Anda di halaman 1dari 36

BAB II

LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Timbulan Sampah

Timbulan sampah telah menjadi masalah diseluruh negara di dunia mulai


dari negara berpendapatan tinggi hingga negara dengan pendapatan rendah.
Namun perilaku dalam menghadapi dan menangani masalah timbulan sampah
berbeda setiap negaranya. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan jumlah,
sumber, dan komposisi sampah dari masing-masing negara (Herlambang, 2020).
Khajuria dkk (2010) berpendapat bahwa tingkat pertumbuhan
industrialisasi yang pesat telah menyebabkan peningkatan timbulan sampah di
negara-negara berkembang. Selain itu, perkembangan ekonomi yang cepat dan
perubahan gaya hidup, komposisi sampah juga akan berubah. Di negara
berkembang, sampah masih dikumpulkan tanpa pemilahan dan fasilitas
pengolahan masih terbatas, dimana hal ini akan menyebabkan permasalahan di
masa yang akan datang

Faktor lain yang mempengaruhi jumlah dan sumber timbulan sampah


adalah penduduk. Jumlah penduduk cenderung memiliki hubungan positif pada
timbulan sampah, dimana semakin padat penduduk di sebuah kota maka akan
semakin banyak menghasilkan jumlah timbulan sampah (Mazzanti dan Zoboli,
2009). Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Chen (2010) dan Jaligot &
Chenal (2018) yang mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat kepadatan
penduduk di sebuah negara maka akan semakin banyak masyarakat yang
mengkonsusmsi sebuah barang/ jasa sehingga akan menghasilkan timbulan
sampah lebih banyak.

Faktor selanjutnya yang mempengaruhi timbulan sampah adalah tingkat


pendidikan yang dicerminkan dengan variabel rata-rata lama sekolah. Menurut
(Arbulu dkk, 2015), semakin tinggi tingkat pendidikan penduduk secara
signifikan akan meningkatkan komitmen untuk peduli terhadap lingkungan.

15
Menurut Chen (2010), semakin tinggi tingkat pengangguran pada suatu
negara, maka tingkat konsumsi di negara tersebut akan menurun, sehingga jumlah
timbulan sampah yang dihasilkan akan semakin sedikit. Pengangguran dapat
mengurangi jumlah sampah karena tingkat konsumsi yang rendah (Arbulu dkk,
2015). Hal ini karena seorang pengangguran memiliki pendapatan yang rendah
bahkan tidak memiliki pendapatan, sehingga menyebabkan rendahnya tingkat
konsumsi dan sampah yang dihasilkan sedikit.

Menurut Mazzanti dan Zoboli (2009), pendapatan per kapita berpengaruh


terhadap timbulan sampah karena timbulan sampah secara proporsional
meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan. Selain itu, Chen (2010)
berpendapat bahwa secara intuitif rumah tangga dengan pendapatan lebih tinggi
dapat mengkonsumsi lebih banyak barang/ jasa, sehingga dapat menghasilkan
timbulan sampah lebih banyak.

Sampah adalah limbah padat yang terdiri dari bahan organik dan anorganik
dimana perlu dikelola karena dianggap tidak berguna lagi agar dapat melindungi
investasi pembangunan dan agar tidak berbahaya bagi lingkungan (SNI 19-2454-
2002). Sampah pada dasarnya adalah suatu bahan yang dibuang atau terbuang
dari aktivitas manusia atau proses alam yang dilihat tidak memiliki nilai ekonomi,
bahkan memiliki nilai ekonomi negatif karena perlunya biaya pengelolaan yang
cukup tinggi (Dewilda dkk, 2014). Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2008 Tentang Pengelolaan Sampah, sampah yaitu sisa kegiatan harian manusia
dan/ atau proses alam yang memiliki bentuk padat.

Timbulan sampah adalah sebuah konsekuensi dari konsumsi barang


(Saladie, 2016). Pola konsumsi terkait langsung dengan peningkatan pendapatan
yang mengakibatkan perubahan komposisi dan jumlah sampah (Ogwueleka,
2013). Pola konsumsi ini pada masing-masing negara tidak seragam dan terdapat
perbedaan yang signifikan (Shekdar, 2009; Purcell dan Magette, 2009). Perbedaan
pola konsumsi disebabkan oleh faktor sosial ekonomi, demografi, wilayah dan

16
lingkungan, serta faktor-faktornya hubungan dengan timbulan sampah (Oribe dkk,
2015).
Timbulan sampah dihasilkan oleh aktivitas manusia, dan jumlah timbulan
sampah meningkat sejalan dengan peningkatan populasi dan pertumbuhan
ekonomi (Giusti, 2009). Manusia adalah faktor utama pendorong produksi,
konsumsi, dan selanjutnya menghasilkan timbulan sampah.

Daskalapoulos dalam Adlina (2013) menyatakan variabel utama yang


mempengaruhi kuantitas dan komposisi timbulan sampah yaitu populasi dan
standar hidup rata-rata dalam suatu negara. Karena timbulan sampah merupakan
konsekuensi langsung dari aktivitas manusia, maka populasi merupakan variabel
utama dalam menetukan jumlah timbulan, semakin banyak jumlah populasi yang
tinggal dalam suatu negara maka semakin banyak timbulan sampah yang
dihasilkan. Pemisahan pengeluaran konsumsi total (TCE, total consumer
expenditure) menjadi pengeluaran konsumsi yang berhubungan dengan timbulan
(RTCE. related total consumer expenditure), meliputi pengeluaran untuk
makanan dan minuman, pakaian dan alas kaki, furnitur, buku, kertas, dan majalah

Sementara itu, Khajuria dkk (2010) berpendapat bahwa estimasi timbulan


sampah adalah fungsi dari tiga faktor utama yaitu jumlah penduduk, PDRB, dan
illiteracy.

a. Jumlah penduduk
Selama dua dekade terkahir, timbulan sampah yang dihasilkan oleh negara
berkembang mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan oleh
pertambahan jumlah penduduk di perkotaan akibat dari peritiwa urbanisasi.
b. Produk Domestik Regional Bruto per Kapita
Adanya pertumbuhan ekonomi mengakibatkan perubahan gaya hidup
masyarakat. Perubahan gaya hidup ini menjadikan konsumsi masyarakat juga ikut
berubah. Tingginya konsumsi masyarakat inilah yang diyakini dapat
mempengaruhi timbulan sampah.
c. Illiteracy/ tingkat kesadaran masyarakat

17
Tingkat kesadaran masyarakat dapat mempengaruhi timbulan sampah, hal ini
dikarenakan ketidaktahuan masyarakat dalam pengelolaan sampah.
Timbulan sampah termasuk limbah komersial dan residensial yang
dihasilkan wilayah kota dalam bentuk padat atau semi-padat tidak termasuk
limbah industri berbahaya tetapi termasuk pengolahan bio-limbah medis.
Komponen utama sampah adalah abu, sisa makanan, kertas, puing konstruksi,
plastik, tekstil, kaca, kayu dan logam (Chen, 2010). Bahan komponen sampah
terkait langsung dengan komposisi karbon, nitrogen, hidrogen, sulfur, oksigen,
dan nilai kalori.
Menurut Damanhuri (2010), sampah dapat dkelompokkan berdasarkan
komposisinya, misalnya dinyatakan dalam % berat (biasanya berat basah) atau %
volume (basah) dari kertas, kayu, kulit, karet, plastik, logam, kaca, kain, makanan,
dan lain-lain. Komposisi sampah tersebut digolongkan dalam dua komponen
utama sampah yaitu:

a. Sampah organik: sisa makanan, kertas, karbon, plastik, karet, kain, kulit, dan
kayu.
b. Sampah anorganik: kaca, alumunium, kaleng logam, abu, dan debu.

Selain komposisi sampah, Damanhuri (2010) mengatakan terdapat


karakteristik dalam penangan sampah yaitu karakteristik fisika dan kimia:

a. Karakteristik fisika: yang paling penting adalah densitas, kadar air, kadar
volatile, kadar abu, nilai kalor, dan distribusi ukuran.
b. Karakteristik kimia: khususnya yang menggunakan susunan kimia sampah
yang terdiri dari unsur C, N, O, P, H,S, dan sebagainya.

Data tentang karakteristik kimia sampah dapat diketahui dengan cara


menganalisa di laboratorium. Data ini erat hubungannya dengan komposisi fisik
sampah. Apabila komposisi sampah bahan organik sangat tinggi, nilai kalor dan
kadar abu rendah, tetapi berat jenis tinggi. Data ini berguna untuk
mepertimbangkan dalam pemilihan alternatif pengolahan sampah. (Ramandhani,
2011).

