Anda di halaman 1dari 6

Mustakim Firdaus Tugas Breakdown Kasus 21301015

HUKUM PERBANKAN
Pembobolan Bank dan Bagaimana Penjahat Kerah Putih Beraksi

Sumber : Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan


https://www.ppatk.go.id/siaran_pers/read/796/pembobolan-bank-dan-bagaimana-penjahat-kerah-putih-beraksi

Rangkuman - Eddy Tansil adalah legenda kasus pembobolan bank di


Indonesia. PT Golden Key Group (GKG) digunakan sebagai sarana
untuk membobol Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) sebesar
Rp1,3 triliun melalui pengajuan kredit untuk proyek yang tidak pernah
terealisasi. Kasus ini melibatkan campur tangan kekuasaan.

Setelah Eddy Tansil, kasus pembobolan bank lainnya mewarnai


kejahatan perbankan di Indonesia. Salah satunya adalah kasus
pembobolan kredit Bank Mandiri cabang Bandung senilai Rp1,83 triliun
yang melibatkan manipulasi data aset. Lampiran lengkap contoh
kasus :
Kasus kejahatan perbankan lainnya mencakup penyaluran kredit fiktif Halaman terakhir
senilai Rp102 miliar oleh anak usaha Bank Mandiri, pemalsuan
dokumen dan pembobolan dana nasabah di Bank CIMB Niaga, serta
pemindahan dana nasabah tanpa izin oleh mantan Relationship
Manager Citibank, yang kemudian berkembang sebagai tindak pidana
pencucian uang (TPPU).
Mustakim Firdaus Tugas Breakdown Kasus 21301015

HUKUM PERBANKAN
Kasus-kasus ini seringkali melibatkan orang dalam bank dan berbagai modus seperti pemalsuan
dokumen, manipulasi data, dan penyalahgunaan kepercayaan nasabah. Aksi pembobolan bank dapat
terjadi dengan kerja sama dari pihak bank yang bersangkutan, dari pegawai hingga pejabat bank.

BREAKDOWN

1. Kredit Fiktif dan Penipuan:


Kasus Eddy Tansil melibatkan perusahaan PT Golden Key Group (GKG) yang mengajukan
kredit dengan tujuan yang fiktif, serta penggunaan surat sakti dan cara ilegal untuk
mendapatkan kredit. Hal ini melibatkan tindakan penipuan dan mungkin melanggar berbagai
peraturan perbankan.
2. Pemalsuan Dokumen:
Kasus pemalsuan dokumen, seperti bilyet deposito palsu yang digunakan untuk mengakses
dana nasabah tanpa izin, adalah pelanggaran serius dan dapat melanggar peraturan
perbankan yang mengatur pemalsuan dokumen.
3. Penyalahgunaan Wewenang:
Terdapat sejumlah kasus yang melibatkan penyalahgunaan wewenang, seperti pemindahan
dana tanpa izin nasabah atau perusahaan yang memiliki dana deposito. Ini adalah
pelanggaran terhadap peraturan perbankan yang mengatur penyalahgunaan wewenang.
4. Pencucian Uang:
Kasus Inong Malinda melibatkan pemindahan dana milik nasabah ke rekening-rekening yang
dikuasai oleh Malinda tanpa seizin pemilik dana, yang mungkin merupakan tindakan
pencucian uang.
5. Korupsi:
Beberapa kasus, termasuk pencairan deposito dan pemanfaatan bunga tanpa izin, juga
melibatkan tindakan korupsi.
6. Sindikat Perbankan:
Beberapa kasus, seperti penyaluran kredit fiktif oleh Bank Syariah Mandiri, mungkin
merupakan bagian dari sindikat perbankan yang melibatkan beberapa orang dalam bank.
Kasus semacam ini melibatkan kolusi internal yang merugikan bank.
7. Keterlibatan Orang Dalam:
Banyak kasus yang melibatkan orang dalam bank, termasuk manajer, teller, dan petinggi
bank. Mereka mungkin terlibat dalam berbagai tindakan ilegal yang merugikan bank dan
nasabah.
8. Pembobolan Dana Nasabah:
Ada beberapa kasus pembobolan dana nasabah, termasuk melalui aplikasi palsu dan
pemalsuan tanda tangan nasabah. Ini adalah tindakan ilegal yang merugikan nasabah.
Mustakim Firdaus Tugas Breakdown Kasus 21301015

