Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN TUGAS

TEKNOLOGI PENGELOLAAN SAMPAH


PENGOLAHAN SAMPAH DI PUSAT PENGOLAHAN SAMPAH DAN KOMPOS ITS

Kelas B
Disusun Oleh :

1. Evi Wahyu Ardhi 17034010019


2. Adhevada Ayu 17034010039
3. Rezqy Sanda 17034010057
4. M.Almadhany 17034010058
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengelolaan sampah pada hakekatnya merupakan titik balik tahap pelestarian
lingkungan hidup yang dapat diukur berdasarkan angka peningkatan timbulan sampah.
Peningkatan angka timbulan sampah dunia sangatlah signifikan dan Bank Dunia
memperkirakan pada tahun 2025 jumlah sampah akan bertambah hingga mencapai 2,2
miliyar ton. Negara-negara berkembang yang tergabung di dalam Organization for
Economic Co-operation and Development (OECD) berperan sebagai penyumbang
sampah terbesar di dunia, dimana timbulan sampah yang dihasilkan mencapai 572 juta
ton per tahun dengan rentangan nilai perkapita 1,1 sampai 3,7 kilogram per orang per
harinya.
Undang undang No. 18 tahun 2008 menjelaskan sampah merupakan sisa dari proses
kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Definisi ini
seolah memberikan kesan sampah sebagai benda padat yang sudah tidak memiliki nilai
guna bagi manusia, sehingga mayoritas masyarakat cenderung menganggap sampah
merupakan benda yang harus segera disingkirkan bagaimanapun caranya. Pola pikir
seperti inilah yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat, khususnya masyarakat di
Indonesia.
Menurut SNI 19-3983-1995, manusia menghasilkan rata-rata 2,5 liter atau 0,5-0,75
kilogram sampah per harinya. Jika suatu daerah memiliki 1000 orang penduduk, maka
setiap harinya akan dihasilkan 500 kg timbulan sampah. Seiring dengan pertumbuhan
jumlah penduduk yang beranjak naik angka timbulan sampah ini akan semakin
bertambah besar. Tidak hanya itu, perubahan pola hidup masyarakat yang telah
memasuki era modern, ikut berperan dalam meningkatkan timbulan sampah dibeberapa
aspek. Satu diantaranya adalah pola konsumsi masyarakat yang cenderung untuk
membeli makanan instan dan kemasan. Jika tidak diiringi dengan sistem pengelolaan
sampah yang baik, hal ini akan mendorong laju timbulan sampah khususnya sampah
anorganik.
Konsep pengelolaan sampah reduce, reuse, dan recycle (3R) yang dicanangkan
pemerintah melalui Gerakan Indonesia Bebas Sampah 2020 hingga saat ini belum banyak
diaplikasikan oleh masyarakat. Sistem 3R dinilai sangat bertolak belakang dengan mental
masyarakat Indonesia yang sangat konsumtif dan lebih memilih membayar retribusi
kepada lembaga pengelolaan sampah dan/atau membakar sampah mereka. Hal ini yang
membuat laju timbulan sampah Indonesia semakin pesat dan semakin tertinggal jauh dari
negara Swedia yang telah berhasil menjadi negara pertama bebas dari timbulan sampah
(zero waste).

1.2 Maksud Tujuan


Untuk mengetahui operasional pengolahan dan pengelolaan sampah dan kompos di
Pusat Pengelolaan Sampah dan Kompos ITS
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sampah


Berikut adalah beberapa definisi sampah berdasarkan Peraturan dan Pustaka.
a. Definisi berdasarkan UU No.18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
 Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang
berbentuk padat (pasal 1 ayat 1 UU No.18 2008).
 Sampah spesifik adalah sampah yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau volumenya
memerlukan pengelolaan khusus. (pasal 2 ayat 1 UU No.18 2008).
Sampah yang dikelola berdasarkan Undang-undang ini terdiri atas :
 Sampah rumah tangga;
 Sampah sejenis sampah rumah tangga; dan
 Sampah spesifik.
Sampah rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berasal
dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah
spesifik.
Sampah sejenis sampah rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas
sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya.
Sampah spesifik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi :
a) Sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun;
b) Sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun;
c) Sampah yang timbul akibat bencana;
d) Puing bongkaran bangunan;
e) Sampah yang secara teknologi belum dapat diolah; dan/atau
f) Sampah yang timbul secara tidak periodik.

