Anda di halaman 1dari 6

Meningkatkan keterampilan sosial pasien � PROCEDIA

Studi Kasus dan Intervensi Psikologi

skizofrenia katatonik melalui social skill p-ISSN 2302-1462; e-ISSN 2722-7669


ejournal.umm.ac.id/index.php/procedia
2021, Vol 9(3):107–112
training DOI:10.22219/procedia.v9i3.16455
© The Author(s) 2021
c b n 4.0 International license

Muhamad Febrian Al-Amin1

Abstract
Social interaction in people with schizophrenia is a serious problem, because if it is not treated it will make the
situation worse. This case study aims to improve social skills in people with schizophrenia using Social Skills Training.
Psychological assessment using interviews, observation, Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS), Graphic Test,
and Sack’s Sentence Completion Test (SSCT). The subject is 18 year old male. The results of the intervention show
changes in the form of being able to say hello, introduce yourself first, interact with people around, and the subject is
no longer in the room often.

Keywords
Social skills training, schizophrenia catatonic, social interaction, graphic test

Pendahuluan Gejala skizofrenia dibagi menjadi dua kategori utama


yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif
Skizofrenia didefinisikan sebagai penyakit mental dengan terdiri dari delusi (waham), halusinasi dan perilaku aneh
gangguan otak yang kompleks. Skizofrenia adalah suatu (Videbeck, 2008). Gejala negatif (defisit perilaku) meliputi
penyakit pervasif yang mempengaruhi lingkup yang luas afek tumpul dan datar, menarik diri dari masyarakat,
dari proses psikologis mencakup kognisi, afek, dan tidak ada kontak mata, tidak dapat mengekpresikan
perilaku. Mereka kehilangan jati diri dan mengalami perasaan, tidak mampu berhubungan dengan orang lain,
kegagalan dalam menjalankan peran dan fungsinya di serta motivasi menurun. Gejala negatif pada skizofrenia
lingkungan masyarakat. Pikiran dan perasaan yang tidak dapat menyebabkan klien mengalami gangguan fungsi
seimbang menyebabkan penderita skizofrenia terputus dari sosial dan isolasi sosial. Gejala positif dapat dikontrol
realitas (Nevid, 2005). dengan pengobatan, tetapi gejala negatif seringkali
menetap sepanjang waktu dan menjadi hambatan utama
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizein
pemulihan serta perbaikan fungsi dalam kehidupan sehari-
yang berarti terpisah atau pecah dan phren yang
hari (Videbeck, 2008).
berarti jiwa, sehingga skizofrenia berarti terjadi pecah-
Salah satu jenis gangguan skizofrenia yaitu skizofrenia
nya/ketidakserasian antara afek, kognitif, dan perilaku.
katatonik. Menurut Maramis (2009) skizofrenia katatonik
Skizofrenia adalah suatu psikosa fungsional dengan gang-
atau disebut juga katatonia, timbulnya pertama kali antara
guan utama pada proses pikir serta disharmonisasi antara
umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering didahului
proses pikir, afek atau emosi, kemauan dan psikomotor
oleh stres emosional. Terjadi gaduh gelisah katatonik
disertai distorsi kenyataan, terutama karena waham dan
atau stupor katatonik dan ciri diam serta membisu. Pada
halusinasi, assosiasi terbagi-bagi sehingga muncul inko-
stupor katatonik, penderita sama sekali tidak menunjukan
herensi, afek dan emosi inadekuat, serta psikomotor yang
perhatian terhadap lingkungannya dan emosinya sangat
menunjukkan penarikan diri (Maramis, 2009).
dangkal. Secara tiba-tiba atau perlahan-lahan penderita
Masyarakat yang masih awam dengan gangguan ini, keluar dari keadaan stupor ini serta mulai berbicara
tidak mengenali fase-fase yang terdapat pada penderita dan bergerak. Pada gaduh gelisah katatonik, terdapat
skizofrenia. Pada fase awal atau prodormal penderita hiperaktivitas motorik, namun tidak disertai dengan emosi
terlihat murung, menarik diri dari lingkungannya, sedikit
bicara, dan malas dalam beraktivitas, sehingga terjadi
penurunan peran dan fungsi dalam sosial kemasyarakatan. 1 Biro psikologi Logia Consulting, Jalan hibrida ujung no 1,Bengkulu
Fase ini sering tidak disadari oleh keluarga, teman dekat
Korespondensi:
atau bahkan penderita skizofrenia sendiri. Secara tidak Muhamad Febrian Al-Amin, Biro psikologi Logia Consulting, Jalan
sadar penderita memasuki fase berikutnya yaitu fase akut hibrida ujung no 1,Bengkulu
dimana mereka mengalami waham dan halusinasi. Email: mfebrianalamin@gmail.com