HUKUM PERBANKAN
Artikel Lengkap - Eddy Tansil adalah legenda kasus pembobolan bank di Indonesia. PT Golden Key
Group (GKG), perusahaannya yang bergerak di bidang petrokimia, jadi pintu masuk membobol Bank
Pembangunan Indonesia (Bapindo) Rp1,3 triliun. Perusahaan itu mengajukan kredit dan disetujui
untuk membangun tiga pabrik yang proyeknya tak pernah terealisasi alias fiktif.

Saat itu, Eddy Tansil mampu membobol bank karena campur tangan kekuasaan.“Kredit yang mulai
diberikan pada 1991 dengan cara ilegal itu pada 1994 telah membengkak sampai Rp1,3 triliun. Dalam
memperoleh kredit ini, Eddy Tansil sempat memanfaatkan katebeletje atau surat sakti yang ditulis
Sudomo,” tulis Kees Bertens dalam buku Pengantar Etika Bisnis (2000:220).

Setelah era Eddy Tansil, aksi pembobolan bank silih berganti mewarnai kasus kejahatan perbankan di
Indonesia. Kasus yang masih hangat adalah pembobolan kredit Bank Mandiri cabang Bandung.
Kasus yang dinyatakan sebagai kerugian negara atas pemberian fasilitas kredit oleh Bank Mandiri
kepada PT Tirta Amarta Bottling Company (TAB) total nilainya mencapai Rp1,83 triliun.

Jumlah kerugian tersebut merupakan hasil hitungan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK). I Nyoman Wara, Auditor Utama Investigasi BPK menyatakan, nilai kerugian tersebut merupakan
akumulasi dari tunggakan pokok utang PT TAB disertai bunga kredit.

“Kami telah menyelesaikan penghitungan kerugian negara atas kasus Bank Mandiri terkait pemberian
kredit kepada PT TAB, dan menyimpulkan hasil pemeriksaan atas perhitungan kerugian negara
jumlahnya sekitar Rp1,83 triliun. Perhitungan ini berdasarkan data-data yang kompeten dan valid,
yang kami peroleh dari penyidik,” kata Nyoman Wara medio Mei lalu.
Pada perkara Bank Mandiri, kasus ini diduga melibatkan orang dalam dengan ditetapkannya
beberapa nama petinggi Bank Mandiri sebagai tersangka antara lain Manager Komersial Perbankan,
Relationship Manager, dan Senior Kredit Risk Manager. Keterlibatan pihak PT TAB, antara lain direktur
dan kepala kepala bidang akuntansi PT TAB. Modusnya dengan memanipulasi data aset untuk
mendapatkan perpanjangan fasilitas kredit, dan uangnya dipakai di luar perjanjian kredit dan
kepentingan pribadi.

Kasus kejahatan perbankan memang terjadi dengan berbagai modus. Pada 2013 anak usaha Bank
Mandiri yaitu Bank Syariah Mandiri (BSM) cabang Bogor terjerat kasus penyaluran kredit fiktif senilai
Rp102 miliar. Kejahatan ini diketahui merupakan bagian dari sindikat perbankan.

Empat orang tersangka ditetapkan dalam kasus ini, tiga orang merupakan karyawan BSM. Modus
yang digunakan tersangka adalah dengan memalsukan identitas 197 nasabah fiktif baik melalui
identitas nasabah maupun melalui persyaratan administrasi lainnya. Kasus ini bermula dari laporan
yang diajukan BSM Pusat kepada Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian Republik Indonesia
yang kemudian melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Mustakim Firdaus Tugas Breakdown Kasus 21301015

HUKUM PERBANKAN
Modus kejahatan perbankan lainnya berupa pemalsuan dokumen yang berujung pada pembobolan
dana nasabah. Ini setidaknya pernah terjadi di BSM medio 2014-2015 yang melibatkan dua orang
karyawan BSM dengan nilai kerugian dari kasus kali ini mencapai Rp50 miliar. Dua karyawan adalah
Manager Marketing BSM Cabang Gatot Subroto dan Trade Specialist Officer BSM.

