Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit asma merupakan gangguan inflamasi kronis dijalan napas


akibat adanya inflamasi atau pembengkakan dinding dalam saluran napas.
Akibatnya saluran napas menyempit, dan jumlah udara yang masuk ke dalam
paru berkurang. Hal ini menyebabkan timbulnya napas berbunyi (wheezing),
batuk-batuk, dada sesak, dan gangguan bernapas (Soedarto, 2012).
Penyakit asma merupakan masalah kesehatan dunia yang terjangkit di
negara maju dan juga di negara berkembang. Menurut data dari WHO
diperkirakan sebanyak 300 juta orang di dunia terkena penyakit asma. Terdapat
sekitar 250.000 kematian yang disebabkan oleh serangan asma setiap tahunnya,
dengan jumlah terbanyak di negara dengan ekonomi rendah sedang. Prevalensi
asma terus mengalami peningkatan terutama di negaranegara berkembang
akibat perubahan gaya hidup dan peningkatan polusi udara (Ditjen Yankes,
2018). Survei Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2018
mencatat 57,5% orang terkena penyakit asma di daerah Jawa Barat
(RISKESDAS, 2018).
Penyakit asma tidak bisa disembuhkan, akan tetapi dengan penanganan
yang tepat asma dapat terkontrol sehingga kualitas hidup penderita dapat
terjaga. Gejala klinis asma yang khas adalah sesak napas yang berulang dan
suara mengi (wheezing) akan tetapi gejala ini bervariasi pada setiap individu,
berdasarkan tingkat keparahan dan frekuensi kekambuhannya (WHO, 2016).
Masalah keperawatan yang lazim muncul pada pasien asma
sepertiketidakefektifan pola nafas, ketidakefektifan bersihan jalan nafas,
penurunan curah jantung, gangguan pertukaran gas, nutrisi kurang dari
kebutuhan dan intoleransi aktifitas. Ketidakefektifan pola nafas dapat
disebabkan oleh peningkatan kerja otot pernafasan (Nurarif dan Kusuma,
2015).
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi perumusan masalah


adalah “Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien asma dengan
ketidakefektifan pola nafas di ruang IGD RSUD Kota Tanjungpinang?
1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum


Memperoleh pengalaman dan mampu melaksanakan asuhan keperawatan
secara komprehensif baik biologi, psikologi, sosial dan spiritual dengan
pendekatan proses keperawatan pada pasien asma di Ruang IGD RSUD Kota
Tanjungpinang.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah penulis dapat
melakukan asuhan keperawatan yang meliputi :
1. Melakukan pengkajian pada pasien asma dengan ketidakefektifan pola
nafas di Ruang Ruang IGD RSUD Kota Tanjungpinang
2. Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien asma dengan
ketidakefektifan pola nafas di Ruang Ruang IGD RSUD Kota
Tanjungpinang
3. Membuat rencana asuhan keperawatan pada pasien asma dengan
ketidakefektifan pola nafas di Ruang Ruang IGD RSUD Kota
Tanjungpinang
4. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan
perencanaan yang telah ditentukan pada pasien asma dengan
ketidakefektifan Pola nafas di Ruang Ruang IGD RSUD Kota
Tanjungpinang
5. Mengevaluasi hasil keperawatan yang telah dilaksanakan pada pasien
asma dengan ketidakefektifan pola nafas di Ruang Ruang IGD RSUD
Kota Tanjungpinang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Asma
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon
trakhea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi
adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat
berubahubah secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan (Muttaqin,
2008).
B. Anatomi Fisiologi

Gambar 1.1 Anatomi Saluran Pernafasan (Anne Waugh dan Allison Grant,
2012)

