Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN

DENGAN ASMA DI RUANGAN MARWAH RSI


SITI KHADIJAH PALEMBANG

Dosen Pembimbing :
Yofa Anggriani Utama, S.Kep., Ners., M.Kes., M.Kep

Disusun Oleh

Eisnaini Sawalila 23149011032

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA HUSADA
PALEMBANG TAHUN
2023/2024
LAPORAN PENDAHULUAN
ASMA

A. Konsep Dasar Asma


1. Pengertian
Asma adalah penyakit saluran napas dengan dasar inflamasi kronik yang
mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran napas dengan derajat yang
bervariasi. Gejala klinis asma dapat berupa batuk, terdengar suara napas wheezing,
sesak napas, dada terasa seperti tertekan yang timbul secara kronik dan atau
berulang, cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika
ada pencetus. (IDAI, 2015)

Menurut (GINA) Global Initiative for Asthma (2018) asma merupakan


penyakit heterogen yang ditandai dengan adanya peradangan saluran napas kronis
diikuti dengan gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas dan batuk yang
bervariasi dari waktu ke waktu dengan intensitas yang berbeda dan bersamaan
dengan keterbatasan aliran udara saat ekspirasi.
Jadi asma atau reactive air way disease (RAD) adalah penyakit obstruksi pada
jalan napas yang bersifat reversible kronis yang ditandai dengan bronchopasme
dengan karakteristik adanya mengi dimana trakea dan bronchi berespon secara
hiperaktif terhadap stimuli tertentu serta mengalami peradangan atau inflamasi
2. Anatomi pernafasan

Gambar anatomi system pernafasan manusia

2
1. Organ pernapasan
a) Hidung
Hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua
lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Di dalamnya
terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu, dan kotoran yang
masuk ke dalam lubang hidung.
b) Faring
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan
makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang rongga hidung, dan mulut
sebelah depan ruas tulang leher. Hubungan faring dengan organ-organ lain adalah ke
atas berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang yang bernama
koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan ini bernama
istmus fausium, ke bawah terdapat 2 lubang (ke depan lubang laring dan ke belakang
lubang esofagus).
c) Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara dan bertindak sebagai
pembentukan suara, terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra
servikal dan masuk ke dalam trakhea di bawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat
ditutup oleh sebuah empang tenggorokan yang biasanya disebut epiglotis, yang terdiri
dari tulang-tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita menelan makanan menutupi
laring.
d) Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16
sampai 20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti kuku
kuda (huruf C) sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar yang
disebut sel bersilia, hanya bergerak ke arah luar. Panjang trakea 9 sampai 11 cm dan
di belakang terdiri dari jarigan ikat yang dilapisi oleh otot polos.
e) Bronkus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah yang
terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V, mempunyai struktur serupa
dengan trakea dan dilapisi oleh jenis set yang sama. Bronkus itu berjalan ke bawah
dan ke samping ke arah tampuk paru-paru.Bronkus kanan lebih pendek dan lebih
besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai 3 cabang. Bronkus
kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin

3
mempunyai 2 cabang.Bronkus bercabang-cabang, cabang yang lebih kecil disebut
bronkiolus (bronkioli). Pada bronkioli tidak terdapat cincin lagi, dan pada ujung
bronkioli terdapat gelembung paru atau gelembung hawa atau alveoli.
f. Paru-paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung
(gelembung hawa atau alveoli). Gelembug alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan
endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya kurang lebih 90 m². Pada lapisan ini
terjadi pertukaran udara

Gambar proses terjadinya pernafasan

3. Etiologi
 Obstruksi jalan napas pada asma disebabkan oleh:
a. Kontraksi otot sekitar bronkus sehingga terjadi penyempitan napas.
b. Pembengkakan membrane bronkus
c. Bronkus berisi mucus yang kental
 Adapun faktor predisposisi pada asma yaitu:
a. Genetik
Diturunkannya bakat alergi dari keluarga dekat, akibat adanya bakat alergi ini
penderita sangat mudah terkena asma apabila dia terpapar dengan faktor
pencetus.
 Adapun faktor pencetus dari asma adalah:
a. Alergen
Merupakan suatu bahan penyebab alergi. Dimana ini dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu, bulu
binatang, serbuk bunga, bakteri, dan polusi.