Kasus lainnya adalah penawaran bilyet deposito palsu oleh oknum karyawan berstatus Kepala Kantor
Kas PT Bank Tabungan Negara (BTN). Total kerugian dana nasabah akibat bilyet deposito palsu
mencapai Rp256 miliar, yang dilakukan di dua kantor kas.

“Oknum menawarkan produk deposito dengan tingkat bunga jauh di atas yang ditawarkan BTN.
Sindikat ini juga memalsukan spesimen tanda tangan dan data nasabah,” ucap Maryono, Direktur
Utama BTN seperti dilansir dari Antara.
Kejahatan kerah putih lain berupa kasus dugaan korupsi pencairan deposito juga terjadi di Bank
Permata. Salah satu tersangka adalah mantan Kepala Cabang Bank Permata Kenari Jakarta Pusat,
yang bekerja sama dengan Direktur Keuangan sebuah perusahaan yaitu PT Bali Tour Development
Corporation (BTDC).

Kedua tersangka tersebut diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan melakukan pencairan
dana deposito berjangka serta pemanfaatan bunga deposito milik perusahaan, yang sebesar Rp6
miliar. Terdapat dugaan, pencairan serta pemanfaatan bunga deposito tanpa menggunakan bilyet
giro yang asli.

Aplikasi pencairan bilyet giro tidak ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, serta pencairan
dilakukan tanpa proses konfirmasi kepada PT BTDC sebagai pemilik dana. Kasus serupa juga sempat
terjadi di Bank Mega yang melibatkan PT Elnusa.

Dana deposito berjangka dalam bentuk deposito on call milik PT Elnusa senilai Rp111 miliar yang
tersimpan di brankas Bank Mega Cabang Jababeka, Cikarang, Bekasi, dinyatakan hilang secara
sepihak oleh Bank Mega. Modus raibnya sejumlah dana tersebut melalui pemalsuan bilyet depisito
dan spesimen tanda tangan pejabat Elnusa yang dilakukan oleh Kepala Cabang Bank Mega
Jababeka.

Enam orang menjadi tersangka dalam kasus ini termasuk Direktur Keuangan Elnusa dan Kepala
Cabang Bank Mega Jababeka. Kedua pihak ini diduga mencairkan deposito tanpa sepengetahuan
perusahaan. Dana deposito yang dicairkan secara bertahap ini diduga digunakan untuk investasi
saham berjangka.

Aksi kriminal pembobolan rekening nasabah juga dilakukan oleh oknum mantan pegawai Bank CIMB
Niaga cabang Jemursari, Surabaya yang sempat menjabat Relationship Manager. Ini artinya
pembobolan bank bisa terjadi tak hanya terkait orang dalam bank yang masih aktif, tapi mantan
karyawan bank pun bisa melakukannya. Modus kejahatan dilakukan dengan membuat aplikasi
pengajuan rekening baru atas nama seorang nasabah lalu memindahkan dana melalui e-banking.
Mustakim Firdaus Tugas Breakdown Kasus 21301015

HUKUM PERBANKAN
“Sebagai seorang manajer, ia memiliki akses untuk melihat data pribadi nasabah. Sementara, tanda
tangan nasabah yang dibobol rekeningnya, dipalsukan,” ujar Suparlan Hadiyanto, Jaksa Penuntut
Umum yang menangani perkara Rina seperti dilansir dari Kompas.

Kejahatan perbankan lainnya yang cukup fenomenal dan membuat gempar publik adalah
pembobolan rekening nasabah yang kemudian berkembang sebagai tindak pidana pencucian uang
(TPPU) yang dilakukan oleh Inong Malinda, mantan Relationship Manager Citibank di kantor cabang
Citibank Landmark, Jakarta Selatan.

