
3. Tidak ada lagi Resque Breath
Resque breath adalah tindakan pemberian napas buatan
sebanyak dua kali setelah kita mengetahui bahwa korban henti
napas (setelah Look, Listen, and Feel). Pada AHA 2010, hal ini
sudah dihilangkan karena terbukti menyita waktu yang cukup
banyak sehingga terjadi penundaan pemberian kompresi dada.
4. Kompresi dada lebih dalam lagi
Pada pedoman RJP sebelumnya, kedalaman kompresi dada
adalah 1 ½ - 2 inchi (4 – 5 cm), namun sekarang AHA
merekomendasikan untuk melakukan kompresi dada dengan
kedalaman minimal 2 inchi (5 cm).
5. Kompresi dada lebih cepat lagi
AHA mengganti redaksi kalimat disini sebelumnya tertulis:
tekan dada sekitar 100 kompresi/ menit. Sekarang AHA
merekomendasikan kita untuk kompresi dada minimal 100
kompresi/ menit. Pada kecepatan ini, 30 kompresi
membutuhkan waktu 18 detik.
6. Hands only CPR
AHA mendorong RJP seperti ini pada tahun 2008. Dan
pada pedoman tahun 2010 pun AHA masuh menginginkan agar
penolong yang tidak terlatih melakukan Hands Only CPR pada
korban dewasa yang pingsan di depan mereka. Pertanyaan
terbesar adalah: apa yang harus dilakukan penolong tidak
terlatih pada korban yang tidak pingsan di depan mereka dan
korban yang bukan dewasa? AHA memang tidak memberikan
jawaban tentang hal ini, namun ada saran sederhana disini:
berikan Hands Only CPR, karena berbuat sesuatu lebih baik
daripada tidak berbuat sama sekali.
7. Pengaktivasian Emergency Response System (ERS)
Pada pedoman AHA yang baru, pengaktivasian ERS seperti
meminta pertolongan orang di sekitar, menelepon ambulans,
ataupun menyuruh orang untuk memanggil bantuan tetap
menjadi prioritas, akan tetapi sebelumnya telah dilakukan
pemeriksaan kesadaran dan ada tidaknya henti nafas (terlihat
tidak ada nafas/ gasping) secara simultan dan cepat.
8. Jangan berhenti kompresi dada
Setiap penghentian kompresi dada berarti menghentikan
aliran darah ke otak yang mengakibatkan kematian jaringan otak
jika aliran darah berhenti terlalu lama. Membutuhkan beberapa
kompresi dada untuk mengalurkan darah kembali. AHA
menghendaki kita untuk terus melakukan kompresi selama kita
bisa atau sampai alat defibrilator otomatis datang dan siap untuk
menilai keadaan jantung korban. Jika sudah tiba waktunya
untuk pernapasan dari mulut ke mulut, lakukan segera dan
segera kembali melakukan kompresi dada. Prinsip Push Hard,
Push Fast, Allow complete chest recoil, and Minimize Interruption
masih ditekankan disini. Ditambahkan dengan Avoiding excessive
ventilation.
1. Tidak dianjurkan lagi Cricoid Pressure
Cricoid pressure dapat menghambat atau mencegah
pemasangan jalan nafas yang lebih adekuat dan ternyata
aspirasi tetap dapat terjadi walaupun sudah dilakukan cricoid
pressure. Cricoid pressure merupakan suatu metode
penekanan tulang rawan krikoid yang dilakukan pada korban
dengan tingkat kesadaran sangat rendah, hal ini pada
pedoman AHA 2005 diyakini dapat mencegah terjadinya
aspirasi dan hanya boleh dilakukan bila terdapat penolong
ketiga yang tidak terlibat dalam pemberian nafas buatan
ataupun kompresi dada.
2. Pemberian Precordial Thump
Pada beberapa kasus dilaporkan bahwa precordial thump
dapat mengembalikan irama ventricular tachyarrhytmias ke
irama sinus. Akan tetapi pada sejumlah besar kasus lainnya,
precordial thump tidak berhasil mengembalikan korban
dengan ventricular fibrillation ke irama sinus atau kondisi
Return of Spontaneous Circulation (ROSC). Kemudian terdapat
banyak laporan yang menyebutkan terjadinya komplikasi
akibat pemberian precordial thump seperti fraktur sternum,
osteomyelitis, stroke, dan bahkan bisa mencetuskan aritmia
yang ganas pada korban dewasa dan anak-anak. Pemberian
precordial thump boleh dipertimbangkan untuk dilakukan
pada pasien dengan VT yang disaksikan, termonitor, tidak
stabil, dan bila defibrilator tidak dapat disediakan dengan
segera. Dan yang paling penting adalah precordial thump tidak
boleh menunda pemberian RJP atau defibrilasi.
BAB III
PENATALAKSANAAN