18
Menurut Damanhuri (2010), timbulan sampah adalah banyaknya sampah
yang dapat dihitung dalam:

a. Satuan berat: kilogram per orang per hari (kg/ orang/ hari)
b. Satuan volume: liter per orang perhari (liter/ orang/ hari)

Jumlah timbulan sampah diperoleh dari pengukuran langsung di lapangan


terhadap sampah dari berbagai sumber melalui sampling yang representatif. Tata
cara ketentuan sampling terdapat pada SNI-19-3964-1994 mengenai Metode dan
Pengambilan Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan. Menurut
Tchobanoglous dalam Fuadhilah (2012), ada beberapa metode mengukur
timbulan sampah, yaitu:

1. Load-count analysis/ analisis menghitung beban, yaitu menghitung jumlah


volume sampah yang masuk tempat pembuangan akhir dengan mencatat
berat, volume, sumber sampah, dan jenis angkutan, setelah itu dihitung
jumlah timbulan sampahnya dalam waktu tertentu.
2. Weight-volume analysis/ analisis berat volume, yaitu menghitung jumlah dari
volume sampah yang masuk tempat pembuangan akhir dengan mencatat berat
dan volume sampah, setelah itu dihitung jumlah timbulan sampah selama
waktu tertentu.
3. Material-balance analysis/ analisis kesetimbangan bahan. Metode ini
menghasilkan data yang lebih lengkap untuk mengetahui sampah industri dan
rumah tangga serta diperlukan dalam program daur ulang.

Apabila tidak dapat mengambil hasil secara langsung, maka dapat


menggunakan hasil penelitian yang telah ada. Besar timbulan sampah dapat dibagi
menjadi dua yaitu menurut klasifikasi kota dan komponen sumber sampah (SNI
19-3983-1995 Tahun 1995). Standar timbulan sampah dapat dilihat pada Tabel
2.1 dan 2.2

19
Tabel 2.1 Besar Timbulan Sampah Berdasarkan Sumber Sampah

Komponen Sumber Volume


No Satuan Berat (kg)
Sampah (liter)
1 Rumah Permanen Per orang/ hari 2.25-2.50 0.35-0.4
2 Rumah Semi Permanen Per orang/ hari 2.00-2.25 0.3-0.35
3 Rumah Non Permanen Per orang/ hari 1.75-2.00 0.25-0.3
4 Kantor Per pegawai/ hari 0.50-0.75 0.25-0.1
5 Toko/ Ruko Per petugas/ hari 2.50-3.00 0.15-0.35
6 Sekolah Per murid/ hari 0.10-0.15 0.01-0.02
7 Jalan Arteri Sekunder Per meter/ hari 0.10-0.15 0.02-0.1
Jalan Kolektor
8 Per meter/ hari 0.10-0.15 0.01-0.05
Sekunder
9 Jalan Lokal Per meter/ hari 0.05-0.10 0.005-0.025
10 Pasar Per meter2/ hari 0.20-0.60 0.1-0.3
Sumber: Standar Nasional Indonesia, 1995.

Standar timbulan sampah atau spesifikasi timbulan sampah adalah standar


hasil timbulan yang diproduksi oleh sumber sampah yang bertujuan untuk
memberi kriteria perencanaan persampahan di kota kecil maupun kota sedang di
Indonesia. Untuk kota besar harus melakukan pengambilan dan pengukuran
contoh timbulan sampah (SNI 19-3983-1995 Tahun 1995). Adapun yang
dimaksud dengan kota kecil dan kota sedang yaitu sebagai berikut :

a. Kota kecil adalah kota yang memiliki jumlah penduduk kurang dari 100.000
jiwa
b. Kota sedang adalah kota yang memiliki jumlah penduduk berkisaran 100.000
dan 500.000 jiwa
c. Kota besar adalah kota yang memiliki jumlah penduduk lebih dari 500.000
jiwa.

Tabel 2.2 Besar Timbulan Sampah Berdasarkan Klasifikasi Kota

Volume (liter/ Berat


No Klasifikasi Kota orang/ hari) (kg/orang/hari)
1 Kota Sedang 2.75-3.25 0.70-0.80
2 Kota Kecil 2.5-2.75 0.625-0.70
Sumber: Standar Nasional Indonesia, 1995.

20
Menurut Anwar dalam Ramandhani (2011), jumlah dan jenis sampah
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Letak Geografis

Letak geografis mempengaruhi tumbuh-tumbuhan yang dapat ditanam di


dataran tinggi umunya banyak ditumbuhi sayur-sayuran, buah-buahan, dan jenis
tanaman tegalan yang akhirnya mempengaruhi jumlah dan jenis sampah

2. Iklim

Iklim yang banyak hujan menyebabkan kandungan airnya tinggi, sehingga


kelembapan sampah pun akan cukup tinggi. Jika intensitas hujan cukup sering
terjadi, maka akan membuat tumbuh-tumbuhan lebih banyak bertahan hidup
dibandingkan daerah yang kering, sehingga sampah berupa daun-daunan akan
menjadi lebih banyak.

3. Tingkat Sosial Ekonomi

Apabila tingkat ekonomi seseorang baik, maka daya belinya akan tinggi dan
sampah yang dihasilkan tinggi pula. Daerah dengan tingkat ekonomi tinggi
umumnya menghasilkan sampah anorganik lebih banyak dibandingkan dengan
daerah dengan tingkat ekonomi rendah. Sampah anorganik tersebut dapat terdiri
dari kaleng, kertas, dan sebagainya.

4. Kepadatan Penduduk

Apabila jumlah kepadatan penduduk tinggi, maka sampah yang dihasilkan


akan tinggi. Pertumbuhan penduduk berbanding lurus terhadap jumlah sampah
yang dihasilkan, semakin padat penduduk maka masayarkat yang menghasilkan
sampah semakin banyak.

5. Kemajuan Teknologi

Kemajuan teknologi dapat mempengaruhi industri karena industri dapat


menggunakan peralatan yang lebih baik seiring dengan kemajuan teknologi,

21
contohnya dalam hal kemasan produk. Menurut Damanhuri (2010), produk
kemasan memengaruhi hasil dari komposisi sampah yang dihasilkan. Negara maju
cenderung banyak menggunakan kertas sebagai pengemas, sedangkan negara
berkembang lebih banyak menggunakan plastik sebagai pengemas.

Pengukuran timbulan sampah merupakan suatu hal yang penting dalam


perencanaan sistem pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah di negara
berkembang belum baik dan fasilitas pembuangan tidak terorganisir dengan baik
(Adlina, 2013). Komposisi sampah juga perlu diperhatikan agar dapat
menghubungkan secara rasional sistem yang sesuai dengan pertimbangan
teknologi, ekologi, dan lingkungan. Cara yang dapat dilakukan yaitu dengan
mengetahui faktor-faktor pendorong timbulan sampah. Pengukuran pembuangan
sampah yang tepat dapat digunakan perencanaan kapasitas begitu pula dengan
beban lingkungan dari sistem pembuangan dan pengelolaan sampah.

Tujuan diketahuinya timbulan sampah yaitu dasar dari perencanaan,


perancangan, dan pengkajian sistem pengelolaan persampahan, untuk menentukan
jumlah sampah yang harus dikelola, dan untuk perencanaan sistem pengumpulan
yang meliputi penentuan macam dan jumlah kendaraan yang dipilih, jumlah
pekerjaan yang dibutuhkan, jumlah dan bentuk TPS yang diperlukan (Damanhuri
dalam Ramandhani, 2011). Dampak negatif timbulan sampah berupa gangguan
kesehatan masyarakat dengan timbulnya berbagai penyakit dan pencemaran air
tanah serta polusi udara, selain itu sampah merupakan salah satu penyebab banjir
(Suharjo, 2012).

Jumlah sampah yang akan semakin besar membutuhkan pengelolaan samah


yang lebih baik. Penanganan sampah tidak dilakukan dengan baik dan fasilitas
sampah tidak memadai maka nantinya menimbulkan dampak yang memiliki
potensi merusak lingkungan. Ada beberapa dampak yang dihasilkan oleh sampah
yaitu (Ardianti, 2011):

1. Perkembangan Faktor Penyakit

22
Perkembangan faktor penyakit terjadi pada wadah sampah yang menjadi
tempat pertumbuhan lalat dan tikus. Tempat penampungan sementara/ kontainer
juga merupakan tempat berkembangnya faktor penyakit. Hal ini disebabkan oleh
frekwensi penutupan sampah yang tidak dilakukan sesuai ketentuan sehingga
siklus hidup lalat dari telur menjadi larva telah berlangsung sebelum penutupan
dilakukan. Gangguan akibat lalat umumnya dapat ditemui pada radius 1-2 km dari
lokasi tempat pembuangan akhir.

2. Pencemaran Udara

Pencemaran udara oleh sampah disebabkan oleh adanya sampah yang


menumpuk, pembongkaran sampah, dan pembakaran sampah. Asap dapat
menimbulkan gangguan lingkungan sekitarnya. Volume besar dalam
pembongkaran sampah pada lokasi pengolahan sampah dapat menimbulkan
gangguan bau.

3. Pencemaran Air

Sarana dan prasarana pengumpulan terbuka sangat berpotensi menghasilkan


lindi. Lindi yang mengalir ke saluran atau tanah menyebabkan pencemaran. Skala
besar dari instalasi pengolahan dapat menampung sampah yang jumlahnya cukup
besar, sehingga lindi yang dihasilkan menimbulkan pencemaran air dan tanah di
wilayah sekitarnya.

Pencemaran lindi juga disebabkan oleh pengolahan yang belum optimal. Sifat
pencemar lindi yang sangat besar mempengaruhi kondisi badan air penerima yaitu
pada air permukaan yang mudah kurang oksigen terlarut sehingga dapat membuat
biota di dalamnya mati.

