Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA KELUARGA BINAAN DENGAN ASMA BRONKIAL


DI DESA PURWOREJO RT.05 RW.06 KABUPATEN BLITAR

Oleh :
Wahyu Siska Lisiami (19.07.3.021.1)

PROGRAM STUDI NERS


STIKes GANESHA HUSADA KEDIRI
TAHUN AJARAN 2019/2020
BAB I
TINJAUAN TEORI

1.1 Laporan Pendahuluan


1.1.1 Definisi Asma
Asma adalah gangguan pada saluran bronkhial dengan ciri
bronkospasme periodic (kontraksi spasme pada spasme saluran pernafasan).
Bronkus mengalami inflamsi atau peradangan dan hiperresponsif sehingga
saluran nafas menyempit dan menimbulkan kesulitan dalam bernafas. Asma
adalah penyakit obtruksi saluran pernafasan yang bersifat reversible dan
berbeda dari obstruksi saluran pernafasan lain seperti pada penyakit
bronchitis yang bersifat irreversible dan berkelanjutan (Saktya, 2018).
Asma adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami
penyempitan karena hiperaktivitas pada rangsangan tertentu, yang
mengakibatkan peradangan, penyempitan ini bersifat sementara (Wahid &
Suprapto, 2013).
Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermitten, bersifat
reversibel dimana trakea dan bronchi berespon secara hiperaktif terhadap
stimuli tertentu serta mengalami peradangan atau inflamasi (Padila, 2013).
Asma merupakan gangguan radang kronik saluran napas. Saluran
napas yang mengalami radang kronik bersifat hiperresponsif sehingga
apabila terangsang oleh factor risiko tertentu, jalan napas menjadi tersumbat
dan aliran udara terhambat karena konstriksi bronkus, sumbatan mukus,
dan meningkatnya proses radang (Almazini, 2012).
Asma Bronkhial adalah suatu keadaan dimana saluran napas
mengalami penyempitan yang dikarenakan oleh hiperaktivitas terhadap
rangsangan tertentu yang menyebabkan peradangan dan peyempitan yang
bersifat sementara. Asma merupakan penyakit paru yang tidak menular,
dengan gejala berupa serangan sesak, dan bunyi nafas terdengar mengi dan
batuk berulang. Serangan dapat berlangsung hanya selama beberapa menit,
jam, hari, atau sampai beberapa minggu. Asma bronkhial adalah salah satu
penyakit kronik dengan pasien terbanyak di dunia (Junaidi, 2010).
1.1.2 Etiologi Asma
Sampai saat ini etiologi dari Asma Bronkhial belum diketahui. Suatu
hal yang yang menonjol pada penderitaAsma adalah fenomena
hiperaktivitas bronkus. Bronkus penderita asma sangat peka terhadap
rangsangan imunologi maupun non imunologi.
Adapun rangsangan atau factor pencetus yang sering menimbulkan
Asma menurut Smeltzer & Bare (2012) adalah:.
1. Faktor ekstrinsik (alergik)
Reaksi alergik yang disebabkan oleh allergen atau alergen yang
dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang.
2. Faktorintrinsik (non-alergik)
Tidak berhubungan dengan alergen, seperti common cold, infeksi
traktusres piratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan dapat
mencetuskan serangan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.
Sedangkan Lewis et al. (2011) tidak membagi pencetus asma secara
spesifik. Menurut mereka, secara umum pemicu asma adalah:
1. Faktor predisposisi
Genetik
Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita
penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit Asma Bronkhialjika terpapar dengan faktor pencetus.
Selain itu hipersensitivitas saluran pernapasannya juga bisa diturunkan.
2. Faktor presipitasi
a. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
1) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu, bulu
binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
2) Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan (seperti buah
buahan dan anggur yang mengandung sodium metabisulfide) dan
obat-obatan (seperti aspirin, epinefrin, ACE- inhibitor, kromolin).
3) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contoh :
perhiasan, logamdan jam tangan.
b. Olahraga
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Serangan asma
karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai beraktifitas.
Asma dapat diinduksi oleh adanya kegiatan fisik atau latihan yang
disebut sebagai Exercise Induced Asthma (EIA) yang biasanya terjadi 
beberapa saat setelah latihan.misalnya: jogging, aerobik, berjalan
cepat, ataupun naik tangga dan dikarakteristikkan  oleh adanya
bronkospasme, nafas pendek, batuk dan wheezing. Penderita asma
seharusnya melakukan pemanasan selama 2-3 menit sebelum latihan.
c. Infeksi bakteri pada saluran napas
Infeksi bakteri pada saluran napas kecuali sinusitis
mengakibatkan eksaserbasi pada asma. Infeksi ini menyebabkan
perubahan inflamasi pada sistem trakeo bronkial dan mengubah
mekanisme mukosilia. Oleh karena itu terjadi peningkatan
hiperresponsif pada sistem bronkial.
d. Stres
Stres / gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada.
Penderita diberikan motivasi untuk mengatasi masalah pribadinya,
karena jika stresnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bias
diobati.
e. Gangguan pada sinus
Hampir 30% kasus asma disebabkan oleh gangguan pada
sinus, misalnya rhinitis alergik dan polip pada hidung. Kedua
gangguan ini menyebabkan inflamasi membran mukus.
f. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin
sering mempengaruhi Asma. Atmosfir yang mendadak
dingin merupakan factor pemicu terjadinya seranganAsma. Kadang
kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan,
musim kemarau.

