Anda di halaman 1dari 2

Artikel Khusus

SEJARAH DI BALIK PERAYAAN NATAL

Ketika Tuhan Yesus terangkat ke surga, Dia menjadi Tuhan dan Kristus, Raja di
atas segala raja yang berkuasa atas segala raja, pemerintahan, kekuasaan, dan nama,
baik di surga maupun di bumi (Kis. 2:36; Ef. 1:20-22). Dengan kekuasaan dan
kedaulatan-Nya ini, Tuhan Yesus mengatur segala situasi di kekaisaran Roma pada
masa itu bagi penyebaran Injil Allah sehingga manusia dapat diselamatkan dan menjadi
gereja-Nya. Tuhan Yesus secara khusus mempersiapkan kekaisaran Roma bagi
penyebaran Injil Allah.
Musuh Allah, yaitu Satan mulai melakukan serangan untuk menghambat
penyebaran Injil dan menghancurkan gereja melalui segala cara. Pada masa gereja
sebermula selama sedikitnya 300 tahun, Iblis memakai kekaisaran Romawi untuk
menganiaya dan menghancurkan gereja. Di dalam Wahyu 2:8-11, gereja di Smirna
mengalami penganiayaan yang berat selama 3 abad pada kekaisaran Romawi.
Namun Tuhan Yesus mulai menggenapi firman-Nya di dalam Kisah Para Rasul 1:8
“Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu
akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke
ujung bumi.” Gereja semakin dianiaya semakin berkembang. Orang Kristen semakin
dimusnahkan semakin bertambah banyak. Penyebaran Injil semakin dihalangi semakin
menyebar. Karena itulah musuh Allah, Satan, mengubah strateginya untuk
menghancurkan gereja, yaitu melalui mencampuradukkan hal-hal dunia, agama
penyembahan berhala, dosa, kepalsuan, dan sebagainya ke dalam gereja Allah yang
kudus, rohani, dan surgawi. Strateginya ini dapat dilihat di dalam Wahyu 2:13-15.
Mengikuti contoh ayahnya dan para kaisar di awal abad ke-3, Konstantinus adalah
penganut aliran penyembahan matahari, yang mempercayai bahwa dewa matahari
bangsa Roma, adalah perwujudan yang terlihat dari “Allah Mahatinggi” (summus dues)
yang tidak terlihat, yang adalah kepala dibalik alam semesta. Mereka diajarkan bahwa
dewa ini adalah rekan pada kaisar. Konstantinus setia pada kepercayaan ini karena
pada tahun 310 dia berkata bahwa dia melihat dewa matahari ini. Namun pada tahun
312 Masehi dilaporkan bahwa suatu malam ketika sedang bertempur melawan
musuhnya, Maxentius, di Italia, Konstantinus bermimpi bahwa Kristus menampakkan
diri kepadanya dan memberitahu dia untuk menuliskan 2 huruf pertama dari nama
Kristus ( X [chi] P [rho] di dalam bahasa Yunani ) pada perisai pasukannya. Pada hari
berikutnya dia berkata telah melihat sebuah salib dituliskan pada matahari dan kata-
kata “di dalam tanda ini kamu akan menang” (biasanya dituliskan dalam bahasa Latin,
in hoc signo vinces). Maka Konstantinus yang tadinya adalah seorang penyembah
matahari, mengakhiri penganiayaan pada orang Kristen, dan pada tahun 313 melalui
the Edict of Milan, Kekaisaran Romawi menerima kekristenan dan memberikan hak dan
dukungan dana kepada gereja.
Melalui Konstantinus, gereja menikah dengan kekaisaran Roma (dunia). Posisi
orang Kristen berubah dari penganiayaan yang intensif menjadi sangat nyaman.
“Profesi orang Kristen menjadi jalan yang pasti menuju kehormatan dan kekayaan,
semua orang di kelas dan posisi, entah mereka percaya kepada Tuhan atau tidak, boleh
dibaptis.” Kaisar menjanjikan pakaian putih dan 20 keping emas, kepada mereka yang
baru dibaptis dari kelas yang miskin. Dalam setahun, di Roma ada 12.000 laki-laki,
