Anda di halaman 1dari 7

A.

Pembobolan Bank Citibank

JAKARTA, kabarbisnis.com: MD (37) karyawati Citibank Jakarta nekat merampok dana nasabah sebesar
Rp17 miliar. Berbagai modus untuk mengeruk uang nasabah yakni memanipulasi data rekening,
memindahkan rekening nasabah ke rekening milik MD.

"Tersangka MD sengaja melakukan kejahatan dengan mengaburkan transaksi dan pencatatan tidak
benar terhadap beberapa slip transfer penarikan dana pada rekening nasabah. Untuk memindahkan
sejumlah dana milik nasabah tanpa izin ke beberapa rekening yang dikuasai oleh pelaku (MD)," ungkap
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Anton Bachrul Alam di Mabes Polri Jakarta, Jumat (25/3/2011).
Setelah menjalani pemeriksaan intensif, MD langsung ditahan di Rutan Bareskrim Polri. MD dikenakan
pasal penggelapan, sebagaimana Undang-undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang atau money
laundring.

Penyidik Bareskrim sudah memeriksa 13 orang saksi, terdiri pimpinan dan karyawan Citibank, juga tiga
orang korban yang dana rekeningnya di bank asal Amerika ini dikuras MD. Polisi juga mengembangkan
kasus ini terhadap tersangka lainnya, yang diduga melakukan persekokolan untuk membobol dana
nasabah Citibank, mengingat diduga kuat MD tidak sendirian dalam menjalankan aksinya.

B. Pembobolan Dana ElNusa-Bank Mega

Jakarta (Solopos.com)–PT Bank Mega Tbk (Bank Mega) mengaku telah melaporkan kasus pembobolan
dana PT Elnusa Tbk (ELSA) senilai Rp 111 miliar ke Bank Indonesia. Kasus tersebut kini juga sudah
ditangani oleh pihak Kepolisian.

Kasus pembobolan dana Elnusa senilai Rp 111 miliar yang diduga dilakukan direktur keuangannya yang
sudah nonaktif, Santun Nainggolan menggegerkan publik. Elnusa meminta pertanggungjawaban Bank
Mega karena menduga ada oknum karyawannya yang terlibat.
Manajemen Elnusa juga memastikan bahwa hilangnya dana deposito Rp 111 miliar tidak mempengaruhi
kinerja perseroan. Penempatan deposito ini sedianya merupakan dana operasional cadangan untuk tiga
bulan ke depan

Berikut keterangan kronologi pembobolan dana versi manajemen Elnusa yang disampaikan Direktur
Utama Elnusa  Suharyanto, di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Minggu (24/4/2011) :

Perseroan, sebagai mana lazimnya perusahaan lain menempatkan dana cadangan mereka dalam
berbagai bentuk, salah satunya deposito berjangka di Bank Mega. Elnusa menaruh dana Rp 161 miliar di
bank milik Chairul Tanjung itu mulai 7 September 2009, di kantor cabang Jababeka-Cikarang. Total
deposito terbagi menjadi lima bilyet, dengan jangka waktu beragam satu hingga tiga bulan.
Dokumen penempatan deposito telah ditandatangani oleh pejabat Elnusa yang berwenang, serta Kepala
Cabang Bank Mega Jababeka-Cikarang. Pada periode tersebut hingga saat ini perseroan melakukan
perpanjangan penempatan, pada saat jauh tempo dari masing-masing bilyet. Bank Mega juga terus
membayar bunga deposito setiap bulannya.

Terhitung sejak 5 Maret 2010, total deposito Elsa menjadi Rp 111 miliar karena ada pencairan Rp 50
miliar secara resmi atas perintah manajemen perseroan.

Masalah mulai muncul saat Selasa (19/4/2011), kepolisian bertandang ke kantor Elnusa dan
menanyakan perihal penempatan dana deposito di Bank Mega. Manajemen Elsa mengakui ada
penempatan dana perseroan di Bank Mega.Pada hari itu juga, secara bersama-sama, manajemen Elnusa
dan polisi melakukan mengecekan ke kantor cabang Bank Mega Jababeka Cikarang. Namun hasilnya,
dari keterangan lisan Kacab Bank Mega, deposito perseroan telah dicairkan.

C. Pembobolan Bank BRI

Pembobolan Kantor Kas Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tamini Square. Melibatkan supervisor kantor kas
tersebut dibantu empat tersangka dari luar bank. Modusnya, membuka rekening atas nama tersangka di
luar bank. Uang ditransfer ke rekening tersebut sebesar 6 juta dollar AS. Kemudian uang ditukar dengan
dollar hitam (dollar AS palsu berwarna hitam) menjadi 60 juta dollar AS.

D. Pembobolan Bank Mandiri

Pencairan deposito dan melarikan pembobolan tabungan nasabah Bank Mandiri. Melibatkan lima
tersangka, salah satunya customer service bank tersebut. Modusnya memalsukan tanda tangan di slip
penarikan, kemudian ditransfer ke rekening tersangka. Kasus yang dilaporkan 1 Februari 2011, dengan
nilai kerugian Rp 18 miliar.

