Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dengan segala aktivitasnya terutama
di Kota Bogor, jumlah sampah yang dihasilkan terus bertambah dari waktu ke waktu dan
jenisnya semakin beragam. Menurut Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor (2001),
sampah yang dihasilkan Kota Bogor berasal dari aktivitas pemukiman, sampah pasar, sampah
pertokoan, sampah fasilitas umum dan sampah industri. Sampah ini sebelum dibuang ketempat
pembuangan akhir biasanya ditampung pada tempat pembuangan sementara yang berbentuk bak-
bak sampah atau menggunakan kontainer sampah yang dapat langsung dibawa oleh truk sampah.
Kemudian oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, sampah disetiap penampungan
sementara diangkut ke pembuangan akhir di Tempat Pembuangan Akhir sampah Galuga.

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Galuga dengan luas 9,8 Ha yang berlokasi di
Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor telah menerima buangan sampah dari
kota Bogor sejak tahun 1992. Pada tahun 1997 Pemerintah Kota Bogor mengalihkan
pembuangan sampah ke TPA Rancamaya, tetapi karena terjadi bencana alam di TPA Rancamaya
pada tahun 1999 maka pembuangan sampah pun dialihkan kembali ke TPA Galuga (DKP Kota
Bogor, 2003).

Sistem pembuangan yang diterapkan pada TPA sampah Galuga adalah sistem
pembuangan terbuka (open dumping). Sistem pembuangan terbuka ini merupakan sistem
pembuangan yang paling sederhana dan murah, yaitu menumpukkan sampah pada sebuah
cekungan pada lahan yang luas dan dibiarkan terbuka bebas. Salah satu dampak negatif yang
dihasilkan adalah air lindi (leachate), yaitu cairan yang dikeluarkan dari sampah akibat proses
degradasi biologis. Lindi juga dapat pula didefinisikan sebagai air atau cairan lainnya yang telah
tercemar sebagai akibat kontak dengan sampah (Rustiawan et al., 1993).

Lindi ini dapat mencemari lingkungan khususnya lingkungan perairan, baik air
permukaan maupun air tanah dangkal. Terbentuknya air lindi merupakan hasil dari proses
infiltrasi air hujan, air tanah, air limpasan atau air banjir yang menuju dan melalui lokasi
pembuangan sampah (Nemerow dan Dasgupta , 1991).

1.2. Perumusan Masalah


TPA Galuga yang telah digunakan sebagai tempat pembuangan sampah sejak tahun 1992,
menerapkan sistem pembuangan secara terbuka (open dumping). Volume sampah yang
diterimanya berdasarkan data DKP Kota Bogor (2003) pada tahun 2001 sebesar 507.795 m3
/tahun dan meningkat menjadi 514.500 m3/tahun pada tahun berikutnya. Sebanyak 64,2%
sampah yang dibuang berasal dari pemukiman (rumah tangga), 12,5% berasal dari pasar, dan
sisanya berasal dari pertokoan, restoran, hotel, sarana umum, kegiatan industri dan lainlain.
Sedangkan sebanyak 75,2% komposisi sampah yang dibuang berupa sampah organik dan
sebanyak 24,8% berupa bahan anorganik dan lain -lain (DKP Kota Bogor, 2001).

Selain itu berdasarkan data BMG Bogor (2002) in DKP Kota Bogor (2003), Kabupaten
Bogor mempunyai curah hujan rata-rata bulanan sebesar 287,5 mm dengan kelembaban yang
cukup tinggi sepanjang tahun sebesar 70 98%. Keadaan ini akan memicu terbentuknya air lindi
yang kemudian akan menimbulkan beberapa dampak terhadap perairan umum apabila tidak
diolah secara benar, seperti menambah beban pencemaran bagi perairan umum disekitarnya, bau
tidak sedap, munculnya bibit penyakit, dan rusaknya lahan pertanian.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sampah dan Jenis Sampah