4
2) Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan dan obat-obatan
tertentu seperti penisilin, salisilat, beta blocker, kodein, dan sebagainya.
3) Kontaktan, seperti perhiasan, logam, jam tangan, dan aksesoris lainnya
yang masuk melalui kontak dengan kulit.
b. Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran pernapasan terutama disebabkan oleh virus. Virus Influenza
merupakan salah satu faktor pencetus yang paling sering menimbulkan asma
bronkhial, diperkirakan dua pertiga penderita asma dewasa serangan asmanya
ditimbulkan oleh infeksi saluran pernapasan (Nurarif & Kusuma, 2015).
c. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa yang dingin sering mempengaruhi asma, perubahan
cuaca menjadi pemicu serangan asma.
d. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja merupakan faktor pencetus yang menyumbang 2-15% klien
asma. Misalnya orang yang bekerja di pabrik kayu, polisi lalu lintas, penyapu
jalanan.
e. Olahraga
Sebagian besar penderita asma akan mendapatkan serangan asma bila sedang
bekerja dengan berat/aktivitas berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan
asma
f. Stress
Gangguan emosi dapat menjadi pencetus terjadinya serangan asma, selain itu
juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma
harus segera diobati penderita asma yang mengalami stres harus diberi nasehat
untuk menyelesaikan masalahnya. (Wahid & Suprapto, 2013).

4. Klasifikasi
Tidak mudah membedakan antara satu jenis asma dengan jenis asma lainnya.
Dahulu asma dibedakan menjadi asma alergi (ekstrinsik) yang muncul pada waktu
kanak-kanak dengan mekanisme serangan melalui reaksi alergi tipe 1 terhadap
alergen dan asma non-alergik (intrinsik) bila tidak ditemukan reaksi hipersensitivitas
terhadap alergen. Namun, dalam prakteknya seringkali ditemukan seorang pasien
dengan kedua sifat alergi dan non-alergi, sehingga Mc Connel dan Holgate membagi
asma kedalam 3 kategori: 1) Asma alergi/ekstrinsik; 2) Asma

5
non-alergi/intrinsik; 3) Asma yang berkaitan dengan penyakit paru
obstruksif kronik.
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) asma dibagi menjadi
4 yaitu :
a. Asma intermitten, ditandai dengan :
1) gejala kurang dari 1 kali seminggu.
2) eksaserbasi singkat
3) gejala malam tidak lebih dari 2 kali sebulan
4) bronkodilator diperlukan bila ada serangan.
5) Jika serangan agak berat mungkin memerlukan kortikosteroid
6) APE atau VEP1 ≥ 80% prediksi
7) variabiliti APE atau VEP1 < 20%
b. Asma persisten ringan, ditandai dengan :
1) gejala asma malam >2x/bulan
2) eksaserbasi >1x/minggu, tetapi <1x/hari
3) eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur
4) membutuhkan bronkodilator dan kortikosteroid.
5) APE atau VEP1 ≥ 80% prediksi; variabiliti APE atau VEP1 20-30%
c. Asma persisten sedang, ditandai dengan :
1) gejala hampir tiap hari
2) gejala asma malam >1x/minggu
3) eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur
4) membutuhkan steroid inhalasi dan bronkhodilator setiap hari
5) APE atau VEP1 60-80%; 6) variabiliti APE atau VEP1 >30%
d. Asma persisten berat, ditandai dengan :
1) APE atau VEP1 <60% prediksi
2) variabiliti APE atau VEP1 >30%

Klasifikasi berdasarkan derajat berat serangan asma menurut GINA, dibagi


menjadi tiga kategori :
1) Asma ringan : asma intermiten dan asma persisten ringan
2) Asma sedang : asma persisten sedang
3) Asma berat : asma persisten berat.

6
Baru-baru ini, GINA mengajukan klasifikasi asma berdasarkan tingkat
kontrol asma dengan penilaian meliputi gejala siang, aktivitas, gejala malam,
pemakaian obat pelega dan eksaserbasi. GINA membaginya kedalam asma
terkontrol sempurna, asma terkontrol sebagian, dan asma tidak terkontrol.