1.1.3 Fisiologi Asma


Menurut (Syaifuddin, 2006).
1. Anatomi
a. Organ Pernapasan
1) Hidung
Hidung atau naso atau  nasal merupakan saluran udara 
yang pertama, mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan
oleh sekat hidung (septum nasi). Di dalamnya terdapat bulu-bulu
yang berguna untuk  menyaring udara, debu, dan kotoran yang 
masuk ke dalam lubang hidung.
2) Faring
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara
jalan pernapasan dan jalan makanan, terdapat di bawah dasar
tengkorak, di belakang rongga hidung, dan mulut sebelah depan
ruas tulang leher. Hubungan faring dengan organ-organ lain
adalah ke atas berhubungan dengan rongga hidung, dengan
perantaraan lubang yang bernama koana, ke depan berhubungan
dengan rongga mulut, tempat hubungan ini bernama istmus
fausium, ke bawah terdapat 2 lubang (ke depan lubang laring dan
ke belakang lubang esofagus).
3) Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara
dan bertindak sebagai pembentukan suara, terletak di depan
bagian faring sampai ketinggian vertebra servikal dan masuk ke
dalam trakhea di bawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat
ditutup oleh sebuah empang tenggorokan yang biasanya disebut
epiglotis, yang terdiri dari tulang tulang rawan yang berfungsi
pada  waktu  kita  menelan makanan menutupi laring.
4) Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari
laring yang dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin yang terdiri dari
tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti kuku kuda (huruf C)
sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar
yang disebut sel bersilia, hanya bergerak ke arah luar. Panjang
trakea 9 sampai 11 cm dan di belakang terdiri dari jarigan ikat
yang dilapisi oleh otot polos.
5) Bronkus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari
trakea, ada 2 buah yang terdapat pada ketinggian vertebra
torakalis IV dan V, mempunyai struktur serupa dengan trakea dan
dilapisi oleh jenis set yang sama. Bronkus itu berjalan ke bawah
dan ke samping ke arah tampuk paru-paru.Bronkus kanan lebih
pendek dan lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8
cincin, mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan
lebih ramping dari yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin
mempunyai 2 cabang.Bronkus bercabang-cabang, cabang yang
lebih kecil disebut bronkiolus (bronkioli). Pada bronkioli tidak  
terdapat   cincin   lagi,   dan   pada   ujung   bronkioli   ter apat
gelembung paru atau gelembung hawa atau alveoli.
6) Paru-paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian
besar terdiri dari gelembung (gelembung hawa atau alveoli).
Gelembug alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika
dibentangkan luas permukaannya kurang lebih 90 m². Pada
lapisan ini terjadi pertukaran udara, O2  masuk ke dalam darah
dan CO2  dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru
paru ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan
kanan).
Paru-paru dibagi dua yaitu paru-paru kanan, terdiri dari 3
lobus (belahan paru), lobus pulmo dekstra superior, lobus media,
dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus. Paru-paru
kiri, terdiri dari pulmo sinistra lobus superior dan lobus inferior.
Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang kecil bernama segmen.
Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada
lobus superior, dan 5 buah segmen pada inferior. Paru-paru kanan
mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior,
2 buah segmen pada lobus medialis, dan 3 buah segmen pada
lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi
belahan-belahan yang bernama lobulus.
Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh
jaringan ikat yang berisi pembuluh darah getah bening dan saraf,
dan tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus,
bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, Cabang ini
disebut duktus alveolus. Tiap Duktus Alveolus berakhir pada
alveolus yang diameternya antara 0,2-0,3 mm.
Letak paru-paru di rongga dada datarannya menghadap ke
tengah rongga dada atau kavum mediastinum. Pada bagian tengah
terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan
terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama
pleura. Pleura dibagi menjadi 2 yaitu, yang pertama pleura
visceral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang
langsung membungkus paru-paru. Kedua pleura parietal yaitu
selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar. Antara keadaan
normal, kavum pleura ini vakum (hampa) sehingga paru-paru
dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan
(eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaanya (pleura),
menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada
sewaktu ada gerakan bernapas.
b. Proses terjadi pernapasan
Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari
luar yang mengandung oksigen serta menghembuskan udara yang
banyak mengandung karbondioksida sebagai sisa dari oksidasi keluar
dari tubuh. Penghisapan udara ini disebut inspirasi dan
menghembuskan disebut ekspirasi. Jadi, dalam paru-paru terjadi
pertukaran zat antara oksigen yang ditarik dan udara masuk kedalam
darah dan CO2  dikeluarkan dari darah secara osmosis. Kemudian
CO2  dikeluarkan melalui traktus respiratorius (jalan pernapasan) dan
masuk kedalam tubuh melalui kapiler-kapiler vena pulmonalis
kemudian massuk ke serambi kiri jantung (atrium sinistra) menuju ke
aorta kemudian ke seluruh tubuh (jaringan-jaringan dan sel- sel), di
sini terjadi oksidasi (pembakaran). Sebagai sisa dari pembakaran
adalah CO2 dan dikeluarkan melalui peredaran darah vena masuk ke
jantung (serambi kanan atau atrium dekstra) menuju ke bilik kanan
(ventrikel  dekstra)  dan  dari  sini  keluar  melalui  arteri  pulmonalis 
ke jaringan paru-paru. Akhirnya dikeluarkan menembus lapisan epitel
dari alveoli. Proses pengeluaran CO2 ini adalah sebagian dari sisa
metabolisme, sedangkan sisa dari metabolisme lainnya akan
dikeluarkan melalui traktus urogenitalis dan kulit.
Setelah udara dari luar diproses, di dalam hidung masih terjadi
perjalanan panjang menuju paru-paru (sampai  alveoli). Pada  laring
terdapat epiglotis yang berguna untuk menutup laring sewaktu
menelan, sehingga makanan tidak  masuk ke trakhea, sedangkan
waktu bernapas epiglotis terbuka, begitu seterusnya. Jika makanan
masuk ke dalam laring, maka akan mendapat serangan batuk, hal
tersebut  untuk  mencoba mengeluarkan makanan tersebut dari laring.
Terbagi dalam 2 bagian yaitu inspirasi (menarik napas) dan
ekspirasi (menghembuskan napas). Bernapas berarti melakukan
inpirasi dan eskpirasi secara bergantian, teratur, berirama, dan terus
menerus. Bernapas merupakan gerak refleks yang terjadi pada otot
otot pernapasan. Refleks bernapas ini diatur oleh pusat pernapasan
yang terletak di dalam sumsum penyambung (medulla oblongata).
Oleh karena seseorang dapat menahan, memperlambat, atau
mempercepat napasnya, ini berarti bahwa refleks bernapas juga
dibawah pengaruh korteks serebri. Pusat pernapasan sangat peka
terhadap kelebihan kadar CO2  dalam darah dan kekurangan dalam
darah. Inspirai terjadi bila muskulus diafragma telah mendapat
rangsangan dari nervus frenikus lalu mengerut datar.
Muskulus interkostalis yang letaknya miring, setelah mendapat
rangsangan kemudian mengerut dan tulang iga (kosta) menjadi datar.
Dengan demikian jarak antara sternum (tulang dada) dan vertebra