4. Pencemaran Tanah

Pembuangan sampah yang tidak benar misalnya di lahan kosong akan


menyebabkan lahan setempat mengalami pencemaran akibat tertumpuknya
sampah organik dan anorganik. Apabila hal ini terjadi maka akan memerlukan
waktu agar sampah terdegradasi atau menjadi larut.

23
5. Gangguan Estetika

Tempat sampah secara terbuka akan menimbulkan kesan pandangan yang


kurang menarik sehingga mempengaruhi estetika lingkungan. Hal ini bisa terjadi
di lahan pembuangan sampah dan lingkungan permukiman. Selain itu, ceceran
sampah yang tidak dilengkapi dengan penutup membuat sampah jatuh ke jalan
sehingga membuat pemandangan tidak indah.

6. Kemacetan Lalu Lintas

Kemacetan lalu lintas disebabkan oleh arus kendaraan pengangkut sampah


yang keluar masuk lokasi pengolahan sampah. Adanya kedatangan truk sampah di
tempat pembuangan akhir yang terletak dekat jalan umum dapat menimbulkan
kemacetan.

7. Gangguan Kebisingan

Gangguan kebisingan umumnya disebabkan oleh suara mesin, bunyi rem, dan
gerakan bongkar muat hidrolik. Di instalasi pengolahan kebisingan timbul akibat
lalu lintas kendaraan truk sampah juga akibat bunyi mesin pengolahan sampah
saat digunakannya mesin pencacah sampah.

8. Dampak Sosial

Adanya pembangunan tempat pembuangan sampah di dekat permukiman


menimbulkan keresahan dan pertentangan dari masyarakat. Sikap oposisi ini akan
terus meningkat sejalan dengan pendidikan yang meningkat dan meningkatnya
taraf hidup masyarakat, sehingga perlu untuk mengambil kebijakan dalam
menghindari permasalahan ini.

2.1.2 Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan peningkatan produksi barang dan jasa


dan merupakan indikator keberhasilan dari pembangunan ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi tercermin pada perkembangan perekonomian. Namun, pertumbuhan
ekonomi berbeda dengan perkembangan ekonomi, perkembangan ekonomi tidak

24
hanya menyangkut pertambahan dalam produksi barang dan jasa, melainkan juga
kualitas faktor-faktor produksi yang terlibat dalam proses produksi barang dan
jasa tersebut (Suparmoko, 2013).

Menurut Sukirno (2012) pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan


fiskal dari produksi barang dan jasa yang ada pada suatu negara, contohnya
peningkatan jumlah produksi barang industri, peningkatan jumlah sekolah,
perkembangan infrastruktur, peningkatan produksi jasa, dan peningkatan produksi
barang modal. Tolak ukur dari pertumbuhan ekonomi adalah produk domestik
bruto dan produk nasional bruto. Kedua tolak ukur ini digunakan untuk
menghitung total dari output perekonomian (Mulyani, 2015).

Pertumbuhan ekonomi mengakibatkan perubahan gaya hidup masyarakat.


Perubahan gaya hidup menyebabkan konsumsi sumber daya alam meningkat.
Akibatnya terjadi peningkatan konsumsi yang berujung pada berkurangnya
sumber daya alam dan meningkatnya jumlah timbulan sampah. Dampak negatif
timbulan sampah dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan
masyarakat.

Terdapat dampak pertumbuhan ekonomi pada timbulan sampah dan


degradasi lingkungan yaitu terhadap kesehatan, lingkungan, dan kondisi sosial
ekonomi, serta kontribusinya terhadap perubahan iklim (Gutberlet dan Uddin,
2017). Menurut Gardiner dan Hajek (2020), lingkungan ekonomi regional yang
berbeda secara signifikan mempengaruhi hubungan antara pertumbuhan ekonomi
dan kualitas lingkungan, misalnya peningkatan faktor produksi seperti lapangan
kerja dan modal tidak hanya berkontribusi pada produksi dan konsumsi saja tetapi
juga pada polusi industri. Stern dalam Herlambang (2020), menyebutkan bahwa
pada tahap awal pembangunan ekonomi suatu negara akan terjadi peningkatan
polusi dan degradasi lingkungan, tetapi pada saat pendapatan per kapita
meningkat pertumbuhan ekonomi mengarah pada perbaikan lingkungan.

Menurut Sukirno (2011), ada beberapa faktor-faktor pertumbuhan ekonomi


yaitu sebagai berikut:

25
1. Tanah dan Kekayaan Alam

Pada awal terjadinya pertumbuhan ekonomi, kekayaan alam membuat mudah


dalam mengembangkan perekonomian negara. Negara yang memiliki kekayaan
alam yang menguntungkan, maka hambatan pertumbuhan ekonomi akan dapat
diatasi dan terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi.

2. Jumlah dan Kualitas Penduduk Dan Tenaga Kerja

Bertambahnya penduduk akan mendorong jumlah tenaga kerja dan produksi.


Namun, adanya pendidikan, latihan dan pengalaman kerja, keterampilan
penduduk akan bertambah tinggi. Sehingga, menyebabkan bertambahnya
produktivitas dan bertambahnya produksi namun bertambahnya tenaga kerja
lebih lambat. Dampak negatif dari pertambahan penduduk terhadap pertumbuhan
ekonomi dihadapi oleh masyarakat yang ekonominya masih rendah. Apabila
dalam perekonomian terjadi pertambahan tenaga kerja tetapi tidak dapat
meningkatkan produksi nasional yang lebih tinggi dari tingkat pertambahan
penduduk, maka pendapatan perkapita akan menurun.

3. Barang Modal dan Tingkat Teknologi

Apabila hanya barang-barang modal saja yang bertambah dan tingkat


teknologi tidak mengalami perkembangan, maka kemajuan yang akan dicapai
rendah. Tidak adanya perkembangan teknologi menyebabkan produktivitas
barang-barang modal tidak akan berubah dan tetap di tingkat yang sangat rendah.

4. Sistem Sosial dan Sikap Masyarakat

Pada beberapa negara berkembang, sistem sosial dan sikap masyarakat menjadi
faktor penghambat perkembangan ekonomi. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan
atau adat istiadat yang dianut oleh masyarakat, contohnya adalah masyarakat yang
lebih menyukai menggunakan peralatan tradisional dalam memproduksi barang,
masyarakat menolak untuk menggunakan alat produksi yang lebih efeketif dan
efisien

26
Namun ada beberapa negara yang masyarakatnya memiliki sikap yang dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi akan lebih cepat terjadi
pada masyarakat yang memiliki sikap hemat dan menabungkan uangnya untuk
investasi. Karena diketahui bahwa investasi memiliki korelasi yang positif dengan
pertumbuhan ekonomi

Terdapat beberapa teori pertumbuhan ekonomi, yaitu sebagai berikut:

1. Teori Pertumbuhan Ekonomi dari Adam Smith

Adam Smith mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi bisa dicapai


dengan melibatkan dua unsur yaitu pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan
output lokal. Pertumbuhan output dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu sumber-
sumber alam, tenaga kerja, dan jumlah persediaan barang. Sumber-sumber alam
mencapai batas maksimum apabila digunakan oleh tenaga kerja yang andal
dengan menggunakan barang modal yang cukup (Mulyani, 2015).

2. Teori Pertumbuhan Ekonomi dari David Ricardo dan T.R. Malthus

David Ricardo mengemukakan bahwa pertumbuhan penduduk yang terlalu


besar bisa menyebabkan melimpahnya tenaga kerja. Tenaga kerja yang melimpah
menyebabkan upah yang diterima menurun, sehingga hanya bisa memenuhi
tingkat hidup minimum (subsistence level). Pada kondisi ini, perekonomian
mengalami kemandegan atau disebut juga Stationary State.

Thomas Robert Malthus bependapat bahwa bahan makanan bertambah


menurut deret hitung (1, 2, 3, 4, 5, dan seterusnya), sedangkan penduduk
bertambah menurut deret ukur (1, 2, 4, 8, 16, dan seterusnya). Akibatnya, bahan
makanan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk, sehingga penduduk
hidup dalam tingkat subsistence dan perekonomian mengalami stagnasi.

Menurut Suparmoko (2016), peningkatan jumlah barang dan jasa


membutuhkan barang sumber daya sebagai faktor produksi yang akan diolah
bersama faktor-faktor produksi lain dimana produk sampingannya adalah
pencemaran lingkungan. Produk yang diinginkan (desirable output) adalah barang

27
dan jasa dan produk yang tidak diinginkan (undesirable output) adalah limbah
serta pencemaran. Maka, ada hubungan positif antar pembangunan ekonomi
dengan pencemaran lingkungan.

Pencemaran (P)

P= f(Y)

P1

P0

0 Pertumbuhan (Y)
Y0 Y1

Sumber: Suparmoko, 2008

Gambar 2.1 Hubungan antara Tingkat Pertumbuhan dan Tingkat Pencemaran

Gambar 2.1 menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi pada sumbu


horisontal dan tingkat pencemaran pada sumbu vertikal. Apabila laju
pertumbuhan ekonomi setinggi Y0 % maka tingkat pencemaran lingkungan
setinggi P0 dan apabila tingkat pertumbuhan ekonomi setinggi Y1 % maka tingkat
pencemaran lingkungan setinggi P1. Jadi, di satu pihak kegiatan produksi barang
dan jasa menghasilkan sesuatu yang berguna untuk meningkatkan kesejahteraan
hidup penduduk, tetapi di lain pihak menyebabkan pencemaran lingkungan yang
merupakan faktor penekan kesejahteraan hidup penduduk. Oleh karena itu,
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan sangat diperlukan sebelum suatu proyek
yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup penduduk dilaksanakan
(Suparmoko, 2016).