Sejumlah literatur mendefinisikan sampah sebagai semua jenis limbah berbentuk padat
yang berasal dari kegiatan manusia dan hewan, dan dibuang karena tidak bermanfaat atau tidak
diinginkan lagi kehadirannya (Tchobanoglous, et al., 1993 dalam Kementerian Pekerjaan Umum,
2011). Dalam PP No. 18/1999 dan PP No. 85/1999 tentang pengelolaan limbah berbahaya dan
beracun, secara umum limbah didefinisikan sebagai bahan sisa pada suatu kegiatan dan/atau
proses produksi (Kementerian Pekerjaan Umum, 2011). Menurut Pusat Penelitian
Pengembangan Permukiman (Puskim) (2001), sampah merupakan suatu bahan buangan yang
bersifat padat, cair, maupun gas yang sudah tidak memenuhi persyaratan, tidak dikehendaki, dan
merupakan hasil sampingan dari kehidupan sehari-hari. Definisi sampah terlihat lebih sederhana
seperti yang tertuang dalam UU Nomor 18 tahun 2008 yang menyatakan bahwa sampah adalah
sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses yang berbentuk padat.

Selanjutnya, Hadiwiyoto (1983) mengungkapkan ciri-ciri dari sampah adalah: (1)


merupakan bahan sisa, baik bahan-bahan yang sudah tidak digunakan lagi (barang bekas)
maupun bahan yang sudah tidak diambil bagian utamanya; (2) merupakan bahan yang sudah
tidak ada harganya; (3) bahan buangan yang tidak berguna dan banyak menimbulkan masalah
pencemaran dan gangguan pada kelestarian lingkungan. Sampah dapat digolongkan kedalam
beberapa kategori, menurut jenis sampah dibagi menjadi: sampah organik seperti daun dan lain-
lain, sampah plastik, sampah kertas dan kelompok logam serta kayu (Soekarman, 1983).

Sedangkan, menurut Syahrul dan Ollich (1985) sampah dapat digolongkan kedalam
beberapa kategori, diantaranya berdasarkan sumbernya, yaitu : (1) sampah hasil aktifitas rumah
tangga termasuk dari asrama, rumah sakit, hotel hotel dan kantor; (2) sampah hasil kegiatan
industri dan pabrik; (3) sampah hasil kegiatan pertanian meliputi perkebunan, kehutanan,
perikanan, dan peternakan yang sering juga disebut sebagai limbah pertanian; (4) sampah hasil
kegiatan perdagangan, misalnya pasar dan pertokoan; (5) sampah dari hasil kegiatan
pembangunan; dan (6) sampah dari sekitar jalan raya.

Selanjutnya kategorisasi lain yang ditetapkan oleh WHO membagi sampah berdasarkan
sumber penghasilan, yaitu : (1) sampah rumah tangga (domestic wastes); (2) sampah pasar
(commercial wastes); (3) sampah binatang dan pertanian (agricultural and animal wastes); dan
(4) sampah pertambangan (mining wastes) (WHO, 1971 dalam Syahrul dan Ollich, 1985).

2.2 Teknologi dan Pengelolaan Sampah

Menurut Kementerian Pekerjaan Umum (2011), pengelolaan sampah adalah semua


kegiatan yang bersangkut paut dengan pengendalian timbulnya sampah, pengumpulan, transfer
dan transportasi, pengolahan dan pemrosesan akhir/pembuangan sampah, dengan
mempertimbangkan faktor kesehatan lingkungan, ekonomi, teknologi, konservasi, estetika, dan
faktor-faktor lingkungan lainnya yang erat kaitannya dengan respon masyarakat. Menurut UU
No 18 Tahun 2008, pengelolaan sampah didefinisikan sebagai kegiatan yang sistematis,
menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.