A. Tata Laksana Resusitasi Bayi Baru Lahir


Setelah melakukan penilaian dan memutuskan bahwa BBL
perlu resusitasi, tindakan resusitasi harus segera dilakukan.
Penundaan pertolongan akan membahayakan bayi. Pemotongan
tali pusat dapat dilakukan di atas perut ibu atau dekat
perineum.
1. Tindakan Resusitasi Bayi Baru lahir dengan Tidak Bernapas
atau Bernapas Megap-megap
Tahap I : Langkah Awal
Langkah ini perlu dilakukan dalam waktu 30 detik.
Bagi kebanyakan bayi baru lahir, 6 langkah awal di bawah ini
cukup untuk merangsang bayi bernapas spontan dan teratur
( Sambil melakukan langkah awal ini : Beritahukan ibu dan
keluarga, bahwa bayinya perlu pertolongan napas; Mintalah
salah seorang keluarga mendampingi ibu untuk memberi
dukungan moral, menjaga ibu dan melaporkan bila ada
perdarahan ).
Adapun 6 langkah awal tersebut adalah :
a. Jaga Bayi tetap hangat :
Bagi bidan/Tenaga kesehatan yang sudah terbiasa :
Letakkan bayi di atas kain yang ada di atas perut ibu,
Bungkus bayi dengan kain tersebut, potong tali pusat,
ke atas kain di tempat resusitasi.
Bagi bidan/tenaga kesehatan yang belum terbiasa
melakukan tindakan di atas, lakukan sbb :
1) Potong tali pusat di atas kain yang ada di bawah
perineum ibu,
2) Letakkan bayi di atas kain 45 cm dari perineum ibu,
3) Bungkus bayi dengan kain tersebut,
4) Pindahkan bayi di tempat resusitasi.
b. Atur Posisi Bayi
Baringkan bayi terlentang dengan kepala didekat
penolong.
Ganjal bahu agar kepala sedikit ekstensi.
c. Isap Lendir, Gunakan alat penghisap lender De Lee
dengan cara sbb:
1) Isap lendir mulai dari mulut dulu, kemudian dari
hidung,
2) Lakukan pengisapan saat alat pengisap ditarik keluar,
tidak pada waktu memasukkan,
3) Jangan lakukan pengisapan terlalu dalam ( jangan
lebih dari 5 cm ke dalam mulut atau lebih dari 3 cm ke
dalam hidung ), hal itu dapat menyebabkan denyut
jantung bayi menjadi lambat atau bayi tiba-tiba
berhenti bernapas. 4) Keringkan dan Rangsang bayi
4) Keringkan bayi mulai dari muka, kepala dan bagian
tubuh lainnya dengan sedikit tekanan.
5) Rangsangan ini dapat membantu bayi baru lahir mulai
bernapas atau tetap bernapas.
d. Lakukan rangsangan taktil dengan beberapa cara di
bawah ini :
1) Menepuk atau menyentil telapak kaki,
2) Menggosok punggung, perut, dada atau tungkai bayi
dengan telapak tangan.
e. Atur kembali posisi kepala bayi dan bungkus bayi
1) Ganti kain yang telah basah dengan kain yang di
bawahnya,
2) Bungkus bayi dengan kain tersebut, jangan menutupi
muka dan dada agar bisa memantau pernapasan bayi,
3) Atur kembali posisi kepala bayi sehingga kepala sedikit
ekstensi.
f. Lakukan Penilaian Bayi
Lakukan penilaian apakah bayi bernapas normal, tidak
bernapas atau bernapas megap-megap?
Bila bayi bernapas normal, berikan bayi kepada ibunya :
1) Letakkan bayi di atas dada ibu dan selimuti keduanya
untuk penghangatan dengan cara kontak kulit bayi ke
kulit ibu,
2) Anjurkan ibu untuk menyusui bayi sambil membelainya.
Bila bayi tidak bernapas atau bernapas megap-megap,
mulai lakukan ventilasi bayi.
Tahap II : Ventilasi
Ventilasi adalah merupakan tahapan tindakan
