Anda di halaman 1dari 7

Pemberitaan 2;

Pasca Pandemi Covid-19: Globalisasi


dan Glokalisasi
Pilar virus corona
Galih Prasetyo • 20 Mei 2020 04:00
https://www.medcom.id/

PANDEMI COVID-19 datang mendadak. Seketika mantra PDB terkoyak. IMF meramalkan,
dunia menuju pada kebangkrutan massal. Bukan mustahil, tiba akal tiba jalan, glokalisasi
mungkin saja menggantikan realitas globalisasi yang sedang sekarat.

Pada 7 Maret lalu, McKinsey & Company merilis laporan Coronavirus Covid-19: Facts and
Insights. Prediksinya jika pandemi tak kunjung usai, nasib PDB dalam skala global
menjelang akhir 2020 hanya di angka 0,3 persen. Sedangkan menurut perhitungan
pemerintah, dalam skenario terburuk, bahkan pertumbuhan terancam minus 0,4 persen.

Globalisme. Istilah yang saya pinjam dari Manfred Steger (2015), adalah persentuhan
antara ideologi pasar (kapitalisme) di ruang globalisasi sebagai "ideologi pasar baru". Pasar
menjanjikan pertumbuhan, dan globalisasi menyediakan dunia tanpa sekat.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini.

Alhasil, lalu lintas ekspor impor berlangsung tanpa henti. Ekspor mengundang devisa.
Impor bentuk dari kebutuhan yang mesti dipenuhi. Rutinitas itu mungkin datang dari teori
David Ricardo. Perdagangan bebas dipercaya membawa keuntungan komparatif. Tak perlu
repot negara produksi barang jika iklim kurang mendukung, cukup mengasah
keunggulannya demi obsesi ekspor.

Pasca David Ricardo menerbitkan The Principles of Political Economy and Taxation pada
1817, para kritikus meramalkan tanda-tanda matinya perdagangan bebas. Gejala ini dapat
dipahami sebagaimana kondisi saat ini, di mana lalu lintas perdagangan antar negara tidak
lagi berjalan efektif.
Sejauh ini, tawaran jalan keluar, berkutat bagai laron mengitari bohlam mengejar cahaya.
Tukar tambah takaran pasar atau negara. Pilihan kebijakan jatuh pada geng Chicago
School, atau anjuran Keynesian.

Pasar bebas

Bagi Milton Friedman (1962), pasar bebas adalah sistem sempurna. Jika muncul patologi
(tingginya inflasi, pengangguran) artinya pasar tak bergerak bebas.

Layaknya peristiwa Depresi Besar 1930, longgarnya kebijakan meningkatkan peredaran


uang ternyata membuat sistem terdistorsi. Inflasi merangkak tajam. Keseimbangan
akhirnya kandas bertemu. “Letting the market find its balance,” kata Friedman.

Harold James dalam The End of Globalization: Lessons from the Great Depression (2002)
menjelaskan, ternyata inspirasi Keynesian jadi rujukan pada tahun 1930-an. Sebagaimana
kegentingan saat ini, banyak negara, tak terkecuali Indonesia memperluas belanja negara
dalam dosis besar lewat aneka stimulus fiskal.

Industri dan perbankan terguncang yang sebelumnya menikmati pinjaman murah dalam
mata uang asing, dengan penerimaan mata uang domestik. Akibatnya, terjadi pelarian
modal dalam skala besar (hlm.32).

Saat ini, Bank Indonesia (BI) terus berusaha keras menahan tanggul likuiditas perbankan
agar tetap aman. Sejauh ini tercatat sudah mencapai Rp420 triliun likuiditas yang
dikucurkan untuk perbankan dan pasar uang.

Tantangan inflasi

Pemerintah juga menghadapi tantangan inflasi jika peredaran uang terlalu gemuk, yang
cepat atau lambat menyebabkan melemahnya kurs rupiah. Uang lebih banyak ketimbang
objek barang. Kelangkaan berpotensi meningkatkan harga. Biasanya, BI ambil langkah
moneter dengan menurunkan suku bunga.