Menurut Cochrane (2016) ada beberapa dampak dari pertumbuhan ekonomi


yaitu sebagai berikut:

28
a. Politik. Pertumbuhan ekonomi membuat seorang pengambil keputusan
melakukan berbagai tindakan dalam mencapai target. Seorang politikus
memerlukan hukum baru, program baru, dan inisiatif yang terkini. Maka,
politikus akan bekerja sesuai kompetensi dan memiliki tujuan untuk
mencapai target.
b. Kesehatan. Pertumbuhan ekonomi memerlukan asuransi kesehatan untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Adanya pembayaran asuransi
kesehatan, kembali kepada yang bersangkutan dalam hal tingkat
produktivitas.
c. Energi dan Lingkungan. Polusi merupakan pembayaran atas penggunaan
sumber daya sebagai akibat peningkatan produksi. Pertumbuhan ekonomi
membuat pemerintah melihat skala energi dan menetapkan regulasi
lingkungan.
d. Pendidikan. Negara dengan PDB yang tinggi memiliki kemampuan
membayar sekolah yang lebih tinggi daripada negara lain. Pemerintah akan
memberikan dana pengeluaran untuk sekolah publik agar penduduk dapat
sekolah dimana pendidikan adalah dasar dari peningkatan produktivitas.
2.1.3 Jumlah Penduduk

Penduduk merupakan subjek dan objek pembangunan, pembangunan


dikatakan berhasil apabila kesejahteraan masyarakat meningkat, pertumbuhan
penduduk yang pesat, tanpa disertai kualitas penduduk yang baik maka akan
menjadi beban bagi pembangunan (Handayani, 2020). Jumlah penduduk adalah
semua orang yang sah yang tinggal disuatu daerah atau negara serta menuruti
semua aturan dan ketentuan-ketentuan dari daerah atau negara tersebut (Persaulian
dkk, 2013).

Jumlah penduduk memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi


karena penduduk memberikan sumber daya manusia dan menciptakan suatu
kegiatan ekonomi (Ramadayanti, 2020). Pembangunan ekonomi memiliki tujuan
meningkatkan taraf hidup masyarakat dan meratakan pendapatan masyarakat.
Salah satu faktor keberhasilan dari pembangunan ekonomi yaitu pertumbuhan

29
ekonomi. Melihat pertumbuhan ekonomi adalah dari besarnya penerimaan suatu
wilayah sebagai akibat meningkatkanya penerimaan masyarakat, maka
pertumbuhan penduduk yang tinggi memengaruhi peningkatan pertumbuhan
ekonomi yang mana dapat diketahui dari meningkatnya produk domestik bruto
(Safitri dan Aliasuddin, 2016).

Peningkatan jumlah penduduk akan berpengaruh terhadap perilaku atau


gaya hidup juga pola konsumsi masyarakat. Perubahan ini memengaruhi hasil
volume sampah dan jenis sampah. Maksudnya adalah semakin meningkat jumlah
penduduk, maka jumlah sampah yang dihasilkan semakin bertambah. Hal ini
didukung oleh Taufiqurrahman (2016), yang menyatakan bahwa peningkatan
jumlah penduduk serta terjadinya perubahan pola konsumsi masyarakat secara
signifikan menambah volume, karakteristik, dan jenis sampah dan semakin
bervariasi.

Peningkatan jumlah penduduk di suatu kabupaten/ kota akan


meningkatkan jumlah konsumsi barang dan jasa (Herlambang, 2020). Peningkatan
jumlah penduduk yang menyebabkan semakin padat penduduk di suatu
kabupaten/ kota dapat menjadi faktor dimana wilayah tersebut menghasilkan
sampah semakin tinggi (Mazzanti dan Zoboli, 2009; Chen, 2010; Jaligot dan
Chenal, 2018).

Menurut Damanhuri dan Padmi (2010), rata-rata timbulan sampah akan


beragam setiap saat antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, dan juga antar
satu negara dengan negara lainnya. Variasi timbulan sampah tersebut disebabkan
oleh perbedaan antara lain:

a. Jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhan penduduk


b. Tingkat hidup: semakin tinggi tingkat hidup suatu masyarakat, maka semakin
besar timbulan sampah yang dihasilkan.
c. Musim dan iklim: pada musim panas di negara barat timbulan sampah
mencapai angka minimum dan pada musin dingin timbulan sampah
bertambah dari debu hasil pembakaran.

30
d. Cara hidup dan mobilitas penduduk, daerah yang memiliki pergerakan tinggi
dan cara hidup yang lebih bervariasi berbanding lurus dengan peningkatan
timbulan sampah.
e. Cara penanganan makanan, wilayah pedesaan menghasilkan sampah organik
lebih banyak daripada wilayah perkotaan yang lebih banyak menghasilkan
makanan siap saji.

Jumlah timbulan sampah berhubungan dengan elemen-elemen pengelolaan


sampah antara lain (Adlina dalam Prajati, 2014):

a. Pemilihan peralatan misalnya wadah, alat pengumpul, dan pengangkutan


b. Perencanaan rute pengangkutan
c. Fasilitas untuk daur ulang
d. Luas dan jenis TPA

Pertambahan penduduk diakibatkan oleh tiga komponen demografi yaitu:

a. Fertilitas
Fertilitas adalah hasil reproduksi nyata dari seorang wanita atau sekelompok
wanita, atau fertilitas merupakan gambaran mengenai jumlah kelahiran hidup
dalam suatu wilayah pada periode waktu tertentu.
b. Mortalitas

Mortalitas atau kematian merupakan hilangnya tanda-tanda kehidupan secara


permanen, dan dapat terjadi kapan saja setelah kelahiran hidup. Mortalitas adalah
salah satu dari komponen demografi yang dapat memengaruhi perubahan
penduduk. Tinggi rendahnya tingkat mortalitas berbeda antar wilayah. Tujuan
pengumpulan data mortalitas untuk memproyeksikan penduduk dalam proses
perencanaan pembangunan dan sebagai evaluasi dari program-program
kependudukan.

c. Migrasi

Migrasi adalah proses perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat yang
lain dengan melewati batas wilayah tertentu. Migrasi merupakan bentuk respon

31
dari penduduk untuk meningkatkan standar hidup yang layak dan kesejahteraan
hidupnya. Penduduk bermigrasi dari pedesaan ke perkotaan disebabkan oleh
banyaknya lapangan pekerjaan yang ada diperkotaan. Dampak dari migrasi
mengakibatkan ketidakmampuan wilayah perkotaan menampung penduduk yang
berdatangan dari berbagai wilayah pedesaan.

Struktur penduduk dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :

a. Usia 0-14 tahun disebut usia muda (usia belum produktif).


b. Usia 15-64 tahun disebut usia dewasa (usia produktif atau usia kerja).
c. Usia 64 tahun lebih disebut usia tua (usia tidak produktif).

Menurut Adiotomo (2011), pengelompokkan penduduk berdasarkan


karakteristik tertentu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Karakteristik demografi yaitu jenis kelamin, umur, jumlah anak dan jumlah
wanita subur.
b. Karakteristik sosial yaitu status perkawinan dan tingkat pendidikan.
c. Karakteristik ekonomi yaitu lapangan usaha, tingkat pendidikan, aktivitas
penduduk yang aktif secara ekonomi, serta status dan jenis pekerjaan.
d. Karakteristik geografis yaitu berdasarkan tempat tinggal wilayah pedesaan,
perkotaan, kabupaten, dan provinsi.

Pengaruh jumlah penduduk dapat dilihat melalui tingkat konsumsi penduduk.


Menurut Adiotomo (2011), terdapat beberapa klasifikasi tingkat konsumsi
penduduk yaitu berdasarkan usia (produktif atau tidak produktif), pendidikan
(rendah, menengah, tinggi), dan wilayah tinggal (perkotaan atau pedesaan):

a. Semakin tinggi penduduk usia kerja atau usia produktif (15-64 tahun),
semakin banyak tingkat konsumsi, terutama apabila sebagian besar mendapat
kesempatan kerja yang tinggi, dengan upah yang wajar. Karena semakin
banyak penduduk yang berkerja, semakin banyak juga pendapatan penduduk.
b. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, maka konsumsinya juga
semakin tinggi, karena pada seseorang atau keluarga semakin berpendidikan

32
tinggi, kebutuhan hidupnya semkain banyak. Bukan lagi sekadar kebutuhan
untuk makan dan minum yang harus mereka penuhi, melainkan kebutuhan
informasi, pergaulan masyarakat yang lebih baik serta kebutuhan akan
pengakuan orang lain terhadap keberadaan diri seseirang (eksistensi).
Seringkali biaya yang dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan ini jauh lebih
banyak daripada biaya pemenuhan kebutuhan makan dan minum.
c. Semakin banyak penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan (urban),
konsumsinya juga semakin tinggi. Karena umumnya pola hidup masyarakat
perkotaan lebih konsumtif dibanding masyarakat pedesaan.
2.1.4 Tingkat Pengangguran

Pengangguran juga memiliki peran dalam mempengaruhi timbulan sampah


(Herlambang, 2020). Pengangguran dapat mengurangi jumlah sampah karena
tingkat konsumsi yang rendah (Arbulu dkk, 2015). Semakin tinggi tingkat
pengangguran di sebuah negara maka akan menurunkan tingkat konsumsi negara
tersebut, sehingga jumlah timbulan sampah yang dihasilkan akan semakin sedikit
(Chen, 2010). Dengan kata lain seorang pengangguran hakikatnya tidak memiliki
pendapatan yang berdampak terhadap rendahnya tingkat konsumsi mereka dan
akan menghasilkan sampah yang sedikit (Herlambang, 2020).