resusitasi untuk memasukkan sejumlah volume udara ke
dalam paru dengan tekanan positip untuk membuka alveoli
paru agar bayi bisa bernapas spontan atau teratur.
Langkah-langkah :
a. Pasang sungkup, Pasang dan pegang sungkup agar
menutupi mulut dan hidung bayi.
b. Ventilasi 2 kali
c. Lakukan tiupan dengan tekanan 30 cm Air. Tiupan awal
ini sangat penting untuk membuka alveoli paru agar bayi
bisa mulai bernapas dan menguji apakah jalan napas bayi
terbuka.
d. Lihat apakah dada bayi mengembang.
Bila dada tidak mengembang :
1) Periksa posisi kepala, pastikan posisi sudah ekstensi,
2) Periksa posisi sungkup dan pastikan tidak ada udara
yang bocor,
3) Periksa cairan atau lendir di mulut. Bila ada lendir atau
cairan lakukan pengisapan.
Bila dada mengembang lakukan tahap berikutnya.
2. Tindakan Resusitasi Bayi Baru lahir dengan Air Ketuban
Bercampur Mekonium
Mekonium adalah feces pertama dari Bayi Baru lahir
(BBL). Mekonium bersifat kental, pekat dan berwarna hijau
kehitaman. Biasanya BBL mengeluarkan mekonium pertama
kali sesudah persalinan ( 12 – 24 jam pertama ). Sekitar 15%
kasus mekonium dikeluarkan sebelum persalinan dan
bercampur dengan air ketuban. Hal ini menyebabkan cairan
ketuban berwarna kehijauan. Mekonium jarang dikeluarkan
sebelum 34 minggu kehamilan. Bila mekonium telah terlihat
sebelum persalinan dan bayi pada posisi kepala, monitor bayi
dengan seksama karena merupakan tanda bahaya.
Tidak selalu jelas kenapa mekonium bisa dikeluarkan
sebelum persalinan. Kadang-kadang janin tidak memperoleh
oksigen yang cukup (gawat janin). Kekurangan oksigen dapat
meningkatkan gerakan usus dan membuat relaksasi otot
anus. Dengan demikian janin mengeluarkan mekonium. Bayi
dengan resiko lebih tinggi untuk gawat janin memiliki
pewarnaan air ketuban bercampur mekonium (warna
kehijauan) lebih sering, misalnya bayi kecil untuk masa
kehamilan (KMK) atau bayi post matur.
Bila air ketuban bercampur mekonium berwarna
kehijauan, maka bayi dapat kemasukan mekonium dalam
paru-parunya selama di dalam rahim, atau mekonium masuk
ke paru-paru sewaktu bayi memulai bernapas begitu lahir.
Tersedak mekonium dapat menyebabkan pneumonia dan
mungkin kematian.
Untuk itu diperlukan pertolongan segera dengan
melakukan tindakan resusitasi Bayi Baru Lahir dengan Air
Ketuban Bercampur mekonium. Langkah-langkah Tindakan
Resusitasi BBL dengan Air ketuban Bercampur Mekonium
sama dengan pada BBL yang air ketubannya tidak bercampur
mekonium, hanya berbeda pada :
a. Saat kepala lahir sebelum bahu keluar, isap lender dari
mulut lalu hidung.
b. Setelah seluruh badan bayi lahir, lakukan penilaian apakah
bayi bernapas normal?
Jika bernapas : potong tali pusat, dilanjutkan dengan
Langkah Awal.
Jika tidak bernapas : letakkan bayi di atas perut ibu dengan
posisi kepala didekat penolong, buka mulut lebar, usap
mulut dan ulangi isap lender, potong tali pusat, dilanjutkan
dengan Langkah Awal. ( Ingat, Pemotongan tali pusat dapat
merangsang pernapasan bayi, apabila masih ada air
ketuban dan mekonium di jalan napas, bayi bisa tersedak
( aspirasi ).