Prepared using psyj.cls [Version: 2021/02/25 v1]


108 PROCEDIA : Studi Kasus dan Intervensi Psikologi 2021, Vol 9(3)

yang semestinya dan tidak dipengaruhi oleh rangsangan IQ itu sendiri yang dipengaruhi oleh faktor: lingkungan,
dari luar. latihan, motivasi, dan minat. Walaupun hasil dari tes
Skizofrenia katatonik saat ini jarang ditemukan, WAIS ini berupa angka intelegensi, baik yang berupa
mungkin karena terapi obat bekerja secara efektif bagi Full IQ, Verbal IQ maupun Performance IQ, namun
proses-proses motorik yang aneh tersebut. Meskipun diketahui juga bahwa sub tes yang terdapat dari tes WAIS
terapi obat mampu bekerja secara efektif, tetap saja dapat digunakan untuk memprediksi permasalahan klinis
hal tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang dialami oleh subjek, baik untuk memprediksikan
dan pembelajaran sosial. Onset reaksi katatonik dapat kemungkinan adanya brain damage, cronic alkoholism,
lebih tiba-tiba dibanding skizofrenia yang lain, meskipun maupun mental retarded. Tes psikologi Sack’s Sentence
orang yang bersangkutan sebelumnya telah menunjukkan Completion Test (SSCT) digunakan untuk mengungkap
semacam menarik diri dari kenyataan. masalah-masalah yang muncul pada diri subjek
Kondisi subjek dengan gangguan skizofrenia katatonik
memang banyak tidak mengganggu dan tidak merusak
Presentasi Kasus
lingkungan, tetapi banyak aktivitas sosial yang terabaikan,
salah satu penanganan yang tepat untuk pasien tipe kata- Subjek seorang laki-laki berusia 18 tahun merupakan
tonik adalah Social Skills Training (pelatihan keterampilan anak pertama dari 2 bersaudara. Tinggi badan sekitar
social). Keterampilan sosial adalah kemampuan individu 165 cm dan berat badan subjek 50 kg. Subjek dibawa
untuk berkomunikasi secara efektif dengan orang lain baik ke RSJ Menur karena tiga hari sebelumnya subjek tidak
secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi mau berbicara dan makan. Subjek hanya mematung dan
dan kondisi yang ada pada saat itu, di mana keterampi- mengurung diri di kamar.
lan ini merupakan perilaku yang dipelajari. Gimpel & Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan,
Merrell (1998) mendefinisikan keterampilan sosial sebagai banyak data yang diperoleh dari orang tuanya. Menurut
perilaku-perilaku yang dipelajari, yang digunakan oleh orang tuanya, subjek merupakan seorang yang sangat
individu pada situasi-situasi interpersonal dalam lingkun- pendiam sejak kecil, jarang berinterakasi dengan orang lain
gan. dan lebih sering berada di rumah, terutama di kamarnya.
Social Skill Training (SST) mengajarkan tiga kemam- Sejak kecil subjek menghabiskan waktunya di rumah
puan sosial yakni: (1) kemampuan berkomunikasi, yaitu neneknya, subjek dititipkan orang tuanya untuk tinggal
bagaimana kemampuan menggunakan bahasa tubuh yang di rumah neneknya dikarenakan kedua orang tua subjek