Menurut Spilsbury (2010), bedanya jumlah sampah yang dihasilkan orang


miskin dan orang kaya sangatlah besar. Sebagian konsumen di negara yang
ekonominya lebih tinggi dari negara berkembang (more economically develop
countries, MEDC’s) membeli makan dan memakai sesuatu lebih banyak daripada
orang lain. Mereka menghasilkan sampah dengan jumlah besar dan dominan
sampah yang dihasilkan adalah nonbiodegradable. Pada negara yang secara
ekonomi berada di bawah negara berkembang (less economically develop
countries, LEDC’s) orang tidak punya uang untuk membeli banyak barang dan
laju konsumsinya rendah, karena itu limbah yang dihasilkan sepuluh kali atau
lebih rendah dari orang-orang di MEDC’s. Pada tempat yang lebih miskin lagi,
orang harus menggunakan kembali atau memperbaki barang karena mereka tidak
mampu untuk membeli barang yang baru.

33
Pengangguran yaitu seseorang atau sejumlah angkatan kerja yang tidak dapat
bekerja dan sedang cari pekerjaan menurut referensi tertentu (Feriyanto, 2014).
Pengangguran atau tuna karya merupakan suatu istilah bagi orang yang tidak
sama sekali bekerja, sedang mencari kerja, selama seminggu bekerja kurang dari
dua hari, atau orang yang sedang berusaha memiliki pekerjaan yang layak.
Terjadinya pengangguran umumnya karena jumlah angkatan kerja atau orang
yang mencari kerja tidak berbanding lurus dengan jumlah lapangan kerja.
Pengangguran menjadi suatu masalah dalam perekonomian karena seorang
penganggur produktivitasnya rendah dan pendapatan masyarakat rendah sehingga
menyebabkan masalah kemiskinan dan masalah sosial lainnya (Mulyani, 2015).

Ada dua macam pengangguran seperti pengangguran terbuka dan


pengangguran terselubung. Menurut Badan Pusat Statistik (2019), pengangguran
terbuka adalah penduduk yang tidak bekerja tetapi mengharapkan pekerjaan dan
kegiatannya yaitu mempersiapkan usaha, mencari pekerjaan, tidak cari pekerjaan
dengan alasan tidak akan mendapat pekerjaan, dan tidak cari pekerjaan karena
telah memiliki pekerjaan tetap akan tetapi belum memulai bekerja. Sementara
pengangguran terselubung adalah seseorang yang bekerja namun tidak secara
maksimal.

2.1.5 Rata-Rata Lama Sekolah

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi timbulan sampah adalah tingkat
pendidikan penduduk (Gardiner dan Hajek, 2020). Menurut Arbulu, Lozano, &
Rey-maquieira (2015), semakin tinggi tingkat pendidikan penduduk, maka akan
meningkatkan komitmen untuk peduli terhadap lingkungan secara signifikan.
Chen (2010) juga berpendapat bahwa perguruan tinggi akan menghasilkan lebih
banyak lulusan dengan perilaku sadar terhadap lingkungan. Artinya, dengan
menuntut ilmu hingga perguruan tinggi dapat memperluas pemahaman, dan
pengetahuan tetang perilaku sadar lingkungan serta memotivasi masyarakat untuk
hidup menuju pembangunan berkelanjutan. Variabel tingkat pendidikan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah rata-rata lama sekolah.

34
Menurut Faritz (2020), rata-rata lama sekolah adalah rata-rata jumlah
tahun yang telah diselesaikan oleh penduduk pada seluruh jenjang pendidikan
formal yang telah dijalani. Menurut Badan Pusat Statistik (2018), rata-rata lama
sekolah (mean years of schooling) merupakan indikator yang menunjukkan rata-
rata jumlah tahun efektif untuk bersekolah yang dicapai penduduk. Menghitung
rata-rata lama sekolah itu tanpa memerhatikan seseorang tamat sekolah lebih
cepat atau lebih lama dari waktu yang sudah ditetapkan.

Pendidikan merupakan sebuah bentuk investasi penduduk, dimana semakin


tinggi pendidikan, maka kesejahteraan suatu individu akan meningkat hal ini juga
akan mempengaruhi kesejahteraan ekonomi suatu negara dalam jangka panjang
(Mankiw, 2012). Pendidikan adalah wahana dalam memberikan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap tentang kepedulian lingkungan kepada masyarakat
(Afandi, 2013). Pendidikan formal yang ditempuh masyarakat dapat membentuk
karakter dalam berperilaku pada kehidupan sehari-hari seperi peduli terhadap
kebersihan lingkungan sekitar. Pendidikan formal merupakan salah satu faktor
yang memengaruhi pengetahuan seseorang dalam berperilaku terhadap
lingkungan. Namun pengetahuan akan peduli lingkungan tidak mutlak diperoleh
dari mengenyam pendidikan formal saja, tetapi bisa melalui pendidikan non
formal (Wulansari, 2019).

Untuk mengurangi timbulan sampah yang dihasilkan, maka perlu peran


serta masyarakat dalam mengatasi masalah sampah dengan menerapkan perilaku
pro lingkungan, seperti melakukan pengelolaan sampah atau mendaur ulang
sampah. Menurut Wulansari (2019), perilaku peduli lingkungan terhadap sampah
antara lain:

a. Kebiasaan membuang sampah

Kebiasaan rumah tangga dalam membuang sampah dikategorikan menjadi dua


cara, yaitu kebiasaan membuang sampah dengan cara yang ramah lingkungan dan
membuang sampah dengan cara yang tidak ramah lingkungan. Membuang
sampah dengan cara ramah lingkungan yaitu dengan membuang sampah dengan

35
tidak sembarangan, sedangkan yang dimaksud membuang sampah dengan cara
tidak ramah lingkungan yaitu dengan dibakar, ditimbun dalam tanah untuk
sampah yang sulit terurai, dibuang ke saluran air/got, sungai, dibuang
sembarangan.

Sampah yang dibuang dengan cara ditimbun dalam tanah dapat menyebabkan
menurunnya kualitas kesuburan tanah akibat dari terkontaminasinya tanah dengan
berbagai bahan kimia yang berasal dari sampah rumah tangga (seperti bungkus
detergen, bekas pupuk kimia, baterai yang sudah berkarat), kecuali jika sampah
yang ditimbun adalah sampah organik (seperti sisa makanan, nasi, sayuran)
karena sampah organik tersebut justru dapat membuat tanah menjadi subur.

b. Pemilahan sampah anorganik dan organik serta perlakuan akhir

Rumah tangga dapat melakukan pemilahan sampah antara sampah yang


mudah membusuk dengan sampah yang tidak mudah membusuk terlebih dahulu
sebelum dibuang agar memudahkan proses dalam pengelolaan sampah pada tahap
berikutnya. Perlakuan akhir terhadap sampah yang mudah membusuk seperti
dedaunan dapat diolah menjadi pupuk kompos, sedangkan sampah yang tidak
membusuk dapat dimanfaatkan kembali atau didaur ulang.

c. Perlakuan bagi barang bekas layak pakai

Sebagian rumah tangga menganggap sampah terhadap barang bekas layak


pakai seperti baju bekas maupun perkakas bekas dan tindakan akhirnya hanya
dibuang tanpa dimanfaatkan kembali. Sebagian rumah tangga lainnya
menganggap barang bekas masih dapat dimanfaatkan kembali bahkan dapat
menjadi barang komersil dan dapat dijual.

2.1.6 Pengeluaran Konsumsi

Pengeluaran konsumsi dapat mempengaruhi jumlah timbulan sampah yang


dihasilkan. Hal ini dikarena adanya pendapatan yang dihabiskan/ digunakan untuk
membelanjakan sesuatu yang dibutuhkan atau diinginkan. Menurut Mazzanti dan
Zoboli (2009) timbulan sampah masih meningkat secara proporsional seiring

36
dengan meningkatnya pendapatan. Chen (2010) juga berpendapat bahwa intuitif
rumah tangga dengan pendapatan lebih tinggi dapat mengkonsumsi lebih banyak
barang/jasa, sehingga dapat menghasilkan lebih banyak timbulan sampah. Selain
itu menurut Gardiner dan Hajek (2020), pertumbuhan penduduk dan
perkembangan kota dan daerah belakangan ini dibarengi dengan peningkatan
konsumsi, menghasilkan jumlah sampah yang banyak.

