Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KAJIAN KLINIK KEISLAMAN TERHADAP HUKUM

MELEPAS ALAT RESUSITASI PADA PASIEN KRITIS


DI RUANG ICU RS PKU MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA

Disusun Guna Memenuhu Tugas Mata Kuliah Peminatan Intensive Care Unit

Disusun Oleh :

1. Anggun Setyoningrum (A11601243)


2. Ari Yani Istinovami (A11601248)
3. Desi Misdiyanti (A11601257)
4. Dwi Azizah Ristiani (A11601273)
5. Iis Suciowati Pratiwi (A11601298)
6. Nur Yaya Erani (A11601333)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH


GOMBONG
2019

i
KATA PNGANTAR

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wata’ala yang telah memberikan


Rahmat dan Karuia-Nya pada kami sehingga dapat menyelesaikan tugas “Laporan
Kajian Klinik Keislaman Terhadap Hukum Melepas Alat Resusitasi Pada Pasien
Kritis Di Ruang ICU RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta” dengan baik dan
lancar. Tanpa pertolongan-Nya mungkin kami tidak akan dapat menyelesaikan
tugas ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda Nabi Muhammad Sholalohu Alaihi Wasalam.
Laporan ini disusun guna memenuhi tugas presentasi kasus pada Praktek
Peminatan Intensive Care Unit. Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang terkait dalam penyusunan makalah ini.
1. Bapak Podo Yuwono, M.Kep.,CWCS selaku dosen Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan di STIKES Muhammadiyah Gombong.
2. Teman-teman mahasiswa STIKES Muhammadiyah Gombong yang telah
memberi dukungan dan motivasi.
Semoga laporan ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas
kepada pembaca. Dalam menyusun laporan ini masih banyak terdapat kesalahan
sehingga penyusun mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini. Terimakasih.

Yogyakarta, 20 Desember 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 2
C. Tujuan ............................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN KASUS ....................................................................... 3
BAB III PEMBAHASAN
A. Pengertian Ventilator....................................................................... 4
B. Aspek Medikolegal Penghentian Terapi Bantuan hidup ............. 5
C. Hukum Melepas Alat Resusitasi Pada Pasien Kritis .................... 6
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diruang ICU pasien dengan kondisi kritis hingga kondisi terminal
mendapatkan pelayanan medis termasuk terapi bantuan hidup. Terapi
bantuan hidup disini seperti dengan melakukan ventilasi mekanis.
Ventilasi mekanis adalah metode bantuan pernapasan yang diberikan
kepada pasien, yang tidak mampu mempertahankan ventilasi dan
oksigenasi yang spontan atau adekuat (Marelli, 2007). Ventilasi mekanis
dicapai melalui insersi jalan napas buatan (misalnya, ET atau selang
trakeostomi), yang kemudian dihubungkan ventilator mekanis bertekanan
positif yang tekanan, waktu, dan volumenya diatur (Ibid).
Ventilator mekanik merupakan alat bantu pernapasan bertekanan
positif atau negatif yang menghasilkan aliran udara terkontrol pada jalan
nafas pasien sehinggamampu mempertahankan ventilasi dan pemberian
oksigen dalam jangka waktu lama. Tujuan pemasangan ventilator mekanik
adalah untuk mempertahankan ventilasi alveolar secara optimal dalam
rangka memenuhi kebutuhan metabolic, memperbaiki hipoksemia, dan
memaksilalkan transport oksigen (Iwan & Saryono, 2010).
Terapi bantuan hidup seperti pemberian ventilasi mekanis pada
pasien terminal state memberikan efek ketergantungan karena tanpa
adanya alat tersebut pasien tidak mampu bertahan hidup. Artinya, pasien
diberikan pengobatan atau bahkan alat bantu hidup sedangkan tindakan
dokter tidak bisa membuat keadaan pasien membaik. Akhir dari setiap
aplikasi ventilasi mekanik adalah penyapihan. Penyapihan dari ventilator
mekanik dapat didefinisikan sebagai proses pelepasan ventilator baik
secara langsung maupun bertahap. Tindakan pelepasan ini biasanya
mengandung dua hal yang terpisah tetapi memiliki hubungan erat yaitu
pemutusan ventilator dan pelepasan jalan nafas buatan (Iwan & Saryono,
2010).