b. Definisi berdasarkan pustaka


Definisi sampah cukup bervariasi apabila didasarkan pada tidak adanya lagi
kegunaan atau nilai dari material yang ada di sampah tersebut. Sampah adalah produk
5 samping dari aktivitas manusia. Secara fisik sampah mengandung material/bahan-
bahan yang sama dengan produk yang digunakan sebelumnya, yang membedakannya
hanya kegunaan dan nilainya. Penurunan nilai, pada banyak kasus, tergantung pada
tercampurnya material-material tersebut dan seringkali karena ketidak-tahuan untuk
memanfaatkan kembali material itu. Upaya pemilahan umumnya dapat menaikkan
kembali nilai dari sampah. Dengan adanya pemilahan, maka akan ada upaya
pemanfaatan kembali material daur ulang yang ada di dalam sampah. Hubungan
terbalik antara tingkat pencampuran dan nilai adalah hal yang penting pada sampah,
sebagaimana terlihat pada gambar 2.1 (Mc Douglas, Forbes, et al, 2001).

2.2 Sumber – sumber Sampah


Pemahaman mengenai sumber dan jenis sampah, beserta keberadaan data mengenai
jumlah timbulan sampah dan komposisinya akan menjadi dasar untuk merancang dan
mengoperasikan elemen-elemen fungsional dalam pengelolaan sampah. (Tchobanoglous
et al. 1993)
Sumber-sumber sampah dalam suatu masyarakat umumnya terkait dengan
penggunaan lahan (land use), seperti:
a. Permukiman
b. Komersial
c. Perkantoran
d. Kegiatan konstruksi
e. Lokasi pengolahan sampah
f. Industri dan pertanian.
Sampah kota (muinicipal solid waste) terkait dengan seluruh sumber sampah dengan
pengecualian pada sumber dari industri dan pertanian.