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Berat Serangan Asma menurut GINA

Karakteristik Ringan Sedang Berat


Aktivitas Dapat berjalan Jalan terbatas Sukar berjalan
Dapat berbaring Lebih suka Duduk
duduk membungkuk
ke depan
Bicara Beberapa kalimat Kalimat Kata demi
terbatas kata
Frekuensi Meningkat Meningkat Sering > 30
nafas kali/menit
Retraksi otot Umumnya tidak Kadang kala Ada
bantu nafas ada ada
Mengi Lemah sampai Keras Keras
sedang
Frekuensi nadi <100 100-200 >120
Pulsus Tidak ada Mungkin ada Sering ada
paradoksus (<10mmHg) (10-25 mmHg) (>25 mmHg)
APE sesudah
bronkhodilator
(% prediksi )
PaCO2 >80% 60-80% <60%
SaO2 <45 mmHg <45 mmHg <45 mmHg
>95% 91-95% <90%

Keterangan : Dalam menentukan klasifikasi tidak seluruh parameter harus dipenuhi.


Tabel 2. Tingkat Kontrol Asma menurut GINA
Karakteristik Kontrol penuh Terkontrol Tidak

7
(semua sebagian terkontrol
kriteria) (salah
satu/minggu)
Gejala harian Tidak ada (≤ >2x/minggu ≥3x/minggu
2xminggu
Keterbatasan Tidak ada Ada Gambaran asma
aktivitas
Gejala Tidak ada Ada Terkontrol
nokturnal/terbangun sebagian ada
karena asma dalam setiap
minggu
Kebutuhan pelega Tidak ada >2x/minggu
(≤2x/minggu)
Fungsi paru Normal <8-% prediksi/nilai 1x/minggu
(APE/VEPI) terbaik
Eksaserbasi Tidak ada ≥1/tahun 1x/minggu

5. Patofisiologi
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas
yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran
napas, gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga
diduga berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas
saluran nafas terjadi karena adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan
dinding saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat
kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Hipereaktivitas tersebut terjadi
sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang.

Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis
yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang
didominasi oleh IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC
(Antigen Presenting Cells), kemudian hasil olahan alergen akan dikomunikasikan
kepada sel Th ( T penolong ) terutama Th2. Sel T penolong inilah yang akan
memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk

8
IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil,
trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin,
prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin,
tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan mempengaruhi organ
sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot polos saluran pernapasan sehingga
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas,
infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma protein melalui
mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas
saluran napas. Faktor lainnya yang dapat menginduksi pelepasan mediator adalah
obat-obatan, latihan, udara dingin, dan stress.
Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf otonom
pada jalur non-alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran
napas. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,
nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Reflek bronkus terjadi karena
adanya peregangan nervus vagus, sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel
mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi
yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak ditemukan pada beberapa keadaan seperti
pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Reflek saraf
memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel mast. Ujung saraf
eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik
senyawa P, neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida
itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi, edema bronkus, eksudasi
plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.

9
6. Pathway

10
7. Manifestasi klinis
Menurut (Padila, 2013) adapun manifestasi klinis yang
dapat ditemui pada pasien asma diantaranya ialah:
a. Stadium Dini
1) Faktor hipersekresi yang lebih menonjol
2) Batuk berdahak disertai atau tidak dengan pilek
3) Ronchi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang timbul
4) Wheezing belum ada
5) Belum ada kelainan bentuk thorak
6) Ada peningkatan eosinofil darah dan IgE
7) BGA belum patologis
b. Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan:
1) Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum
2) Wheezing
3) Ronchi basah bila terdapat hipersekresi
4) Penurunan tekanan parsial O2
c. Stadium lanjut/kronik
1) Batuk, ronchi
2) Sesak napas berat dan dada seolah-olah tertekan
3) Dahak lengket dan sulit dikeluarkan
4) Suara napas melemah bahkan tak terdengar (silent chest)
5) Thorak seperti barel chest
6) Tampak tarikan otot stenorkleidomastoideus
7) Sianosis
8) BGA Pa O2 kurang dari 80%
9) Terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kiri dan kanan pada Ro
paru
10) Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik

8. Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat ditimbulkan karena penyakit asma menurut (Wahid
& Suprapto, 2013) yaitu:
1) Status Asmatikus: suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma akut yang
bersifat refrator terhadap pengobatan yang lazim dipakai.