E. Pembobolan Bank BNI

Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Margonda Depok. Tersangka seorang wakil pimpinan BNI cabang
tersebut. Modusnya, tersangka mengirim berita teleks palsu berisi perintah memindahkan slip surat
keputusan kredit dengan membuka rekening peminjaman modal kerja.

F. Pembobolan BPR Pundi Sejahtera

Pencairan deposito Rp 6 miliar milik nasabah oleh pengurus BPR tanpa sepengetahuan pemiliknya di
BPR Pundi Artha Sejahtera, Bekasi, Jawa Barat. Pada saat jatuh tempo deposito itu tidak ada dana. Kasus
ini melibatkan Direktur Utama BPR, dua komisaris, komisaris utama, dan seorang pelaku dari luar bank.
FRAUD DAN PENYEBAB PADA PERBANKAN

Dalam Kamus Bahasa Inggris –Indonesia karangan Drs. K.Adi Gunawan  Penerbit Kartika Surabaya 2008
menyebut fraud sebagai penipuan, kecurangan atau penggelapan, termasuk pembobolan rekening
nasabah di bank. Istilah fraud, umumnya familiar di kalangan  perbankan dan dalam praktik operasional
bank. Termasuk dalam fraud adalah perbuatan korupsi/manipulasi, pencurian atau pembobolan
rekening (deposito, giro, tabungan dll) nasabah pada bank,  penggelapan, pemalsuan, penipuan, suap-
menyuap, pemerasan dan berbagai macam  perbuatan  melawan hukum lain yang merugikan keuangan
perusahaan/negara.

Fraud, suatu perbuatan menyimpang atau melanggar ketentuan,  hukum atau peraturan bank.
Dilakukan secara sengaja, baik sendiri-sendiri maupun bekerjasama dengan orang dalam bank maupun
dengan pihak/orang luar bank. Tujuan keuntungan pribadi/kelompok, dengan memanfaatkan atau
menyalahgunakan kewenangan/jabatan, sarana, kesempatan yang  merugikan bank dan atau nasabah
bank, baik  finansial maupun non finansial.

Pelaku fraud dalam melakukan aksinya senantiasa menggunakan tipu daya atau tipu muslihat, dengan
maksud, antara lain untuk mendapatkan keuntungan, menghindari kewajiban atau menimbulkan
kerugian bagi pihak lain (organisasi, perusahaan, nasabah).

Terdapat empat unsur fraud dalam praktik operasional bank. Pertama, adanya  “perbuatan”,  yakni
suatu perbuatan curang atau melawan hukum/perundang-undangan. Dua, terdapatnya  “pelaku”, yakni
pelaku fraud yang dilakukan dengan sengaja. Tiga, terdapatnya   “tujuan”, yakni bahwa  fraud dilakukan
untuk tujuan menguntungkan diri pribadi/individu, kelompok atau organisasi. Empat, terjadinya
“kerugian”, yakni  kerugian yang dialami korban (baik person, perusahaan atau organisasi).

FAKTOR PENYEBAB FRAUD

Seorang auditor, Dr Donald Cressy, yang  terkenal dengan “Fraud Tri-angle”-nya, menyebutkan  bahwa
seseorang melakukan fraud karena tiga  hal. Pertama, karena  pressure (tekanan atau motif ). Dalam hal
ini fraud dilakukan karena kebutuhan keuangan yang sangat mendesak. Terdapatnya keinginan yang
tidak atau belum terpuaskan. Terjadinya ketidakpuasan terhadap organisasi/perusahaan/manajemen,
serta adanya tekanan dari pihak lain atau atasan pelaku fraud.

Kedua, opportunity (kesempatan). Lemahnya internal control (pengendalian internal) dalam sebuah
organisasi/perusahaan membuka peluang melakukan fraud. Ketiga, rationalization (pembenaran).
Pelaku fraud merasa, bahkan meyakini bahwa tindakannya bukan merupakan fraud/curang. Bahkan
pelaku fraud merasa telah berjasa kepada organisasi/perusahaannya. Dalam beberapa kasus terdapat
kondisi dimana pelaku tergoda untuk melakukan fraud karena rekan kerjanya juga melakukan perbuatan
yang sama, namun tak diberi hukuman/sanksi.
Namun dari hasil pengamatan, analisis dan praktik operasional bank di lapangan, penulis berpendapat
bahwa terdapat sedikitnya enam faktor  penyebab mengapa fraud dilakukan. Pertama, adanya want
(niat/kemauan). Fraud terjadi karena adanya niat atau kemauan si pelaku.

Kedua, need (kebutuhan). Kebutuhan keuangan mendesak,  apalagi dalam jumlah besar  yang rentan
sebagai pemicu untuk melakukan fraud. Ketiga, greedy (rakus/serakah). Melakukan fraud karena sifat
serakah/rakus dan memiliki pola hidup mewah serta senang berfoya-foya, dan pemain judi dan pelaku
asusila/amoral (moral hazard).