Kegiatan pengurangan meliputi : (a) pembatasan timbulan sampah; (b) pendauran ulang
sampah; dan/atau (c) pemanfaatan kembali sampah. Kegiatan penanganan meliputi: (a)
pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah,
dan/atau sifat sampah; (b) pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah
dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara (TPS) atau tempat pengolahan sampah
3R skala kawasan (TPS 3R), atau tempat pengolahan sampah terpadu; (c) pengangkutan dalam
bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat penampungan sampah sementara
atau dari tempat pengolahan sampah 3R terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir (TPA) atau
tempat pengolahan sampah terpadu (TPST); (d) pengolahan dalam bentuk mengubah
karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah; dan/atau (e) pemrosesan akhir sampah dalam
bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan
secara aman (Kementerian Pekerjaan Umum, 2011). Faktor - faktor dalam pengelolaan sampah
disajikan pada Gambar 1, sedangkan pola operasional penanganan TPA disajikan pada Gambar 2.
Berdasarkan SNI T-11-1991-
03 dalam Basyarat (2006), ada
beberapa metode pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Jenis pengolahan
sampah di TPA perlu dipertimbangkan sesuai dengan kondisi lokasi, pembiayaan, teknologi, dan
keamanannya. Berbagai cara pengelolaan sampah di TPA, yaitu open dumping, controlled
landfill dan sanitary landfill
1. Lahan urug terbuka atau open dumping (tidak dianjurkan), dalam hal pengelolaan ini
sampah hanya dibuang atau ditimbun disuatu tempat tanpa dilakukan penutupan dengan
tanah sehingga dapat menimbulkan gangguan terhadap lingkungan seperti perkembangan
vektor penyakit, bau, pencemaran air permukaan dan air tanah serta rentan terhadap
bahaya kebakaran dan longsor. Open dumping menggunakan pola menghamparkan
sampah di lahan terbuka tanpa dilakukan penutupan lagi dengan tanah. Metoda open
dumping dapat menimbulkan keresahan terhadap masyarakat yang ada di sekitarnya,
selain juga telah mengganggu keindahan kota.
2. Penimbunan terkendali (controlled landfill), merupakan teknologi peralihan antara open
dumping dengan sanitary landfill. Pada metode controlled landfill dilakukan penutupan
sampah dengan lapisan tanah secara berkala.
3. Lahan urug saniter (sanitary landfill), pada metode ini sampah di TPA ditutup dengan
lapisan tanah setiap hari sehingga pengaruh sampah terhadap lingkungan akan sangat
kecil. Sanitary landfill Ini merupakan salah satu metoda pengolahan sampah terkontrol
dengan sistem sanitasi yang baik. Sampah dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
Kemudian sampah dipadatkan dengan traktor dan selanjutnya di tutup tanah. Cara ini
akan menghilangkan polusi udara. Pada bagian dasar tempat tersebut dilengkapi sistem
saluran leachate yang berfungsi sebagai saluran limbah cair sampah yang harus diolah
terlebih dulu sebelum dibuang ke sungai atau ke lingkungan. Di sanitary landfill tersebut
juga dipasang pipa gas untuk mengalirkan gas hasil aktivitas penguraian sampah. Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam sanitary landfill, yaitu:
Semua landfill adalah warisan bagi generasi mendatang
Memerlukan lahan yang luas
Penyediaan dan pemilihan lokasi pembuangan harus memperhatikan dampak
lingkungan
Aspek sosial harus mendapat perhatian
Harus dipersiapkan instalasi drainase dan sistem pengumpulan gas
Kebocoran ke dalam sumber air tidak dapat ditolerir (kontaminasi dengan zat-zat
beracun)
Memerlukan pemantauan yang terus menerus

4. Lahan urug saniter yang dikembangkan (improved sanitary landfill). Salah satu
pengembangan dari motode sanitary landfill adalah model Reusable Sanitary Landfill
(RSL). RSL merupakan teknologi penyempurna sistem pembuangan sampah yang
berkesinambungan dengan menggunakan metode supply ruang penampungan sampah
padat. RSL diyakini dapat mengontrol emisi liquid, atau air rembesan sampai dengan tidak
mencemari air tanah. Cara kerjanya, sampah ditumpuk dalam satu lahan. Lahan tempat
sampah dipadatkan, lahan tersebut dikatakan sebagai ground liner. Ground liner dilapisi
dengan geomembran, lapisan ini yang akan menahan meresapnya air lindi ke dalam tanah
dan mencemari air tanah. Bagian atas lapisan geomembran dilapisi lagi dengan geo-textile
yang gunanaya menahan kotoran sehingga tidak bercampur dengan air lindi. Secara berkala
air lindi dikeringkan. Untuk menyerap panas dan membantu pembusukan, sampah yang
telah dipadatkan ditutup menggunakan lapisan geo-membran untuk mencegah
menyebarnya gas metan.