tepat, mengucapkan salam, memperkenalkan diri, men- sibuk bekerja dan pulang hingga malam hari. Ayah subjek
jawab pertanyaan, menginterupsi pertanyaan dengan baik, bekerja sebagai koki di salah satu kantin, sedangkan ibu
dan kemampuan bertanya; (2) kemampuan menjalin per- bekerja di salah satu jasa laundry.
sahabatan, yaitu menjalin pertemanan, mengucapkan dan Subjek tidak memiliki teman di lingkungan sekitarnya,
menerima ucapan terima kasih, memberikan dan mener- subjek tumbuh dan hanya berinteraksi dengan neneknya.
ima pujian, terlibat dalam aktivitas bersama, berinisiatif Nenek subjek sehari-harinya banyak menghabiskan waktu
melakukan kegiatan dengan orang lain, meminta dan mem- untuk menonton TV dan di kamar karena faktor usia
berikan pertolongan; (3) kemampuan dalam menghadapi dan juga sering sakit-sakitan, sehingga subjek pun tidak
situasi sulit, yaitu memberikan kritik dan menerima peno- mendapatkan pola asuh yang baik. Subjek berangkat
lakan, bertahan dalam tekanan kelompok dan minta maaf sekolah biasanya diantarkan ayahnya sebelum berangkat
(MqQuaid, 2000). kerja. Subjek juga tidak memiliki teman di sekolah karena
subjek kurang bisa berpartisipasi dalam lingkungan sosial.
Berbeda dengan adik subjek yang dititipkan di tempat
Metode Asesmen bibinya, banyak saudara dan teman bermain di lingkungan
Metode asesmen yang digunakan adalah observasi, sosial, sehingga bisa belajar berinteraksi dengan baik.
wawancara, dan tes psikologi. Observasi dilakukan Subjek terkenal sangat pendiam dan terlihat enggan
pada saat wawancara dan observasi keadaan keluarga berinteraksi sosial. Pertama kali memasuki Sekolah
pada waktu berkunjung ke rumah subjek. Tujuan Menengah Pertama subjek mengaku banyak permasalahan,
dari penggunaan metode observasi untuk melihat pola mulai dari kesulitan berinteraksi dengan teman baru
perilaku subjek sehari-hari. Wawancara dilakukan dengan sehingga subjek sering membolos sekolah karena merasa
subjek (Autoanamnesa) dan keluarga, perawat, dokter tidak memiliki teman. Biasanya subjek pergi membolos
(Alloanamnesa) yang bertujuan untuk mengumpulkan data ke warnet, sampai pada akhirnya subjek dikeluarkan
yang terkait dengan subjek. dari sekolah tersebut. Semenjak keluar dari sekolah,
Tes psikologi meliputi tes Grafis yang diberikan terdiri subjek hanya berada di rumah neneknya, tidak memiliki
dari BAUM, House Tree Person, Drawing A Person kegiatan dan juga jarang berinteraksi dengan orang
untuk mengungkap kepribadian dan dinamika subjek yang lain. Subjek hanya menghabiskan waktu sehari-hari
berkaitan dengan permasalahannya. Tes psikologi Wescler dengan menonton tv dan berada di kamar. Orang tua
Adult Inteligence Scale (WAIS) yang digunakan untuk subjek takut jika subjek disekolahkan lagi maka terulang
memprediksikan potensi-potensi psikologis penunjang dari kejadian serupa. Orang tua subjek juga jarang mengajak