11
2) Atelektasis: ketidakmampuan paru berkembang dan mengempis
3) Hipoksemia
4) Pneumothoraks
5) Emfisema
6) Deformitas Thoraks
7) Gagal Jantung

9. Pemeriksaan penunjang
a. Pengukuran Fungsi Paru (spirometri)
Pengukuran ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator
aerososl golongan adrenergik. Peningkatan FEV atau FVC sebanyak lebih
dari 20% menunjukkan diagnosis asma.
b. Tes Provokasi Bronkus
Tes ini dilakukan pada spirometri internal. Penurunan Fev sebesar 20% atau
lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung 80-90% dari maksimum
dianggap bermakna bila menimbulkan penurunan PEFR 105 atau lebih.
c. Pemeriksaan Kulit
Untuk menunjukkan antibody IgE hipersensitif yang spesifik dalam tubuh.
d. Pemeriksaan Laboratorium
1) Analisa Gas Darah (AGD/Astrup): hanya dilakukan pada serangan asma
berat karena terdapat hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis respiratorik.
2) Sputum: adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan asma
yang berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang menyebabkan
trensudasi dari edema mukosa, sehingga terlepaslah sekelompok sel-sel
epitelnya dari perlekatannya. Pewarnaan gram penting untuk melihat
adanya bakteri, cara tersebut kemudian diikuti kultur dan uji resistensi
terhadap antibiotik. Sel eosinofil: pada klien dengan status asmatikus dapat
mencapai 1000-1500/mm3 baik asma instrinsik maupun ekstrinsik,
sedangkan hitung sel eosinosil normal antara 100-200/mm3.
3) Pemeriksaan darah rutin dan kimia: jumlah sel leukosit yang lebih dari
15.000/mm3terjadi karena adanya infeksi SGOT dan SGPT meningkat
disebabkan kerusakan hati akibat hipoksia dan hiperkapnea.
e. Pemeriksaan radiologi: hasil pemeriksaan radiologi pada klien asma biasanya
normal, tetapi prosedur ini harus tetap dilakukan untuk menyingkirkan

12
kemungkinan adanya proses patologi di paru atau komplikasi asma seperti
pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis. (Muttaqin, 2012).
10. Penatalaksanaan asma
Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk pasien asma yaitu:
a. Prinsip umum dalam pengobatan asma:
1) Menghilangkan obstruksi jalan napas.
2) Menghindari faktor yang bisa menimbulkan serangan asma.
3) Menjelaskan kepada penderita dan keluarga mengenai penyakit asma dan
pengobatannya.
b. Pengobatan pada asma
Pengobatan farmakologi
1) Bronkodilator: obat yang melebarkan saluran napas. Terbagi menjadi dua
golongan, yaitu:
- Adrenergik (Adrenalin dan Efedrin), misalnya terbutalin/bricasama.
- Santin/teofilin (Aminofilin)
2) Kromalin
Bukan bronkhodilator tetapi obat pencegah seranga asma pada penderita
anak. Kromalin biasanya diberikan bersama obat anti asma dan efeknya
baru terlihat setelah satu bulan.
3) Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma dan diberikan dalam dosis
dua kali 1mg/hari. Keuntungannya adalah obat diberikan secara oral.
4) Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg jika tidak ada respon maka
segera penderita diberi steroid oral.
 Pengobatan non farmakologi
1) Memberikan penyuluhan
2) Menghindari faktor pencetus
3) Pemberian cairan
4) Fisioterapi napas (senam asma)
5) Pemberian oksigen jika perlu (Wahid & Suprapto, 2013).
 Pengobatan selama status asmathikus
1) Infus D5:RL = 1 : 3 tiap 24 jam
2) Pemberian oksigen nasal kanul 4 L permenit

13
3) Aminophilin bolus 5mg/ KgBB diberikan pelan-pelan selama 20 menit
dilanjutkan drip RL atau D5 mentenence (20 tpm) dengan dosis 20 mg/kg
bb per 24 jam
4) Terbutalin 0.25 mg per 6 jam secara sub kutan.
5) Dexametason 10-2- mg per 6 jam secara IV.
6) Antibiotik spektrum luas (Padila, 2013).