semakin luas dan melebar. Rongga dada membesar maka pleura akan
tertarik, yang menarik paru-paru sehingga tekanan udara di dalamnya
berkurang dan masuklah udara dari luar.
Ekspirasi, pada suatu saat otot-otot akan kendor lagi
(diafragma akan menjadi cekung, muskulus interkostalis miring lagi)
dan dengan demikian rongga dan dengan demikian rongga dada
menjadi kecil kembali, maka udara didorong keluar. Jadi proses
Respirasi atau pernapasan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan
antara rongga pleura dan paru-paru.
Pernapasan dada, pada waktu seseorang bernapas, rangka dada
terbesar bergerak, pernapasan ini dinamakan pernapasan dada. Ini
terdapat pada rangka dada  yang lunak,  yaitu pada orang-orang muda
dan pada perempuan.
Pernapasan perut, jika pada waktu bernapas diafragma turun
naik, maka ini dinamakan pernapasan perut. Kebanyakan Pada orang
tua, karena tulang rawannya tidak begitu lembek dan bingkas lagi
yang disebabkan oleh banyak zat kapur yang mengendap di dalamnya
dan banyak ditemukan pada laki-laki.
2. Fisiologi
Oksigen dalam tubuh dapat diatur menurut keperluan. Manusia
sangat membutukan okigen dalam hidupnya, kalau tidak mendapatkan
oksigen selama 4 menit akan mengakibatkan kerusakan pada otak yang
tidak dapat diperbaiki lagidan bisa menimbulkan kematian. Kalau
penyediaan oksigen berkurang akan menimbulkan kacau pikiran dan
anoksia serebralis.
a. Pernapaan paru
Pernapasan paru adalah pertukaran oksigen dan
karbondioksida yang terjadi pada paru-paru. Pernapasan melalui
paru-paru atau pernapasan eksterna, oksigen diambil melalui mulut
dan hidung pada waktu bernapas yang oksigen masuk melalui trakea
sampai ke alveoli berhubungan dengan darah dalam kapiler
pulmonar. Alveoli memisahkan okigen dari darah, oksigen
menembus membran, diambil oleh sel darah merah dibawa ke
jantung dan dari jantung dipompakan ke seluruh tubuh. Di dalam
paru-paru karbondioksida merupakan hasil buangan yang menembus
membran alveoli. Dari kapiler darah dikeluarkan melalui pipa
bronkus berakhir sampai pada mulut dan hidung. Empat proses yang
berhubungan dengan pernapasan pulmoner :
1) Ventilasi pulmoner, gerakan pernapasan yang menukar udara
dalam alveoli dengan udara luar.
2) Arus darah melalui paru-paru, darah mengandung oksigen
masuk ke seluruh tubuh, karbondioksida dari seluruh tubuh
masuk ke paru-paru.
3) Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian rupa dengan
jumlah yang tepat, yang bisa dicapai untuk semua bagian.
4) Difusi gas yang menembus membran alveoli dan kapiler
karbondioksida lebih mudah berdifusi dari pada oksigen.
Proses pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi ketika
konsentrasi dalam darah mempengaruhi dan merangsang pusat
pernapasan terdapat dalam otak untuk memperbesar kecepatan dalam
pernapasan, sehingga terjadi pengambilan O2 dan pengeluaran CO2
lebih banyak. Darah merah (hemoglobin) yang banyak
mengandunng oksigen dari seluruh tubuh masuk ke dalam jaringan,
mengambil karbondioksida untuk dibawa ke paru-paru dan di paru-
paru terjadi pernapasan eksterna.
b. Pernapasan sel transpor gas paru-paru dan jaringan
Selisih tekanan parsial antara O2 dan CO2 menekankan
bahwa kunci dari pergerakangas O2 mengalir dari alveoli masuk ke
dalam jaringan melalui darah, sedangkan CO2 mengalir dari jaringan
ke alveoli melalui pembuluh darah.Akan tetapi jumlah kedua gas
yang ditranspor ke jaringan dan dari jaringan secara keseluruhan
tidak cukup bila O2 tidak larut dalam darah dan bergabung dengan
protein membawa O2 (hemoglobin). Demikian juga CO2 yang larut
masuk ke dalam serangkaian reaksi kimia reversibel (rangkaian
perubahan udara) yang mengubah menjadi senyawa lain. Adanya
hemoglobin menaikkan kapasitas pengangkutan O2 dalam darah
sampai 70 kali dan reaksi CO2 menaikkan kadar CO2 dalam darah
mnjadi 17 kali.
c. Pengangkutan oksigen ke jaringan
Sistem pengangkutan O2 dalam tubuh terdiri dari paru-paru
dan sistem kardiovaskuler. Oksigen masuk ke jaringan bergantung
pada jumlahnya yang masuk ke dalam paru-paru, pertukaran gas
yang cukup pada paru-paru, aliran darah ke jaringan dan kapasitas
pengangkutan O2 dalam darah.Aliran darah bergantung pada derajat
konsentrasi dalam jaringan dan curah jantung. Jumlah O2 dalam
darah ditentukan oleh jumlah O2 yang larut, hemoglobin, dan
afinitas (daya tarik) hemoglobin. Transpor oksigen melalui beberapa
tahap yaitu :
1) Tahap I : oksigen atmosfer masuk ke dalam paru-paru. Pada
waktu kita menarik napas tekanan parsial oksigen dalam
atmosfer 159 mmHg. Dalam alveoli komposisi udara berbeda
dengan komposisi udara atmosfer tekanan parsial O2 dalam
alveoli 105 mmHg.
2) Tahap II : darah mengalir dari jantung, menuju ke paru-paru
untuk mengambil oksigen yang berada dalam alveoli. Dalam
darah ini terdapat oksigen dengan tekanan parsial 40 mmHg.
Karena adanya perbedaan tekanan parsial itu apabila tiba pada
pembuluh kapiler yang berhubungan dengan membran alveoli
maka oksigen yang berada dalam alveoli dapat berdifusi masuk
ke dalam pembuluh kapiler. Setelah terjadi proses difusi tekanan
parsial oksigen dalam pembuluh menjadi 100 mmHg.
3) Tahap III : oksigen yang telah berada dalam pembuluh darah
diedarkan keseluruh tubuh. Ada dua mekanisme peredaran
oksigen dalam darah yaitu oksigen yang larut dalam plasma
darah yang merupakan bagian terbesar dan sebagian kecil
oksigen yang terikat pada hemoglobin dalam darah. Derajat
kejenuhan hemoglobin dengan O2 bergantung pada tekanan
parsial CO2 atau pH. Jumlah O2 yang diangkut ke jaringan
bergantung pada jumlah hemoglobin dalam darah.
4) Tahap IV : sebelum sampai pada sel yang membutuhkan,
oksigen dibawa melalui cairan interstisial lebih dahulu. Tekanan
parsial oksigen dalam cairan interstisial 20 mmHg. Perbedaan
tekanan oksigen dalam pembuluh darah arteri (100 mmHg)
dengan tekanan parsial oksigen dalam cairan interstisial (20
mmHg) menyebabkan terjadinya difusi oksigen yang cepat dari
pembuluh kapiler ke dalam cairan interstisial.
5) Tahap V : tekanan parsial oksigen dalam sel kira-kira antara 0-
20 mmHg. Oksigen dari cairan interstisial berdifusi masuk ke
dalam sel. Dalam sel oksigen ini digunakan untuk reaksi
metabolism yaitu reaksi oksidasi senyawa yang berasal dari
makanan (karbohidrat, lemak, dan protein) menghasilkan H2O,
CO2 dan energi. Reaksi hemoglobin dan oksigen
Dinamika reaksi hemoglobin sangat cocok untuk mengangkut
O2.Hemoglobin adalaah protein yang terikat pada rantai
polipeptida, dibentuk porfirin dan satu atom besi ferro. Masing-
masing atom besi dapat mengikat secara reversible (perubahan
arah) dengan satu molekul O2. Besi berada dalam bentuk ferro
sehingga reaksinya adalah oksigenasi bukan oksidasi.
Transpor karbondioksida Kelarutan CO2 dalam darah kira-kira
20 kali kelarutan O2 sehingga terdapat lebih banyak CO2 dari
pada O2 dalam larutan sederhana. CO2 berdifusi dalam sel
darah merah dengan cepat mengalami hidrasi menjadi H2CO2
karena adanya anhydrase (berkurangnya sekresi kerigat)
karbonat berdifusi ke dalam plasma. Penurunan kejenuhan
hemoglobin terhadap O2 bila darah melalui kapiler-kapiler
jaringan.Sebagian dari CO2 dalam sel darah merah beraksi
dengan gugus amino dari protein, hemoglobin membentuk
senyawa karbamino (senyawa karbondioksida). Besarnya
kenaikan kapasitas darah mengangkut CO2 ditunjukkan oleh
selisih antara garis kelarutan CO2 dan garis kadar total CO2 di
antara 49 ml CO2 dalam darah arterial 2,6 ml dalah senyawa
karbamino dan 43,8 ml dalam HCO2.