B. Resusitasi Cairan Pada Kegawatan Medis


Berdasarkan definisinya pasien gawat / kritis adalah
pasien yang secara fisiologis tidak stabil, artinya sedikit saja ada
perubahan pada organnya akan membawa dampak yang
menyeluruh ( sistemik ) dan memungkinkan untuk terjadi gagal
organ multiple ( multi organ failure = MOF)
Oleh karena itu target pengelolaan pasien gawat adalah
mencegah terjadinya MOF, dengan jalan mengusahakan agar
fungsi organ terjamin dengan segera.
Dari biologi molekuler diketahui bahwa penyebab sel
( organ ) terancam kehidupannya ialah karena ( salah satunya
dan terutama ) kekurangan oksigen (hypoxia ).
Yang bertanggung jawab terhadap penyediaan oksigen agar
sampai ke tingkat sel ialah system respirasi ( yang berfungsi
memindahkan oksigen dari udara luar ke alveoli ) dan system
kardiovaskuler ( yang berfungsi membawa oksigen dari alveoli ke
sel seluruh tubuh ). Dalam melaksanakan fungsi kardiovaskuler
tersebut, salah satu komponen yang berperan membawa oksigen
adalah haemoglobin ( yang terdapat di dalam sel darah merah )
yang berada dalam suatu cairan ( yang disebut sebagai plasma
darah ) yang berada di pembuluh darah. Jadi jelas bahwa
resusitasi cairan ( terutama pada pasien gawat medis )
merupakan suatu tindakan yang sangat penting.

1. Fisiologis Cairan Tubuh


Jumlah cairan
Jumlah cairan dalam tubuh manusia tergantung dari umur,
jenis kelamin, dan berat badan. Secara kasar jumlahnya
berkisar antara 55 – 60 % dari berat badan.
Penyebaran cairan
Prosentase penyebaran cairan tubuh secara kasar adalah :
Di dalam sel ( cairan intra sel = CIS ) : 55 %.
Di luar tubuh ( cairan exstra sel = CES ) : 45 %.
Secara specific seperti pada schema 2 berikut :
Table 1.

N UMUR JENIS KELAMIN JUMLAH ( % BB )


O

1 0 -1 bulan - 75,7

2 1 – 12 bulan - 64,5

3 1 – 10 tahun - 61,7

4 10 – 16 tahun Laiki – laki 58,9

perempuan 57,3

5 17 – 19 tahun Laiki – laki 60,6

perempuan 50,2

6 40 – 59 tahun Laiki – laki 54,7

perempuan 46,7

7 > 60 tahun Laiki – laki 51,5

perempuan 45,5

Table 2.

Jumlah cairan = 60 % berat badan

Cairan intra sel ( CIS ) = 55 % Cairan exstra sel ( CES ) = 45 %

Sel – sel lain = Sel darah merah Yang berfungsi Trans


50 % =5% Plasm Cairan inter seluler

a = 7 stitial = 20
% %
Komposisi cairan
Komposisi cairan intra sel, intra vascular dan interstitial adalah
sebagai berikut :
Table 3.

No Komponen Pembuluh Interstitial Intre sel


darah (meq/L) ( meq/L)
(meq/L)

1 Na+ 140 145,5 12

2 K+ 4,5 4,8 160

3 Ca ++ 5,0 2,8 -

4 Mg ++ 1,5 1,0 34

5 Cl - 104 116,6 2

6 HCO3- 24 27,4 10

7 SO4 - 1 1,2 -

8 Phosphate 2 2,3 140

9 Protein 15 2,0 54

10 Anion lain 5 5,6 -

Pengendalian cairan tubuh


Secara fisiologis cairan di dalam tubuh dikendalikan
melalui organ – organ, antara lain kulit, ginjal, paru, melalui
siatem hormonal yaitu ADH (Anti Diuritic Hormon), aldosteron.
Pengendalian tersebut diperlukn untuk menjaga agar
volume cairan (terutama cairan intra vaskuler) stabil, sehingga
curah jantung (cardiac out put) tercukupi.
Hipotese STARLING
Di dalam runag intravaskuler dan interstitial terdapat
tekanan hidrostastik yang bersifat mendorong cairan kearah luar
yang disebabkan oleh cairah itu sendiri dan tekanan onkotik
yang bersifat menahan cairan di dalam yang di sebabkan oleh
adanya partikel besar dalam cairan (dalam hal ini protein /
albumin).
Keseimbangan antara kedua macam tekanan ( tekanan
hidrostastik dan tekanan onkolik ) di dalam vaskuler dan exstra
vaskuler dapat di rumuskan dengan rumus sebagai berikut :

Q = K { ( Pc – Pt ) – δ ( Дc – Дt ) }

Keterangan :
Q : aliran cairan.
K : konstanta.
Pc : tekanan hidrostastik dalam kapiler.
Pt : tekanan hidrostastik dalam rongga interstitial.
δ : keofisien refleksi.
Menunjukkan tingkat permeabilitas dinding kapiler terhadap
partikel besar ( dalam hal ini protein ).
=1 : bila tidak terjadikebocoran.
=2 : bila bocor sempurna.
Дc : tekanan onkotik dalam kapiler.
Дt : tekanan onkotik dalam rongga interstitial.