Prepared using psyj.cls


Al-Amin 109

berkomunikasi dikarenakan kesibukan bekerja. Subjek yaitu masalah kepribadiannya. Kepribadian subjek yang
merasa kebingungan dengan jati diri subjek. tertutup, cenderung pasif dalam tindakan dan sangat
Pasien psikotik biasanya berasal dari keluarga dengan bergantung pada dorongan serta perhatian orang lain
pola asuh disfungsi. Perilaku keluarga yang patologis membuat subjek mudah tertekan ketika menghadapi
secara signifikan meningkatkan stres emosional yang harus stressor. Kemampuan sosial subjek yang rendah membuat
dihadapi oleh pasien psikotik. Pola asuh merupakan pola subjek menarik diri dari lingkungan sekitar. Faktor
interaksi antara orang tua dan anak. Termasuk cara mener- lingkungan juga mendukung seperti pola asuh sangat
apkan aturan, mengajarkan nilai atau norma, memberikan permisif membuat subjek tidak tahu dan tidak pernah
perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan belajar mengenai koping stres.
perilaku yang baik sehingga dijadikan contoh atau panutan
bagi anaknya. Pola asuh yang dilakukan orang tua men- Memiliki diatesis dapat meningkatkan resiko seseo-
jadikan anak belajar tentang banyak hal termasuk karakter. rang mengalami gangguan. Selain itu secara umum stres
Subjek dan orang tua mengaku bahwa memang jarang juga dapat mengarah pada stimulus yang menyebabkan
berkomunikasi sejak kecil dikarenakan di rumah hanya psikopatologis. Dalam diathesis stres gangguan yang
ada nenek dan orang tua kerja dari pagi sampai malam dialami seseorang tidak mungkin disebabkan oleh faktor
sehingga jarang terjadi interaksi dan komunikasi di antara tunggal namun ada faktor lainnya yang juga berperan
orang tua dan anak. dalam gangguan. Faktor – faktor tersebut seperti karakter-
Menurut sudut pandang behavioral, skizofrenia terjadi istik kepribadian, pengalaman masa kecil, strategi meng-
dikarenakan salah satunya berkaitan dengan pola asuh hadapi stres, stresor yang dialami dimasa dewasa serta
orang tua yang diterapkan kepada anaknya, yaitu berupa berbagai faktor lainnya (Davison & Neale, 2006). Model
pola asuh patogenik. Skizofrenia berasal dari perilaku diathesis stres memandang skizofrenia sebagai interaksi
keluarga, terutama keluarga patologis, yang secara atau kombinasi dari diatesis, dalam bentuk predisposisi
signifikan meningkatkan stres emosional yang harus genetis maupun psikologis untuk berkembangnya gang-
dihadapi oleh pasien skizofrenia. Menurut pandangan guan dengan stres lingkungan yang melebihi batas atau
ini anak-anak yang nantinya mengalami skizofrenia koping individu. Stressor lingkungan mencakup konflik
mempelajari reaksi dan cara berpikir yang tidak rasional keluarga, perlakuan yang salah terhadap anak, atau kehi-
dengan mengimitasi orang tua yang juga memiliki masalah langan figur yang memberikan dukungan dan lain seba-
emosional yang signifikan. Hubungan interpersonal yang gainya (Nevid, 2005).