Menurut Andarmoyo (2012) Anatomi Fisiologi Pernafasan dibagi


atas beberapa bagian, antara lain :
1. Hidung = Naso =Nasal Merupakan saluran udara yang pertama,
mempunyai dua lubang yang disebut kavum nasi dan dipisahkan
oleh sekat hidung yang disebut septum nasi. Didalamnya terdapat
bulu-bulu hidung yang berfungsi untuk menyaring udara, debu dan
kotoran yang masuk didalam lubang hidung. Fungsi hidung, terdiri
dari:
a. Sebagai saluran pernafasan
b. Sebagai penyaring udara yang dialakukan oleh bulu-bulu
hidung
c. Menghangatkan udara pernafasan melalui mukosa
d. Membunuh kuman yang masuk melalui leukosit yang ada
dalam selaput lendir mukosa hidung.
2. Tekak = Faring
Merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan
makanan. Terdapat di bawah dasar tulang tengkorak, dibelakang
rongga hidung dan mulut sebelah dalam ruas tulang leher.
Hubungan faring dengan organ-organ lain; ke atas berhubungan
dengan rongga hidung, ke depan berhubungan dengan rongga
mulut, ke bawah depan berhubungan dengan laring, dan ke bawah
belakang berhubungan dengan esophagus. Rongga tekak dibagi
dalam tiga bagian
a. Bagian sebelah atas sama tingginya dengan koana disebut
nasofaring.
b. Bagian tengah yang sama tingginya dengan itsmus fausium
disebut dengan orofaring
c. Bagian bawah sekali dinamakan laringofarin mengelilingi
mulut, esofagus, dan laring yang merupakan gerbang untuk
system respiratorik selanjutnya
3. Pangkal Tenggorokan (Faring)
Merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan
suara. Laring (kontak suara) menghubungkan faring dengan trakea.
Pada tenggorokan ini ada epiglotis yaitu katup kartilago tiroid. Saat
menelanm epiglotis secara otomatis menutupi mulut laring untuk
mencegah masuknya makanan dan cairan.
4. Batang Tenggorokan (Trakea) Trakea (pipa udara) adalah tuba
dengan panjang 10 cm sampai 12 cm dan diameter 2,5 cm serta
terletak di atas permukaan anterior esofagus yang memisahkan
trakhea menjadi bronkhus kiri dan kanan. Trakea dilapisi epitelium
fespiratorik (kolumnar bertingkat dan bersilia) yang mengandung
banyak sel goblet. Sel-sel bersilia ini berfungsi untuk mengelurkan
benda-benda asing yang masuk bersam-sama dengan udara saat
bernafas.
5. Cabang Tenggorokan (Bronkhus) Merupakan kelanjutan dari
trakhea, yang terdiri dari dua bagian bronkhus kana dan kiri.
Bronkus kanan berukuran lebih pendek, lebih tebal, dan lebih lurus
dibandingkan bronkus primer sehingga memungkinkan objek asing
yang masuk ke dalam trakea akan ditempatkan dalam bronkus
kanan. Sedangkan bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping,
bronkus bercabang lagi menjadi bagianbagian yang lebih kecil lagi
yang disebut bronkhiolus (bronkhioli).
6. Paru-paru Paru-paru merupan sebuah alat tubuh yang sebagian
besar terdiri dari gelembung-gelembung (gelembung hawa =
alveoli). Pembagian paru-paru
a. Paru kanan: terdiri dari 3 lobus, lobus pulmo dekstra
superior, lobus media dan lobus inferior. Masing-masing
lobus ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan kecil
yang disebut segtment. Paru-paru kanan memiliki 10
segment, 5 buah pada lobus superior, 2 buah pada lobus
medialis, dan 3 buah pada lobus inferior.
b. Paru kiri: terdiri atas 2 lobus, lobus pulmo sinistra superior,
dan lobus inferior. Paru-paru kiri memiliki 10 segment, 5
buah pada lobus superior, dan 5 buah pada lobus inferior.
C. Etiologi
Menurut (Wijaya & Putri, 2013) dalam bukunya dijelaskan
klasifikasi asma berdasarkan etiologi adalah sebagai berikut :
1. Asma ekstrinsik/alergi Asma yang disebabkan oleh alergen yang
diketahui sudah terdapat semenjak anak-anak seperti alergi
terhadap protein, serbuk sari bulu halus, binatang, dan debu.
