Islam memiliki kepedulian dan perhatian penuh kepada ummatnya agar terus berproses untuk
menggali potensi-potensi alam dan lingkungan menjadi sentrum peradaban yang gemilang.
Dalam konteks ini, tidak ada pertentangan antara sains dan Islam, dimana keduanya berjalan
seimbang dan selaras untuk menciptakan khazanah keilmuan dan peradaban manusia yang
lebih baik dari sebelumnya.
Pandangan Islam terhadap sains dan teknologi adalah bahwa Islam tidak pernah mengekang
umatnya untuk maju dan modern. Justru Islam sangat mendukung umatnya untuk melakukan
penelitian dan bereksperimen dalam hal apapun, termasuk sains dan teknologi. Bagi Islam,
sains dan teknologi adalah termasuk ayat-ayat Allah yang perlu digali dan dicari
keberadaanya. Ayat-ayat Allah yang tersebar di alam semesta ini merupakan anugerah bagi
manusia sebagai khalifatullah di bumi untuk diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah
penekanannya terhadap masalah ilmu (sains). Al-Qur’an dan as-Sunnah mengajak kaum
Muslim untuk mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang
yang berpengetahuan pada derajat yang tinggi.
Pembahasan
Sejarah Teknologi dalam islam
Sejarah sains pada dasarnya merupakan sejarah pikiran umat manusia, terlepas dari asal
usul kebangsaan maupun asal mula negara. Lintasan sejarah sains yang terbaik adalah
mengikuti pembagian kurun waktu dari satu zaman yang terdahulu ke zaman berikutnya.
Zaman tertua dari pertumbuhan sains adalah zaman kuno yang merentang antara tahun
kurang lebih 4000 SM - 400 M. Zaman kuno ini dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
1. ± 4000- 6000 s.M : Masa Mesir dan Babilon
2. 600-30 s.M : Masa Yunani Kuno
3. 30 SM-400 M Masa Romawi
Di Mesir mulai tumbuh berbagai gagasan ilmiah dari pengetahuan arsitektur, ilmu
gaya, ilmu hitung, ilmu ukur. Semua ilmu ini penting untuk keperluan membangun
berbagai kuil, istana, dan piramid. Ilmu bedah dan ilmu kedokteran juga mulai
dikembangkan. Di Babilonia dikembangkan berbagai gagasan ilmiah dari ilmu bintang dan
ilmu pasti. Suatu hal lain yang perlu diketahui bahwa masih melekat pada pertumbuan ilmu
pada masa yang pertama ini adalah adanya penjelasan penjelasan yang bersifat gaib. Ada
dua jenis ilmu yang dipelajari pada waktu itu mendekati kematangannya, pertama,
ilmu kedokteran, praktek yang mencoba menerapkan metode yang berdisiplin dalam
pengamatan dan penarikan kesimpulan, dan kedua, geometri, yang berguna untuk
mengumpulkan setumpukan hasil di seputar hubungan-hubungan antara ilmu hitung
yang disusun secara khusus dan sedang mendekati masalah-masalah struktur logis serta
masalah-masalah definisi.
Perkembangan sains pada Masa berikutnya adalah Masa Romawi yang merupakan
masa terakhir dari pertumbahan sains pada zaman Kuno dan merupakan masa yang
paling sedikit memberikan sumbangsih pada seajarah sains dalam Zaman Kuno.
Perkembangan berikutnya pada zaman pertengahan, ribuan naskah pengetahuan dari
Zaman Yunani Kuno yang terselamatkan dan diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh
cendekiawan Muslim dan sebagian ditambahi catatan ulasan, abad VII dan VIII Dinasti
Abbasiyah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi kaum Muslim meguasai wilayah-
wilayah Asia Kecil sampai Mesir dan Spanyol. Kota-kota yang merupakan pusat-pusat
kebudayaannya ialah Bagdad, Damaskus, Kairo, Kordoba, dan Toledo. Dengan demikian
perkembangan sains dan teknologi islam berkembang pada masa dinasti Abbasiyah yang
menjadi pendorong berkembangnya sains.
Sebagaimana yang kita ketahui, hukum mempelajari ilmu agama (ilmu syar’i) adalah
kewajiban atas setiap muslim (fardhu ‘ain). Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
”Menuntut ilmu (agama) itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no. 224. Dinilai
shahih oleh Syaikh Al-Albani)
Ilmu syar’i adalah ilmu tentang agama Allah Ta’ala, yaitu ilmu yang bersumber dari
kitabullah (Al-Qur’an) dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah).
Lalu, bagaimana dengan ilmu duniawi (ilmu sains)? Apakah mempelajari ilmu-ilmu tersebut
menjadi tidak berpahala alias perbuatan sia-sia?