buruk dari pasien skizofrenia berkembang karena pada Dinamika terbentuknya masalah pada subjek dapat dije-
masa anak-anak mereka belajar dari model yang buruk. laskan melalui perspektif behavioral. Perspektif behav-
Stimulus seperti kritik, sifat kejam, dan sangat ingin ikut iorisme mengemukakan bahwa individu dan lingkungan
campur urusan anak dapat membuat anak memberikan merupakan dua hal yang saling berkaitan dan memen-
respon yang sama bila dihadapkan pada situasi yang garuhi satu sama lain untuk menciptakan sebuah perilaku
serupa. (Bandura, 1977). Dalam hal ini lingkungan subjek tidak
Subjek mengatakan bahwa sejak kecil subjek memang memberikan hal positif terhadap subjek, seperti orang tua
jarang berkomunikasi dengan kedua orang tuanya, hal subjek acuh dan permisif karena jarang berkomunikasi
ini juga sesuai dengan hasil tes grafis subjek yang sehingga subjek menjadi sosok yang tertutup dan lebih
menggambarkan figur orang tua yang tidak berfungsi. Pada banyak menghabiskan waktu di dalam kamar, subjek juga
saat subjek membolos sekolah dan memiliki permasalahan tidak ada komunikasi dengan keluarga atau lingkungan
sosialisasi di sekolah tidak ada tempat bercerita di sekitarnya, subjek juga tidak memiliki kesempatan untuk
rumah. Subjek juga memiliki keinginan bersekolah mengungkapkan pendapatnya.
lagi dan menyesal karena pernah membolos sehingga
dikeluarkan dari sekolah. Hal itu sejalan dengan hasil Hal-hal di atas membuat subjek menjadi seseorang yang
SSCT yang memperlihatkan ketakutan-ketakutan subjek kurang dalam hal keterampilan sosialnya, terbukti saat di
terhadap permasalahan yang sedang dia hadapi. RSJ subjek lebih sering berada di kamar dan enggan untuk
Dinamika terbentuknya gangguan skizofrenia pada berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Keterampilan
subjek yang dilihat dari faktor penyebabnya dapat sosial adalah kemampuan individu untuk berkomunikasi
dijelaskan melalui model diatesis stres. Berdasarkan efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun
perspektif diatesis stres, individu dapat mengalami nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada
gangguan patologis seperti psikotik disebabkan oleh saat itu, di mana keterampilan ini merupakan perilaku
adanya interaksi antara kerentanan genetik, kepribadian yang dipelajari. Keterampilan sosial mengajarkan tiga
dan stresor lingkungan (Davison & Neale, 2006). Teori kemampuan sosial yakni: (1) kemampuan berkomunikasi,
diathesis stress menjelaskan bahwa gangguan yang dialami (2) kemampuan menjalin pertemanan, (3) kemampuan
seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor genetis atau dalam menghadapi situasi sulit (MqQuaid, 2000). Dalam
neurotis, lingkungan dan psikologis. kasus intervensi hanya fokus pada kemampuan menjalin
Berdasarkan teori diatesis stres, penyebab terjadinya pertemanan seperti mampu menyapa, memperkenalkan
gangguan pada diri subjek karena kerentanan psikologis diri, berkomunikasi ringan dengan lingkungan sekitar.