Modus operandi yang dilakukan perempuan yang dikenal dengan nama Malinda Dee ini adalah
dengan memindahkan sejumlah dana milik nasabah tanpa seizin pemilik dana, ke beberapa rekening
yang dikuasai Malinda termasuk ke rekening adik kandung, adik ipar serta suaminya.

Dalam berkas salinan putusan perkara, dijelaskan bahwa Malinda Dee melakukan transfer dana dari
rekening para nasabah Citigold Citibank Landmark dengan cara meminta tandatangan nasabah
dalam formulir transfer yang masih kosong atau belum diisi.

Dalam praktiknya, kolom tandatangan dalam formulir transfer bahkan sering diisi sendiri oleh Malinda
Dee. Selanjutnya, tanpa persetujuan atau permintaan dari nasabah, Malinda Dee mengisi seluruh
formulir transfer secara lengkap termasuk nama penerima, nomor rekening penerima, bank penerima,
jumlah nominal uang yang dipindahbukukan dan isi pesan.

Ini seolah-olah para nasabah tersebut benar-benar melakukan transaksi dana. Padahal
kenyataannya, perbuatan tersebut bukan atas perintah atau tanpa permintaan atau tidak seizin para
nasabah yang bersangkutan. Data-data yang ditulis Malinda Dee dalam formulir transfer tersebut
merupakan data yang tidak sah atau palsu.

Formulir transfer dana ini kemudian diproses tanpa kehadiran, tanda pengenal, maupun tandatangan
nasabah yang sesuai dalam sistem. Padahal dalam ketentuan SOP, transfer dana harus dihadiri oleh
nasabah dan menyertakan kelengkapan lainnya. Aksi ini memang tidak mungkin dilakukan Malinda
Dee tanpa adanya kepercayaan maupun kedekatan dengan nasabah.
Laporan Tahunan OJK menyebutkan, selama triwulan IV-2017 terdapat penambahan 41 pelaku yang
merupakan orang dalam bank yang terlibat dalam Tipibank. Sebagian besar kasus dugaan Tipibank
setara dengan 75 persen terkait dengan perkreditan dan sisa 25 persen terkait dengan
penyalahgunaan dana nasabah. Adapun pelaku dugaan Tipibank didominasi oleh direksi yang
mencapai 10 orang setara 67 persen serta pejabat eksekutif sebanyak 5 orang setara 33 persen.

Modus yang dilakukan antara lain terkait penyalahgunaan wewenang, melanggar prinsip kehati-
hatian, penyimpangan atau melakukan kredit fiktif, dan lainnya.
Mustakim Firdaus Tugas Breakdown Kasus 21301015

HUKUM PERBANKAN
Yenti Garnasih, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Trisakti menuturkan, kejahatan perbankan
yang terjadi di Indonesia sering melibatkan orang dalam bank itu sendiri. “Karena sebetulnya sulit
sekali membobol bank tanpa ada kerja sama dengan pihak bank, apalagi bila sistem kontrol berjalan
dengan baik,” tulis Yenti dalam materi seminar tentang Optimalisasi Pengejaran Aset Pelaku Tindak
Pidana Perbankan dikutip dari laman LPS.

Masih berdasarkan materi seminar tersebut, Yenti menambahkan berbagai modus yang digunakan
dalam pembobolan bank yang didalangi oleh orang luar bank, seringkali justru terjadi atas bantuan
orang dalam bank. Hal itu dimungkinkan terjadi dengan adanya kerja sama ataupun hanya sekadar
membantu dengan mendapatkan upah atau komisi atas hasil kejahatan perbankan tersebut.

Cara konservatif berupa modus pemalsuan, penipuan dan penggelapan atas dana nasabah, masih
berpeluang terjadi di era digital ini. “Menarik untuk dicermati adalah bahwa sebagian besar kejahatan
perbankan selalu melibatkan oknum bank yang bersangkutan, mulai dari teller sampai dengan top
level di lembaga keuangan tersebut,” lanjut Yenti.

---

Anda mungkin juga menyukai