2. Status Cairan Pasien Kritis


Volume cairan intra vascular pada kebanyakan pasien
kritis adalah berkurng, oleh karena itu segala usaha untuk
memperbaiki volume cairan intra vaskuler harus
dilaksanakan agar“ cardiac out put “ tercukupi sehingga
perfusi keseluruhan jaringan baik dan dengan demikian
oksigenasi baik.
Berarti tujuan memberi infuse cairan pada pasien kritis
adalah restorasi cairan intra vaskuler.
Penentuan status cairan pasien kritis.
Estimasi jumlah perdarahan berdasar atas gejala.

Klas I Klas II Klas III Klas IV

Jumlah perdarahan (ml) - 750 750 – 1500 – > 2000


1500 2000

Jumlah perdarahan (% - 15 30 – 40 30 – 40 >40 %


vol. drh)

Frekwensi Nadi < 100 > 100 > 120 > 140
(kali/menit) %

Tekanan darah Normal Normal ↓ ↓

Tekanan nadi ( mmHg ) N/ ↑↓ ↓ ↓ ↓

Frekwensi nafas ( 14 – 20 20 – 30 30 – 40 > 35


kali/menit)

Jumlah urine ( cc/jam ) > 30 20 – 30 5 – 15 0

kesadaran Gelisah Gelisah Gelisah / letergi


(ringan) (sedang) bingung

Catatan : harga – harga di atas untuk pasien laki – laki


berat badan 70 kg.
Estimasi kekurangan cairan atas dasar pemeriksaan fisik.
atas dasar pemeriksaan tekanan darah dan nadi.

Vol darah Terlentang Duduk


(ml) Tek. drh Nadi Tek. drh Nadi

Normal N N N N

( – ) 500 N N N N/↑

( – ) 1000 N N/↑ N/↓ ↑

( – ) 1500 N/↓ ↑ ↓ ↑/↓

( – ) 2000 ↓ ↑/↓ ↓↓ ↑/↓


Atas dasar tanda fisik lain.

Derajat % kehilangan Tanda dan gejala


dehidrasi cairan

Ringan 2–5% Haus, jumlah urine turun,


jumlah keringat turun

Sedang 5 – 10 % Sanagt haus, mual, ketiak dan


lipat paha kering, takhikardi,
hipotensi ortostastik, CVP
menurun, turgor menurun,
apatis, oliguri,
hemokonsentrasi.

Berat / fatal 10 – 15 % Stupor, hipotensi, oliguri berat


sampai an uria, masa otot
menurun, vena jugularis kolap
pada posisi baring, nadi kecil/
tak teraba, syok, koma – mati.
Jenis cairan
Kristaloid : adalah cairan yang sebagian besar berisi partikel
ion Na sebagai partikel aktif dalam penentuan
osmolaritas. Mis : NaCl, Ringer Laktat, Ringer
Solution.
Koloid : adalah cairan yang berisi partikel berberat molekul
besar yang sulit melewati dinding kapiler. Mis :
albumin, dextran, hidroxy ethil starch, gelatin.

Efek pemberian cairan terhadap kompartemen cairan tubuh.


Secara schematis efek tersebut adalah sebagai berikut :

KOMPARTEMEN Glukos Kristaloid Kristaloid Koloid Koloid

CAIRAN TUBUH e5% isotonis hipertonis iso- hiper-


onkotik onkotik

INTRA ↑ ↑ ↑ ↑ ↑
VASKULER

INTERSTITIEL ↑ ↑ ↑ - ↓

INTRA SEL ↓ - ↓ - ↓

Efek infuse 1 liter cairan koloid terhadap kompartemen tubuh


( 70 ) kg adalah sbb :

Macam larutan Vol. plasma Volume interstitiel Volume


intra sel
Albumin 5 % 1000 - -

Haemacel 700 300 -

Gelafundin 1000 - -

Plasmafusin 1000 - -

Dextran 40 % 1600 ( – ) 260 ( – ) 340

Dextran 70 % 1300 ( – ) 130 ( – ) 170

Expafusin 1000 - -

HES steril 6 % 1000 - -

HES steril 10 % 1450 ( – ) 450 -

Lama cairan koloid berada di dalam intra vaskuler adalah sbb

Macam larutan Waktu ( jam )