Prepared using psyj.cls


110 PROCEDIA : Studi Kasus dan Intervensi Psikologi 2021, Vol 9(3)

Keterampilan sosial sejalan dengan teori belajar sosial metode modelling, role play, feedback dan transfer train-
dari Bandura yang mengemukakan bahwa individu mem- ing. Sistem tersebut teridentifikasi oleh tindakan dan per-
pelajari sesuatu melalui pengalaman langsung atau obser- ilaku yang teratur dan terkontrol oleh faktor – faktor
vasi. Dalam intervensi menggunakan teknik modeling agar biologis, psikologis, dan sosiologis.
subjek mampu mempelajari hal baru dengan cara men- Social Skills Training (SST) merupakan terapi perilaku
contoh perilaku yang ada di sekitarnya (Bandura, 1986). dengan target untuk meningkatkan keterampilan sosial
Menurut Bandura proses mengamati dan meniru peri- seperti menyapa, memperkenalkan diri dan berkomunikasi
laku dan sikap orang lain sebagai model merupakan tin- ringan dengan lingkungan. Terapi perilaku berupa keter-
dakan belajar. Teori Bandura menjelaskan perilaku manu- ampilan sosial merupakan salah satu intervensi dengan
sia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinam- teknik modifikasi perilaku yang didasarkan pada prinsip-
bungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. prinsip bermain peran, praktek dan umpan balik guna
Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh meningkatkan kemampuan klien dalam menyelesaikan
pada pola belajar sosial jenis ini. masalah pada klien depresi, skizofrenia, klien dengan
Proses pengamatan pada teori belajar sosial tentunya gangguan perilaku kesulitan berinteraksi, mengalami fobia
tidak berlangsung begitu saja, melainkan melibatkan sosial dan klien yang mengalami kecemasan (Kneisl,
fungsi kognitif individu. Oleh sebab itu, perilaku sederhana 2004; Varcarolis, 2006; Stuart & Laraia, 2005). Intervensi
cenderung mudah untuk ditiru (Bandura, 1989). Proses dilakukan tujuh sesi :
pengamatan dan pembelajaran keterampilan sosial dalam Sesi I: Membangun rapport dengan subjek. Pada sesi
bentuk sederhana ini diharapkan mampu diikuti dengan ini terapis berusaha membuat subjek nyaman dan percaya
baik oleh subjek agar dapat mengalihkan pemikiran kepada terapis agar intervensi tersebut berjalan dengan
negatifnya. lancar.
Sesi II : Orientasi pengenalan terapi dan identifikasi
Diagnosis dan Prognosis pemicu masalah. Pada sesi ini subjek dikenalkan tentang
terapi yang terapis berikan yaitu berupa pelatihan
Diagnosis keterampilan sosial. Terapis juga menjelaskan prosedur
Berdasarkan uraian kasus, dengan pedoman Diagnostic apa saja yang dilalui oleh subjek selama terapi dan
and Statistical Manual of Mental Disorder Fifth Edition subjek harus memperhatikan instruksi yang terapis
(DSM-V) (American Psychiatry Association, 2010) maka berikan. Pada sesi ini juga terapis mengajak subjek
dapat ditegakkan diagnosis bahwa subjek memenuhi kri- membuat target perubahan yang ingin dicapai yaitu untuk
teria diagnostik Gangguan Skizofrenia Katatonik 293.89 meningkatkan keterampilan sosial subjek yang meliputi
(F06.1) yang ditandai dengan adanya halusinasi dan per- mampu mengucap salam, memperkenalkan diri, dan
ilaku katatonik seperti stupor dan mematung, gelisah berkomunikasi ringan dengan lingkungan sekitar. Pada
dan rigiditas (mempertahankan posisi tubuh) dengan per- sesi ini terapis meminta subjek untuk mengenali masalah
masalahan keterampilan sosial, yang menyebabkan klien atau situasi yang dapat membuat subjek memilih untuk
menarik diri dari lingkungan sosialnya dan kesulitan men- menarik diri dan berdiam diri di dalam kamar. Terapis juga
jalin hubungan dengan orang lain. memberikan penjelasan tentang dampak yang terjadi jika
subjek memilih untuk menarik diri dan berdiam diri di
dalam kamar setelah menonton video.
Prognosis
Sesi III: Modelling. Terapis mengajarkan subjek keter-
Berdasarkan permasalahan yang dialami subjek maka ampilan dengan cara memberikan contoh terlebih dahulu.
dapat diperkirakan subjek memiliki prognossis baik, hal Terapis mencontohkan bagaimana cara menyapa, berke-
ini didasari oleh faktor yang melatarbelakangi, yaitu nalan dan menanyakan kabar kepada orang-orang yang
keinginan subjek sembuh dan ingin bersekolah lagi. berada dalam lingkungan bangsal subjek, kemudian terapis
Subjek juga bersikap kooperatif terhadap terapis sehingga menyuruh subjek untuk memperhatikan apa yang terapis
bisa memahami instruksi-instruksi dengan baik, selain itu lakukan agar dapat dicontoh dan dilakukan. Pada sesi
karena adanya kontribusi dan peran keluarga yang sangat ini subjek mengamati bagaimana cara berinteraksi ringan
mendukung intervensi. yang terapis contohkan seperti bagaimana cara tersenyum,
menyapa, berkenalan dan menanyakan kabar orang-orang
yang berada di lingkungan subjek agar dapat dipraktekkan
Intervensi pada sesi selanjutnya.
Intervensi yang digunakan adalah Social Skills Train- Sesi IV: Bermain peran. Terapis meminta subjek untuk
ing (SST). SST mengacu pada empat tahapan yang mencoba menghampiri orang yang yang berada di
dikemukakan oleh Stuart & Laraia (2005)yakni melatih sekitarnya, kemudian subjek diminta senyum lebih dulu
kemampuan klien berkomunikasi, menjalin persahabatan kepada orang tersebut, menyapa, berkenalan, menanyakan
dan menghadapi situasi sulit, dengan menggunakan kabar.