2. Asma instrinsik/idopatik Asma yang tidak ditemukan faktor
pencetus yang jelas, tetapi adanya faktor-faktor non spesifik
seperti : flu, latihan fisik atau emosi sering memicu serangan
asma. Asma ini sering muncul/timbul sesudah usia 40 tahun
setelah menderita infeksi sinus/ cabang trancheobronkial.
3. Asma campuran Asma yang terjadi/timbul karena adanya
komponen ekstrinsik dan intrinsik.
Penderita asma perlu mengetahui dan sedapat mungkin
menghindari rangsangan atau pencetus yang dapat menimbulkan asma.
Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1. Alergen utama, seperti debu rumah, spora jamur, dan tepung sari
rerumputan.
2. Iritan seperti asap, bau-bauan, dan polutan.
3. Infeksi saluran nafas terutama yang disebabkan oleh virus.
4. Perubahan cuaca yang ekstrem.
5. Kegiatan jasmani yang berlebih.
6. Lingkungan kerja.
7. Obat-obatan.
8. Emosi.
9. Lain-lain, seperti refluks gastroesofagus.
D. Patofisiologi
Asma akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang
dikendalikan oleh liimfosit T dan B serta diaktifkan oleh interaksi antara
antigen dengan molekul IgE yang berkaitan dengan sel mast. Sebagian
besar alergen yang mencetuskan asma bersifat airborne dan agar dapat
menginduksi keadaan sensitivitas, alergen tersebut harus tersedia dalam
jumlah banyak untuk periode waktu tertentu. Akan tetapi, sekali
sensitivitasi telah terjadi, klien akan memperlihatkan respons yang sangat
baik, sehingga kecil alergen yang mengganggu sudah dapat menghasilkan
eksaserbasi penyakit yang jelas.
Obat yang paling sering berhubungan dengan induksi episode akut
asma adalah aspirin, bahan pewarna seperti tartazin, antagonis
betaadrenergik, dan bahan sulfat. Sindrom pernafasan sensitif-aspirin
khususnya terjadi pada orang dewasa, walaupun keadaan ini juga dapat
dilihat pada masa kanak-kanak. Masalah ini biasanya berawal dari rhinitis
vasomotor perennial yang diikuti oleh rhinosinusitis hiperplastik dengan
polip nasal. Baru kemudian muncul asma progresif.
Klien yang sensitif terhadap aspirin dapat didesentisasi dengan
pemberian obat setiap hari. Setelah menjalani bentuk terapi ini, toleransi
silang juga akan terbentuk terhadap agen anti-inflamasi non-steroid lain.
Mekanisme yang menyebabkan bronkospasme karenaa penggunaan
aspirin dan obat lain tidak diketahui, tetapi mungkin berkaitan dengan
pembentukan leukotrien yang diinduksi secara khusus oleh aspirin.
Antagonis β-adrenergik biasanya menyebabkan obstruksi jalan
nafas pada klien asma, sama halnya dengan klien lain, dapat menyebabkan
peningkatan reaktivitas jalan nafas dan hal tersebut harus dihindari. Obat
sulfat, seperti kalium metabisulfit, kalium dan natrium bisulfit, natrium
sulfit dan sulfat klorida, yang secara luas digunakan dalam industri
makanan dan farmasi sebagai agen sanitasi serta pengawet dapat
menimbulkan obstruksi jalan nafas akut pada klien yang sensitif. Pajanan
biasnya terjadi setelah menelan makanan atau cairan yang mengandung
senyawa ini, seperti salad, buah seger, kentang, kerang, dan anggur.
Pencetus-pencetus serangan di atas ditambah dengan pencetus
lainnya dari internal klien akan mengakibatkan timbulnya reaksi antigen
dan antibodi. Reaksi antigen-antibodi ini akan mengeluarkan substansi
pereda alergi yang sebetulnya merupakan mekanisme tubuh dalam
menghadapi serangan. Zat yang dikeluarkan dapat berupa histamin,
bradikinin, dan anafilaktosin. Hasil dari reaksi tersebut adalah timbulnya
tiga gejala, yaitu berkontraksinya otot polos, peningkatan permeabilitas
kapiler, dan peningkatan sekret mukus. (Soemantri, 2009).
E. WOC (Web Of Caution)
F. Manifestasi Klinis