1
Penyapihan dari ventilator mekanik dapat didefinisikan sebagai
proses pelepasan ventilator baik secara langsung maupun bertahap.
Tindakan ini biasanya mengandung dua hal yang terpisah tapi memiliki
hubungan erat yaitu pemutusan ventilator dan pelepasan jalan nafas buatan
(Iwan & Saryono, 2010).

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud alat resusitasi (Ventilator)?
2. Bagaimana aspek medikolegal pelepasan ventilator?
3. Bagaimana hukum melepas alat resusitasi pada pasien kritis di ruang
ICU?

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan “ Laporan Kajian Klinik Keislaman
Terhadap Hukum Melepas Alat Resusitasi Pada Pasien Kritis Di Ruang
ICU RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta” adalah untuk mengetahui
bagaimana hukum dari pelepasan alat bantu pernafasan pada pasien kritis
di ICU yang sudah mengalami mati batang otak.

2
BAB II
TINJAUAN KASUS

Pada tanggal 18 Desember 2019 pukul 18.30 WIB di ruang ICU terjadi
perburukan kodisi pada pasien atas nama Tn.G dan mengalami bradikardi. Tn.G
terpasang ventilator dan mengalami mati batang otak. Perawat telah memberikan
penjelasan mengenai kondisi pasien kepada keluarga pasien, tetapi keluarga
pasien menginginkan pasien untuk dilakukan RJP setiap kali mengalami
perburukan kondisi. Tn.G sudah mengalami perburukan kondisi 2 kali dan selalu
dilakukan tindakan RJP, dan ketiga kalinya keluarga diberi motivasi lagi
mengenai kondisi pasien yang sudah mengalami mati batang otak sehingga
keluarga memutuskan untuk mengikhlaskan pasien dan membolehkan perawat
melepas alat ventilator yang terpasang pada pasien. 5 menit setelah alat ventilator
dilepas terjadi penurunan frekuensi nafas 0, kemudian pada jam 18.54 pasien
dinyatakan meninggal oleh dokter.

3
BAB III
PEMBAHASAN

A. Alat Resusitasi (Ventilator)


Ventilator mekanik merupakan alat bantu pernapasan
bertekanan positif atau negatif yang menghasilkan aliran udara terkontrol
pada jalan nafas pasien sehinggamampu mempertahankan ventilasi dan
pemberian oksigen dalam jangka waktu lama. Tujuan pemasangan
ventilator mekanik adalah untuk mempertahankan ventilasi alveolar secara
optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan metabolic, memperbaiki
hipoksemia, dan memaksilalkan transport oksigen (Iwan & Saryono,
2010).
Resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau
memulihkan kembali kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai
akibat berhentinya fungsi jantung dan paru, yang berorientasi pada otak
(Tjokronegoro,2011). Sedangkan menurut Rilantono, dkk (2011) resusitasi
mengandung arti harfiah “menghidupkan kembali”, yaitu dimaksudkan
usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti
jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi jantung paru
terdiri atas dua komponen utama yakni: bantuan hidup dasar (BHD) dan
bantuan hidup lanjut (BHL). Selanjutnya adalah perawatan pasca
resusitasi.
Bantuan hidup dasar adalah usaha yang dilakukan untuk
menjaga jalan nafas (Airway) tetap terbuka, menunjang pernafasan dan
sirkulasi darah. Usaha ini harus dimulai dengan mengenali secara tepat
keadaan henti jantung atau henti nafas dan segera memberikan bantuan
ventilasi dan sirkulasi. Usaha BHD ini bertujuan dengan cepat
mempertahankan pasokan oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital
lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan (bantuan hidup lanjut).
Resusitasi dilakukan pada keadaan henti nafas, misalnya pada korban
tenggelam, stroke, obstruksi benda asing di jalan nafas, inhalasi gas,
keracunan obat, tersedak, tersengat listrik, koma dan lain-lain. Sedangkan

4
henti jantung terjadi karena fibrilasi ventrikel, takhikardi ventrikel, asistol
dan disosiasi elektromekanikal.