1.1.4 Patofisiologi Asma


Patofisiologi dari asma yaitu adanya faktor pencetus seperti debu,
asap rokok, bulu binatang, hawa dingin terpapar pada penderita. Benda
benda tersebut setelah terpapar ternyata tidak dikenali oleh sistem di tubuh
penderita sehingga dianggap sebagai benda asing (antigen). Anggapan itu
kemudian memicu dikeluarkannya antibody yang berperan sebagai respon
reaksi hipersensitif seperti neutropil, basophil, dan immunoglobulin E.
masuknya antigen pada tubuh yang memicu reaksi antigen akan
menimbulkan reaksi antigen-antibodi yang membentuk ikatan seperti key
and lock (gembok dan kunci).
Ikatan antigen dan antibody akan merangsang peningkatan
pengeluaran mediator kimiawi seperti histamine, neutrophil chemotactic
show acting, epinefrin, norepinefrin, dan prostagandin. Peningkatan
mediator kimia tersebut akan merangsang peningkatan permiabilitas kapiler,
pembengkakan pada mukosa saluran pernafasan (terutama bronkus).
Pembengkakan yang hampir merata pada semua bagian pada semua bagian
bronkus akan menyebabkan penyempitan bronkus (bronkokontrikis) dan
sesak nafas.
Penyempitan bronkus akan menurunkan jumlah oksigen luar yang
masuk saat inspirasi sehingga menurunkan ogsigen yang dari darah. Kondisi
ini akan berakibat pada penurunan oksigen jaringan sehingga penderita
pucat dan lemah. Pembengkakan mukosa bronkus juga akan meningkatkan
sekres mucus dan meningkatkan pergerakan sillia pada mukosa. Penderita
jadi sering batuk dengan produksi mucus yang cukup banyak (Harwina
Widya Astuti 2010).
Secara umum, allergen menimbulkan reaksi yang hebat pada mukosa
bronkus yang mengakibatkan kontriksi otot polos, hyperemia, serta sekresi
lender putih yang tebal. Mekanisme reaksi ini telah diketahui dengan baik,
tetapi sangat rumit. Penderita yang telah disensitisasi terhadap satu bentuk
allergen yang spesifik, akan membuat antibody terhadap allergen yang
dihirup tersebut. Antibodi yang merupakan imunoglobin jenis IgE ini
kemudian melekat dipermukaan sel mast pada mukosa bronkus. Sel mast
tersebut tidak lain adalah basofil yang kita gunakan pada saat menghitung
leukosit Bila satu molekul IgE terdapat pada permukaan sel mast
menangkap satu permukaan allergen, maka sel mast tersebut akan
memisahkan diri dan melepaskan sejumlah bahan yang menyebabkan
kontriksi bronkus. Salah satu contohnya adalah histamine dan prostaglandin.
Pada permukaan sel mast juga terdapat reseptor beta-2 adrenergik,
sedangkan pada jantung mempunyai reseptor beta-1 (Naga, 2012).
Apabila reseptor beta-2 dirangsang dengan obat antiasma
salbutamol, maka pelepasan histamine akan terhalang. Tidak hanya itu,
aminofilin obat antiasma yang sudah terkenal, juga menghalangi
pembebasan histamine. Pada mukosa bronkus dan dalam darah tepi, terdapat
banyak eosinofil. Adanya eosinofil dalam sputum dapat dengan mudah
terlihat. Pada mulanya fungsi eosinofil di dalam sputum tidak dikenal, tetapi
baru-baru ini diketahui bahwa dalam butir-butir granula eosinofil terdapat
enzim yang dapat menghancurkan histamine dan prostaglandin. Jadi
eosinofil ini memberikan perlindungan terhadap serangan asma (Naga,
2012).
Patofisiologi asma juga dapat dikarakteristikkan dengan penandaaan
konstriksi oleh saluran bronkial dan bronkospasme yang diikuti dengan
edema dari saluran pernafasan dan produksi mukus yang berlebihan.
Bronkospasme yang terjadi dapat disebabkan oleh peningkatan pelepasan
dari mediator inflamasi seperti histamine, prostaglandin, dan bradikinin,
yang pada fase awal lebih menyebabkan bronkokonstriksi daripada
inflamasi. Dapat terjadi beberapa jam setelah onset awal dari gejala dan
bermanifestasi sebagai respon inflamasi. Mediator utama dari inflamasi
selama respon asmatik adalah sel darah merah (eosinofil) yang menstimulasi
degradasi mast cell dan pelepasan substansi yang menyerang sel putih lain
pada area tersebut (Amelia Lorensia, 2013).

1.1.5 Pathway Asma


1.1.6 Faktor Resiko Asma
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor
penjamu (host factor) dan faktor lingkungan (Widjaja dkk, 2009) :
1. Faktor host
a. Genetik.
b. Obesitas.
c. Jenis kelamin.
2. Faktor lingkungan
a. Rangsangan alergen.
b. Rangsangan bahan-bahan di tempat kerja.
c. Infeksi.
d. Merokok.
e. Obat.
f. Penyebab lain atau faktor lainnya.