Asma bukan merupakan suatu penyakit yang spesifik, namun


merupakan sindrom yang dihasilkan dari mekanisme multipel yang pada
akhirnya menghasilkan gejala klinis.Karakteristik dari sindrom ini adalah
seperti dispnea, suara mengi, obstruksi jalan napas, resisten terhadap
bronkodilator, bronkus hiperesponsif terhadap alergen yang masuk ke
dalam tubuh dan peradangan saluran napas.Gejala asma ditandai dengan
timbulnya batuk, mengi, sesak napas, penggunaan otot tambahan
(Darmanto, 2009).

G. Klasifikasi Asma

Tabel 1 Klasifikasi Derajat Berat Asma 1

No Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru

1. Intermiten Bulanan: ≤2x/ bulan APE


Gejala ≥80%:VEP1
<1x/minggu, tanpa ≥80% nilai
gejala diluar prediksi,
serangan, serangan APE ≥80%
singkat nilai terbaik,
variabilitas
APE <20%
2. Persisten Mingguan: >2x/ bulan APE ≥80%:
Ringan Gejala VEP1 ≥80%
>1x/minggu, tetapi nilai
<1x/hari, serangan prediksi,
dapat mengganggu APE ≥80%
aktivitas dan tidur, nilai terbaik,
membutuhkan variabilitas
bronkodilator APE 20-
setiap hari 30%
3. Persisten Harian: >1x/ minggu APE 60-
Sedang Gejala setiap hari, 80%:
serangan VEP1 60-
mengganggu 80% nilai
aktivitas dan tidur, prediksi,
membutuhkan APE 60-
bronkodilator 80% nilai
setiap hari terbaik,
variabilitas
APE >30%
4. Persisten Berat Kontinyu: sering APE
Gejala terus ≤60%:VEP1
menerus, sering ≤60% nilai
kambuh, aktivitas prediksi,
terbatas APE ≤60%
nilai terbaik,
variabilitas
APE >30%
Sumber: Setiawan (2018)

H. Penatalaksanaan Asma

Menurut Kemenkes, (2008) pada prinsipnya penatalaksanaan asma


dibagi menjadi penatalaksanaan saat serangan asma dan penatalaksanaan
asma jangka panjang.
a. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma
yang harus diketahui oleh pasien. Penatalaksanaan asma
sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah dan apabila tidak
ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat
serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat
serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya
pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya diberikan pengobatan
yang tepat dan cepat. Pada serangan asma obat-obat yang
digunakan adalah :
1. Bronkodilator (ß2 agonis kerja cepat dan ipratropium
bromida)
2. Kortikosteroid sistemik
b. Penatalaksanaan asma jangka panjang
Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk
mengontrol asma dan mencegah serangan. Pengobatan asma
jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma.
Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi : Edukasi, obat
asma (pengontrol dan pelega); dan menjaga kebugaran.
1. Edukasi yang diberikan mencakup :
a) Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan
b)Mengenali gejala serangan asma secara dini
c) Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara
dan waktu penggunaannya
d) Mengenali dan menghindari faktor pencetus
e) Kontrol teratur
2. Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol.
Obat pelega diberikan pada saat serangan asma,
sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan
serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan
terus menerus. Untuk mengontrol asma digunakan anti
inflamasi (kortikosteroid inhalasi). Pada anak, kontrol
lingkungan mutlak dilakukan sebelum diberikan
kortikosteroid dan dosis diturunkan apabila dua sampai
tiga bulan kondisi telah terkontrol. Obat asma yang
digunakan sebagai pengontrol antara lain :
a) Inhalasi kortikosteroid
b) B2 agonis kerja panjang
c) Antileukotrien
d) Teofilin lepas lambat
I. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan penunjang pada pasien asma dapat dilakukan


berdasarkan manifestasi klinis yang terlihat, riwayat, pemeriksaan fisik,
dan tes laboratorium (Riyadi & Sukarmin, 2009). Adapun pemeriksaan
penunjang yang dilakukan adalah:
1) Tes Fungsi Paru
Menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara tepat
diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum atau
sesudah pemberian aerosol bronkodilator (inhaler atau nebulizer),
peningkatan FEV1 atau FCV sebanyak lebih dari 20%
menunjukkan diagnosis asma. Dalam spirometry akan mendeteksi:
a) Penurunan forced expiratory volume (FEV)
b) Penurunan paek expiratory flow rate (PEFR)
c) Kehilangan forced vital capacity (FVC)
d) Kehilangan inspiratory capacity (IC) (Wahid & Suprapto, 2013).
2) Pemeriksaan Radiologi
Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflamasi
paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga
intercostalis, serta diagfragma yang menurun. Pada penderita dengan
komplikasi terdapat gambaran sebagai berikut:
a) Bila disertai dengan bronchitis, maka bercak-bercak di hilus
akan bertambah
b) Bila ada empisema (COPD), gambaran radiolusen semakin
bertambah
c) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrase
paru.
d) Dapat menimbulkan gambaran atelektasis paru
e) Bila terjadi pneumonia gambarannya adalah radiolusen pada
paru.
3) Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergen yang dapat bereaksi
positif pada asma secara spesifik.
4) Elektrokardiografia)
Terjadi right axis deviationb) Adanya hipertropo otot jantung
Right Bundle Branch Bockc) Tanda hipoksemia yaitu sinus
takikardi, SVES, VES, atau terjadi depresi segmen ST negative.
5) Scanning paru
Melalui inhilasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma
tidak menyeluruh pada paru-paru (Wahid & Suprapto,2013) KONSEP
TEORITIS ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN

A. Primary survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendekteksian dan
manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang
mengancam kehidupan. Tujuan dari primary survey adalah untuk
mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera maslah yang mengancam
kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survet antara lain:
a. Airway maintenance dengan cervical spine protection
b. Breathing dan oxygenation
c. Circulation dan control perdarahan eksternal
d. Disability-pemeriksaan neurologis singkat
e. Exposure dengan control ligkungan
B. Pengkajian Airway
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain:
a. Kaji kepatenan jaan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas
b. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pasien antara lain:
a) Adanya snoring atau gugling
b) Stridor atau suara nafas tidak normal
c) Agitasi (hipoksia)
d) Penggunaan otot bantu pernafasan/paradoxical chest movments
e) Sianosis
c. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran nafas bagian atas
potensial penyebab obstruksi:
a) Muntahan
b) Perdarahan
c) Gigi leas atau hilang
d) Gigi palsu
e) Trauma wajah
d. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien
terbuka
e. Lindungi tulag belakang dari gerakan yang tidak perlu paa pasien
yang beresiko untuk mengalami cedera tulang belakang
f. Gunakan berbagai alat bantu utuk mempatenkan jalan nafas pasien
esuai ndikasi :
a) Chin lift/jaw thrust
b) Lakukan suction (jika tersedia)
c) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, laryngeal mask
airway
d) Lakukan itubasi
C. Pengkajian breathing ( pernafasan)
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara
lain:
a. Look, listen dan feel: lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien
a) Inspeksi dari tingkat pernafasan sangat pemting. Apakah tanda-
tanda sebagai berikut: cyanosis, penetrating injury, flail chest,
sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan
b) Palpasi untuk adanya: pergeseran rakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosus
haemothorax dan pneumothoraks.
c) Auskultasi untuk adanya: suara abnormal pada dada
b. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika
perlu
c. Tentukan laju, dan tingkat kedalaman nafas pasien, kaji lebih lanjut
mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien
d. Enilaian kembali status mental pasien
e. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
f. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekat dan oksiggeasi
a) Pemberian terapi oksigen
b) Bag-valve masker
c) Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan
yang benar), jika diindikasikan
d) Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
g. Kaji adanya masalah pernafasam yang mengancam jiwa lainnya dan
berikan terapi sesuai kebutuhan
D. pengkajian circulation
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulsi pasien,
antara lain:
a) Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan
b) CPR harus terus dilakukan sampai defibrasi siap untuk
digunakan
c) Control perdarahan yang dapat mengacam kehidupan dengan
pemberian penekanan secara langsung
d) Palpasi nadi radial jika diperlukan
e) Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau
hipoksia (capillary reffil)
E. Pengakajian level of consciousness dan disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU
a) A- alert, yaitu merespom suara dengan tepat, misalnya
mematuhi perintah yang diberikan
b) V-vocalises, mugkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara
yang tidak bisa dimengerti
c) P-responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai
jika ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal
untuk merepon)
d) U- unresponsive to pain, jika pasien tidak merepson baik
stimulus nyeri
F. Pengakajian expose, examine dan evaluate
Dalam situasi yang diduga telah terji mekanisme trauma yang menganca
jiwa, maka rapid trauma assessment harus segera dilakuka:
a) Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada
pasien
b) Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat menganam
nyawa pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada
pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis.

B. secondary assessment

Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara legkap yang dilakukan


secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya
dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, ddalam artian tidak mengalami syok
atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.

