PANDUAN
PELAYANAN RESUSITASI
Tentang
Menimbang : a. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan Rumkital dr. R. Oetojo,
maka diperlukan penyelenggaraan pelayanan resusitasi yang seragam;
KETIGA : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya, dan apabila dikemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Sorong
Tanggal, Agustus 2019
Karumkital dr. R. Oetojo,
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Resusitasi mengandung arti harfiah “Menghidupkan Kembali” yang tentunya hal ini
dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti
jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi
henti nafas dan henti jantung adalah Resusitasi Jantung Paru (RJP). RJP merupakan
gabungan penyelamatan yang berupa tindakan pernapasan (bantuan napas) dan
kompresi dada eksternal. RJP digunakan ketika seorang korban mengalami henti jantung
dan henti napas.
Resusitasi jantung paru (RJP) adalah metode untuk mengembalikan fungsi
pernapasan dan sirkulasi pada pasien yang mengalami henti napas dan henti jantung
yang tidak diharapkan mati pada saat itu. Metode ini merupakan kombinasi pernapasan
buatan dan bantuan sirkulasi yang bertujuan mencukupi kebutuhan oksigen otak dan
substrat lain sementara jantung dan paru tidak berfungsi.Usaha ini harus dimulai dengan
mengenali secara tepat keadaan tanda henti jantung atau henti nafas dan segera
memberikan bantuan sirkulasi dan ventilasi
Ketika akan melakukan resusitasi jantung paru maka kita perlumengenali tanda dari
henti jantung yang berupa : kesadaran hilang (dalam 15 detik setelah henti jantung),tak
teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada orang dewasa atau brakialis pada
bayi),henti nafas atau megap-megap (gasping), terlihat seperti mati (death like
appearance), warna kulit pucat sampai kelabu, pupil dilatasi (setelah 45 detik)
Keberhasilan RJP dimungkinkan oleh adanya interval waktu antara mati klinis dan
mati biologis, yaitu sekitar 4 – 6 menit. Dalam waktu tersebut mulai terjadi kerusakan sel-
sel otak yang kemudian diikuti organ-organ tubuh lain. Dengan demikian pemeliharaan
perfusi serebral merupakan tujuan utama pada RJP.
B. TUJUAN
a. Tujuan umum:
Sebagai arahan bagi perawatan pasien henti nafas dan henti jantung di rumah
sakit
b. Tujuan khusus:
1. Terlaksananya perawatan pasien henti nafas dan henti jantung yang bermutu
sesuai standar yang berlaku di rumah sakit
2. Tersusunnya panduan resusitasi jantung paru
3. Tersedianya tenaga medis dan non medis yang terlatih.
4. Tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan.
BAB II
KAJIAN TEORI
2. Tujuan
Untuk mengatasi henti nafas dan henti jantung sehingga dapat pulih
kembali.
5. Bebaskan jalan napas. Tengadahkan kepala ibu ke belakang (head tilt) dan
angkat dagu (chin lift). Bersihkan benda asing di jalan napas.
6. Bila ada sumbatan benda padat di jalan napas, sapu keluar dengan jari atau
lakukan dorongan pada dada di bagian tengah sternum (chest thrust). Hindari
menekan prosesus xifoideus!
7. Sambil menjaga terbukanya jalan napas, “lihat – dengar – rasakan” napas ibu
(lakukan cepat, kurang dari 10 detik) dengan cara mendekatkan kepala
penolong ke wajah ibu. Lihat pergerakan dada, dengar suara napas, dan
rasakan aliran udara dari hidung/mulut ibu.
Jika ibu bernapas normal, pertahankan posisi, berikan oksigen sebagai tindakan
suportif. Lanjutkan pemantauan untuk memastikan ibu tetap bernapas normal.
8. Menilai pernapasan
Jika ibu tidak bernapas atau bernapas tidak normal, periksa pulsasi arteri karotis
dengan cepat (tidak lebih dari 10 detik).