1.1.7 Manifestasi Klinis Asma


Gejala klinis asma bronkhial yang khas adalah sesak napas yang
berulang dan suara mengi (wheezing). Gejala ini bervariasi pada tiap-tiap
orang berdasarkan tingkat keparahan dan frekuensi. Intermintten yaitu
sering tanpa gejala atau munculnya kurang dari 1 kali dalam seminggu dan
gejala asma bronchial malam berkurang dari 2 kali dalam sebulan. Jika
seperti itu yang terjadi, berarti faal paru masih baik. Terdapat 3 persisten
yaitu :
1. Persisten ringan yaitu gejala asma bronkhial lebih dari 1 kali dalam
seminggu dan serangannya sampai mengganggu aktivitas, termasuk tidur.
Gejala asma malam lebih dari 2 kali dalam sebulan, semua ini membuat
faal paru relatif menurun.
2. Persisten sedang yaitu gejala asma bronchial terjadi setiap hari dan
serangan dapat mengganggu aktivitas sehari-hari, serta terjadinya 1-2 kali
seminggu. Gejala asma malam lebih dari 1 kali dalam seminggu dan
dapat membuat faal paru menurun.
3. Persisten berat yaitu gejala asma bronchial terjadi terus menerus. Gejala
asma pada malam hari dapat terjadi dan hampir setiap malam akibatnya
faal paru sangat menurun (WHO, 2014).
Menurut (Padila, 2013) adapun manifestasi klinis yang dapat ditemui
pada pasien asma diantaranya ialah:
1. Stadium Dini
Faktor hipersekresi yang lebih menonjol
a. Batuk berdahak disertai atau tidak dengan pilek
b. Ronchi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang
timbul
c. Wheezing belum ada
d. Belum ada kelainan bentuk thorak
e. Ada peningkatan eosinofil darah dan IgE
f. BGA belum patologis
Faktor spasme bronchioles dan edema yang lebih dominan:
a. Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum
b. Wheezing
c. Ronchi basah bila terdapat hipersekresi
d. Penurunan tekanan parsial O2
2. Stadium lanjut/kronik
a. Batuk, ronchi
b. Sesak napas berat dan dada seolah-olah tertekan
c. Dahak lengket dan sulit dikeluarkan
d. Suara napas melemah bahkan tak terdengar (silent chest)
e. Thorak seperti barel chest
f. Tampak tarikan otot stenorkleidomastoideus
g. Sianosis
h. BGA Pa O2 kurang dari 80%
i. Terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kiri dan kanan
pada Ro paru
j. Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik
1.1.8 Klasifikasi Asma
Menurut (GINA, Global Strategy for Asthma Management and
Prevention, 2011) klasifikasi asma berdasarkan tingkat keparahannya dibagi
menjadi 4 yaitu:
1. Step 1 (Intermitten)
Gejala perhari ≤ 2X dalam seminggu. Nilai PEF normal dalam kondisi
serangan asma. Exacerbasi: Bisa berjalan ketika bernapas, bisa
mengucapkan kalimat penuh. Respiratory Rate (RR) meningkat.
Biasanya tidak ada gejala retraksi iga ketika bernapas. Gejala malam ≤
2X dalam sebulan. Fungsi paru PEF atau PEV1 Variabel PEF ≥ 80% atau
<20 %. 2).
2. Step 2 (Mild intermitten)
Gejala perhari ≥ 2X dalam seminggu, tapi tidak 1X sehari. Serangan
asma diakibatkan oleh aktivitas. Exaserbasi: Membaik ketika duduk, bisa
mengucapkan kalimat frase, RR meningkat, kadang- kadang
menggunakan retraksi iga ketika bernapas. Gejala malam ≥ 2X dalam
sebulan. Fungsi paru PEF atau PEV1 Variabel PEF ≥ 80% atau 20% –
30%. 3).
3. Step 3 (Moderate persistent)
Gejala perhari bisa setiap hari, Serangan asma diakibatkan oleh aktivitas.
Exaserbasi: Duduk tegak ketika bernapas, hanya dapat mengucapkan kata
per kata, RR 30x/menit, Biasanya menggunakan retraksi iga ketika
bernapas. Gejala malam ≥ 1X dalam seminggu. Fungsi paru PEF atau
PEV1 Variabel PEF 60% - 80% atau > 30%. 4).
4. Step 4 (Severe persistent)
Gejala perhari, Sering dan Aktivitas fisik terbatas. Eksacerbasi:
Abnormal pergerakan thoracoabdominal. Gejala malam Sering. Fungsi
paru PEF atau PEV1 Variabel PEF ≤ 60% atau > 30%.
Menurut Brunner & Suddarth (2012) asma bronkhial dapat
diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor
pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat
obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering
dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap
pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin
atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan
emosi.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergi.

1.1.9 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Sujono riyadi & Sukarmin (2009).
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan untuk melihat adanya:
1) Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dan
kristal eosinopil.
2) Spiral curshman, yakni merupakan castcell (sel cetakan) dari
cabang bronkus.
3) Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
4) Netrofil dan eosinofil yang terdapat pada sputum, umumnya
bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang
terdapat muscus plug.
b. Pemeriksaan darah
1) Analisa Gas Darah pada umumnya normal akan tetapi dapat
terjadi hipoksemia, hipercapnia, atau sianosis.
2) Kadang pada darah terdapat peningkatan SGOT dan LDH.
3) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang diatas 15.000/mm3 yang
menandakan adanya infeksi.
4) Pemeriksaan alergi menunjukkan peningkatan IgE pada waktu
serangan dan menurun pada saat bebas serangan asma.
2. Tes Fungsi Paru
Menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara tepat
diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum atau sesudah
pemberian aerosol bronkodilator (inhaler atau nebulizer), peningkatan
FEV1 atau FCV sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma.
Dalam spirometry akan mendeteksi:
a. Penurunan forced expiratory volume (FEV)
b. Penurunan paek expiratory flow rate (PEFR)
c. Kehilangan forced vital capacity (FVC)
d. Kehilangan inspiratory capacity (IC)
(Wahid & Suprapto, 2013)
3. Pemeriksaan Radiologi
Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflamasi
paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga
intercostalis, serta diagfragma yang menurun. Pada penderita dengan
komplikasi terdapat gambaran sebagai berikut:
a. Bila disertai dengan bronchitis, maka bercak-bercak di hilus akan
bertambah.
b. Bila ada empisema (COPD), gambaran radiolusen semakin
bertambah.
c. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrase paru.
d. Dapat menimbulkan gambaran atelektasis paru.
e. Bila terjadi pneumonia gambarannya adalah radiolusen pada paru.
4. Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergen yang dapat bereaksi
positif pada asma secara spesifik.
5. Elektrokardiografi
a. Terjadi right axis deviation
b. Adanya hipertropo otot jantung Right Bundle Branch Bock
c. Tanda hipoksemia yaitu sinus takikardi, SVES, VES, atau terjadi
depresi segmen ST negative
6. Scanning paru
Melalui inhilasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama
serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
(Wahid & Suprapto, 2013)