1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien
yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien
meliputi keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat
medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing
Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus
diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia,
dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan
anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat
kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan
memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa
contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk
pengaman: cedera wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks,
abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial,
fraktur servikal atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan
Co

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A: Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)

M: Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang


menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat

P: Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang


pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan
herbal)

L: Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk
dalam komponen ini)

E: Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang


menyebabkan adanya keluhan utama)

2. Pemeriksaan fisik

a. Kulit kepala Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada


penderita yang datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di
lantai yang berasal dari bagian belakang kepala penderita. Lakukan
inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya
pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam,
perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp & Manning,
2004).
b. Wajah
a) Mata : periksa komea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah
isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah
pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus,
ketajaman mata (macies visus dan acies campus), apakah
konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-
gatal, ptosis, subconjunctival perdarahan, serta diplopia
exophthalmos,
b) Hidung periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan
palpasi akan kemungkinan krepitasi dan suatu fraktur.
c) Telinga periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai
keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum
d) Rahang atas periksa stabilitas rahang atas
e) Rahang bawah periksa akan adanya fraktur
f) Mulut dan faring: inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur,
warna, kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna,
kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan
daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor,
pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amali adanya tonsil
meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Papasi adanya respon
nyeri
c. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau
krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa, kaji adanya keluhan disfagia
(kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul
atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan
adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea,
kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris
dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol
perdarahan, degah kerusakan otak sekunder.

d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpu/tajam, luka, lecet, memar, ruam ekimosiss,
bekas luka, frekuensi dan kedalaman pemafsan, kesimetrisan expansi
dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks
bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut
jantung, (lombardo, 2005)
palpasi :seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi: untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultai: suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan
bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)
e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya
pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra
dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala
defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian
depan dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya
perdarahan internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar,
ruam, massa, denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka, dan
stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen. untuk mendapatkan,
nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan
atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,.. nyeri lepas
yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra
abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal
lavage, ataupun USG (Ultra Sonography).
f. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi,
jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur
terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi
distal dari fraktur pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas
fraktur.

C. Diagnosa Keperawatan

1. bersihan jalan nafas tidak efektif


2. pola nafas tidak efetif
3. Gangguan pertukaran gas
D. Intervensi Keperawatan

NO SDKI SLKI SIKI


1 Bersihan Jalan Napas Tidak Intervensi Utama : 
Setelah dilakukan intervensi keperawatan
. Efektif.
selama 1x24 jam, maka bersihan jalan nafas 1. Latihan Batuk Efektif.
Definisi : ketidakmampuan meningkat, dengan kriteria hasil : 2. Manajemen Jalan Nafas.
membersihkan sekret atau 3. Pemantauan Respirasi.
1. Batuk efektif meningkat
obstruksi jalan nafas untuk
2. Produksi sputum menurun Intervensi Pendukung :
mempertahankan jalan nafas tetap
3. Mengi munurun
paten.
4. Weezing menurun 1. Dukungan Kepatuhan Program Pengobatan.
5. Meconium ( pada neonates ) menurun 2. Pemberian Obat Interpleura
Penyebab :
6. Dyspnea menurun 3. Edukasi Fisioterapi Dada
Fisiologis :
7. Ortopnea menurun 4. Edukasi Pengukuran Respirasi
1. Spasme jalan napas.
8. Sulit bicara menurun 5. Fisioterapi Dada
2. Hipersekresi jalan napas.
9. Sianosis menurun 6. Konsultasi Via Telepon
3. Disfungsi neuromuskuler.
10. Gelisah menurun 7. Manajemen Asthma
4. Benda asing dalam jalan napas.
11. Frekuensi nafas membaik 8. Manajemen Alergi
5. Adanya jalan napas buatan.
9. Manajemen Anafilaksis
6. Sekresi yang tertahan.
7. Hiperplasia dinding jalan 12. Pola nafas membaik 10. Manajemen Isolasi
napas. 11. Manajemen Ventilasi Mekanik
8. Proses infeksi . 12. Manajemen Jalan Napas Buatan
9. Respon alergi. 13. Pemberian Obat Inhalasi
10. Efek agen farmakologis (mis. 14. Pemberian Obat Intradermal
anastesi). 15. Pemberian Obat Nasal
16. Pencegahan Aspirasi
Situasional : 17. Pengaturan Posisi
1. Merokok aktif. 18. Penghisapan Jalan Napas
2. Merokok pasif. 19. Penyapihan Ventilasi Mekanik
3. Terpajan polutan. 20. Perawatan Trakheostomi
21. Skrining Tuberkulosis
 
22. Stabilisasi Jalan Napas
23. Terapi Oksigen
Gejala dan tanda mayor :
Subjektif :  tidak tersedia.

Objektif :

1. batuk tidak efektif


2. tidak mampu batuk.
3. sputum berlebih.
4. Mengi, wheezing dan / atau
ronkhi kering.
5. Mekonium di jalan nafas pada
Neonatus.