B. Aspek Medikolegal
Peraturan perundang-undangan di Indonesia tentang penentuan
tindakan withdrawal atau withholding terhadap support terapi tercantum
dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia
Nomor 37 Tahun 2014 Bab 3 Pasal 14 dan 15 tentang penghentian atau
penundaan terapi bantuan hidup yaitu pada pasien yang berada dalam
keadaan yang tidak dapat disembuhkan akibat penyakit yang dideritanya
(terminal state) dan tindakan kedokteran sudah sia-sia (futile) dapat
dilakukan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup.
Rencana tindakan penghentian atau penundaan terapi bantuan
hidup harus diinformasikan dan memperoleh persetujuan dari keluarga
pasien atau yang mewakili pasien. Berdasarkan Permenkes RI nomor 290
tahun 2008 bab 4 pasal 16 tentang persetujuan tindakan kedokteran pada
situasi khusus yaitu tindakan withdrawing/withholding life support pada
seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien.
Perburukan kondisi pasien terburuk yaitu berakhir dengan kematian.
Penentuan kematian seseorang berdasarkan Permenkes nomor 37 tahun
2014 dapatdilakukan dengan menggunakan kriteria diagnosis kematian
klinis/konvensional atau kriteria diagnosis kematian mati batang otak.
Berdasarkan Permenkes nomor 37 tahun 2014 pasal 8-13 yaitu
Kriteria diagnosa kematian klinis/konvensional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 didasarkan pada telah berhentinya fungsi sistem jantung
sirkulasi dan system pernafasan terbukti secara permanen. Penentuan
seseorang telah mati batang otak hanya dapat dilakukan oleh tim dokter
yang terdiri atas 3 (tiga) orang dokter yang kompeten dan diagnosis mati
batang otak harus dibuat di ruang rawat intensif (Intensive Care Unit) dan
pemeriksaan yang dilakukan harus sesuai dengan prosedur dan syarat
untuk menentukan diagnosis mati batang otak. Berdasarkan pasal 13,

5
setelah seseorang ditetapkan mati batang otak, maka semua terapi bantuan
hidup harus segera dihentikan.

C. Hukum Melepas Alat Resusitasi Pada Pasien Kritis


Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan
manusia sejak ia berada dirahim ibunya sampai sepanjang hidupnya.
Dalam ajaran agama Islam dijelaskan bahwa setiap manusia tidak boleh
membunuh sesamnya, ini tercantum dalam Piagam Madinah Pasal 14,
berbunyi “Seseorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman
lainnya lantaran membunuh orang kafir. Tidak boleh pula orang beriman
membantu orang kafir untuk (membunuh) orang beriman”.
Dalam Islam pada prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang
berakibat matinya seseorang, baik sengaja maupun tidak sengaja, tidak
dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan sebagaimana disebutkan
dalam HR. Abu Dawud dan An-nisa’i:
“Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu dari
tiga alasan, yaitu : pezina mukhshan (sudah berkeluarga), maka ia harus
dirajam (sampai mati), seseorang yang membunuh seseorang muslim
lainnya dengan sengaja maka ia harus dibunuh juga, dan seseorang yang
keluar dari Islam (murtad), kemudian memerangi Allah dan Rasul-Nya,
maka ia harus dibunuh, disalib dan diasingkan dari tempat kediamannya.”
Dalil syariah yang menyatakan pelanggaran terhadap
pembunuhan dalam Al-Qur’an antara lain pada QS. Al-Israa Ayat 33, yang
artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah
(membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang
siapa dibunuh dengan zalim, maka sungguh, kami telah memberi
kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walina itu melampaui batas
dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat
pertolongan.”
Proses kematian dengan cara menghentikan terapi bantuan hidup
pada terminal state termasuk kedalam kategori euthanasia. Hal ini