Keahlian resusitasi pada neonatal penting untuk dimiliki oleh tenaga kesehatan
yang berhubungan dengan bayi baru lahir. Prosentase dari bayi yang memerlukan
resusitasi adalah sekitar 10 % dari seluruh bayi baru lahir.
Asfiksia perinatal dan prematuritas yang berlebihan adalah 2 komplikasi dari
kehamilan yang paling sering membutuhkan resusitasi yang komplek yang dilakukan oleh
personel yang terlatih. Dari seluruh bayi yang mengalami asfiksia 60 % dapat diprediksi
antepartum sedangkan 40 % sisanya diketahui asfiksia setelah dilahirkan. Dari seluruh
bayi yang lahir dengan berat lahir rendah, 80% dari seluruhnya memerlukan resusitasi
dan stabilisasi saat dilahirkan.
Angka kematian bayi baru lahir (terutama bayi yang sangat prematur) pada 24 jam
pertama sangat tinggi. Kebanyakan dari kematian ini disebabkan oleh asfiksia dan atau
depresi pernapasan. Bagi bayi yang bertahan hidup, keefektifan penanganan asfiksia
pada menit – menit pertama kehidupan bayi menentukan prognosis jangka panjangnya.
Walaupun prenatal care dapat mengidentifikasi banyak masalah bagi janin yang
potensial timbul pada saat setelah lahir, tapi banyak ibu hamil yang lahir preterm tidak
teridentifikasi dengan baik. Akibatnya banyak kelahiran bayi yang sangat prematur terjadi
di rumah sakit. Oleh karena itu diharapkan bagi semua tenaga kesehatan yang terlibat di
ruang persalinan harus mengerti tentang resusitasi bayi baru lahir.
1. Fisiologi dari bayi baru lahir
Banyak perubahan kompleks yang terjadi pada sistem kardiovaskuler dan
sistem respiratorius pada saat bayi baru lahir yang memungkinkan terjadinya
pertukaran gas yang awalnya dari plasenta ke paru-paru. Cairan amnion yang
mengisi paru-paru dikeluarkan sehingga memungkinkan terjadinya ventilasi dan
perfusi dari paru-paru. Dengan adanya penutupan aliran darah dari plasenta
menyebabkan penurunan PaO2, penurunan pH dan peningkatan PaCO2 sehingga
terjadi penarikan nafas pertama kali. Penurunan suhu tubuh dan adanya rangsang
taktil juga turut berperan. Penutupan aliran darah plasenta dan dimulainya pernafasan
menyebabkan redistribusi aliran darah, dimana tekanan arteri pulmonalis menurun
dan peredaran darah sistemik meningkat. Darah yang berasal dari paru-paru fetal
dialirkan ke duktus arteriosus dan didistribusikan ke sirkulasi paru-paru. peningkatan
PaO2 menyebabkan penutupan duktus tersebut.
2. Resusitasi
Resusitasi diperlukan oleh neonatus yang dalam beberapa menit pertama
kehidupannya tidak dapat mengadakan ventilasi efektif dan perfusi adekuat untuk
memenuhi kebutuhan oksigenasi dan eliminasi karbondioksida, atau bila sistem
kardiovaskular tidak cukup dapat memberi perfusi secara efektif kepada susunan
saraf pusat, jantung dan organ vital lain.
Penyebab terjadinya oksigenasi yang tidak efektif dan perfusi yang tidak adekuat
pada neonatus dapat berlangsung sejak saat sebelum persalinan hingga masa
persalinan.
3. Kondisi yang memerlukan resusitasi neonatus misalnya :
a. Sumbatan jalan napas : akibat lendir / darah / mekonium, atau akibat lidah yang
jatuhke posterior.
b. Kondisi depresi pernapasan akibat obat-obatan yang diberikan kepada ibu
misalnyaobat anestetik, analgetik lokal, narkotik, diazepam, magnesium sulfat, dan
sebagainya
c. Kerusakan neurologis.
d. Kelainan / kerusakan saluran napas atau kardiovaskular atau susunan saraf pusat,
dan /atau kelainan-kelainan kongenital yang dapat menyebabkan gangguan
pernapasan /sirkulasi.
e. Syok hipovolemik misalnya akibat kompresi tali pusat atau perdarahan
Resusitasi lebih penting diperlukan pada menit-menit pertama kehidupan. Jika
terlambat, bisa berpengaruh buruk bagi kualitas hidup individu selanjutnya.