Gejala dan Tanda Minor.

Subjektif :

1. Dispnea.
2. Sulit bicara.
3. Ortopnea.

Objektif :

1. Gelisah.
2. Sianosis.
3. Bunyi napas menurun.
4. Frekuensi napas berubah.
5. Pola napas berubah.

Kondisi Klinis Terkait 

1. Gullian barre syndrome.


2. Sklerosis multipel.
3. Myasthenia gravis.
4. Prosedur diagnostik (mis.
bronkoskopi, transesophageal
echocardiography [TEE] ).
Setelah dilakukan intervensi keperawatan
5. Depresi sistem saraf pusat.
selama 1x24 jam, maka diharapkan pola
6. Cedera Kepala
napas membaik, dengan kriteria hasil :
7. Stroke
Perawatan sirkulasi
8. Kuadriplegia
1. Ventilasi semenit meningkat
9. Sindron aspirasi mekonium
2. Kapasitas vital meningkat
Observasi
3. Diameter thorkas anterior posterior
·      Periksa sirkulasi perifer (misal nya : nadi
10. Infeksi saluran Napas. meningkat perifer, edema, pengisian kapiler, warna,
4. Tekanan ekspirasi meningkat suhu, ankle brachial index)
5. Tekanan inspirasi meningkat ·      Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi
6. Dispnea menurun (misal nya : diabetes, perokok, orang tua,
D.0005 Pola Napas Tidak
7. Penggunaan otot bantu nafas menurun hipertensi, dan kadar kolesterol tinggi)
Efektif
8. Pemajangan fase ekspirasi menurun ·      Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau
9. Ortopnea menurun bengkak pada ekstremitas
Definisi :
10. Pernapasan purse-lip menurun Terapeutik
Inspirasi dan/atau ekspirasi yang
2 11. Pernapasan cuping hidung menurun ·      Hindari pemasangan infuse atau pengambilan
tidak memberikan ventilasi
darah di area keterbatasan perfusi
adekuat
·      Hindari pengukuran tekanan darah pada
Penyebab : ekstremitas dengan keterbatasan perfusi
1. Depresi pUsat pernapasan ·      Hindari penekanan dan pemasangan
2. Hambatan upaya napas (mis. tourniquet pada area yang cedera
nyeri saat bernapas, kelemahan ·      Lakukan pencegahan infeksi
otot pernapasan) ·      Lakukan perawatan kaki dan kaku
3. Deformitas dinding dada. ·      Lakukan hidrasi
4. Deformitas tulang dada.
5. Gangguan neuromuskular. Edukasi
6 Gangguan neurologis (mis ·      Anjurkan berhenti merokok
elektroensefalogram [EEG] ·      Anjurkan berolahraga rutin
positif, cedera kepala ganguan ·      Anjurkan mengecek air mandi untuk
kejang). mengindari kulit terbakar
7. maturitas neurologis. ·      Anjurkan menggunakan obat penurunan
8. Penurunan energi. tekanan darah, antikoagulan, dan penurun
9. Obesitas. kolesterol, jika itu perlu
10. Posisi tubuh yang ·      Anjurkan minum obat pengontrol tekanan
menghambat ekspansi paru. darah secara teratur
11. Sindrom hipoventilasi. ·      Anjurkan menghindari penggunaan obat
12. Kerusakan inervasi diafragma penyekat beta
(kerusakan saraf CS ke atas). ·      Anjurkan melakukan perawatan kulit yang
13. Cedera pada medula spinalis. tepat (misal nya : melembabkan kulit kering
14. Efek agen farmakologis. pada kaki)
15. Kecemasan. ·      Anjurkan program rehabilitasi vaskuler
·      Ajarkan program diet untuk memperbaiki
  sirkulasi (misal nya : rendah lemak jenuh,
minyak ikan omega 3)
·      Informasikan tanda dan gejala darurat yang
Gejalan dan Tanda Mayor : harus dilaporkan ( misal nya : rasa sakit yang
tidak hilang saat istrahat, luka tidak sembuh,
Subjektif : hilangnya rasa)
1. Dispnea

Objektif :
1. Penggunaan otot bantu
pernapasan.
2. Fase ekspirasi memanjang.
3. Pola napas abnormal (mis.
takipnea. bradipnea,
hiperventilasi kussmaul cheyne-
stokes).