Sementara, dalam laku dan praxis tak pernah ajek. Semisal di Amerika sebagai eksportir
ide pasar bebas, pernah menginjeksi bail out demi penyelamatan korporasi otomotif
General Motors (GM) dari kebangkrutan, menyusul dampak krisis finansial 2008. Nyatanya,
anti globalisasi perlahan meningkat, sebagaimana tindakan Inggris hengkang dari Uni
Eropa.

Martin Suryajaya dalam blog pribadinya pada 30 Maret 2020 menulis esai
bertajuk Membayangkan Ekonomi Dunia Setelah Korona. Ia berandai kondisi dunia pasca
runtuhnya kapitalisme. Baginya di tengah Covid-19, dunia mengarah pada deindustrilisasi,
definansialisasi, diskoneksi fisik dan pelokalan global—saya lebih suka menyebut
glokalisasi.

Tawarannya: sosialisme berlandaskan kekuatan negara perlu dihadirkan jika ekonomi ingin
langgeng. Lockdown ataupun physical distancing membuat pergerakan manusia terhenti.
Produksi mangkrak, sektor manufaktur terancam ambruk, dan definansialisasi tinggal
menunggu giliran.

Bursa saham sepi peminat dan berpotensi gulung tikar. Sebab, denyut nadi kapitalisme
selalu tergantung dari gerak produksi dan mobilitas tenaga kerja.

Surat-surat berharga kini menyusut seolah jadi sekedar kertas. Uang gampang menguap
seperti es batu. Bagaimana mungkin, beras dari sawah, ternak sapi, komoditas kebun dan
sayuran dapat dihasilkan lewat anjuran #dirumahaja. Terlebih, mengandalkan barang impor
sama halnya menanti ketidakpastian tanpa tepi.
Kiamat globalisme

Ketika kiamat globalisme tiba, maka ekonomi lokal otomatis ambil haluan. Lapak kaki lima
bertebaran, di pinggir jalan, di sudut gang sempit atau desa. Seperti masa lampau, orang
bercocok tanam, berternak, berkebun demi bertahan hidup tanpa dipusingkan statistik
pasar saham.

Beragam pakar kerap berspekulasi, seolah hendak mengakhiri narasi yang telah mendarah
daging, muncullah jargon the end of globalization, the end of capitalism, dan sejenisnya—
tapi potret masa depan masih tampak buram.PDB yang selama ini dipuja-puja,
mengesankan tak lebih dari politik angka, sebagai penentu negara maju atau berkembang.
Rumusnya selalu tentang “PDB = konsumsi + investasi + belanja pemerintah + ekspor –
impor”.

Perhitungan PDB cenderung mengejar akumulasi nilai barang dan jasa, diukur dalam waktu
tertentu. Tapi pesatnya pertumbuhan tidak identik kemajuan dan kerap menyinggkirkan
kompleksitas sosial. Sebagaimana ucapan enviromentalis, Paul Hawken: “Kita mencuri
masa depan, menjualnya di masa sekarang dan menyebutnya PDB.”

Betapa tidak, negara berkembang mungkin hanya memperoleh pungutan pajak (mungkin
dikemplang) atau penyerapan tenaga kerja upah murah. Maka tak heran, kue
pembangunan hanya dinikmati segelintir orang. Tidak menetes kepada masyarakat kecil.

Muskil tanpa utang

Pada dasarnya, tiap negara, bergerak berdasarkan prinsip "gali lubang tutup lubang".
Hampir muskil tanpa utang. Sebelumnya Indonesia berencana menarik utang hampir Rp 69
triliun dari hasil penerbitan surat utang pandemic bond dalam tiga seri.
Salah satunya bertenor 50 tahun. Sepanjang waktu anak cucu bangsa ini diwariskan utang
yang membebani. Tapi opsi itu sudah resmi dibatalkan.

