Anda di halaman 1dari 14

A.

DEFINISI
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana
trakea dan brokhi berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu
(Smeltzer & Bare, 2002).
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan
jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubahubah, baik secara spontan
maupun sebagai hasil pengobatan (Muttaqin, 2008).
Asma adalah wheezing berulang dan atau batuk persisten dalam keadaan
dimana asma adalah yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang
telah disingkirkan (Mansjoer, 2008).
Asma adalah suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-
cabang trakeobronkhial terhadap berbagai jenis rangsangan (Pierce, 2007).
Asma adalah suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-
cabang trakeobronkhial terhadap berbagai jenis rangsangan (Pierce, 2007)
Asma Bronkhial adalah penyakit pernafasan objektif yang ditandai oleh
spasme akut otot polos bronkus. Hal ini menyebabkan obstruksi aliran udara dan
penurunan ventilasi alveolus (Elizabeth, 2000)
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Asma
merupakan penyempitan jalan napas yang disebabkan karena hipersensitivitas
cabang-cabang trakeobronkhial terhadap stimuli tertentu. Sedangkan Asma
Bronkhial merupakan suatu penyakit gangguan jalan nafas obstruktif yang bersifat
reversible, ditandai dengan terjadinya penyempitan bronkus, reaksi obstruksi akibat
spasme otot polos bronkus, obstruksi aliran udara, dan penurunan ventilasi
alveoulus dengan suatu keadaan hiperaktivitas bronkus yang khas.

B. ANATOMI FISIOLOGI
1. Anatomi fisiologi sistem pernapasan
a. Hidung
Hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang pertama,
mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung
(septum nasi). Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk
menyaring udara, debu, dan kotoran yang masuk ke dalam lubang
hidung.
b. Faring
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan
pernapasan dan jalan makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak, di
belakang rongga hidung, dan mulut sebelah depan ruas tulang leher.
Hubungan faring dengan organ-organ lain adalah ke atas berhubungan
dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang yang bernama koana,
ke depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan ini
bernama istmus fausium, ke bawah terdapat 2 lubang (ke depan lubang
laring dan ke belakang lubang esofagus).

c. Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara dan
bertindak sebagai pembentukan suara, terletak di depan bagian faring
sampai ketinggian vertebra servikal dan masuk ke dalam trakhea di
bawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah empang
tenggorokan yang biasanya disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang-
tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita menelan makanan
menutupi laring.
d. Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring yang
dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan
yang berbentuk seperti kuku kuda (huruf C) sebelah dalam diliputi oleh
selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, hanya
bergerak ke arah luar. Panjang trakea 9 sampai 11 cm dan di belakang
terdiri dari jarigan ikat yang dilapisi oleh otot polos.

e. Bronkus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea,
ada 2 buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V,
mempunyai struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis set
yang sama. Bronkus itu berjalan ke bawah dan ke samping ke arah
tampuk paru-paru.Bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar dari pada
bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri
lebih panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin
mempunyai 2 cabang.Bronkus bercabang-cabang, cabang yang lebih kecil
disebut bronkiolus (bronkioli). Pada bronkioli tidak terdapat cincin lagi,
dan pada ujung bronkioli terdapat gelembung paru atau gelembung
hawa atau alveoli.
f. Paru-paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri
dari gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembug alveoli ini
terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas
permukaannya kurang lebih 90 m². Pada lapisan ini terjadi pertukaran
udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah.
Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah
(paru-paru kiri dan kanan)
Paru-paru dibagi dua yaitu paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus
(belahan paru), lobus pulmo dekstra superior, lobus media, dan lobus
inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus. Paru-paru kiri, terdiri dari
pulmo sinistra lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri
dari belahan yang kecil bernama segmen. Paru-paru kiri mempunyai 10
segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, dan 5 buah segmen
pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah
segmen pada lobus superior, 2 buah segmen pada lobus medialis, dan 3
buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi
menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus.
Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat
yang berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dan tiap lobulus
terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-
cabang banyak sekali, cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap duktus
alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2-0,3 mm.
Letak paru-paru di rongga dada datarannya menghadap ke tengah
rongga dada atau kavum mediastinum. Pada bagian tengah terdapat
tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung.
Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi
menjadi 2 yaitu, yang pertama pleura visceral (selaput dada
pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru-paru.
Kedua pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah
luar. Antara keadaan normal, kavum pleura ini vakum (hampa) sehingga
paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan
(eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaanya (pleura),
menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu ada
gerakan bernapas.