Menurut SK SNI T-11-1991-03 dalam Basyarat (2006), kriteria pemilihan lokasi untuk TPA
ditentukan berdasarkan 3 bagian:

1. Kriteria Regional yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak atau zona
tidak layak sebagai berikut:
a. Kondisi geologi: tidak berlokasi di zona holocene fault dan tidak boleh di zona bahaya
geologi
b. Kondisi hidrogeologi:
- tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 meter
- tidak boleh kelulusan tanah lebih dari 10-6 cm/det
- jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter
- dalam hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut di atas, maka harus
diadakan masukan teknologi
c. Kemiringan zona harus kurang dari 20 %
d. Jarak dari lapangan terbang harus lebih besar dari 3.000 meter untuk penerbangan
turbo jet dan lebih besar dari 1.500 meter untuk jenis lain
e. Tidak boleh pada daerah lindung/cagar alam dan daerah banjir dengan periode ulang 25
tahunan
2. Kriteria penyisih yaitu kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi terbaik,
diantaranya yaitu:
a. Iklim:
- Hujan, intensitas hujan makin kecil dinilai makin baik
- Angin, arah angin dominan tidak menuju ke permukiman dinilai makin baik
b. Utilitas: tersedia lebih lengkap dinilai makin baik
c. Lingkungan Biologis:
- Habitat: kurang bervariasi, dinilai makin baik
- Daya dukung: kurang menunjang kehidupan flora dan fauna, dinilai makin baik
d. Kondisi tanah:
- Produktifitas tanah: makin tidak produktif dinilai makin baik
- Kapasitas dan umur: dapat menampung lahan lebih banyak dan lebih lama dinilai
lebih baik
- Ketersediaan tanah penutup: mempunyai tanah penutup yang cukup,dinilai lebih baik
- Status tanah: kepemilikan tanah makin bervariasi dinilai tidak baik
e. Demografi : kepadatan penduduk lebih rendah, dinilai makin baik
f. Batas administrasi: dalam batas administrasi dinilai semakin baik
g. Kebisingan: semakin banyak zona penyangga dinilai semakinbaik
h. Bau: semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik
i. Estetika: semakin tidak terlihat dari luar dinilai semakin baik
j. Ekonomi: semakin rendah biaya satuan pengelolaan sampah (Rp/m3 atau Rp/ton)
dinilai semakin baik
3. Kriteria penetapan, yaitu kriteria yang digunakan oleh instansi yang berwenang untuk
menyetujui dan menetapkan lokasi terpilih sesuai dengan kebijaksanaan instansi yang berwenang
setempat dan ketentuan yang berlaku.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Keadaan Geografis


Desa Galuga merupakan salah satu desa yang secara administratif berada di Kecamatan
Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa Galuga terletak di sebelah barat dari
Kota Bogor sekitar 15 km ke arah Tangerang (Banten). Berdasarkan Citra Quickbird tahun 2010,
Desa Galuga memiliki luas wilayah sekitar 229,2 ha atau 2.292.000 m 2. Secara geografis Desa
Galuga terletak pada 10603815BT-10603907BT sampai 0603320LS-0603420LS. Namun,
secara administratif, batas wilayah Desa Galuga di sebelah utara berbatasan langsung dengan
Desa Kerehkel dan Desa Cijujung. Sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Desa Dukuh.
Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Leuwiliang dan di sebelah selatan berbatasan
dengan Desa Cemplang. Sungai utama yang mengalir di daerah tersebut adalah Sungai Cianten
yang berada di sebelah barat Desa Galuga.