Jika Mendatangkan Kebaikan untuk Umat Islam, Hukum Mempelajari Ilmu Duniawi adalah
Fardhu Kifayah
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullahu Ta’ala- pernah ditanya,
”Apakah (mempelajari) ilmu seperti ilmu kedokteran dan industri termasuk tafaqquh fid diin
(mempelajari agama Allah Ta’ala,?”
Beliau -rahimahullahu Ta’ala- menjawab,
“Ilmu-ilmu tersebut tidaklah termasuk dalam ilmu agama (tafaqquh fid diin). Karena dalam
ilmu-ilmu tersebut tidaklah dipelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi, ilmu tersebut
termasuk dalam ilmu yang dibutuhkan oleh umat Islam.
Oleh karena itu, sebagian ulama berkata,’Sesungguhnya mempelajari ilmu industri
(teknologi), kedokteran, teknik, geologi, dan semisal itu, termasuk dalam fardhu kifayah.
Bukan karena ilmu-ilmu tersebut termasuk dalam ilmu syar’i (ilmu agama yang bersumber
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.), akan tetapi karena tidaklah maslahat bagi umat (Islam) ini
bisa terwujud kecuali dengan mempelajari ilmu-ilmu tersebut.
Di tempat yang lain, beliau -rahimahullahu Ta’ala- berkata,
“dan sunguh banyak ulama telah menyebutkan bahwa mempelajari ilmu industri (teknologi)
termasuk fardhu kifayah. Hal ini karena manusia harus (tidak boleh tidak) memiliki ilmu
tersebut untuk dapat memasak (menyiapkan makanan.), minum, atau perkara-perkara lainnya
yang dibutuhkan. Jika tidak ditemukan orang yang menekuni ilmu tersebut, maka hukum
mempelajarinya menjadi fardhu kifayah.”
Oleh karena itu, mempelajari ilmu-ilmu duniawi tersebut agar diniatkan untuk dapat
memberikan manfaat bagi kaum muslimin dan meningkatkan (derajat) umat Islam.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di -rahimahullahu Ta’ala- berkata,
”(Yang dimaksud dengan) fardhu kifayah, (yaitu) jika sejumlah orang dalam jumlah yang
mencukup telah melaksanakan kewajiban tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang
lainnya. Jika tidak ada satu pun orang yang melaksanakannya, maka semua orang yang
memiliki kemampuan (untuk melaksanakan kewajiban tersebut menjadi berdosa.”
Kesimpulannya, hukum mempelajari ilmu duniawi (sains) sangat tergantung pada tujuan,
apakah untuk tujuan kebaikan atau tujuan yang buruk.
Oleh karena itu, ketika ilmu duniawi menjadi sarana untuk menegakkan kewajiban dalam
agama, maka hukum mempelajari ilmu tersebut juga wajib. Dan ketika menjadi sarana untuk
menegakkan perkara yang hukumnya sunnah dalam agama, maka hukum mempelajarinya
juga sunnah.
Kesimpulan
Sebelum manusia diciptakan di bumi, Allah SWT sudah merencanakan bahwa manusia diberi
amanah sebagai khalifah untuk menjaga bumi, artinya manusia dibekali ilmu pengetahuan
untuk menjalankan amanatnya sebagai khalifah. Sejak diciptakannya manusia pertama yaitu
Nabi Adam dan Hawa, Allah telah mengajarkan ilmu pengetahuan kepada mereka dengan
mengurus para malaikat untuk mengajarkan nama-nama benda yang ada di bumi. Kemudian
ilmu pengetahuan tersebut diturunkan kepada anak-anak adam dan semakin berkembang
hingga sekarang ini. Dan hasil produk dari ilmu pengetahuan itu adalah teknologi.
Dalam sebuah hadist Nabi muhammad memerintahkan agar manusia mencari ilmu walaupun
sampai ke negeri yang notabene non-muslim. Melalui hadist ini, maka dalam beberapa abad
munculah ilmuwan-ilmuwan muslim dari berbagai negara. Sehingga iptek dalam islam
mengalami masa kejayaan. Maka hukum mempelajari ilmu duniawi untuk menghasilkan
suatu teknologi dihukumkan menjadi suatu keharusan. Karena mempelajari ilmu tersebut
berguna untuk maslahat bagi umat Islam yang bisa terwujud kecuali dengan mempelajari
ilmu-ilmu tersebut.
Sumber :
https://www.researchgate.net/publication/
333846895_ISLAM_DAN_PERKEMBANGAN_SAINS_TEKNOLOGI_Studi_Perkembang
an_Sains_dan_Teknologi_Dinasti_Abbasiyah
https://muslim.or.id/36774-kedudukan-mempelajari-ilmu-duniawi-sains-dalam-timbangan-
syariat.html
(2) ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF ISLAM | dina auliya - Academia.edu