belum termasuk perempuan dan anak-anak, yang dibaptis. Namun pada saat yang
bersamaan, Konstantinus menjabat sebagai kepala gereja dan imam besar (pontifex
maximus) dari agama yang menyembah dewa matahari. Dan dia baru dibaptis
menjelang kematiannya.
Pada jaman Konstantinus inilah perayaan natal tanggal 25 Desember tercatat di
kalender Romawi kuno (The Philocalian Calender) pertama kali dilakukan, yaitu pada
tahun 336 Masehi. Konstantinus meninggal pada tahun 337 Masehi. Pemakaian tanggal
25 Desember mulai diperkenalkan oleh Paus Liberius pada tahun 354 dan peraturan di
negara-negara Barat pada tahun 435 ketika Natal yang pertama kali diresmikan oleh
Paus Sixtus III. Dasar pemikiran pemilihan 25 Desember sebagai hari natal salah
satunya adalah seperti yang ditulis oleh seorang penulis Roma Katolik, Mario Righetti,
mengakui bahwa pemilihan 25 Desember adalah untuk “mempermudah penerimaan
kepercayaan dari rakyat yang menyembah berhala, Gereja Roma menemukan caranya
yaitu menetapkan 25 Desember sebagai perayaan kelahiran Kristus untuk mengalihkan
mereka dari perayaan penyembah berhala, perayaan pada hari yang sama untuk
menghormati ‘Matahari yang tak terkalahkan’ agama Mitras, penakluk kegelapan”.
Selama berabad-abad, setiap tahun bangsa Roma memperingati Saturn, dewa
kesuburan (pertanian) di dalam perayaan yang disebut Saturnalia. Perayaan ini dimulai
pada tanggal 17 Desember dan berlangsung selama 7 hari dan termasuk merayakan
winter solstice (titik balik matahari), yang biasanya terjadi sekitar 25 Desember pada
kalender “the ancient Julian”. Selama perayaan Saturnalia, bangsa Roma berpesta pora,
menghentikan seluruh kegiatan usaha dan peperangan, saling tukar menukar hadiah,
dan membebaskan budaknya untuk sementara waktu. Kebanyakan bangsa Roma juga
merayakan hari yang lebih panjang yang mengikuti the winter solstice dengan
berpartisipasi di dalam acara ritual untuk memuliakan Mithra, dewa terang bangsa
Persia kuno. Perayaan-perayaan musim dingin terus berlanjut melalui 1 Januari. Gereja
pada waktu itu memilih 25 Desember sebagai satu hari untuk Perayaan Kelahiran (the
Feast of Nativity) untuk memberikan kepada orang-orang Kristen suatu kesempatan
tetap mengadakan acara ritual penyembahan berhala. Sebagai contoh, Gereja
menggantikan festival menghormati kelahiran Mithra, dewa terang, dengan festival
menghormati kelahiran Yesus, yang disebut oleh Alkitab sebagai terang dunia. Gereja
Katolik pada waktu itu berharap dapat menarik orang-orang yang menyembah berhala
ke dalam agama mereka dengan mengijinkan mereka untuk melanjutkan pesta pora
mereka pada saat yang bersamaan menghormati kelahiran Yesus.
Strategi ini pada satu sisi memudahkan para penyembah berhala berpaling pada
kepercayaan Kristen, tetapi pada sisi lain, “gereja” menjadi tercampur aduk dengan
praktek, tradisi, kepercayaan, perayaan penyembah-penyembah berhala. Akibatnya,
sejak jaman Konstantinus, bahkan sampai sekarang, gereja diluaran kelihatannya
berkembang menjadi besar dan nyaman tetapi sebenarnya hakiki gereja telah dirusak.
Inilah strategi musuh Allah untuk merusak gereja.
Referensi: (1) Situasi Dunia dan Pergerakan Allah, Witness Lee; (2) Ortodoksi Gereja,
Watchman Nee; (3) 1983 edition, Oxford University Press, New York, 1983, p. 280,
"Christmas"; (4) Manual of Liturgical History, 1955, Vol. 2, p. 67

Anda mungkin juga menyukai