14
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Dalam proses pemberian asuhan keperawatan hal yang paling penting dilakukan
pertama oleh seorang perawat adalah melakukan pengkajian. Pengkajian dibedakan
menjadi dua jenis yaitu pengkajian skrining dan pengkajian mendalam. Kedua
pengkajian ini membutuhkan pengumpulan data dengan tujuan yang berbeda.
Pengkajian pada pasien asma menggunakan pengkajian mendalam mengenai
kesiapan peningkatan manajemen kesehatan, dengan kategori perilaku dan
subkategori penyuluhan dan pembelajaran. Pengkajian disesuaikan dengan tanda
mayor kesiapan peningkatan manajemen kesehatan yaitu dari data subjektifnya
pasien mengekspresikan keinginannya untuk mengelola masalah kesehatan dan
pencegahannya dan data objektifnya pilihan hidup sehari-hari tepat untuk memenuhi
tujuan program kesehatan.
a. Anamnesis
Data yang dikumpulkan saat pengkajian meliputi nama, umur, dan jenis
kelamin. Hal ini perlu dilakukan pada pasien asma karena sangat berkaitan.
Status atopik sangat mungkin terjadi pada serangan asma di usia dini karena
dapat memberikan implikasi, sedangkan faktor non-atopik menyerang pada usia
dewasa. Lingkungan klien akan tergambarkan berdasarkan kondisi tempat
tinggal menggambarkan kondisi lingkungan klien berada. Melalui tempat
tinggal tersebut, maka dapat diketahui faktor-faktor yang memungkinkan
menjadi pencetus serangan asma. Selain itu status perkawinan dan gangguan
emosional yang dapat muncul di keluarga atau lingkungan juga merupakan
faktor pencetus serangan asma. Perkerjaan serta suku bangsa juga perlu dikaji
untuk mengetahui adanya pemaparan bahan alergen. Hal lain yang perlu dikaji
dari identitas klien ini adalah tanggal masuk rumah sakit (MRS), nomor rekam
medis, asuransi kesehatan, dan diagnosis medis. Keluhan utama meliputi sesak
napas, bernapas terasa berat pada dada, dan adanya keluhan sulit untuk
bernapas.
b. Riwayat penyakit saat ini
Klien dengan serangan asma datang mencari pertolongan terutama dengan
keluhan sesak napas yang hebat dan mendadak, kemudian diikuti dengan gejala-
gejala lain seperti wheezing, penggunaan otot bantu napas, kelelahan, gangguan
kesadaran, sianosis, dan perubahan tekanan darah. Serangan asma mendadak

15
secara klinis dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama ditandai
dengan batuk-batuk berkala dan kering. Batuk ini terjadi karena iritasi mukosa
yang kental dan mengumpul. Pada stadium ini terjadi edema dan pembengkakan
bronkhus. Stadium kedua ditandai dengan batuk disertai mukus yang jernh dan
berbusa. Klien merasa sesak napas, berusaha untuk bernapas dalam, ekspirasi
memanjang diikuti bunyi mengi (wheezing). Pada stadium ini posisi yang
nyaman dan disukai klien adalah duduk dengan tangan diletakkan pada pinggir
tempat tidur, tampak pucat, tampak gelisah serta warna kulit mulai membiru.
Stadium ketiga ditandai dengan suara napas hampir tidak terdengar ini
dikarenakan aliran udara kecil, batuk (-), pernapasan tidak teratur dan dangkal,
asfiksia yang mengakibatkan irama pernapasan meningkat. Obat-obatan yang
biasa dimiut harus dikaji oleh perawat serta memeriksa kembali apakah obat
masih relevan untuk digunakan kembali.
c. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu seperti adanya infeksi
saluran napas atas, sakit tenggorokan, amandel, sinusitis, dan polip hidung.
Riwayat serangan asma, frekuensi, waktu, dan alergen-alergen dicurigai sebagai
pencetus serangan, serta riwayat pengobatan yang dilakukan untuk
meringankan gejala asma.
d. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit asma memiliki hipersensitivitas yang lebih ditentukan oleh faktor
genetik dan lingkungan, sehingga perlu dikaji tentang riwayat penyakit asma
dan alergi pada anggota keluarga.
e. Pengkajian psiko-sosio-kultural
Salah satu pencetus asma yaitu gangguan emosional yang didapat dari
lingkungan pasien mulai dari tempat kerja, tetangga, dan keluarga. Koping tidak
efektif dan ansietas yang berlebih juga akan mudah ditemui dan agak
berdampak pada perubahan mekanisme peran dalam keluarga, status ekonomi,
dan asuransi kesehatan penderita. Berada dalam keadaan yatim piatu,
mengalami ketidakhormatan hubungan dengan orang lain, sampai mengalami
ketakutan tidak dapat menjalankan peranan seperti semula juga akan
mempengaruhi emosional serta psikis penderita.
f. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat

16
Gaya hidup sangat berperan mengakibatkan serangan asma, sehingga klien
dengan asma harus mengubah gaya hidupnya sesuai keadaan untuk menghindari
terserang asma. Selain itu gejala asma dapat membatasi manusia untuk
berperilaku hidup normal.
g. Pola hubungan dan peran
Klien perlu menyesuaikan kondisinya dengan hubungan dan peran klien, baik di
lingkungn rumah tangga, masyarakat, maupun lingkungan kerja serta perubahan
peran yang terjadi setelah klien mengalami serangan asma.
h. Pola persepsi dan konsep diri
Terhambatnya respons kooperatif pasien juga dapat dipengaruhi
oleh persepsinya. Cara memandang diri yang salah juga akan menjadi stresor
dalam kehidupan klien. Kemungkinan terserang asma pun akan semakin
meningkat seiring dengan bertambahnya stress dalam kehidupan.
i. Pola penanggulangan stres
Salah satu faktor intrinsik serangan asma ialah stres dan keteganggangan
emosional, sehingga pengkajian terhadap stres sangat diperlukan meliputi
penyebab, frekuensi dan pengaruh stress terhadap kehidupan klien serta cara
klien mengatasinya.
j. Pola sensori dan kognitif
Kelainan pada pola persepsi dan kognitif akan mempengaruhi konsep diri klien
dan akhirnya mempengaruhi jumlah stressor yang dialami klien sehingga
kemungkinan terjadi serangan asma berulang pun akn semakin tinggi
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Kedekatan klien pada sesuatu yang diyakini di dunia dipecaya dapat
meningkatkan kekuatan jiwa klien. Mendekatkan diri dan keyakinan kepada-
Nya merupakan metode stres yang konstruktif.
l. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum: hal yan perlu dikaji perawat mengenai tentang kesadaran
klien, kecemasan, kegelisahan, kelemahan suara bicara, denyut nadi,
frekuensi pernapasan yang meningkat, penggunaan otot- otot bantu
pernapasan, sianosis, batuk dengan lendir lengket, dan posisi istirahat klien.
2) B1 (Breathing)
- Inpeksi: pada klien asma terlihat adanya peningkatan usaha dan
frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu napas. Inpeksi dada

17
terutama melihat postur bentuk dan kesimetrisan, peningkatan
diameter anteroposterior, retraksi otot-otot interkostalis, sifat dan
irama pernapasan dan frekuensi.
- Palpasi: biasanya kesimetrisan, ekspansi, dan taktil fremitus normal
- Perkusi: pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor
sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah.
- Auskultasi: terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan
ekspirasi lebih dari 4 detik atau lebih dari tiga kali inspirasi, dengan
bunyi napas tambahan utama wheeezing pada akhir ekspirasi.
3) B2 (blood)
Dampak asma pada status kardiovaskuler perlu dimonitor oleh perawat
meliputi: keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah, dan CRT.
4) B3 (Brain)
Tingkat kesadaran saat infeksi perlu dikaji. Disamping itu diperlukan
pemeriksaan GCS, untuk menentukan tingkat kesadaran klien apakah
composmentis, somnolen, atau koma.
5) B4 (Bladder)
Berkaitan dengan intake cairan maka perhitungan dan pengukuran volume
output urine perlu dilakukan, sehingga perawat memonitor apakah terdapat
oliguria, karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok.
6) B5 (Bowel)
Nyeri, turgor, dan tanda-tanda infeksi sebaiknya juga dikaji, hal-hal tersebut
dapat merangsang serangan asma. Pengkajian tentang status nutrisi klien
meliputi jumlah, frekuensi, dan kesulitan- kesulitan dalam memnuhi
kebutuhannya. Pada klien dengan sesak napas, sangat potensial terjadi
kekurangan pemenuhan kebutuhan nutrisi, hal ini karena terjadi dipneu saat
makan, laju metabolisme, serta kecemasan yang dialami klien.
7) B6 (Bone)
Mengkaji edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada
ekstremitas. Pada integumen perlu dikaji adanya permukaan yang kasar,
kering, kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembaban, mengelupas atau
bersisik, perdarahan, pruritus, eksim, dan adanya bekas atau tanda urtikraria
atau dermatitis. Pada rambut, dikaji warna rambut, kelembaban, dan kusam.
Tidur, dan istirahat klien yang meliputi: berapa lama klien tidur dan