5. Prinsip !! Penyebab kematian yang paling cepat adalah asfiksia dan perdarahan.
Asfiksia perinatalmerupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang penting.
Akibat jangka panjang asfiksia perinatal ini dapat diperbaiki secara bermakna bila hal
ini diketahui sebelum kelahiran (misalnya pada keadaan gawat janin ), sehingga dapat
diusahakan memperbaiki sirkulasi / oksigenasi janin intrauterin atau segera
melahirkan janin untuk mempersingkat masa hipoksemia janin yang terjadi. Proses
yang terjadi pada asfiksia perinatal dapat diramalkan meskipun penyebabnya belum
diketahui. Kekurangan oksigen pada janin sering disertai hiperkapnia dan asidosis
campuran metabolik-respiratorik.
Asfiksia yang terdeteksi sesudah lahir, prosesnya berjalan dalam beberapa fase /
tahapan (Dawes) :
a. Janin bernapas megap-megap (gasping), diikuti dengan
b. Masa henti napas (fase henti napas primer).
c. Jika asfiksia berlanjut terus, timbul seri pernapasan megap-megap yang kedua
selama4-5 menit (fase gasping kedua), diikuti lagi dengan
d. Masa henti napas kedua (henti napas sekunder)
Bayi yang berada dalam keadaan henti napas primer, biasanya pletorik
(walaupun banyak yang sianotik). Bayi dalam henti napas sekunder, berwarna biru
sampai ungu dan pucat.
Bayi yang dilahirkan dalam keadaan henti napas primer, sering dapat mulai bernapas
spontan setelah stimulasi sensorik (misalnya telapak kaki ditepuk, atau punggung
diusap-usap dengan agak cepat dan keras).
Bayi yang berada dalam keadaan henti napas sekunder, tidak akan dapat mulai
bernapas spontan, dan harus dibantu dengan ventilasi tekanan positif dan oksigen
(resusitasi pernapasan artifisial / mekanik).
Makin lama selang waktu dari saat mulai henti napas sekunder sampai
dimulainya resusitasi ventilasi tekanan positif, makin lama pula waktu yang diperlukan
bayi untuk mulai bernapas spontan yang adekuat, prognosis makin buruk.
Selama asfiksia, curah jantung dan tekanan darah menurun. Terjadi redistribusi curah
jantung untuk mempertahankan aliran darah ke otak, jantung dan adrenal. Pada
asfiksia yang terus berlanjut, curah jantung makin menurun dan aliran darah ke organ-
organ vital tidak mencukupi lagi.
Pada bayi dengan asfiksia, secara kasar terdapat korelasi antara frekuensi
jantung dengan curah jantung. Karena itu pemantauan frekuensi jantung (misalnya
dengan stetoskop, atau perabaan nadi tali pusat) merupakan cara yang baik untuk
memantau efektifitas upaya resusitasi.
Kompresi dinding dada dapat dilakukan dengan melingkari dinding dada dengan
kedua tangan dan menggunakan ibu jari untuk menekan sternum atau dengan
menahan punggung bayi dengan satu tangan dan menggunakan ujung dari jari
telunjuk dan jari tengah dari tangan yang lain untuk menekan sternum. Tehnik
penekanan dengan ibu jari lebih banyak dipilih karena kontrol kedalaman
penekanan lebih baik.
Tekanan diberikan di bagian bawah dari sternum dengan kedalaman ± 1,5 cm dan
dengan frekuensi 90 X / menit. Dalam 3 X penekanan dinding dada dilakukan 1X
ventilasi sehingga didapatkan 30 X ventilasi per menit. Perbandingan kompresi
dinding dada dengan ventilasi yang dianjurkan adalah 3 : 1. Evaluasi denyut
jantung dan warna kulit tiap 30 detik. Bayi yang tidak berespon, kemungkinan
yang terjadi adalah bantuan ventilasinya tidak adekuat, karena itu adalah penting
untuk menilai ventilasi dari bayi secara konstan.