Prepared using psyj.cls


Al-Amin 111

Sesi V: Pemberian Tugas. Terapis meminta subjek faktor tersebut keberhasilan intervensi ini juga karena
melakukan interaksi dengan lingkungan subjek tanpa adanya dukungan dari lingkungan sekitar seperti nenek
ditemani oleh terapis. Terapis juga meminta subjek agar subjek, bibi subjek dan beberapa sepupu-sepupu subjek
dapat berkomunikasi ringan dengan orang-orang sekitar yang mendukung dan membantu agar subjek mampu
subjek. Setelah 4 kali pertemuan subjek baru mampu untuk melaksaan intervensi ini sehingga membuat subjek
melakukan tugas yang diberikan oleh terapis dengan baik. merasa diterima dan merasa tidak sendiri dan banyak yang
Subjek mampu berkomunikasi ringan dengan orang-orang menyayangi subjek.
sekitar subjek, sehingga subjek tidak hanya berada di
dalam kamar
Pembahasan
Sesi VI: Evaluasi. Terapis mengevaluasi kegiatan yang
di lakukan oleh subjek. Terapis memberikan umpan Dalam Social Skill Training (SST) ini terapis berperan
balik kepada subjek dan memberikan penguatan terus sebagai model yang memberikan contoh bagaimana berin-
menerus kepada subjek dengan mengatakan bahwa apa teraksi dengan lingkungan sekitar dari bagaimana cara
yang telah subjek lakukan sudah baik dan benar agar berkenalan sampai berkomunikasi ringan dengan lingkun-
subjek mampu memenuhi target perubahan yang telah gan sekitar yang harus subjek pelajari dan kemudian dit-
dibuat. Subjek sudah mulai mampu menyapa, berkenalan erapkan. Menurut Bandura terdapat empat proses yang
bahkan menanyakan kabar, sehingga subjek merasa tidak terlibat di dalam pembelajaran melalui pendekatan mod-
sendiri dan memiliki banyak teman orang yang sayang dan eling, yaitu perhatian (attention), pengendapan (retention),
peduli kepada subjek. reproduksi (reproduction), dan penguatan (motivasi).
Pada tahap attention dan retention yaitu tahap melihat
Sesi VII: Terminasi. Pada sesi ini terapis menyimpulkan
dan penyerapan informasi subjek meniru tingkah laku
hal-hal yang telah dipelajari oleh subjek selama proses
dan disimbolisasikan dalam ingatan, baik dalam bentuk
intervensi, memberikan bekal perilaku agar subjek mau
verbal maupun dalam bentuk gambaran/imajinasi. Atten-
membiasakan diri untuk bersosialisasi dengan lingkungan
tion verbal memungkinkan orang mengevaluasi secara
dan meningkatkan interaksi sosial agar subjek merasa
tingkah laku yang diamati dan menentukan mana yang
tidak sendiri dalam menghadapi masalah. Terapis juga
dibuang dan mana yang dilakukan. Representasi imaji-
meminta pada perawat untuk tetap mengontrol subjek
nasi memungkinkan dapat dilakukannya latihan simbolik
meskipun proses intervensi sudah berakhir. Terminasi ini
dalam fikiran, tanpa benar-benar melakukannya secara
dilakukan agar target perubahan yang diinginkan yaitu
fisik. Saat proses intervensi berlangsung subjek diajarkan
ketika keterampilan sosial subjek untuk meningkatkan
untuk memikirkan bahwa semua orang yang ada di sekitar
interaksi sosial sudah meningkat.
subjek adalah orang yang baik dan menyenangkan.
Sesi VIII: Follow-up. Follow-up dua minggu setelah inter- Pada tahap produksi, individu diajarkan untuk mener-
vensi berakhir dilakukan untuk mengetahui perkembangan apkan perilaku yang telah dipelajari ke lingkungan nyata
subjek dalam interaksinya terhadap lingkungan sosial sub- sehari-hari (Bandura, 1986). Setelah mengetahui atau
jek. Saat follow up subjek bahkan sudah sering berkomu- mempelajari sesuatu tingkah laku, subjek harus mempun-
nikasi bahkan menjalin pertemanan dengan orang-orang yai keahlian untuk mewujudkan atau menghasilkan apa
yang disimpan dalam bentuk tingkah laku. Proses inter-
Hasil dan Pembahasan vensi subjek diberikan tugas oleh terapi untuk menerapkan
apa yang telah terapis ajarkan dalam kehidupan subjek
Hasil sehari hari. Meskipun tidak mudah tetapi karena lingkun-
Berdasarkan pelaksanaan intervensi yang telah dilakukan, gan sekitar subjek mendukung maka tugas tersebut dapat
subjek sudah mulai menunjukkan perubahan secara dilaksanakan dengan baik.
bertahap. Setelah intervensi subjek yang awalnya lebih Pada tahap terakhir yaitu motivasi, dimana terapis
banyak diam dan sering mengurung diri di dalam kamar memberikan motivasi yang tinggi terhadap subjek untuk
sudah mau untuk keluar kamar dan berinteraksi dengan dapat melakukan tingkah laku modelnya. Observasi
orang di sekitar. Subjek juga sudah mau mulai menyapa dapat memudahkan individu untuk menguasai tingkah
dan mengajak berkenalan orang yang berada di sekeliling laku tertentu, tetapi jika motivasi untuk itu tidak ada,
subjek, subjek juga sudah mulai terlibat obrolan dengan maka tidak terjadi proses belajar. Selama proses belajar
keluarga dan sepupu-sepupu nya yang berada dirumah. berlangsung, pemberian penguatan positif dari lingkungan
Subjek menyadari bahwa sikap subjek yang selama ini sekitar dirasa mampu meningkatkan motivasi individu
hanya diam, tertutup dan enggan berkomunikasi dengan untuk memperkuat perilaku baru yang dipelajari (Bandura,
orang-orang di lingkungan sekitar subjek merupakan hal 1989).
yang kurang tepat. Perubahan yang terjadi pada diri Secara keseluruhan, perubahan dapat terjadi karena indi-
subjek ini didukung oleh keinginan subjek untuk merubah vidu telah menjalani proses belajar yang melibatkan unsur
sikapnya agar dapat berinteraksi dengan orang lain dan pengamatan, adanya pemberian pengetahuan mengenai
bisa bersekolah lagi seperti anak seusia subjek. Selain konsekuensi tentang pemikiran negatifnya, dan latihan