B. ETIOLOGI
Sampai saat ini etiologi dari Asma Bronkhial belum diketahui. Suatu
hal yang yang menonjol pada penderita Asma adalah fenomena hiperaktivitas
bronkus. Bronkus penderita asma sangat peka terhadap rangsangan
imunologi maupun non imunologi. Adapun rangsangan atau faktor pencetus
yang sering menimbulkan Asma adalah:

1. Faktor ekstrinsik (alergik) : reaksi alergik yang disebabkan oleh alergen


atau alergen yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulubulu binatang
2. Faktor intrinsik(non-alergik) : tidak berhubungan dengan alergen, seperti
common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan
lingkungan dapat mencetuskan serangan.
3. Asma gabungan Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik (Smeltzer & Bare, 2002).

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan Asma
Bronkhial yaitu :

A. Faktor predisposisi

Genetik
Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara
penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat
juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena
penyakit Asma Bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersensitivitas
saluran pernapasannya juga bisa diturunkan.
a. Faktor presipitasi
1. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a) Inhalan : yang masuk melalui saluran pernapasan
Contoh : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
b) Ingestan : yang masuk melalui mulut
Contoh : makanan dan obat-obatan
c) Kontaktan : yang masuk melalui kontak dengan kulit
Contoh : perhiasan, logam dan jam tangan
2. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi Asma. Atmosfir
yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan Asma.
Kadangkadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim
kemarau.
3. Stres
Stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan Asma, selain itu juga
bisa memperberat serangan Asma yang sudah ada. Disamping gejala Asma yang
timbul harus segera diobati penderita Asma yang mengalami stres atau gangguan
emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika
stresnya belum diatasi maka gejala belum bisa diobati.
4. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan Asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium
hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada
waktu libur atau cuti.
5. Olah raga atau aktifitas jasmani
Sebagian besar penderita Asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas
jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan
Asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai
aktifitas tersebut.

C. PATOFISIOLOGI
Suatu serangan Asma merupakan akibat obstruksi jalan napas difus
reversible. Obstruksi disebabkan oleh timbulnya tiga reaksi utama yaitu
kontraksi otot-otot polos baik saluran napas, pembengkakan membran yang
melapisi bronki, pengisian bronki dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-
otot bronki dan kelenjar mukusa membesar, sputum yang kental, banyak
dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap
didalam jaringan paru.Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang
sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan
ikatan antigen dengan antibody, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast
(disebut mediator) seperti histamine, bradikinin, dan prostaglandin serta
anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator
ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas,
menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, dan
pembentukan mucus yang sangat banyak. Selain itu, reseptor α- dan β-
adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor
α- adrenergik dirangsang, terjadi bronkokonstriksi, bronkodilatasi terjadi
ketika reseptor β- adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara
reseptor α- dan βadrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adenosine
monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor α- mengakibatkan penurunan cAMP,
yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-
sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor β- mengakibatkan peningkatan
tingkat cAMP yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan
menyebabakan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan
β- adrenergik terjadi pada individu dengan Asma. Akibatnya, asmatik rentan
terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot polos
(Smeltzer & Bare, 2002).

A. MANIFESTASI KLINIK
Gejala-gejala yang lazim muncul pada Asma Bronkhial adalah batuk,
dispnea, dan wheezing. Serangan seringkali terjadi pada malam hari.
Asma biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam
dada, disertai dengan pernapasan lambat,wheezing. Ekspirasi selalu lebih
susah dan panjang dibanding inspirasi, yang mendorong pasien unutk
duduk tegak dan menggunakan setiap otot-otot aksesori pernapasan.
Jalan napas yang tersumbat menyebabkan dispnea. Serangan Asma dapat
berlangsung dari 30 menit sampai beberapa jam dan dapat hilang secara
spontan. Meskipun serangan asma jarang ada yang fatal, kadang terjadi
reaksi kontinu yang lebih berat, yang disebut “status asmatikus”, kondisi
ini mengancam hidup (Smeltzer & Bare, 2002).

B. PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi
Menurut Long(1996) pengobatan Asma diarahkan terhadap
gejalagejala yang timbul saat serangan, mengendalikan penyebab
spesifik dan perawatan pemeliharaan keehatan optimal yang umum.
Tujuan utama dari berbagai macam pengobatan adalah pasien segera
mengalami relaksasi bronkus. Terapi awal, yaitu:
a. Memberikan oksigen pernasal
b. Antagonis beta 2 adrenergik (salbutamol mg atau fenetoral 2,5 mg
atau terbutalin 10 mg). Inhalasi nebulisasi dan pemberian yang
dapat diulang setiap 20 menit sampai 1 jam. Pemberian antagonis
beta 2 adrenergik dapat secara subcutan atau intravena dengan
dosis salbutamol 0,25 mg dalam larutan dekstrose 5%
c. Aminophilin intravena 5-6 mg per kg, jika sudah menggunakan
obat ini dalam 12 jam sebelumnya maka cukup diberikan setengah
dosis.
d. Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg intravena jika tidak ada
respon segera atau dalam serangan sangat berat
e. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk
didalamnya golongan beta adrenergik dan anti kolinergik.
2. Pengobatan secara sederhana atau non farmakologis Menurut doenges
(2000) penatalaksanaan nonfarmakologis asma yaitu:
a. Fisioterapi dada dan batuk efektif membantu pasien untuk
mengeluarkan sputum dengan baik
b. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
c. Berikan posisi tidur yang nyaman (semi fowler)
d. Anjurkan untuk minum air hangat 1500-2000 ml per hari
e. Usaha agar pasien mandi air hangat setiap hari
f. Hindarkan pasien dari faktor pencetus

C. Komplikasi
Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah :
1. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang
dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat
menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan
kegagalan napas.
2. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal
sebagai emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di
mediastinum. Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini
dapat disebabkan oleh trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara
keluar dari paru-paru, saluran udara atau usus ke dalam rongga dada.
3. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat
pernafasan yang sangat dangkal.
4. Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur
dan tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga
dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak
dan mata. Istilah Aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi
Aspergillus sp.
5. Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan
pembentukan karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
6. Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian
dalam dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis)
mengalami bengkak. Selain bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir
(dahak). Akibatnya penderita merasa perlu batuk berulang-ulang dalam
upaya mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau merasa sulit bernapas
karena sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya lendir.
7. Fraktur iga