18
istirahat, serta berapa besar akibat kelelahan yang dialami klien juga dikaji,
adanya wheezing, sesak, dan ortopnea dapat mempengaruhi pola tidur dan
istirahat klien. Aktivitas sehari-hari klien juga diperhatikan seperti olahraga,
bekerja, dan aktivitas lainnya. Aktivitas fisik juga dapat menjadi faktor
pencetus asma yang disebut dengan exercise induced asma.
2. Diagnosa keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d hipersekresi sputum
b. Pola nafas tidak efektif b.d adanya wheezing
c. Gangguan pertukaran gas b.d terjadinya gangguan ventilasi
d. Intoleransi aktifitas b.d kelemahan fisik

3. Intervensi keperawatan
Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
Kode : D0149 Bersihan jalan Latihan batuk
Bersihan jalan nafas : L.01001 efektif : I.01006
nafas tidak Setelah dilakukan Observasi : Observasi :
efektif tindakan 1. Identifikasi 1. Untuk mengkaji
berhubungan keperawatan kemampuan kemampuan
dengan diharapkan batuk pasien
hipersekresi bersihan jalan mengeluarkan
sputum nafas pasien sputum
menjadi efektif 2. Monitor 2. Sputum sulit
dengan kriteria adanya retensi untuk
hasil: sputum dikeluarkan pada
- Produksi beberapa pasien
sputum 5 Terapeutik : Terapeutik :
(menurun) 1. Atur posisi 1. Memaksimalkan
- Mengi 5 semi fowler ekspansi paru
(menurun) atau fowler
- Wheezing 5 2. Pasangperlak 2. Agar sputum
(menurun) dan bengkok yang akan
- Frekuensi dipangkaun dikeluarkan
nafas 5 pasien tidak berserakan
(membaik) 3. Sekret dapat
- Pola nafas 5 3. Buang sekret menularkan
(membaik) pada tempat penyakit jika
sputum dibuang pada
tempat terbuka
Edukasi : Edukasi :
1. Jelaskan tujuan 1. Agar pasien
dan posedur mengetahu cara
batuk efektif batuk efektif
2. Anjurkan tarik 2. Untuk

19
nafas dalam memaksimalkan
melalui hidung pemasukan O2
selama 4 detik, dan pengeluaran
ditahan selama CO2 serta agar
2 detik, mengatur nafas
kemudian saat ekshalasi
keluarkan dari
mulut dengan
bibir mecucu
(dibulatkan)
selama 8 detik 3. Membantu
3. Anjurkan dalam
mengulang meningkatkan
tarik nafas kenyamanan
dalam hingga 3 serta
kali memaksimalkan
pengeluaran
sekret
4. Anjurkan batuk 4. Memaksimalkan
dengan kuat pengeluaran
langsung sekret
setelah tarik
nafas dalam
yang ke 3
Kolaborasi : Kolaborasi :
1. Kolaborasi 1. Untuk
pemberian menurunkan
mukolitik atau kekentalan
ekspektoran, sekret
jika perlu

Kode : Pola nafas : Pemantauan


D.0005 L.01004 respirasi :
Pola nafas Setelah dilakukan I.01014
tidak efektif tindakan Observasi : Observasi :
berhubungan keperawatan 1. Monitor 1. Sebagai
dengan diharapkan pola frekuensi, evaluasi derajat
wheezing nafas lebih baik irama, distress
dengan kriteria kedalaman dan pernafasan dan
hasil: upaya nafas kronisnya
- Dispnea proses penyakit
menurun (5)
- Penggunaan 2. Monitor pola 2. Mengetahui
otot bantu nafas (seperti keadaan
nafas bradipnea, pernafasan
menurun (5) takipnea, pasien
- Frekuensi hiperventilasi,
nafas kusmaul,
membaik (5) cheyne-stokes,
- Kedalaman biot, ataksik)

20
nafas 3. Monitor 3. Mengkaji
membaik (5) kemampuan kemampuan
batuk efektif pasien dalam
batuk efektif
4. Monitor adanya 4. Karakteristik
produksi sputum dapat
sputum berubah sesuai
penyebab atau
etiologi
pernyakitnya
5. Auskultasi 5. Suara nafas
bunyi nafas abnormal
menggambarka
n adanya
sputum dalam
jalan nafas
6. Monitor 6. Mengetahui
saturasi oksigen kadar oksigen
dalam tubuh
pasien dalam
jumlah
pemberian
terapi oksigen
Terapeutik :
1. Pemantauan
sangat perlu
dilakukan