Penduduk Desa Galuga berjumlah sekitar 5.132 jiwa, dengan penduduk laki-laki
sebanyak 2.475 orang dan perempuan sebanyak 2.657 orang. Kondisi pendidikan masyarakat
Desa Galuga masih relatif rendah. Rata-rata penduduk hanya tamat SD/sederajat yaitu sekitar
369 orang (Tabel 6). Berdasarkan data yang didapatkan, mata pencaharian penduduk Desa
Galuga tidak terlalu bervariasi. Penduduk dominan bekerja sebagai peternak yaitu sekitar 1.680
orang atau 32,73% dari jumlah penduduk. Penduduk yang menjadi petani relatif sedikit yakni
sekitar 548 orang atau 10,68% dari total keseluruhan penduduk Desa Galuga. Mata pencaharian
penduduk Desa Galuga disajikan pada Tabel 7. TPA Galuga merupakan Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) Sampah yang berada di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.
TPA Galuga berada di RT 08/05, Kampung Lalamping, Desa Galuga. TPA ini berada di wilayah
bagian tengah Desa Galuga dengan luas areal sampai pada tahun 2011mencapai 31,8 ha atau
sekitar 13% dari total keseluruhan luas wilayah DesaGaluga.

3.2 Formasi Geologi


Menurut Peta Geologi lembar Serang, Leuwidamar, Jakarta, Bogor, Karawang, dan
Cianjur (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Ditjen Geologi dan Sumberdaya Mineral,
Departemen Pertambangan dan Energi RI, 1992) skala 1:100.000, Desa Galuga dikelompokkan
ke dalam lima formasi geologi yaitu: qav, qvl, qvsb, tmb, dan tmn (Gambar 10). Kawasan TPA
Galuga secara umum berada pada formasi geologi qvl, qvsb, dan tmn. Luas wilayah Desa
Galuga untuk masing-masing formasi geologi disajikan pada Tabel 8.

Berdasarkan formasi geologinya, Desa Galuga secara umum terbagi atas dua periode
geologi, yakni tersier dan kuarter. Tersier merupakan pembentukan pada masa cenozoikum atau
sekitar 60 juta tahun yang lalu, sedangkan kuarter merupakan pembentukan pada masa
cenozoikum dimana bedanya dengan periode tersier yaitu pada masa quarter relatif lebih terbaru,
artinya pembentukan dari 0-2 juta tahun yang lalu dan diperkirakan masih akan berlangsung
sampai masa sekarang. Beberapa ahli memiliki pendapat berbeda-beda mengenai frekuensi
waktu pembentukan pada masing-masing periode (Rachim, 2007) seperti yang disajikan pada
Tabel 9.

Berdasarkan formasi geologi tersebut, secara umum luas wilayah pada masing-masing
periode relatif seimbang. Periode pada masa tersier luasnya mencapai 115,063 ha atau 50,2 %,
Sedangkan untuk masa quarter sekitar 114,091 ha atau 49,8% dari luas wilayah Desa Galuga
3.3 Topografi/Fisiografi