Mengingat bunga kupon ketiga obligasi itu sebesar 3,85 persen, 4,3 persen dan 4,5 persen
terhitung relatif mahal. Pemerintah mesti menanggung beban tiap tahunnya kisaran Rp2,84
triliun.

Risikonya, kekuatan fiskal di masa yang akan datang terasa berat. Sedangkan pendapatan
negara mengandalkan dari produktivitas keringat tiap individu—sialnya sirkulasi itu macet
dihadang Covid-19, sedangkan PDB patut diduga tidak mencerminkan angka
sesungguhnya.

Segala skema pembiayaan yang ditempuh pemerintah tentu digunakan untuk menambal
defisit anggaran sebesar Rp853 triliun per tahun ini, juga dampak dari pelebaran stimulus
fiskal, sebagai upaya mitigasi pandemi. Secara keseluruhan, diproyeksikan pembiayaan
utang akan menjadi Rp1.439,8 triliun.

Ditambah lagi, intervensi BI dalam kondisi tertentu bakal tetap menyiramkan dana di pasar
uang. Per akhir April 2020, pemerintah telah menerbitkan surat berharga negara (SBN)
mencapai Rp376,5 triliun, sedangkan hingga Desember 2020, menyusul tambahan sebesar
Rp697,3 triliun.

Perkara mencari pembiayaan memang tak selalu mudah, sedangkan defisit terus melebar.
Di sisi lain, pertumbuhan pada kuartal I 2020 kurang menggembirakan yang hanya berada
pada 2,97 persen.

Sementara lelang surat utang tidak begitu ditanggapi antusias oleh investor. Biasanya,
investor meminta imbal hasil tinggi sekitar 8,5 persen dan minimal 7,44 persen. BI dengan
segenap perhitungan, menyanggupi yield berkisar 8,12 persen—angka yang sebetulnya
cukup besar.
Mahalnya ongkos surat utang
Dalam hal ini, mahalnya ongkos surat utang itu juga membenani negara. Tampaknya, para
investor lebih merasa aman memegang surat berharga di negara besar seperti US
Treasury, Amerika meskipun meraih untung kecil di bawah 1 persen, lantas berbondong-
bondong meninggalkan negara-negara berkembang.

Terlepas dari itu semua, saat ini dalam mengatasi Covid-19, pemerintahan di banyak
negara mengalami obesitas kekuasaan. Goenawan Mohamad dalam eseinya
berjudul Negara di Majalah Tempo (edisi 11 April 2020) menyebut, “Negara adalah
kekuasaan dengan ambisi lebih, yang mencoba mengontrol dan mengubah perilaku
dengan sistem administrasi dan birokrasi yang terpusat.”

Eksistensi negara di musim pagebluk makin menguat hingga mengatur urusan privat dan
kecil, seperti memerintahkan jaga jarak, meminta penggunaan masker dan seterusnya.
Amerika yang selama ini berhaluan limited government (membatasi peran negara), bahkan
meminta General Motors memproduksi ventilator demi memenuhi kebutuhan rumah sakit.

Begitu pula beberapa negara yang siap mengonversi bisnis swasta menjadi plat merah jika
bangkrut. Prinsip sosialisme seolah hidup kembali. Peran negara menguat.

Tapi anggaplah, pandemi bagian sumber resesi. Meski sejak lama, kapitalisme dan krisis
seperti saudara kembar. Tragedi krisis pun terjadi berulang (tahun 1930, 1960, 1973, 1987,
1997-98 dan 2008), namun sejarah mencatat, setelah badai reda, kapitalisme biasanya
mampu bertahan.
Setelah membaca artikek pemberitaan 2 dapat kita pahami bahwa globalisasi dan
glokalisasi memebawa pengaruh bagi bangsa Indonesia. Coba sekarang kalian berikan
tanggapan tentang: perbedaan globalisasi dan glokalisasi., contoh glokalisasi, dampak
globalisasi di masa pandemic covid19, dan upaya untuk mengatasi dampak pada artikel 2
tersebut.

Selamar mengerjakan

Anda mungkin juga menyukai