D. PENGKAJIAAN FOKUS
1. Pengkajian

a. Pola pemeliharaan kesehatan


Gejala Asma dapat membatasi manusia untuk berperilaku hidup normal
sehingga pasien dengan Asma harus mengubah gaya hidupnya sesuai
kondisi yang memungkinkan tidak terjadi serangan Asma
b. Pola nutrisi dan metabolik Perlu dikaji tentang status nutrisi pasien meliputi,
jumlah, frekuensi, dan kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhnnya.
Serta pada pasien sesak, potensial sekali terjadinya kekurangan dalam
memenuhi kebutuhan nutrisi, hal ini karena dispnea saat makan, laju
metabolism serta ansietas yang dialami pasien.
c. Pola eliminasi
Perlu dikaji tentang kebiasaan BAB dan BAK mencakup warna, bentuk,
konsistensi, frekuensi, jumlah serta kesulitan dalam pola eliminasi
d. Pola aktifitas dan latihan
Perlu dikaji tentang aktifitas keseharian pasien, seperti olahraga, bekerja,
dan aktifitas lainnya. Aktifitas fisik dapat terjadi faktor pencetus terjadinya
Asma.
e. Pola istirahat dan tidur
Perlu dikaji tentang bagaiman tidur dan istirahat pasien meliputi berapa
lama pasien tidur dan istirahat. Serta berapa besar akibat kelelahan yang
dialami pasien. Adanya wheezing dan sesak dapat mempengaruhi pola tidur
dan istirahat pasien.
f. Pola persepsi sensori dan kognitif
Kelainan pada pola persepsi dan kognitif akan mempengaruhi konsep diri
pasien dan akhirnya mempengaruhi jumlah stresor yang dialami pasien
sehingga kemungkinan terjadi serangan Asma yang berulang pun akan
semakin tinggi.
g. Pola hubungan dengan orang lain
Gejala Asma sangat membatasi pasien untuk menjalankan kehidupannya
secara normal. Pasien perlu menyesuaikan kondisinya berhubungan dengan
orang lain.
h. Pola reproduksi dan seksual
Reproduksi seksual merupakan kebutuhan dasar manusia, bila kebutuhan
ini tidak terpenuhi akan terjadi masalah dalam kehidupan pasien. Masalah
ini akan menjadi stresor yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
serangan Asma.
i. Pola persepsi diri dan konsep diri Perlu dikaji tentang pasien terhadap
penyakitnya.Persepsi yang salah dapat menghambat respon kooperatif
pada diri pasien. Cara memandang diri yang salah juga akan menjadi stresor
dalam kehidupan pasien.
j. Pola mekanisme dan koping
Stres dan ketegangan emosional merupakan faktor instrinsik pencetus
serangan Asma maka prlu dikaji penyebab terjadinya stress. Frekuensi dan
pengaruh terhadap kehidupan pasien serta cara penanggulangan terhadap
stresor.
k. Pola nilai kepercayaan dan spiritual
Kedekatan pasien pada sesuatu yang diyakini di dunia dipercayai dapat
meningkatkan kekuatan jiwa pasien.Keyakinan pasien terhadap Tuhan Yang
Maha Esa serta pendekatan diri pada-Nya merupakan metode
penanggulangan stres yang konstruktif (Perry, 2005 & Asmadi 2008).

2. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan spirometri
Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan
adrenergik.Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak >20% menunjukkan
diagnosis Asma.
b. Pemeriksaan tes kulit
Untuk menunjukkan adanya antibodi IgE yang spesifik dalam tubuh.
c. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan bila ada kecurigaan terhadap proses
patologik di paru atau komplikasi Asma, seperti pneumothorak,
pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain.
d. Pemeriksaan analisa gas darah
Pemeriksaan analisa gas darah hanya dilakukan pada penderita dengan
serangan Asma berat.
e. Pemeriksaan sputum
Untuk melihat adanya eosinofil, kristal Charcot Leyden, spiral
Churschmann, pemeriksaan sputum penting untuk menilai
adanyamiselium Aspergilus fumigatus.
f. Pemeriksaan eosinofil
Pada penderita Asma, jumlah eosinofil total dalam darah sering
meningkat. Jumlah eosinofil total dalam darah membantu untuk
membedakan Asma dari Bronchitis kronik (Sundaru, 2006)

E. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan


peningkatan produksi sekret
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan bronkospasme
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai
oksigen
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak
adekuatnya pertahanan utama atau imunitas
5. Cemas berhubungan dengan kurangnya tingkat pengetahuan
6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk yang berlebih
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik

F. RENCANA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret
Tujuan : jalan napas menjadi efektif
Kriteria hasil :
a) Jalan napas bersih
b) Sesak berkurang
c) Batuk efektif
d) Mengeluarkan sekret

Intervensi :

a) Kaji tanda-tanda vital dan auskultasi bunyi napas


Rasional : beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan
obstruksi jalan napas
b) Berikan pasien untuk posisi yang nyaman
Rasional : peninggian kepala tempat tidur mempermudah
fungsi pernapasan
c) Pertahankan lingkungan yang nyaman
Rasional : Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan yang dapat
mentriger episode akut.
d) Tingkatkan masukan cairan, denganmemberi air hangat.
Rasional : Membantu mempermudah pengeluaran sekret
e) Dorong atau bantu latihan napas dalam dan batuk efektif
Rasional : Memberikancara untuk mengatasi dan
mengontrol dispnea,mengeluarkan sekret.
f) Dorong atau berikan perawatan mulut
Rasional : higiene mulut yang baik meningkatkan rasa sehat
dan mencegah bau mulut
g) Kolaborasi : pemberian obat dan humidifikasi, seperti
nebulizer
Rasional : menurunkan kekentalan sekret dan mengeluarkan
sekret

2. ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan bronkospasme


Tujuan : pola napas kembali efektif
Kriteria hasil :
a) Pola napas efektif
b) Bunyi napas normal kembali
c) Batuk berkurang

Intervensi:

a) Kaji frekuensi kedalaman pernapasan dan ekspansi dada


Rasional : kecepatan biasanya mencapai kedalaman pernapasan
bervariasi tergantung derajat gagal napas
b) Auskultasi bunyi napas
Rasional : ronchi dan mengi menyertai obstruksi jalan napas
c) Tinggikan kepala dan bentuk mengubah posisi
Rasional : memudahkan dalam ekspansi paru dan pernapasan
d) Kolaborasi pemberian oksigen
Rasional : memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas

3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan suplai oksigen


Tujuan :dapat mempertahankan pertukaran gas
Kriteria hasil :
a) Tidak ada dispnea
b) Pernapasan normal

Intervensi:
a) Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan
Rasional : berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan atau
kronisnya proses penyakit.
b) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang
nyaman untuk bernapas
Rasional : pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk
tinggi dan latihan napas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea,
dan kerja napas.
c) Kaji atau awasi secar rutin kulit dan warna membran mukosa
Rasional : Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentra
(terlihat sekitar bibir atau daun telinga). Keabu-abuan dan dianosis
sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia.
d) Dorong pengeluaran sputum: penghisapan bila diindikasikan
Rasional : Kental, tebal, dan banyaknya sekresi adalah sumber utama
gangguan pertukaran gas pada jalan napas kecil. Penghisapan
dibutuhkan jika batuk tidak efektif.
e) Auskultasi bunyi napas
Rasional : bunyi napas mungkin redup karena penurunan aliran udara
atau area konsolidasi.
f) Palpasi Fremirus
Rasional : Penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan
atau udara terjebak.
g) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas
Rasional : Selama distress pernapasan berat atau akut atau refraktori
pasien secara total tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari karena
hipoksemia dan dispnea.
h) Kolaborasi : Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi
Rasional : dapat memperbaiki memburuknya hipoksia

4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya


pertahanan utama atau imunitas
Tujuan :tidak mengalami infeksi noskomial
Kriteria hasil :
a) Tidak ada tanda-tanda infeksi
b) Mukosa mulut lembab
c) Batuk berkurang
Intervensi
a) Monitor tanda-tanda vital
Rasional: demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi
b) Observasi warna, karakter, jumlah sputum
Rasional : kuning atau kehijauan menunjukan adanya infeksi paru
c) Berikan nutrisi yang adekuat
Rasional : nutrisi yang adekuat dapat meningkatkan daya tahan tubuh
d) Berikan antibiotik sesuai indikasi
Rasional : antibiotik dapat mencegah masuknya kuman ke dalam tubuh

5. Cemas berhubungan dengan kurangnya tingkat pengetahuan


Tujuan : kecemasan pasien berkurang
Kriteria hasil :
a) Pasien terlihat tenang
b) Cemas berkurang
c) Ekspresi wajah tenang

Intervensi:
a) Kaji tingkat kecemasan
Rasional : mengetahui skala kecemasan pasien
b) Berikan pengetahuan tentang penyakit yang diderita
Rasional : menambah tingkat pengetahuan pasien dan mengurangi
cemas
c) Berikan dukungan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya
Rasional : mengungkapkan perasaan dapat mengurangi rasa cemas yang
dialaminya.
d) Ajarkan teknik napas dalam pada pasien
Rasional : mengurangi rasa cemas yang dialami pasien

Anda mungkin juga menyukai