Edukasi :
1. Merupakan hak
Terapeutik : pasien
1. Atur interval mengetahui
pemantauan kondisinya saat
respirasi sesuai sakit
kondisi pasien 2. Pasien berhak
Edukasi : mengetahui
1. Jelaskan tujuan perkembangan
dan prosedur tentang
pemantauan penyakitnya

2. Informasikan
hasil
pemantauan,
jika perlu

Kode : Pertukaran gas : Pemantauan


D.0003 L.01003 respirasi :
Gangguan Setelah dilakukan I.01014
pertukaran gas tindakan Observasi : Observasi :

21
b.d terjadinya keperawatan 1. Monitor 1. Sebagai
gangguan diharapkan frekuensi, irama, evaluasi
ventilasi petukaran gas kedalaman dan derajat distress
lebih baik dengan upaya nafas pernafasan dan
kriteria hasil: kronisnya
- Dispnea proses
menurun (5) penyakit
- Bunyi nafas 2. Monitor pola 2. Mengetahui
tambahan nafas (seperti keadaan
menurun (5) bradipnea, pernafasan
- Nafas cuping takipnea, pasien
hidung hiperventilasi,
menurun (5) kusmaul,
cheyne-
stokes, biot,
ataksik)
3. Monitor 3. Mengkaji
kemampuan kemampuan
batuk efektif pasien dalam
4. Monitor batuk efektif
adanya 4. Karakteristik
produksi sputum dapat
sputum berubah sesuai
penyebab atau
etiologi
pernyakitnya
5. Suara nafas
5. Auskultasi abnormal
bunyi nafas menggambark
an adanya
sputum dalam
jalan nafas
6. Mengetahui
6. Monitor kadar oksigen
saturasi dalam tubuh
oksigen pasien dalam
jumlah
pemberian
terapi oksigen
Terapeutik :
Terapeutik : 1. Pemantauan
1. Atur interval sangat perlu
pemantauan dilakukan
respirasi
sesuai kondisi
pasien Edukasi :
Edukasi : 1. Merupakan hak
1. Jelaskan pasien mengetahui
tujuan dan kondisinya saat
prosedur sakit

22
pemantauan 2. Pasien
2. Informasikan berhak
hasil mengetahui
pemantauan, perkembangan
jika perlu tentang
penyakitnya
Kode : Toleransi Manajemen
D.0056 aktivitas : energi : I. 05178
Intoleransi L.05047 Observasi : Observasi :
aktifitas b.d Setelah dilakukan 1. Identifikasi 1. Mengetahui
kelemahan tindakan gangguan penyebab
fisik keperawatan fungsi tubuh kelelahan
diharapkan yang
aktivitas mengakibatka
meningkat dengan n kelelahan
kriteria hasil: 2. Monitor 2. Mengobservasi
- Frekuensi nadi kelelahan fisik kelelahan yang
meningkat (5) terjadi
- Saturasi Terapeutik : Terapeutik :
oksigen 1. lakukan 1. Melatih
meningkat (5) latihan anggota gerak
- Keluhan lelah rentang gerak
menurun (5) pasif
- Dispnea saat dan/aktif
aktivitas Edukasi : Edukasi :
menurun (5) 1. Anjurkan 1. Mencegah
- Dispnea setelah tirah baring terjadinya
aktivitas kelelahan
menurun (5) berlebih
2. Anjurkan 2. Aktivitas secara
melakukan bertahap agar
aktivitas pasien dapat
secara rerlatih
bertahap
Kolaborasi ; Kolaborasi ;
1. Kolaborasi 1. Agar nutrisi
dengan ahli pasien
gizi tentang terpenuhi dan
cara dapat
meningkatkan menambah
asupan energi bagi
makanan pasien

23
DAFTAR PUSTAKA

Almazini, P. 2012. Bronchial Thermoplasty Pilihan Terapi Baru untuk Asma Berat.
Jakrta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Kozier , Barbara. 2011. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses & Praktik.
Jakarta : EGC

Padila.2013. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika

Saheb, A. 2011. Penyakit Asma. Bandung: CV Medika

Wahid & suprapto. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Asuhan Keperawatan


Pada Gangguan Sistem Respirasi. Jakarta. CVTrans Info Medika

24

Anda mungkin juga menyukai