1.1.10 Penatalaksanaan
Penatalaksaan asma sangat penting supaya asma yang diderita tidak
bertambah semakin parah. Sebenarnya penatalaksaan asma mempunyai
beberapa tujuan seperti mencegah eksersebasi akut serta meningkatkan dan
mempertahankan faal paru seoptimal mungkin. Mencegah keterbatasan
aliran udara serta kematian akibat asma merupakan antara tujuan lain dari
penatalaksaan asma. Selain itu, pemberian pengobatan jangka masa akut
serta panjang merupakan antara komponen lain dalam penatalaksaan asma.
Medikasi asma yang ditujukan untuk mencegah gejala obstruksi jalan
napas terdiri atas pengontrol dan pelega. Pengontrol (controllers) adalah
medikasi asma jangka panjang yang harus diberikan setiap hari untuk
mencapai keadaan asal yang terkontrol pada asma persisten (GINA, 2014).
Berikut adalah contoh dari obat pengontrol yang lazim digunakan: a)
Kortikosteroid inhalasi dan sistemik b) Sodium kromoglikat c) Leukotrien
modifiers. Manakala pelega (reliever) yang sering dianjurkan adalah
antikolinergik serta aminofilin. Tujuan daripada penggunaan pelega ini
adalah sebenarnya untuk menstimulasi reseptor β2 pada saluran napas.
Maka dari ini semua otot polos pada saluran pernapasan akan berdilatasi.
Akibatnya, keluhan sesak napas penderita akan berkurangan (GINA,
2014).
Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk pasien asma
yaitu:
1. Prinsip umum dalam pengobatan asma
a. Menghilangkan obstruksi jalan napas.
b. Menghindari faktor yang bisa menimbulkan serangan asma.
c. Menjelaskan kepada penderita dan keluarga mengenai penyakit asma
dan pengobatannya.
2. Pengobatan pada asma
a. Pengobatan farmakologi
1) Bronkodilator
Obat yang melebarkan saluran napas. Terbagi menjadi dua
golongan, yaitu:
a) Adrenergik (Adrenalin dan Efedrin), misalnya
terbutalin/bricasama.
b) Santin/teofilin (Aminofilin).
2) Kromalin
Bukan bronkhodilator tetapi obat pencegah seranga asma pada
penderita anak. Kromalin biasanya diberikan bersama obat anti
asma dan efeknya baru terlihat setelah satu bulan.
3) Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma dan diberikan dalam
dosis dua kali 1mg/hari. Keuntungannya adalah obat diberikan
secara oral.
4) Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg jika tidak ada respon
maka segera penderita diberi steroid oral.
b. Pengobatan non farmakologi
1) Memberikan penyuluhan
2) Menghindari faktor pencetus
3) Pemberian cairan
4) Fisioterapi napas (senam asma)
5) Pemberian oksigen jika perlu
(Wahid & Suprapto, 2013)
3. Pengobatan selama status asmathikus
a. Infus D5:RL = 1 : 3 tiap 24 jam
b. Pemberian oksigen nasal kanul 4 L permenit
c. Aminophilin bolus 5mg/ KgBB diberikan pelan-pelan selama 20
menit dilanjutkan drip RL atau D5 mentenence (20 tpm) dengan
dosis 20 mg/kg bb per 24 jam
d. Terbutalin 0.25 mg per 6 jam secara sub kutan
e. Dexametason 10-2- mg per 6 jam secara IV
f. Antibiotik spektrum luas
(Padila, 2013)

1.1.11 Komplikasi Asma


Berbagai komplikasi menurut Mansjoer, dkk (2008) yang mungkin
timbul adalah :
1. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga
pleura yang dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan
ini dapat menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat
menyebabkan kegagalan napas.
2. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga
dikenal sebagai emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana
udara hadir di mediastinum. Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene
Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh trauma fisik atau situasi lain
yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran udara atau usus
ke dalam rongga dada.
3. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru
akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau
akibat pernafasan yang sangat dangkal.
4. Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan
oleh jamur dan tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat.
Penyakit ini juga dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya,
misalnya pada otak dan mata. Istilah Aspergilosis dipakai untuk
menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.
5. Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap
karbodioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi
oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
6. Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan
bagian dalam dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil
(bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain bengkak juga terjadi
peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa perlu
batuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang
berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena sebagian saluran udara
menjadi sempit oleh adanya lendir.
7. Fraktur iga

1.1.12 Pencegahan Asma


Menurut Sundaru & Sukamto (2014), usaha-usaha pencegahan
asma antara lain: menjaga kesehatan, menjaga kebersihan lingkungan,
menghindarkan faktor pencetus serangan asma dan menggunakan obatobat
antiasma. Menghindari alergen pada bayi dianjurkan dalam upaya
menghindari sensitisasi atau pencegahan primer. Beberapa study terakhir
menyatakan jika kontak dengan hewan peliharaan seperti kucing sedini
mungkin tidak dapat menghindari alergi, sebaliknya kontak sedini
mungkin dengan kucing dan anjing mampu mencegah terserang alergi
lebih baik ketimbang menghindari hewan-hewan tersebut.
Berbagai studi menunjukkan bahwa ibu merokok selama kehamilan
akan mempengaruhi perkembangan paru anak, dan bayi dari ibu perokok,
4 kali lebih sering mendapatkan mengi dalam tahun pertama
kehidupannya. Ibu yang merokok selama kehamilan akan dapat berefek
pada sensitisasi alergen, walaupun hanya sedikit yang terbukti. Sehingga
disimpulkan merokok dalam kehamilan berdampak pada perkembangan
paru, meningkatkan frekuensi gangguan mengi pada bayi, tetapi
mempunyai peran kecil pada terjadinya asma alergi di kemudian hari.
Sehingga jelas bahwa pajanan asap rokok lingkungan baik periode prenatal
maupun postnatal (perokok pasif) mempengaruhi timbulnya gangguan atau
penyakit dengan mengi.