Menurut Jha dkk (2011), sistem pengelolaan sampah perkotaan merupakan


isu yang komplek sehubungan dengan perubahan gaya hidup masyarakat, tingkat
urbanisasi tinggi, serta pemangku kepentingan yang kurang berperan. Arti gaya
hidup disini adalah pola konsumsi yang mencerminkan pilihan individu untuk
menggunakan uang dan waktu yang dimiliki. Gaya hidup merefleksikan cara
individu membelanjakan pendapatannya, baik belanja barang dan jasa maupun
belanja alternatif-alternatif tertentu yang mencakup kategori-kategori tertentu.
Pola-pola konsumsi berdasarkan gaya hidup terdiri dari unsur yang terbagi dalam
situasi sosial maupun ekonomi.

Pengeluaran konsumsi tahunan per kapita diestimasi berdasarkan variabel


yang berhubungan dengan perubahan gaya hidup dalam proyeksi konsumsi.
Dalam teori konsumsi, pengeluaran konsumsi per kapita diasumsikan sebagai
fungsi dari tingkat pendapatan. Namun, proses ini dipengaruhi oleh pola konsumsi
atau kebiasaan dari konsumen yang berhubungan. Tujuan model perilaku
konsumen ini adalah untuk menganalisis preferensi konsumsi individu dengan
adanya perubahan gaya hidup sebagai model distribusi pengelaran konsumsinya.
Pengeluaran konsumsi rumah tangga mencakup berbagai pegeluaran
konsumsi akhir rumah tangga atas barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
individu maupun kelompok secara langsung. Pengeluaran konsumsi rumah tangga
mencakup makanan dan minuman selain restoran, pakaian, alas kaki dan jasa
perawatannya, perumahan, dan perlengkapan rumah tangga, kesehatan dan
pendidikan, transportasi dan komunikasi, restoran dan hotel serta lainnya (Badan
Pusat Statistik, 2019).

37
Pengeluaran konsumsi sektor rumah tangga adalah salah satu jenis
pengeluaran agregat dalam perekonomian. Pengeluaran sektor rumah tangga
merupakan pengeluaran yang dilakukan sebagai upaya memenuhi berbagai jenis
kebutuhan hidup baik kebutuhan akan pangan maupun non pangan oleh sektor
rumah tangga (Syaifuddin dkk, 2017)

Menurut Persaulian (2013) salah satu untuk menilai perkembangan tingkat


kesejahteraan ekonomi penduduk adalah pola pengeluaran konsumsi masyarakat.
Keputusan konsumsi sektor rumah tangga memengaruhi keseluruhan perilaku
perekonomian baik dalam jangka panjang dan jangka pendek. Dalam jangka
pendek, fluktuasi konsumsi memiliki pengaruh signifikan terhadap fluktuasi
ekonomi dan dalam jangka panjang keptusan konsumsi rumah tangga akan
berpengaruh pada variabel-variabel makroekonomi lainnya.

Menurut Badan Pusat Statistik (2019), pengeluaran untuk makanan dan


bukan makanan (pangan, sandang, papan) pada dasarnya saling berkaitan. Saat
kondisi penghasilan terbatas, memenuhi kebutuhan pangan akan diprioritaskan
pertama. Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan rendah, penghasilanya
dipakai untuk membeli makanan. Seiring dengan meningkatnya penghasilan, akan
terjadi suatu pergeseran pola pengeluaran yaitu menurunnya pendapatan yang
dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan pendapatan yang dibelanjakan
untuk yang bukan makanan, dan sisa pendapatan ditabung atau diinvestasikan.

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai timbulan sampah sudah dilakukan oleh penelitian


terdahulu dalam jurnal penelitian nasional dan internasional meliputi :

1. Adu dan Denkyirah (2017) dengan judul “Economic growth and


environmental pollution in West Africa: Testing the Environmental Kuznets
Curve hypothesis” dalam Kasetsart Journal of Social Sciences. Penelitian ini
betujuan untuk menguji hipotesis Environmental Kuznets Curve dengan
menganalisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pencemaran
lingkungan (emisi karbon dioksida dan limbah terbarukan yang dapat

38
terbakar) menggunakan data panel dari tahun 1970 hingga 2013 di Afrika
Barat. Hasilnya menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dalam jangka
pendek secara signifikan meningkatkan emisi karbon dioksida dan limbah
terbarukan yang dapat terbakar tetapi tidak secara signifikan menurunkan
emisi karbon dioksida dan limbah terbarukan yang dapat terbakar dalam
jangka panjang.
2. Chen (2010) dengan judul “Spatial Inequality in Municipal Solid Waste
Disposal Across Regions in Developing Countries” dalam International
Journal of Environmental Science Technology. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi timbulan sampah di 108
Negara-negara berkembang dan untuk mengetahui bentuk hipotesis EKC di
Negara-negara berkembang. Data yang digunakan adalah data dari tahun
1971-1995. Variabel independen yang digunakan adalah pendapatan
perkapita, kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, tingkat pengangguran,
dan penduduk usia di atas 64 Tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pendapatan hanya dapat menjelaskan sebagian variasi. Sedangkan tingkat
pengangguran, semakin tinggi tingkat pengangguran di sebuah negara maka
akan menurunkan tingkat konsumsi negara tersebut, sehingga jumlah
timbulan sampah yang dihasilkan akan semakin sedikit. Sementara itu, faktor
sosial dan geografis lainnya berkontribusi lebih besar sehingga faktor-faktor
ini tidak dapat diabaikan dalam proses pembuatan kebijakan.
3. Gardiner dan Hajek (2020) dengan judul “Municipal Waste Generation, R&D
Intensity, and Economic Growth Nexus- A Case of EU Regions” dalam
Sustainable Development. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan
timbulan sampah merupakan perhatian utama global. Peneltian ini
menggunakan model koreksi kesalahan. Hasil penelitian ini adalah adanya
kausalitas dua arah jangka pendek dan jangka panjang antara timbulan
sampah dan pertumbuhan ekonomi di kawasan UE.
4. Saladie (2016) dengan judul penelitian “Determinants Of Waste Generation
Per Capita In Catalonia (North- Eastern Spain): The Role Of Seasonal
Population, European” dalam Journal of Sustainable Development.

39
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan di antara Kabupaten
Catalan (Spanyol Timur Laut) dan membandingkan hasilnya jika populasi
musiman ditambahkan atau tidak ke penduduk. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara timbulan sampah kota per
kapita dan kontribusi sektor jasa terhadap PDB, korelasi negatif dengan
persentase penduduk di atas 64 dan tidak ada korelasi dengan pendapatan per
kapita.
5. Wang, Hao dan Wang, Chunmei. (2013) dengan judul penelitian “Municipal
Solid Waste Management In Beijing: Characteristics And Challenges” dalam
Waste Management & Research. Hasil penelitian ini adalah perkembangan
ekonomi dan pertumbuhan penduduk telah menghasilkan peningkatan
timbulan sampah. Komponen timbulan sampah selama dekade terakhir
ditandai dengan peningkatan kandungan makanan dan kertas, dan kadar abu
yang menurun. Kapasitas yang dirancang dari instalasi pembuangan yang ada
tidak dapat mengatasi jumlah sebenarnya dari timbulan sampah, yang
mengakibatkan kelebihan muatan dan penutupan sebelum waktunya dari
lokasi pembuangan.
6. Christiawan (2017) dengan judul “Variasi Komposisi Sampah Berbasis Sosio
Ekonomi Pemukim Pada Kompleks Perumahan di Kelurahan Banyuning”
dalam Jurnal Media Komunikasi Geografi. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis pengaruh karakteristik komposisi sampah pada kompleks
perumahan di Kelurahan Banyuning. Metode penelitian yang digunakan
adalah survei analitis. Analisis yang digunakan adalah statistik inferensial dan
statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan,
jumlah anggota keluarga, dan tingkat pendapatan secara parsial dan simultan
berpengaruh signifikan terhadap komposisi sampah, baik sampah organik
maupun sampah anorganik.
7. Handayani dan Pasim (2019) dengan judul “Pengaruh Kondisi Sosial
Ekonomi Terhadap Adopsi Inovasi Pengelolaan Sampah Organik (Studi
Kasus Kelurahan Cibangkong Kecamatan Batununggal Kota Bandung)”
dalam Jurnal Bisnis & Teknologi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat

40
faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap adopsi inovasi pengelolaan
sampah organik. Metode dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dan
metode kualitatif. Data penelitian diperoleh dengan melalui instrument
kuesioner, dengan variabel 1) umur, 2) pendidikan, 3) pendapatan, 4)
kekosmopolitan baik secara simultan maupun secara parsial. Hasil penelitian
menunjukkan variabel pendidikan, umur, kekosmopolitan, dan pendapatan
secara parsial dan simultan berpengaruh signifikan terhadap adopsi inovasi
pengelolaan sampah organik.
8. Maulina (2012) dengan judul “Identifikasi Partisipasi Masyarakat Di Dalam
Pemilahan Sampah Kecamatan Cimahi Utara Juga Faktor Yang
Mempengaruhinya” dalam Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. Sampah
menjadi suatu permasalahan yang darurat baik dari segi ekonomi, lingkungan,
dan sosial. Sistem pengelolaan sampah masih menggunakan prinsip kumpul-
angkut-buang dan sistem open dumping. Data penelitian ini didapatkan dari
wawancara, kuisioner, dan survei. Metode yang digunakan adalah metode
korelasi. Hasil analisis menujukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat
dalam kegiatan milah sampah masih rendah dan masih pada level individu.
9. Prajati, Padmi dan Rahardyan (2015) dengan judul “Pengaruh Faktor-Faktor
Ekonomi Dan Kependudukan Terhadap Timbulan Sampah Di Ibu Kota
Provinsi Jawa Dan Sumatera” dalam Jurnal Teknik Lingkungan. Tujuan
penelitian ini adalah salah satunya untuk menganalisis hubungan antara
variabel ekonomi dan demografi terhadap timbulan sampah. Penelitian ini
menggunakan analisis klaster, kuadran dan tipologi klassen. Hasil penelitian
ini adalah indeks harga konsumen per kategori, jumlah penduduk, PDRB, dan
lama sekolah, kepadatan penduduk dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh
terhadap timbulan sampah.
10. Prajati dan Pesurnay (2019) dengan judul “Analisis Faktor Sosiodemografi
dan Sosioekonomi terhadap Timbulan Sampah Perkotaan di Pulau Sumatera”
Jurnal Rekayasa Sipil dan Lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor yang paling memengaruhi timbulan sampah yang dilihat
dari faktor sosiodemografi dan sosioekonomi. Wilayah penelitian ini yaitu

41
seluruh provinsi yang ada di Pulau Sumatera, kecuali Banda Aceh. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis klaster, analisis
diskiriminan dan ANOVA. Hasil analisis klaster diketahui bahwa kota Medan
dan Bandar lampung termasuk ke dalam kelompok kota dengan tingkat
timbulan sampah tinggi. Sedangkan kota Tanjung Pinang, Pekanbaru, dan
Pangkalpinang termasuk elompok kota dengan tingkat timbulan sampah
rendah. Analisis diskriminan dan ANOVA menunjukkan bahwa hanya satu
faktor yang berpengaruh signifikan terhadap timbulan sampah yaitu
kepadatan penduduk.
2.3 Kerangka Teoritis

Berdasarkan penjelasan yang sudah disebutkan, pertumbuhan ekonomi,


jumlah penduduk, tingkat pengangguran, rata-rata lama sekolah dan pengeluaran
konsumsi berpengaruh terhadap timbulan sampah. Hubungan lima variabel
terhadap timbulan sampah di Eks Karesidenan Kedu adalah sebagai berikut:

1. Hubungan pertumbuhan ekonomi terhadap timbulan sampah

Pertumbuhan ekonomi merupakan peningkatan produksi barang dan jasa dan


merupakan indikator keberhasilan dari pembangunan ekonomi. Terdapat dampak
pertumbuhan ekonomi pada timbulan sampah dan degradasi lingkungan yaitu
terhadap kesehatan, lingkungan, dan kondisi sosial ekonomi, serta kontribusinya
terhadap perubahan iklim (Gutberlet dan Uddin, 2017).

Menurut Sukirno (2012) pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan fiskal


dari produksi barang dan jasa yang ada pada suatu negara, contohnya peningkatan
jumlah produksi barang industri, peningkatan jumlah sekolah, perkembangan
infrastruktur, peningkatan produksi jasa, dan peningkatan produksi barang modal.
Menurut Suparmoko (2016), peningkatan jumlah barang dan jasa membutuhkan
barang sumber daya sebagai faktor produksi yang akan diolah bersama faktor-
faktor produksi lain dimana produk sampingannya adalah pencemaran
lingkungan. Produk yang diinginkan (desirable output) adalah barang dan jasa
dan produk yang tidak diinginkan (undesirable output) adalah limbah serta

42
pencemaran. Maka, ada hubungan positif antar pembangunan ekonomi dengan
pencemaran lingkungan.

2. Hubungan jumlah penduduk terhadap timbulan sampah

Jumlah penduduk adalah semua orang yang sah yang tinggal disuatu daerah
atau negara serta menuruti semua aturan dan ketentuan-ketentuan dari daerah atau
negara tersebut (Persaulian dkk, 2013). Peningkatan jumlah penduduk akan
berpengaruh terhadap perilaku atau gaya hidup juga pola konsumsi masyarakat.
Perubahan ini memengaruhi hasil volume sampah dan jenis sampah. Maksudnya
adalah semakin meningkat jumlah penduduk, maka jumlah sampah yang
dihasilkan semakin bertambah. Hal ini didukung oleh Taufiqurrahman (2016),
yang menyatakan bahwa peningkatan jumlah penduduk serta terjadinya perubahan
pola konsumsi masyarakat secara signifikan menambah volume, karakteristik, dan
jenis sampah dan semakin bervariasi.

Peningkatan jumlah penduduk di suatu kabupaten/ kota akan meningkatkan


jumlah konsumsi barang dan jasa (Herlambang, 2020). Peningkatan jumlah
penduduk yang menyebabkan semakin padat penduduk di suatu kabupaten/ kota
dapat menjadi faktor dimana wilayah tersebut menghasilkan sampah semakin
tinggi (Mazzanti dan Zoboli, 2009; Chen, 2010; Jaligot dan Chenal, 2018). Jadi
terdapat hubungan yang positif antara pembangunan ekonomi dan pencemaran
lingkungan. semakin giat pembangunan ekonomi, semakin tinggi pula
pencemaran lingkungan (Suparmoko, 2014).

3. Hubungan tingkat pengangguran terhadap timbulan sampah

Pengangguran atau tuna karya merupakan suatu istilah bagi orang yang tidak
sama sekali bekerja, sedang mencari kerja, selama seminggu bekerja kurang dari
dua hari, atau orang yang sedang berusaha memiliki pekerjaan yang layak.
Pengangguran juga memiliki peran dalam mempengaruhi timbulan sampah
(Herlambang, 2020). Pengangguran dapat mengurangi jumlah sampah karena
tingkat konsumsi yang rendah (Arbulu dkk, 2015). Semakin tinggi tingkat
pengangguran di sebuah negara maka akan menurunkan tingkat konsumsi negara

43
tersebut, sehingga jumlah timbulan sampah yang dihasilkan akan semakin sedikit
(Chen, 2010). Dengan kata lain seorang pengangguran hakikatnya tidak memiliki
pendapatan yang berdampak terhadap rendahnya tingkat konsumsi mereka dan
akan menghasilkan sampah yang sedikit (Herlambang, 2020).

4. Hubungan rata-rata lama sekolah terhadap timbulan sampah

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi timbulan sampah adalah


tingkat pendidikan penduduk (Gardiner dan Hajek, 2020). Menurut Arbulu,
Lozano, & Rey-maquieira (2015), semakin tinggi tingkat pendidikan penduduk,
maka akan meningkatkan komitmen untuk peduli terhadap lingkungan secara
signifikan.

Menurut Faritz (2020), rata-rata lama sekolah adalah rata-rata jumlah tahun
yang telah diselesaikan oleh penduduk pada seluruh jenjang pendidikan formal
yang telah dijalani. Menurut Khajuria (2010) estimasi timbulan sampah terdiri
dari tiga faktor utama salah satunya yaitu faktor illiteracy. Faktor illiteracy
berhubungan dengan pengetahuan dan tingkat pendidikan masyarakat yang
memiliki hubungan dengan pengolahan sampah. Faktor illiteracy seperti angka
melek huruf dan lama sekolah juga berkorelasi positif terhadap timbulan sampah
perkotaan (Prajati, 2015; Prajati dkk, 2019).

5. Hubungan pengeluaran konsumsi terhadap timbulan sampah

Pengeluaran konsumsi rumah tangga mencakup berbagai pegeluaran


konsumsi akhir rumah tangga atas barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
individu maupun kelompok secara langsung. Pengeluaran konsumsi dapat
mempengaruhi jumlah timbulan sampah yang dihasilkan. Hal ini dikarena adanya
pendapatan yang dihabiskan/ digunakan untuk membelanjakan sesuatu yang
dibutuhkan atau diinginkan. Menurut Mazzanti dan Zoboli (2009) timbulan
sampah masih meningkat secara proporsional seiring dengan meningkatnya
pendapatan. Chen (2010) juga berpendapat bahwa intuitif rumah tangga dengan
pendapatan lebih tinggi dapat mengkonsumsi lebih banyak barang/jasa, sehingga
dapat menghasilkan lebih banyak timbulan sampah. Selain itu menurut Gardiner

44
dan Hajek (2020), pertumbuhan penduduk dan perkembangan kota dan daerah
belakangan ini dibarengi dengan peningkatan konsumsi, menghasilkan jumlah
sampah yang banyak.

Pola konsumsi masyarakat memberikan kontribusi dalam menimbulkan jenis


sampah yang semakin beragam baik dari jenis sampah organik maupun non
organik (Badan Pusat Statistik, 2017). Ketika masyarakat melakukan konsumsi
maka akan menghasilkan sampah, apabila konsumsi masyarakat tinggi maka
timbulan sampah yang dihasilkan akan semakin tinggi. Pola konsumsi dikaitkan
dengan perilaku rumah tangga yang mempengaruhi manajemen timbulan sampah
secara signifikan (Herlambang, 2020).