2.3 Pengelolaan Sampah


Pengeloalaan sampah didefinisikan sebagai suatu disiplin yang berkaitan dengan
pengendalian atas timbulan, penyimpanan, pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan,
pengolahan, dan pembuangan sampah; sedemikian rupa sehingga sesuai dengan prinsip
prinsip dalam kesehatan masyarakat, ekonomi, keteknikan, konservasi, estetika, dan
pertimbangan-pertimbangan lingkungan lainnya termasuk (responsive) terhadap sikap
masyarakat umum (Tchobanoglous et al. 1993).
Lebih lanjut , Tchobanoglous et al. (1993), menjelaskan bahwa ruang lingkup
pengelolaan sampah mencakup semua aspek yang terlibat dalam keseluruhan spectrum
kehidupan masyarakat. Berbagai aspek yang dimaksud adalah semua fungsi
administrative, keuangan, hokum, perencanaan, dan fungsi-fungsi keteknikan yang
digunakan untuk menyelesaikan masalah sampah. Penyelesaian masalah sampah juga 10
dapat melibatkan hubungan-hubungan lintas disiplin yang kompleks antar bidang ilmu
politik, bidang perencanaan kota dan regional, geografi, ekonomi, kesehatan masyarakat,
sosiologi, demografi, komunikasi, konservasi, serta teknik dan ilmu bahan (material
science).
Adapun yang dimaksud dengan pengelolaan sampah terpadu (integrated Solid Waste
Management) adalah suatu kerangka petunjuk untuk merencanakan dan melaksanakan
sistem pengelolaan sampah baru dan/atau menganalisis serta mengoptimalkan sistem saat
ini (UNEP, 2005).
Definisi lain dari pengelolaan sampah terpadu, seperti yang dikemukakan oleh
Tchobanoglous et al. (1993), adalah pemilihan dan penerapan teknologi dan manajemen
untuk mencapai tujuan pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah terpadu dapat dilakukan
setelah melakukan evaluasi terhadap seluruh elemen unit fungsional sistem persampahan,
yaitu:
1. Timbulan sampah (waste generation)
2. Penanganan, pemilahan, pewadahan, dan pemrosesan sampah disumbernya
3. Pengumpulan
4. Pemilahan dan pemrosesan serta transformasi/perubahan bentuk dari sampah
5. Pemindahan dan pengangkutan
6. Pembuangan
Pengelolaan sampah terpadu didasarkan pada suatu konsep yang mengarahkan kepada
keterpaduan antar seluruh aspek dalam pengelolaan sampah, baik aspek teknis maupun
non teknis, yang pada kenyataannya seluruh aspek tersebut tidak pernah bisa dipisahkan
(UNEP, 2005). Pendekatan keterpaduan tersebut adalah elemen penting dalam
pengelolaan sampah dikarenakan oleh hal-hal berikut ini:
a. Masalah-masalah tertentu akan lebih mudah diselesaikan dengan cara kombinasi
beberapa aspek dibandingkan hanya dengan melihat satu aspek saja. Demikian pula jika
dibangung suatu sistem baru atau paling tidak mempengaruhi aktivitas di tempat lain jika
perubahan tersebut tidak dikoordinasikan terlebih dahulu.
b. Keterpaduan akan dapat mengoptimalkan seluruh sumber daya yang ada 11
c. Pendekatan keterpaduan memberikan kesempatan kepada masyarakat, pihak swasta dan
sector informal.
d. Secara ekonomis, pendekatan ini juga jauh lebih baik. Dengan keterpaduan maka secara
bersama-sama dapat merumuskan upaya-upaya yang lebih murah bahkan beberapa bagian
pengelolaan tersebut dapat tanpa biaya. Disisi lain dengan pengelolaan erpadu, sampah
dapat menjadi sumber penghasilan yang menjanjikan.
Pengelolaan sampah terpadu mengkombinasikan antara aliran sampah, pengumpulan
sampah, pengolahan dan pembuangan sampah dengan tujuan utama untuk menghasilkan
manfaat dari segi lingkungan, keberlanjutan dari sisi ekonomi dan dapat diterima dari
aspek sosial. Elemen-elemen kunsi dari pengelolaan sampah terpadu adalah:
a. Pendekatannya menyeluruh
b. Menggunakan metoda pengumpulan dan pengolahan yang terhubungkan satu dengan
lainnya
c. Dapat mengelola berbagai jenis material yang ada pada aliran sampah
d. Efektif dari segi lingkungan
e. Dapat terbayar dari segi ekonomi
f. Diterima oleh masyarakat. (Mc Dougall, Forbes, et al, 2001)
Secara konseptual, untuk dapat mencapai tujuan dalam pengelolaan sampah terpadu
maka terdapat dua hal yang paling diperlukan, yaitu: pengurangan sampah dan sistem
yang efektif dalam pengelolaan sampah.