6
didasarkan pada keyakinan dokter, bahwa pengobatan yang dilakukan itu
tidak ada gunanya dan tidak memberikan arapan pada pasien sesuai
sunatullah (hokum Allah terhapap alam semesta) dan hokum sebab akibat.
Atau menggunakan alat bantu pernapasan buatan dan peralatan medis
modern lainnya dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap
saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatan itu tidak
Qaradhawi dalam Fatwa Mu’ashirah-nya, bahkan mungkin kebalikannya
yakni tidak mengobatinya itulah yang wajib dan sunnah.
Memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam ini
dalam kondisi sudah tidak ada harapan sering diistilahkan dengan
membiarkan perjalanan menuju kematian karena belas kasihan (qatlur-
rahma), karena dalam kasus ini didapati tindakan aktif dari dokter maupun
tenaga medis lainnya. Dijelaskan dalam surat Al-A’raf ayat 34: yang
artinya;
“Bagi tiap-tiap umat itu ada batas waktu tertentu (ajal atau mati), sebab itu
bila dating waktunya, mereka tidak dapat mengulurkan barang seketika
dan tidak pula dapat mempercepatnya.”
Bagi pasien terminal state yang akan menghentikan terapi
bantuan hidupitu merupakan tindakan penghentian penderitaan, karena
disisi pasien hakikatnya telah meninggal dunia berdasarkan keteranga
resmi dokter ahli yang menangani, pasien hidup hanya bergantung pada
alat medis. Penghentian terapi bantuan hidup pada pasien terminal state ini
merupakan tindakan yang bertujuan agr jenazah bisa diperlakukan secara
Islami.
Dalam Hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh
Annas r.a. menyebutkan:
“Bahwa Rasullah pernah bersabda; Janganlah tiap-tiap orang dari kamu
meminta-minta mati, kareana kesukaran yang menimpanya. Jika sangat
perlu ia berbuat demikian, maka ucapkanlah doa sebagai berikut: Ya
Allahpanjangkanlah umurku, kalau memang hidup adalah lebih baik
bagiku, dan matiknlah aku manakala mengenai mati lebih baik bagiku.”

7
Pasien kritis di ICU memang memerlukan alat resusitasi, jika
tidak menggunakan alat resusitasi maka paisen tersebut akan meninggal.
Sebagaimana pengalaman kami, ketika sebuah keluarga memutuskan
setelah berembuk, agar si pasien tidak dilanjutkan lagi menggunakan alat
resusitasi karena mereka sudah tidak punya dana lagi untuk membiayai
pasien yang memang sudah sakit lama dan prognosisnya juga buruk yaitu
memakai alat resusitasi hanya sekedar mempertahankan hidup beberapa
hari saja (biaya sehari di ICU bisa sekitar 5-15 juta). Maka ketika alat
resusitasi dicabut, dalam beberapa menit pasien sudah tidak bernyawa lagi.
Hukum islam mengenai hal tersebut:
1. Jika Pasien Masih Ada Kesempatan Hidup Di Bantu Dengan Alat
Resusitasi
Maka alat resusitasi harus tetap dibiarkan, tidak boleh dilepas terlebih
keluarga memiliki dana yang cukup untuk membiayai.
2. Jika Pasien Sudah Tidak Ada Kesempatan Hidup
Alat resusitasi hanya sekedar memperpanjang hidup beberapa hari
/minggu saja. Prognosis pasien jelek kedepannya misalnya karena
penyakit yang sudah kornis dan berbahaya (contohnya kanker stadium
lanjut yang sudah menyebar ke paru-paru dan otak). Ditambah lagi
keadaan keluarga yang tidak mampu membiayai, mereka harus
menjual bebagai harta, bahkan harus berhutang untuk membiayai.
3. Jika Pasien Sudah Mati Batang Otak Maka Boleh Dicabut
Yang dimaksud mati batang otak adalah orang tersebut sudah mati
secara medis akan tetapi organ yang lain masih sedikit beraktifitas,
misalnya jantung masih sedikit berdenyut. Pertama, jika denyut
jantung dan nafas telah berhenti secara total dan tim dokter telah
memastikan bahwa hal ini tidak bisa kembali. Kedua, jika semua
aktifitas otak telah berhenti total kemudian (mati bantang otak) dan tim
dokter (spesialis) telah memastikan bahwa hal ini tidak bisa kembali
dan otak mulai mengalami kerusakan). Maka pada (dua) keadaan ini,
boleh mencabut alat resusitasi yang terpasang pada orang tersebut