Berdasarkan peta kontur Bakosurtanal (2006), Desa Galuga memiliki bentuk wilayah
yang bervariasi. Ketinggian maksimum mencapai 287 mdpl yang berada di sebelah tengah
bagian selatan dan sebelah utara bagian barat Desa Galuga. Wilayah sepanjang bagian timur
maupun barat Desa Galuga memiliki bentuk wilayah datar dengan rata-rata ketinggian tidak
lebih dari 190 mdpl. Wilayah bagian utara sampai tengah Desa Galuga memiliki bentuk wilayah
bergelombang dengan rata-rata ketinggian antara 170-240 mdpl.
Luas wilayah masing-masing ketinggian disajikan pada Tabel 10. TPA Galuga yang
terletak tepat di tengah-tengah Desa Galuga berada pada ketinggian yang sedang. Sebelah utara
TPA Galuga berada pada ketinggian antara 176-190 mdpl, sedangkan sebelah selatan TPA
Galuga berada pada ketinggian antara 204-218 mdpl. Variasi ketinggian Desa Galuga dan TPA
Galuga disajikan pada Gambar 11.
Wilayah Desa Galuga mempunyai kemiringan lereng yang relative bervariasi antara 0-
40%. Berdasarkan peta kontur Bakosurtanal (2006), kemiringan lereng kawasan Desa Galuga
dikelompokkan ke dalam tiga kelas kemiringan, yaitu 8%, 8-15%, dan >15%. Kawasan Desa
Galuga didominasi oleh daerah landai dengan tingkat kemiringan <8% dengan luas wilayah
mencapai 152,637 ha atau 66,6% dari luas keseluruhan wilayah Desa Galuga. Dari pengamatan
lapang terlihat pemanfaatan lahan di kawasan ini sebagian besar dijadikan sebagai persawahan
(lahan basah). Untuk wilayah yang terjal atau curam dengan tingkat kemiringan >15% luas
arealnya mencapai 50,535 ha atau 22,1%. Wilayah yang bergelombang berada di kawasan Desa
Galuga bagian tengah dari utara-selatan dengan luas wilayah mencapai 25.998 ha atau 11,3%
yang berada pada tingkat kemiringan 8-15%. Kawasan TPA Galuga berada pada topografi yang
relatif landai. Sebelah utara areal buangan TPA Galuga berada pada tingkat kemiringan <8%.
Sedangkan untuk kawasan di sebelah selatan berada pada wilayah dengan tingkat kemiringan
8-15% (Gambar 12).
3.4 Jenis Tanah
Jenis tanah yang terdapat di Desa Galuga dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis.
Berdasarkan PPT Bogor (1992) skala 1:50.000, jenis tanah yang terdapat di Desa Galuga adalah
aluvial dan latosol. Sedangkan kawasan TPA Galuga berada pada jenis tanah latosol (Gambar
13). Jenis tanah latosol dengan nama lengkap latosol cokelat kemerahan merupakan jenis tanah
yang paling banyak tersebar. Dominasi tanah ini terlihat dengan luas areal penyebarannya yang
mencapai 76,1% atau 174,292 ha. Penyebarannya meliputi seluruh bagian tengah sampai timur
Desa Galuga. Untuk jenis tanah aluvial dengan nama lengkap kompleks aluvial cokelat dan
aluvial cokelat kekelabuan, penyebarannya relatif lebih sedikit dengan luas areal 54,861 ha atau
23,9% dari total keseluruhan wilayah Desa Galuga dimana wilayah penyebarannya meliputi
wilayah sebelah barat dari bagian utara-selatan Desa Galuga.
Pembentukan kedua jenis tanah ini sangat dipengaruhi oleh bahan induk. Tanah latosol
cokelat kemerahan berasal dari bahan induk tuf andesit. Tanah ini merupakan tanah yang berasal
dari letusan gunung api dan tergolong kedalam tanah tua. Sedangkan untuk jenis tanah aluvial
cokelat dan aluvial cokelat kekelabuan berasal dari bahan induk aluvium (volkanik). Tanah ini
termasuk kedalam tanah muda, karena perkembangan tanahnya masih akan berlangsung. Tanah
ini juga dipengaruhi oleh sedimentasi air sungai yang ada di sebelah barat Desa Galuga sehingga
mempengaruhi komponen tanah ini secara keseluruhan.

3.5. Lahan TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya Berdasarkan Topografi/Fisiografi


Kawasan TPA Galuga berada pada ketinggian 170-218 mdpl (Gambar 11) dengan tingkat
kemiringan lereng <15% (Gambar 12). Artinya, kawasan TPA Galuga berada pada fisiografi agak
miring/bergelombang. Analisis terhadap kondisi eksisting lahan dilakukan di 3 (tiga) titik
pengamatan di sekitar TPA Galuga. Titik-titik tersebut dinilai cukup mewakili dari lokasi areal
TPA Galuga secara keseluruhan. Titik tersebut yaitu T2IPS, T3IPS, dan T4IPS (Gambar 17).
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis peta ketinggian dan peta lereng Desa Galuga, titik-
titik tersebut berada pada ketinggian 230-250 mdpl dengan tingkat kemiringan lereng 8-15%,
dan >15 % (Tabel 12).

Anda mungkin juga menyukai