2.4 Kompos dan Proses Pengomposan


Kompos merupakan jenis pupuk yang berasal dari hasil akhir penguraian sisa-sisa
hewan maupun tumbuhan yang berfungsi sebagai penyuplai unsur hara tanah sehingga
dapat digunakan untuk memperbaiki tanah secara fisik, kimiawi, maupun biologis
(Sutanto, 2002). Secara fisik, kompos mampu menstabilkan agregat tanah, memperbaiki
aerasi dan drainase tanah, serta mampu meningkatkan kemampuan tanah menahan air.
Secara kimiawi, kompos dapat meningkatkan unsur hara tanah makro maupun mikro dan
meningkatkan efisiensi pengambilan unsur hara tanah. Sedangkan secara biologis, kompos
dapat menjadi sumber energi bagi mikroorganisme tanah yang mampu melepaskan hara
bagi tanaman.
Kompos dapat dibuat dari berbagai bahan organik yang berasal dari limbah hasil
pertanian dan non pertanian (Harizena, 2012). Limbah hasil pertanian yang dapat
dijadikan sebagai kompos antara lain berupa jerami, dedak padi, kulit kacang tanah, dan
ampas tebu. Sedangkan, limbah hasil non pertanian yang dapat diolah menjadi kompos
berasal dari sampah organik yang dikumpulkan dari pasar maupun sampah rumah tangga.
Bahan-bahan organik tersebut selanjutnya mengalami proses pengomposan dengan
bantuan mikroorganisme pengurai sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal ke lahan
pertanian. Pada lingkungan terbuka, proses pengomposan dapat berlangsung secara alami.
Melalui proses pengomposan secara alami, bahan-bahan organik tersebut dalam waktu
yang lama akan membusuk karena adanya kerja sama antara mikroorganisme dengan
cuaca. Proses tersebut dapat dipercepat dengan menambahkan mikroorganisme pengurai
sehingga dalam waktu singkat akan diperoleh kompos yang berkualitas baik (Widarti et
al., 2015).
Pengomposan merupakan proses perombakan (dekomposisi) bahan organik oleh
mikroorganisme dalam keadaan lingkungan yang terkontrol dengan hasil akhir berupa
humus dan kompos (Murbandono, 2008). Pengomposan bertujuan untuk mengaktifkan
kegiatan mikroba agar mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Selain
itu, pengomposan juga digunakan untuk menurunkan nisbah C/N bahan organik agar
menjadi sama dengan nisbah C/N tanah (10-12) sehingga dapat diserap dengan mudah
oleh tanaman. Agar proses pengomposan berlangsung optimum, maka kondisi saat proses
harus dikontrol.
Berdasarkan ketersediaan oksigen bebas, mekanisme proses pengomposan dibagi
menjadi 2, yaitu pengomposan secara aerobik dan anaerobik. Pengomposan secara aerobik
merupakan proses pengomposan yang memerlukan ketersediaan oksigen. Oksigen
diperlukan oleh mikroorganisme untuk merombak bahan organik selama proses
pengomposan berlangsung. Sedangkan pengomposan secara anaerobik merupakan proses
pengomposan yang tidak memerlukan ketersediaan oksigen, namun hanya memerlukan
tambahan panas dari luar (Sutanto, 2002).
Kualitas kompos ditentukan oleh tingkat kematangan kompos seperti : warna, tekstur,
bau, suhu, pH, serta kualitas bahan organik kompos. Bahan organik yang tidak
terdekomposisi secara sempurna akan menimbulkan efek yang merugikan bagi
pertumbuhan tanaman. Penambahan kompos yang belum matang ke dalam tanah dapat
menyebabkan terjadinya persaingan penyerapan bahan nutrient antara tanaman dan
mikroorganisme tanah. Menurut Sutanto (2002), keadaan tersebut dapat mengakibatkan
terganggunya pertumbuhan tanaman. Kompos yang berkualitas baik diperoleh dari bahan
baku yang bermutu baik. Kompos yang berkualitas baik secara visual dicirikan dengan
warna yang cokelat kehitaman menyerupai tanah, bertekstur remah, dan tidak
menimbulkan bau busuk.
Beragamnya bahan baku serta teknik pembuatan kompos tentunya sangat berpengaruh
terhadap kualitas serta kandungan kompos yang dihasilkan. Agar kompos yang dihasilkan
mempunyai kualitas baik, maka diperlukan adanya standar yang digunakan sebagai acuan,
salah satunya adalah SNI 19-7030-2004 tentang spesifikasi kompos.

Tabel 1. Standar Kompos SNI 19-7030-2004

Sumber : SNI 19-7030-2004 tentang spesifikasi kompos


BAB III
LOKASI DAN PETA

3.1 Lokasi
1. Lokasi Survey : Pusat Pengolahan Sampah dan Kompos ITS, Jalan Arif
Rahman Hakim No. 193, Surabaya.
2. Koordinat lokasi : 7°17'25.2"S 112°47'23.6"E
3. Sumber Peta : Google Earth, 2018