8
walaupun sebagian anggota badan seperti jantung misalnya masih
berdenyut dengan bantuan alat resusitasi (Fatawa lit thabibil Muslim).
Hukum mengenai penghentian terapi bantuan hidup pada pasien
terminal state yang mengalami ketidaksadaran atau koma tidak sebentar,
yang dalam Islam membunuh memang diharamkan tetapi keadaannya
disini adalah melepaskan segala alat medis yang mulanya alat bantu hidup
yang lama-kelamaan menjadi alat penghambat atau penunda kematian
pasien terminal state, ini menjadi masalah kontemporer ijthadiah karena
permasalahan ini tidak terdapat hukumnya secara spesifik di dalam Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang
mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat.

9
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau
memulihkan kembali kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai
akibat berhentinya fungsi jantung dan paru, yang berorientasi pada otak.
Sedangkan hukum melepas alat resusitasi ada 2 yaitu jika pasien masih ada
kesempatan hidup di bantu dengan alat resusitasi dan jika pasien sudah
tidak ada kesempatan hidup atau pasien sudah mati batang otaknya maka
alat resusitasi boleh dilepas.

B. Saran
Dalam mencabut alat resusitasi, tim medis harus memperhatikan
bebrapa hal. Pertama, jika denyut jantung dan nafas telah berhenti secara
total dan tim dokter telah memastikan bahwa hal ini tidak bisa kembali.
Kedua, jika semua aktifitas otak telah berhenti total kemudian (mati
bantang otak) dan tim dokter (spesialis) telah memastikan bahwa hal ini
tidak bisa kembali dan otak mulai mengalami kerusakan)

10
DAFTAR PUSTAKA

El-Khatib, FM., & Bou-Khalil P. 2008. Clinical Review: Liberation from


Mechanical Ventilation. Critical Care.
Iwan P & Saryono. 2010. Mengelola Pasien dengan Ventilator Mekanik. Jakarta:
Rekatama.
Luh, P. 2017. Aplikasi Alat Bantu Napas Mekanik. Fakultas Kedokteranm
Universitas Udayana. Denpasar.
Marelli. T. M. 2007.Buku Saku Dokumnetasi Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Sherina. 2010. Gagal Nafas dan Ventilasi Mekanik Modul Pelatihan ICU. Jakarta:
RSCM.
Sury Taufik. 2017. Spek Bioetika-Medikolegal Penundaan Dan Penghentian
Terapi Bantuan Hidup Pada Perawatan Kritis. JKS.
Wulantiani. 2015. Tinjauan umum tentang euthanasia dan penghentian terapi
bantuan hidum. Diakses di http://respiratory.unisba.ac.id. Diakses pada
tanggal 20 oktober 2019 pukul 13.45 WIB.

11

Anda mungkin juga menyukai