1.2 Konsep Asuhan Keperawatan


1.2.1 Pengkajian
Dalam proses pemberian asuhan keperawatan hal yang paling
penting dilakukan pertama oleh seorang perawat adalah melakukan
pengkajian. Pengkajian dibedakan menjadi dua jenis yaitu pengkajian
skrining dan pengkajian mendalam. Kedua pengkajian ini membutuhkan
pengumpulan data dengan tujuan yang berbeda (NANDA, 2015).
Pengkajian pada pasien asma menggunakan pengkajian mendalam
mengenai kesiapan peningkatan manajemen kesehatan, dengan kategori
perilaku dan subkategori penyuluhan dan pembelajaran. Pengkajian
disesuaikan dengan tanda mayor kesiapan peningkatan manajemen
kesehatan yaitu dari data subjektifnya pasien mengekspresikan
keinginannya untuk mengelola masalah kesehatan dan pencegahannya dan
data objektifnya pilihan hidup sehari-hari tepat untuk memenuhi tujuan
program kesehatan.
Menurut (Muttaqin, 2008) pengkajian keperawatan asma dimulai
dari anamnesis, riwayat penyakit, pengkajian psiko-sosial-kultural,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pemeriksaan radiologi.
1. Anamnesis
Data yang dikumpulkan saat pengkajian meliputi nama, umur,
dan jenis kelamin. Hal ini perlu dilakukan pada pasien asma karena
sangat berkaitan. Status atopik sangat mungkin terjadi pada serangan
asma di usia dini karena dapat memberikan implikasi, sedangkan factor
non-atopik menyerang pada usia dewasa. Lingkungan klien akan
tergambarkan berdasarkan kondisi tempat tinggal menggambarkan
kondisi lingkungan klien berada. Melalui tempat tinggal tersebut, maka
dapat diketahui faktor-faktor yang memungkinkan menjadi pencetus
serangan asma. Selain itu status perkawinan dan gangguan emosional
yang dapat muncul di keluarga atau lingkungan juga merupakan factor
pencetus serangan asma. Perkerjaan serta suku bangsa juga perlu dikaji
untuk mengetahui adanya pemaparan bahan alergen. Hal lain yang perlu
dikaji dari identitas klien ini adalah tanggal masuk rumah sakit (MRS),
nomor rekam medis, asuransi kesehatan, dan diagnosis medis. Keluhan
utama meliputi sesak napas, bernapas terasa berat pada dada, dan
adanya keluhan sulit untuk bernapas.
2. Riwayat penyakit saat ini
Klien dengan serangan asma datang mencari pertolongan
terutama dengan keluhan sesak napas yang hebat dan mendadak,
kemudian diikuti dengan gejala-gejala lain seperti wheezing,
penggunaan otot bantu napas, kelelahan, gangguan kesadaran, sianosis,
dan perubahan tekanan darah. Serangan asma mendadak secara klinis
dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama ditandai dengan
batuk-batuk berkala dan kering. Batuk ini terjadi karena iritasi mukosa
yang kental dan mengumpul. Pada stadium ini terjadi edema dan
pembengkakan bronkhus. Stadium kedua ditandai dengan batuk disertai
mukus yang jernh dan berbusa. Klien merasa sesak napas, berusaha
untuk bernapas dalam, ekspirasi memanjang diikuti bunyi mengi
(wheezing). Pada stadium ini posisi yang nyaman dan disukai klien
adalah duduk dengan tangan diletakkan pada pinggir tempat tidur,
tampak pucat, tampak gelisah serta warna kulit mulai membiru.
Stadium ketiga ditandai dengan suara napas hampir tidak terdengar ini
dikarenakan aliran udara kecil, batuk (-), pernapasan tidak teratur dan
dangkal, asfiksia yang mengakibatkan irama pernapasan meningkat.
Obat-obatan yang biasa dimiut harus dikaji oleh perawat serta
memeriksa kembali apakah obat masih relevan untuk digunakan
kembali.
3. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu seperti
adanya infeksi saluran napas atas, sakit tenggorokan, amandel, sinusitis,
dan polip hidung. Riwayat serangan asma, frekuensi, waktu, dan
alergen-alergen dicurigai sebagai pencetus serangan, serta riwayat
pengobatan yang dilakukan untuk meringankan gejala asma.
4. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit asma memiliki hipersensitivitas yang lebih ditentukan
oleh faktor genetik dan lingkungan, sehingga perlu dikaji tentang
riwayat penyakit asma dan alergi pada anggota keluarga.
5. Pengkajian psiko-sosio-kultural
Salah satu pencetus asma yaitu gangguan emosional yang didapat
dari lingkungan pasien mulai dari tempat kerja, tetangga, dan keluarga..
Koping tidak efektif dan ansietas yang berlebih juga akan mudah
ditemui dan agak berdampak pada perubahan mekanisme peran dalam
keluarga, status ekonomi, dan asuransi kesehatan penderita. Berada
dalam keadaan yatim piatu, mengalami ketidakhormatan hubungan
dengan orang lain, sampai mengalami ketakutan tidak dapat
menjalankan peranan seperti semula juga akan mempengaruhi
emosional serta psikis penderita.
6. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Gaya hidup sangat berperan mengakibatkan serangan asma,
sehingga klien dengan asma harus mengubah gaya hidupnya sesuai
keadaan untuk menghindari terserang asma. Selain itu gejala asma
dapat membatasi manusia untuk berperilaku hidup normal.
7. Pola hubungan dan peran
Klien perlu menyesuaikan kondisinya dengan hubungan dan
peran klien, baik di lingkungn rumah tangga, masyarakat, maupun
lingkungan kerja serta perubahan peran yang terjadi setelah klien
mengalami serangan asma.
8. Pola persepsi dan konsep diri
Terhambatnya respons kooperatif pasien juga dapat dipengaruhi
oleh persepsinya. Cara memandang diri yang salah juga akan menjadi
stresor dalam kehidupan klien. Kemungkinan terserang asma pun akan
semakin meningkat seiring dengan bertambahnya stress dalam
kehidupan.
9. Pola penanggulangan stress
Salah satu faktor intrinsik serangan asma ialah stres dan
keteganggangan emosional, sehingga pengkajian terhadap stres sangat
diperlukan meliputi penyebab, frekuensi dan pengaruh stress terhadap
kehidupan klien serta cara klien mengatasinya.
10. Pola sensori dan kognitif
Kelainan pada pola persepsi dan kognitif akan mempengaruhi
konsep diri klien dan akhirnya mempengaruhi jumlah stressor yang
dialami klien sehingga kemungkinan terjadi serangan asma berulang
pun akan semakin tinggi.
11. Pola tata nilai dan kepercayaan
Kedekatan klien pada sesuatu yang diyakini di dunia dipecaya
dapat meningkatkan kekuatan jiwa klien. Mendekatkan diri dan
keyakinan kepada-Nya merupakan metode stres yang konstruktif.
12. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum: hal yan perlu dikaji perawat mengenai tentang
kesadaran klien, kecemasan, kegelisahan, kelemahan suara bicara,
denyut nadi, frekuensi pernapasan yang meningkat, penggunaan otot-
otot bantu pernapasan, sianosis, batuk dengan lendir lengket, dan posisi
istirahat klien.
a. B1 (Breathing)
Inpeksi: pada klien asma terlihat adanya peningkatan usaha
dan frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu napas.
Inpeksi dada terutama melihat postur bentuk dan kesimetrisan,
peningkatan diameter anteroposterior, retraksi otot-otot interkostalis,
sifat dan irama pernapasan dan frekuensi.
Palpasi: biasanya kesimetrisan, ekspansi, dan taktil fremitus normal
Perkusi: pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor
sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah.
Auskultasi: terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan
ekspirasi lebih dari 4 detik atau lebih dari tiga kali inspirasi, dengan
bunyi napas tambahan utama wheeezing pada akhir ekspirasi.
b. B2 (blood)
Dampak asma pada status kardiovaskuler perlu dimonitor
oleh perawat meliputi: keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan
darah, dan CRT.
c. B3 (Brain)
Tingkat kesadaran saat infeksi perlu dikaji. Disamping itu
diperlukan pemeriksaan GCS, untuk menentukan tingkat kesadaran
klien apakah composmentis, somnolen, atau koma.
d. B4 (Bladder)
Berkaitan dengan intake cairan maka perhitungan dan
pengukuran volume output urine perlu dilakukan, sehingga perawat
memonitor apakah terdapat oliguria, karena hal tersebut merupakan
tanda awal dari syok.
e. B5 (Bowel)
Nyeri, turgor, dan tanda-tanda infeksi sebaiknya juga dikaji,
hal-hal tersebut dapat merangsang serangan asma. Pengkajian
tentang status nutrisi klien meliputi jumlah, frekuensi, dan kesulitan-
kesulitan dalam memnuhi kebutuhannya. Pada klien dengan sesak
napas, sangat potensial terjadi kekurangan pemenuhan kebutuhan
nutrisi, hal ini karena terjadi dipneu saat makan, laju metabolisme,
serta kecemasan yang dialami klien.
f. B6 (Bone)
Mengkaji edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi
pada ekstremitas. Pada integumen perlu dikaji adanya permukaan
yang kasar, kering, kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembaban,
mengelupas atau bersisik, perdarahan, pruritus, eksim, dan adanya
bekas atau tanda urtikraria atau dermatitis. Pada rambut, dikaji warna
rambut, kelembaban, dan kusam. Tidur, dan istirahat klien yang
meliputi: berapa lama klien tidur dan istirahat, serta berapa besar
akibat kelelahan yang dialami klien juga dikaji, adanya wheezing,
sesak, dan ortopnea dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat
klien. Aktivitas sehari-hari klien juga diperhatikan seperti olahraga,
bekerja, dan aktivitas lainnya. Aktivitas fisik juga dapat menjadi
faktor pencetus asma yang disebut dengan exercise induced asma.