Gejala dan Tanda Minor :

Subjektif : 1. Ortopnea
Objektif : Pemantauan Respirasi
Observasi: 
1. Pernapasan pursed-lip.
2. Pernapasan cuping hidung. 1. Monitor pola nafas, monitor saturasi
3. Diameter thoraks anterior— oksigen
posterior  meningkat 2. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan
4. Ventilasi semenit menurun Setelah dilakukan intervensi keperawatan upaya napas
5. Kapasitas vital menurun selama 1x24 jam, maka diharapkan 3. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
6. Tekanan ekspirasi menurun gangguan pertukaran gas pasien meningkat,
Terapeutik
7. Tekanan inspirasi menurun dengan kriteria hasil :
8. Ekskursi dada berubah 1. Atur Interval pemantauan respirasi sesuai
1. Dispnea menurun
kondisi pasien
2. Bunyi nafas tambahan (ronchi)
menurun
Edukasi
3. Pernafasan cuping hidung menurun
4. Nilai hasil AGD, PCO2, PO2, dan PH 1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
arteri membaik 2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
5. Takikardia membaik (90-100x/menit)
Terapi Oksigen
6. Pola nafas membaik (22-24x/menit)
Observasi: 
1. Monitor kecepatan aliran oksigen
2. Monitor posisi alat terapi oksigen
3. Monitor tanda-tanda hipoventilasi
4. Monitor integritas mukosa hidung akibat
pemasangan oksigen

Terapeutik: 

1. Bersihkan sekret pada mulut, hidung dan


trakea, jika perlu
2. Pertahankan kepatenan jalan napas
3. Berikan oksigen jika perlu

Edukasi
D.0003 Gangguan Pertukaran
Gas 1. Ajarkan keluarga cara menggunakan O2 di
rumah
DEFINISI

Kolaborasi
Kelebihan atau kekurangan
oksigenasi dan atau eliminasi 1. Kolaborasi penentuan dosis oksigen
karbondioksida pada membran
alveolar - kapiler

3
PENYEBAB

1. Ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi
2. Perubahan membran
alveolus-kapiler

GEJALA & TANDA MAYOR

1. Subjektif 

1. Dispnea
2. Objektif 

1. PCO2
meningkat/menurun
2. PO2 menurun
3. Takikardia
4. pH arteri
meningkat/menurun
5. Bunyi napas
tambahan 

GEJALA & TANDA MINOR

1. Subjektif 
1. Pusing
2. Penglihatan kabur
2. Objektif 
1. Objektif
2. Sianosis
3. Diaphoresis
4. Gelisah
5. Napas cuping
hidung
6. Pola napas
abnormal
(cepat/lambat,
regular/ierguler,
dalam/dangkal)

KONDISI KLINIS TERKAIT 

1. Penyakit paru obstruktif


kronis (PPOK)
2. Gagal jantung kongestif
3. Asma
4. Pneumonia
5. Tuberkulosis paru
6. Penyakit membran hialin
7. Asfiksia
E. Implementasi Keperawatan
Menururt Mufidaturrohmah (2017), implementasi merupakan tindakan
yang sudahdirencanakan dalam rencana perawatan.Tindakan keperawatan
mencakuptindakan mandiri (independen) dan tindakan kolaborasi. Tindakan
mandiri merupakan aktivitas perawat yang didasarkan pada kesimpulan atau
keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau perintah dari petugas
kesehatan lain. Sedangkan tindakan kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan
hasil keputusan bersama, seperti dokter dan petugas kesehatan lain.

F. Evaluasi Keperawatan
Menururt Mufidaturrohmah (2017), evaluasi keperawatan adalah
mengetahui sejauh mana tujuan perawatan dapat dicapai dan memberikan umpan
balik terhadap asuhan keperawatan yang diberikan. Langkah-langkah evaluasi
antara lain : jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dilakukan pemeriksaan letak
kesalahannya, mencari jalan keluar, kemudian mencatat apa yang ditemukan dan
jika ada perubahan perlu dilakukan perubahan intervensi.
Daftar Pustaka
Darmanto, D. (2012). Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: Buku
Kedokteran.

Riyadi, S., & Sukarmin. (2012). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Yogyakarta:
Ghama Ilmu.

Wahid , A., & Suprapto. (2013). Keperawatan Medical Medical Bedah Asuhan
Keperawatan Pada Gangguan Sistem Respirasi. Jakarta: Trans Info
Media.

Anda mungkin juga menyukai