3.2 Peta
BAB IV
PROSES DAN ALUR

4.2 Proses
Lokasi pengamatan pengelolaan sampah yang diamati pada laporan ini berlokasi di
Pusat Pengolahan Sampah dan Kompos ITS tepatnya Jalan Arif Rahman Hakim No. 193,
Surabaya. Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan dengan narasumber
bapak Wiyono selaku karyawan, diketahui bahwa pada pusat pengolahan ini hanya mengelola
sampah kering organik yang bersumber dari kampus ITS untuk diubah menjadi kompos. Pada
proses yang pertama sampah kering tersebut dimasukkan kedalam bilik fermentasi selama 1
bulan. Selama di Bilik fermentasi, sampah kering tersebut dibiarkan tertutup untuk
mempercepat proses fermentasi, dengan sesekali dibolak-balik sebanyak 3 sampai 4 kali
dalam sebulan. Setelah mengalami fermentasi, sampah kering organik akan melalui konveyor
untuk dilakukan pemisahan. Lalu setelah dilakukan pemisahan, sampah kering organik
dibiarkan hingga kering. Sampah kering organik yang telah kering, selanjutnya dilakukan
pemilahan secara manual. Pemilahan dilakukan untuk memastikan tidak terdapat bahan-bahan
anorganik yang dapat mempengaruhi mutu kompos yang dihasilkan, lalu setelah dilakukan
pemilahan sampah kering organik dilakukan pengayakan. Pengayakan ini dilakukan untuk
memperoleh ukuran butiran partikel kompos sesuai dengan kebutuhan. Setalah melalui
pengayakan, sampah kering organik tersebut telah siap digunakan dan dikemas. Berdasarkan
informasi dari narasumber, Pusat Pengolahan Sampah dan Kompos ITS ini dalam sebulan
dapat menghasilkan kurang lebih 90 pack kompos dengan masing-masing packnya memiliki
berat 5 kg. Kompos yang dihasilkan tersebut digunakan hanya untuk lingkugan internal
kampus ITS kembali.

4.1 Alur
Setelah kering
Sumber sampah Lalu dilanjutkan
kemudian dilakukan
daun kering berasal dengan proses akhir
pemilahan ulang
dari ITS yaitu pengayakan
secara manual

Sampah daun kering Setelah dipisah Setelah pengayakan,


dimasukkan ke bilik melalui konveyor, kompos siap
fermentasi hasil dibiarkan kering digunakan

Setelah 1 bulan, hasil


Pada bilik fermentasi,
dari blik fermentasi
sampah dibolak balik
dipisahkan dengan
3-4x dalam sebulan
konveyor

Dokumentasi :
1. Sampah kering organik dari lingkungan internal kampus ITS dikumpulkan dan dibawa ke
Pusat Pengolahan Sampah dan Kompos ITS.

2. Di rumah kompos, sampah yang berupa sampah kering organik dikumpulkan, dan
kemudian diolah ke bilik fermentasi

3. Terdapat 7 bilik fermentasi yang ada. Dan sampah dibolak balik selama 3-4x dalam 1
bulan. Lalu ditutupi agar proses fermentasi berjalan dengan sempurna.
4. Setelah 1 bulan, hasil fermentasi dibawa ke konveyor untuk dipisah.

5. Setelah dilakukan pemisahan, sampah kering organik tersebut dibiarkan hingga kering.

6. Setelah dikeringkan, dilakukan pemilahan secara manual.

7. Sampah kering organik yang telah dipilah, selanjutnya dilakukan pengayakan.


8. Setelah pengayakan, kompos telah siap digunakan dan di packing seberat 5kg per pack dan
didistribusikan kembali ke lingkungan internal kampus.

9. Dokumentasi wawancara dengan narasumber.

10. Lokasi Pusat Pengolahan Ssampah dan Kompos ITS.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
- Pada pengolahan kompos di pusat pengelolaan sampah dan rumah kompos ITS
menggunakan sumber sampah berupa sampah kering organik yang berasal dari
lingkungan internal kampus ITS.
- Kompos yang dihasilkan sebanyak kurang lebih 90 pack/bulan, dengan berat
masing-masing pack 5 kg.
5.2 Saran
Sebaiknya, proses pengolahan sampah di tempat pengolahan sampah dan rumah
kompos ITS dilakukan dengan teknologi modern, yang dimana teknologi pengolahan
sampah secara modern pada saat ini semakin berkembang. Sehingga, tidak dilakukan
pengolahan secara manual agar dapat menghemat tenaga.

Anda mungkin juga menyukai