1.2.2 Analisa Data


Tipe data menurut Setiadi (2012) adalah sebagai berikut:
1. Data subjektif
Data subjektif adalah deskripsi verbal pasien mengenai masalah
kesehatannya. Data subjektif diperoleh dari riwayat keperawatan
termasuk persepsi pasien, perasaan dan ide tentang status kesehatannya.
Sumber data lain dapat diperoleh dari keluarga, konsultan dan tenaga
kesehatan lainnya.
2. Data objektif
Data objektif adalah hasil observasi atau pengukuran dari status
kesehatan pasien.

1.2.3 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respon klien terhadap masalah kesehatan yang dialami baik secara actual
maupun potensial. Diagnosa keperawatan bertujuan untuk dapat
menguraikan berbagai respon klien baik individu, keluarga dan komunitas
terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (PPNI, 2016).
Diagnosa keperawatan merupakan fase kedua pada proses
keperawatan. Pada fase diagnose, dilakukan penginterpretasi data
pengkajian dan mengidentifikasi masalah kesehatan, risiko, dan kekuatan
pasien serta merumuskan pernyataan diagnosa (Kozier, B., Erb, G., Berman,
A. & Snyder, 2010).
Adapun diagnosa yang diangkat dalam penelitian ini adalah kesiapan
peningkatan manajemen kesehatan termasuk kedalam kategori perilaku
dengan sub kategori penyuluhan dan pembelajaran (PPNI, 2016).

1.2.4 Intervensi Keperawatan


Intervensi keperawatan merupakan suatu perawatan yang dilakukan
perawat berdasarkan penilaian klinis dan pengetahuan perawat untuk
meningkatkan outcome pasien/klien (Bulechek, Butcher, Dochterman, &
Wagner, 2016).
Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penelitian klinis untuk
mencapai luaran (outcome) yang diharapkan (PPNI, 2018).

1.2.5 Implementasi Keperawatan


Pada proses keperawatan, implementasi adalah fase ketika perawat
mengimplementasikan intervensi keperawatan. Berdasarkan terminology
NIC, implementasi terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan tindakan
yang merupakan tindakan keperawatan yang khusus yang diperlukan untuk
melaksanakan intervensi (atau program keperawatan). Perawat
melaksanakan atau mendelegasikan tindakan keperawatan untuk intervensi
yang disusun dalam tahap perencanaan dan kemudian mengakhiri tahap
implementasi dengan mencatat tindakan keperawatan dan respons klien
terhadap tindakan tersebut (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011).

1.2.6 Evaluasi
Evaluasi adalah fase kelima dan fase terakhir proses keperawatan.
Dalam konteks ini, evaluasi adalah aktivitas yang direncanakan,
berkelanjutan, dan terarah ketika klien dan profesional kesehatan
menentukan kemajuan klien menuju pencapaian tujuan/hasil, dan
keefektifan rencana asuhan keperawatan. (Kozier et al., 2011). Tujuan
evaluasi adalah untuk menilai pencapaian tujuan pada rencana keperawatan
yang telah ditetapkan, mengidentifikasi variabel-variabel yang akan
mempengaruhi pencapaian tujuan, dan mengambil keoutusan apakah
rencana keperawatan diteruskan, modifikasi atau dihentikan (Manurung,
2011).
DAFTAR PUSTAKA

Almazini, P. 2012. Bronchial Thermoplasty Pilihan Terapi Baru untuk Asma


Berat. Jakrta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Astuti, Widya Harwina. 2010. Asuhan keperawatan anak dengan gangguan sistem
Pernapasan. Jakarta: TIM

Bulechek, G.M., Butcher H.K., Dotcherman J.M. 2016. Nursing Interventions


Classification (NIC) 6th Indonesian Edition. Elsevier. Singapore

GINA (Global Initiative for Asthma) 2011.; Pocket Guide for Asthma


Management and Prevension. Dimuat dalam www.Ginaasthma.org

GINA (Global Initiative for Asthma) 2016.; Pocket Guide for Asthma


Management and Prevension. Dimuat dalam www.Ginaasthma.org

Junaidi, Iskandar. 2010. Penyakit Paru & Saluran napas. Jakarta: BIP Gramedia

Koizer, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. 2010. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan Konsep, Proses, & Praktik. Jakarta: EGC.

Koizer, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. 2011. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan Konsep, Proses, & Praktik. Jakarta: EGC.

Lewis, et al. 2011. Medical Surgical Nursing Assesment and Management of


Clinical Problems Volume 2. Mosby: ELSEVIER.

Mansjoer, A dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media


Aesculapius

Manurung,Santa.2011. Keperawatan Profesional, Jakarta: Tim

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Naga, Sholeh S. 2012. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Yogyakarta:
DIVA Press.

NANDA International. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi.


Jakarta: EGC.

Padila. 2013. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.


PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: PPNI.

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.

Riyadi, Sujono & Sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi 1,
Yogyakarta : Graha Ilmu.

Setiadi. 2008. Konsep Dan Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Graha


Ilmu.

Smeltzer & Bare. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2). Jakarta : EGC.

Sundaru, H. Sukamto. 2014, Asma Bronkial, In: Sudowo, AW. Setiyohadi, B.


Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S. (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Jilid I, Edisi Keempat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta

Syaifuddin, 2006, Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi 3,


Editor Monica Ester, Jakarta : EGC

Utama, Saktya Yudha Ardi. 2018. Buku ajar keperawatan medikal bedah sistem
respirasi. Yogyakarta: Depublish.

Wahid, Abdul. Suprapto, Imam. 2013. Keperawatan Medikal Bedah : Asuhan


Keperawatan Pada Gangguan Sistem Respirasi. Jakarta: CV. Trans Info
Media.

Widjaja, A. dkk. 2009.Patogenesis Asma. Makalah Ilmiah Respirologi 2003.


Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

World Health Organization (WHO). 2014. Noncommunicable Diseases. [Fact


Sheet]. Diakses 22 Juni 2015

Anda mungkin juga menyukai