Dari penjelasan yang sudah disebutkan, maka dapat digambarkan kerangka


teoritis sebagai berikut :

Pertumbuhan Ekonomi

Jumlah Penduduk

Tingkat Pengangguran Timbulan Sampah

Rata-Rata Lama Sekolah

Pengeluaran Konsumsi

Gambar 2.2 Kerangka Teoritis Penelitian

Gambar 2.2 menggambarkan keadaan pertumbuhan ekonomi, jumlah


penduduk, tingkat pengangguran, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran
konsumsi akan mempengaruhi timbulan sampah di Eks Karesidenan Kedu.
Perubahan nilai pada faktor penentu timbulan sampah yang menjadi variabel

45
penelitian akan mengakibatkan perubahan besaran timbulan sampah di Eks
Karesidenan Kedu.

2.4 Kerangka Berpikir Penelitian

Kerangka berpikir penelitian merupakan gambaran secara skematis mengenai


alur berpikir penelitian. Adanya kerangka penelitian memberikan kemudahan
dalam memahami alur penelitian dan pemecahan masalah dalam penelitian.
Kerangka berpikir penelitian dapat dilihat pada gambar 2.3 sebagai berikut:

Pertumbuhan Jumlah Tingkat Rata-rata Pengeluaran


Ekonomi Penduduk Pengangguran Lama Konsumsi
Sekolah

Timbulan Sampah

Pengumpulan Data

Analisis Data
1. Uji Asumsi Klasik
a. Uji Multikolinearitas
b. Uji Heteroskedastisitas
2. Model Regresi Data Panel
3. Model Estimasi Regresi Data Panel
a. Metode Common Effect
b. Metode Fix Effect
c. Metode Random Effect
4. Metode Regresi Data Panel
a. Uji Chow
b. Uji Hausman
c. Uji Langrange Multiplier (LM)
5. Uji Statistik
a. Uji Koefisien Determinasi (R2)
b. Uji Parsial (Uji t)
c. Uji Simultan (Uji F)

Hasil Analisis dan Kesimpulan

Gambar 2.3 Kerangka Berpikir Penelitian

46
Gambar 2.3 merupakan kerangka berfikir yang menjelaskan bahwa ada lima
faktor penentu timbulan sampah yaitu pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk,
tingkat pengangguran, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran rata-rata konsumsi.
Faktor penentu timbulan sampah dianalisis menggunakan persamaan regresi
dengan metode Ordinary Least Squares. Analisis regresi data panel menggunakan
data urut waktu dari tahun 2000-2019 di wilayah Eks Karesidenan Kedu.
Selanjutnya adalah melakukan uji hausman yaitu untuk mengetahui ada tidaknya
masalah simultanitas. Terakhir uji statistik meliputi uji koefisien determinasi, uji t,
dan uji F untuk mengetahui pengaruh faktor penentu timbulan sampah di Eks
Karesidenan Kedu baik secara parsial maupun simultan.

2.5 Definisi Konseptual

Berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan di atas, maka dapat diambil


kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan:

a. Timbulan Sampah

Sampah adalah limbah padat yang terdiri dari bahan organik dan anorganik
dimana perlu dikelola karena dianggap tidak berguna lagi agar dapat melindungi
investasi pembangunan dan agar tidak berbahaya bagi lingkungan (SNI 19-2454-
2002). Sampah pada dasarnya adalah suatu bahan yang dibuang atau terbuang
dari aktivitas manusia atau proses alam yang dilihat tidak memiliki nilai ekonomi,
bahkan memiliki nilai ekonomi negatif karena perlunya biaya pengelolaan yang
cukup tinggi (Dewilda dkk, 2014). Timbulan sampah adalah sebuah konsekuensi
dari konsumsi barang (Saladie, 2016). Pola konsumsi terkait langsung dengan
peningkatan pendapatan yang mengakibatkan perubahan komposisi dan jumlah
sampah (Ogwueleka, 2013).

b. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan peningkatan produksi barang dan jasa dan


merupakan indikator keberhasilan dari pembangunan ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi tercermin pada perkembangan perekonomian. Namun, pertumbuhan

47
ekonomi berbeda dengan perkembangan ekonomi, perkembangan ekonomi tidak
hanya menyangkut pertambahan dalam produksi barang dan jasa, melainkan juga
kualitas faktor-faktor produksi yang terlibat dalam proses produksi barang dan
jasa tersebut (Suparmoko, 2013).

c. Jumlah Penduduk

Penduduk merupakan subjek dan objek pembangunan, pembangunan


dikatakan berhasil apabila kesejahteraan masyarakat meningkat, pertumbuhan
penduduk yang pesat, tanpa disertai kualitas penduduk yang baik maka akan
menjadi beban bagi pembangunan (Handayani, 2020). Jumlah penduduk adalah
semua orang yang sah yang tinggal disuatu daerah atau negara serta menuruti
semua aturan dan ketentuan-ketentuan dari daerah atau negara tersebut (Persaulian
dkk, 2013). Jumlah penduduk memiliki peran penting dalam pembangunan
ekonomi karena penduduk memberikan sumber daya manusia dan menciptakan
suatu kegiatan ekonomi (Ramadayanti, 2020).

d. Tingkat Pengangguran

Pengangguran yaitu seseorang atau sejumlah angkatan kerja yang tidak dapat
bekerja dan sedang cari pekerjaan menurut referensi tertentu (Feriyanto, 2014).
Ada dua macam pengangguran seperti pengangguran terbuka dan pengangguran
terselubung. Menurut Badan Pusat Statistik (2019), pengangguran terbuka adalah
penduduk yang tidak bekerja tetapi mengharapkan pekerjaan dan kegiatannya
yaitu mempersiapkan usaha, mencari pekerjaan, tidak cari pekerjaan dengan
alasan tidak akan mendapat pekerjaan, dan tidak cari pekerjaan karena telah
memiliki pekerjaan tetap akan tetapi belum memulai bekerja. Sementara
pengangguran terselubung adalah seseorang yang bekerja namun tidak secara
maksimal.

e. Rata-Rata Lama Sekolah

Menurut Faritz (2020), rata-rata lama sekolah adalah rata-rata jumlah tahun
yang telah diselesaikan oleh penduduk pada seluruh jenjang pendidikan formal

48
yang telah dijalani. Menurut Badan Pusat Statistik (2018), rata-rata lama sekolah
(mean years of schooling) merupakan indikator yang menunjukkan rata-rata
jumlah tahun efektif untuk bersekolah yang dicapai penduduk. Menghitung rata-
rata lama sekolah itu tanpa memerhatikan seseorang tamat sekolah lebih cepat
atau lebih lama dari waktu yang sudah ditetapkan. Pendidikan adalah wahana
dalam memberikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap tentang kepedulian
lingkungan kepada masyarakat (Afandi, 2013).

f. Pengeluaran Konsumsi

Pengeluaran konsumsi sektor rumah tangga adalah salah satu jenis


pengeluaran agregat dalam perekonomian. Pengeluaran sektor rumah tangga
merupakan pengeluaran yang dilakukan sebagai upaya memenuhi berbagai jenis
kebutuhan hidup baik kebutuhan akan pangan maupun non pangan oleh sektor
rumah tangga (Syaifuddin dkk, 2017). Pengeluaran konsumsi rumah tangga
mencakup makanan dan minuman selain restoran, pakaian, alas kaki dan jasa
perawatannya, perumahan, dan perlengkapan rumah tangga, kesehatan dan
pendidikan, transportasi dan komunikasi, restoran dan hotel serta lainnya (Badan
Pusat Statistik, 2019).

2.6 Hipotesis Penelitian

Menurut Kuncoro (2013), hipotesis adalah suatu penjelasan sementara tentang


perilaku, fenomena atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi.
Sementara itu, menurut Purwanto (2017), hipotesis adalah pernyataan atau dugaan
yang bersifat sementara terhadap suatu masalah penelitian yang kebenarannya
masih lemah (belum tentu kebenarannya) sehingga harus diuji secara empiris.
Berdasarkan tinjauan teoritis dan kerangka berpikir penelitian maka hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Diduga terdapat pengaruh signifikan dari pertumbuhan ekonomi terhadap


timbulan sampah di Eks Karesidenan Kedu tahun 2000-2019.
2. Diduga terdapat pengaruh signifikan dari jumlah penduduk terhadap timbulan
sampah di Eks Karesidenan Kedu tahun 2000-2019.

49
3. Diduga terdapat pengaruh signifikan dari tingkat pengangguran terhadap
timbulan sampah di Eks Karesidenan Kedu tahun 2000-2019.
4. Diduga terdapat pengaruh signifikan dari rata-rata lama sekolah terhadap
timbulan sampah di Eks Karesidenan Kedu tahun 2000-2019.
5. Diduga terdapat pengaruh signifikan dari pengeluaran konsumsi terhadap
timbulan sampah di Eks Karesidenan Kedu tahun 2000-2019.
6. Diduga pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk, tingkat pengangguran, rata-
rata lama sekolah, dan pengeluaran konsumsi secara bersama-sama
berpengaruh signifikan terhadap timbulan sampah di Eks Karesidenan Kedu
tahun 2000-2019.

50

Anda mungkin juga menyukai