Jika frekuensi jantung tetap di bawah 100 kali per menit setelah 2-3 menit,
usahakan melakukan intubasi endotrakeal.
Kalau frekuensi jantung tetap kurang dari 100 setelah intubasi, berikan 0.5 – 1 ml
adrenalin (1:10.000). Dapat juga secara intrakardial atau intratrakeal, tapi lebih
dianjurkan secara intravena.
Jika tidak ada ahli yang berpengalaman untuk memasang infus pada vena perifer
bayi, lakukan kateterisasi vena atau arteri umbilikalis pada tali pusat, dengan
kateter umbilikalis. Sebelum penyuntikan obat, harus dipastikan ada aliran darah
yang bebas hambatan. Dengan demikian pembuluh tali pusat dibuat menjadi
drug/fluid transport line.
Ada 3 masalah penting berkaitan dengan pemberian natrium bikarbonat pada bayi
:
1) Zat ini sangat hipertonik. Bila diberikan dengan cepat dan dalam jumlah besar
akan mengekspansi volumeintravaskular.
2) Jika diberikan dalam keadaan ventilasi tidak adekuat, PaCO2 akan meningkat
nyata,pH akan turun, asidosis makin berat dan dapat terjadi kematian.
Hendaknya natrium bikarbonat hanya diberikan jika ventilasi adekuat, atau
telah terpasang ventilasimekanik yang baik.
3) Pemberian bikarbonat dapat pula menyebabkan hipotensi
RESUSITASI BBL
CUKUP BULAN ? Perawatan rutin :
BERNAFAS / MENANGIS ? Beri kehangatan
Bersihkan jalan nafas, bila
TONUS BAIK ? perlu
Keringkan
Evaluasi
1 menit 60 – 65%
5 menit 80 – 85%
FJP di bawah 60 dpm, 6 menit 85 – 90%
EPINEFRIN IV
Penyulit yang mungkin terjadi selama resusitasi
Hipotermia
Dapat memperberat keadaan asidosis metabolik, sianosis, gawat napas, depresi susunan
saraf pusat, hipoglikemia.
Pneumotoraks
Pemberian ventilasi tekanan positif dengan inflasi yang terlalu cepat dan tekanan yang
terlalu besar dapat menyebabkan komplikasi ini. Jika bayi mengalami kelainan membran
hialin atau aspirasi mekonium, risiko pneumotoraks lebih besar karena cadangan jaringan
paru lebih lemah.
Trombosis vena
Pemasangan infus / kateter intravena dapat menimbulkan trauma pada dinding pembuluh
darah, potensial membentuk trombus. Selain itu, infus larutan hipertonik melalui pembuluh
darah tali pusat juga dapat mengakibatkan nekrosis hati dan trombosis vena.
BAB III
PENUTUP
Ditetapkan di Sorong
Tanggal Agustus 2019
Karumkital dr. R. Oetojo
http://www.klikdokter.com/healthnewstopics/read/2010/10/27/15031137/panduan-rjp-aha-
2010-dahulukan-kompresi-dada
http://novalintang.blogspot.com/2013/05/revisi-rjp-terbaru-american-heart.html
http://www.scribd.com/doc/95942220/Resusitasi-Jantung-dan-Paru-Bahasa-Indonesia-
Versi-AHA-2010
http://saptobudinugroho.blogspot.com/2010/10/urutan-rjpcpr-terbaru-dari-aha-
american.html
http://www.slideshare.net/ppnibone/resusitasi-
jantungdanparubahasaindonesiaversiaha2010
http://cigayung.wordpress.com/2010/10/27/prosedur-baru-resusitasi-jantung-paru-aha-
american-heart-association/
Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Prof.dr. H..E. Monintja / dr. Nartono Kadri, FK UI 1999