Prepared using psyj.cls


112 PROCEDIA : Studi Kasus dan Intervensi Psikologi 2021, Vol 9(3)

agar memperoleh keterampilan perilaku baru yang secara Gimpel, G.A. & Merrell, K.W. (1998). Social skill of children and
terus-menerus (Bandura, 1977). adolescents: conceptualization, assessment, treatment. New
Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publisher.
Simpulan Kendal, P.C. & Hammen, C., (1998). Abnormal psychology
understanding human problem. New York : Houghton
Berdasarkan hasil intervensi yang telah dilakukan, Mifflin Company
scheduling activity dapat menigkatkan motivasi subjek Kneisl, C. R, Wilson, H. S. & Trigoboff, E. (2004). Contemporary
untuk beraktivitas pada waktu luang. Namun penerapan psychiatric mental health nursing. New Jersey: Pearson
intervensi tersebut memerlukan dukungan dari lingkungan Prentice Hall.
sekitar serta pengawasan yang cukup intens. Subjek dapat
Maramis, WF. (2009). Catatan ilmu kedokteran jiwa. Surabaya:
memiliki inisiatif untuk beraktivitas di waktu luang.
Airlangga University Press
MqQuaid. (2000). Development of an integrated cognitive-
Referensi bahavior and social skill training intervention for older
American Psychiatry Association. (2010). Diagnostic and patients with schizoprenia. The Journal of Psychotherapy
Statistical Manual Of Mental Disorders fifth edition. Practise and Research, 9 (3), 149-156. https://pmid:org.
Washington DC: American Psychiatry Association. 10896740
Bandura, A. (1977). Social learning theory. New Jersey: Prentice- Nevid, J., Rathus S., & Beverly G. (2005). Psikologi abnormal.
Hall. Jakarta: Penerbit Erlangga
Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A Varcarolis, E.M. (2006). Psychiatric nursing clinical guide:
social cognitive theory. New Jersey: Prentice-Hall. assessment tools & diagnosis. Philadelphia: W.B. Saunders
Bandura, A. (1989). Social cognitive theory. In R. Vasta (Ed.). Company.
Annals of child development, vol.6. Six theories of child Stuart, G.W & Laraia,M.T. (2005). Principles and practice of
development (pp.1-60). Greenwich, CT:JAI Press. psychiatric nursing. (7th Edition). St.Louis: Mosby.
Corey, Gerald. (1999). Teori dan praktek konseling dan Videbeck, SL. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Penerbit
psikoterapi. Bandung:PT Refika Aditama. buku kedokteran EGC: Jakarta.
Davison, G.C & Neale J.M. (2006). Psikologi Abnormal. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.

Prepared using psyj.cls

Anda mungkin juga menyukai