6 % / 10 % HES 200 / 0,5 4–8

6 % HES 200 / 0,6 8 – 12

6 % HES 450 / 0,7 8 – 12

6 % Dextran 70 6–8

10 % Dextran 40 3,5 – 4,5

4 % Plasmafusin 4–6

5 % Albumin ( 500 ml ) 3,5 – 4,5

25 % Albumin ( 100 ml ) 3,5 – 4,5

Gelatin 1,5 – 2

Prinsip resusitasi cairan


Tentukan besar kekurangan volume cairan, atas dasar
anamnese, pemeriksaan fisik dan bila perlu laboratories.
Tentukan macam cairan yang hilang atas dasar patofiologis
penyakit yang kita hadapi.
Misalnya :
Pada perdarahan seluruh komponen dalam plasma ikut hilang
( termasuk protein ) yang berarti tekanan onkotik akan turun bila
hanya diganti dengan cairan kristaloid saja ( prinsip hemodilusi).
Pada gastroenteritis cairan dan elektrolit saja yang hilang.
Pada sepsis terjadi kebocoran kapiler sehingga partikel dengan
molekul relative kecil ( termasuk albumin ) akan keluar sehingga
tekanan onkotik akan menurun.
Pilih cairan yang akan kita gunakan untuk mengganti, bila
diperkirakan tekanan onkotik turun, berikan cairan koloid.
Sebagai pagangan kasar ( pada resusitasi perdarahan ) setiap
2000 – 2500 cc cairan kristaloid berikan 500 cc cairan koloid.
Tentukan lama / waktu pemberian. Pasien kritis / gawat harus
segera mungkin tercukupi jumlah cairannya, sebab targetnya
adalah mencukupi cardiac out put. Oleh karena itu dalam waktu
6 jam harus tercapai targetnya.
BAB IV
MONITORING DAN EVALUASI

A. Monitor
1. Keperawatan
Sistem monitoring keperawatan dilaksanakan sesuai dengan
metode resusitasi meliputi:
a. Ketepatan dalam melaksanakan tindakan ( Cara, alat-alat
penunjang asuhan keperawatan )
b. Respon pasien saat dilksanakan implementasi
2. Medis
Monitoring dilaksanakan berdasarkan teknik pemberian dan
jenis obat yang diberiakan sesuai dengan indikasi meliputi:
a. Ketepatan pemberian obat
( Tepat pasien, Jenis Obat, Dosis, Cara, dan Cara Pemberian )
b. Reaksi pasien setelah pemberian terapi
3. Pelayanan
Monitoring dilaksanakan oleh kepala bidang pelayanan yang
diawasi langsung oleh wakil direktur bidang pelayanan.

B. Evaluasi
Pelayanan pada resusitasi merupakan salah satu pelayanan pasien
yang dinilai berdasarkan pelayanan secara komprehensif yang
dapat tercapai atau tak tercapainya pelayanan tersebut.

Reaksi anafilaktis
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan adanya pedoman resusitasi diharapkan dapat
meningkatkan angka harapan hidup pada korban dengan henti
jantung baik pada bayi, anak-anak maupun dewasa. Sedangkan
untuk pedoman resusitasi cairan diharapkan mampu
memperbaiki status cairan terutama pada penderita yang
mengalami syock hipovolemik pada kasus-kasus tertentu.
Kecepatan dan ketepatan pelayanan resusitasi sangat mutlak
diperlukan demi keselamatan jiwa penderita yang dalam kondisi
kritis dan terancam jiwanya.

B. Saran
Keputusan akan tindakan medis, termasuk resusitasi,
adalah hak ekslusif pasien. Penderita atau wali hukumnya
harus diberitahu sebelum kondisi pasien berpotensi menjadi
terminal. Harus dibuat persetujuan anggota keluarga bila
diinginkan oleh pasien atau bila pasien tidak kompeten.
Sebaliknya pasien atau keluarga dapat menolak resusitasi atau
bagian dari resusitasi. Bila pasien dalam keadaan ekstrim yang
membutuhkan tindakan darurat, tindakan segera dilakukan
sesuai indikasi. Bila pasien kompeten atau keluarga menolak
tindakan, semua usaha dibatalkan. Bila dilakukan tindakan
disaat tidak ada keluarga, usahakan menghubungi keluarga saat
itu juga.

Anda mungkin juga menyukai