Keempat, opportunity (peluang). Memiliki kesempatan/peluang, misal sebagai akibat lemahnya sistim
internal control dalam organisasi/perusahaan sehingga dimanfaatkan pelaku untuk melakukan fraud.

Kelima, Bad Organization & System (sistim dan organisasi yang buruk/lemah). Misal, gaji kecil, fasilitas
yang tidak memadai serta carrierpath (jenjang karir) yang tidak jelas serta atasan yang pilih kasih
terhadap pegawainya, rentan terjadinya fraud.

Sedangkan yang keenam adalah Mutasi/Rotasi & Over Service. Terlalu lamanya seseorang  pegawai bank
ditempatkan dalam satu unit kerja tertentu, amat riskan/rentan terjadinya tindak fraud. Sedangkan ciri
pegawai pelaku over service adalah pegawai yang sudah sangat lama di satu unit kerja sehingga
seringkali menghalalkan segala cara dan terlalu percaya kepada nasabah dalam melayani nasabah-
nasabah, khususnya priority customer (nasabah prioritas).

Niat  untuk melakukan fraud pada umumnya disebabkan mental dan moral (mentality & morality –
moral hazaard) pelaku yang sangat buruk. Untuk mengatasinya, sejatinya setiap perencanaan dan
pelaksanaan rekrutmen pegawai dan atau penempatan pejabat dalam suatu unit kerja bank harus
dilaksanakan secara ”sangat” selektif.

Tidak semata seleksi intelektualitas, knowledge, medical test dan  test psikologi. Juga historical, track
record/jejak rekam calon pegawai/pejabat, sebaiknya juga harus bisa diketahui secara dini (early
warning system) oleh tim rekrutmen pegawai (human capital)  agar kelak tidak mengalami kesulitan
dalam upaya pembinaan selanjutnya jika telah diterima menjadi pegawai. Sebab, mungkin saja pegawai
yang akan dan sedang diseleksi dan atau dalam proses penerimaan, sebelumnya adalah pegawai di
perusahaan/bank lain yang pernah bermasalah atau melakukan fraud, dsb.
MENCEGAH KEHAJATAN PERBANKAN

Melihat sejarah, pembobolan bank tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Beberapa peristiwa
pembobolan bank yang pernah terjadi beberapa negara bisa disebutkan. Pertama, pembobolan Bank of
America tahun 2008 oleh direkturnya sendiri yaitu Kenneth D Lewis. Kedua, pembobolan Citibank di
India tahun 2010 oleh relationship managernya Shivraj Puri. Ketiga, pembobolan European Bank For
Reconstruction and Development yang dibobol oleh mafia Rusia di tahun 2011 ini.

Dalam kasus pembobolan Citibank oleh MD, kejahatan pembobolan bank dilakukan dengan modus yang
sempurna. Pemindahbukuan rekening nasabah premium (yang simpanannya di atas Rp 500 juta)
dilakukan oleh MD karena nasabah premium tersebut memberikan kepercayaan penuh kepada MD
untuk mengelola rekeningnya dengan menandatangani blanko kosong. Tampaknya blanko kosong
tersebut merupakan konfirmasi positif – dalam istilah audit bank – yang seharusnya menjadi kewajiban
bank kepada nasabahnya untuk penarikan dana dalam jumlah besar. Di sisi yang lain, modus tersebut
didukung oleh ketidakpedulian nasabah premium untuk secara rutin mengecek rekeningnya karena
kesibukannya. Kalau toh dicek barangkali nasabah tersebut tidak “aware” terhadap rekeningnya karena
yang diambil adalah sebagian “kecil” dananya. Bayangkan jika anda punya uang Rp 1 milyar, diambil Rp
10 juta saja tidak akan terasa.

Hampir sama modusnya, pembobolan Bank Mandiri KCP RS Karyadi dilakukan dengan memalsukan
tandatangan nasabah untuk penarikan dana dan karyawati pemalsu tandatangan itu kemudian
bekerjasama dengan karyawan yang bertugas memverifikasi keaslian tandatangan nasabah.
Bank Indonesia sebagai lembaga yang saat ini masih diberi tanggungjawab mengawasi bank tentunya
harus serius mengambil langkah-langkah untuk mengatasi kejahatan perbankan khususnya pembobolan
bank. Sebab bisnis perbankan adalah bisnis kepercayaan. Sebagian dananya berasal dari dana pihak
ketiga (deposan). Peraturan Bank Indonesia (PBI) mensyaratkan modal sendiri bank – yang dikenal
dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) – hanya 8 persen. Artinya bank hanya diharuskan memiliki modal
sendiri 8 persen dari total modal yang disetor. Dengan demikian jika kepercayaan masyarakat (deposan)
hilang akan terjadi penarikan dana besar-besaran dari bank. Kalau hal itu terjadi, perekonomian secara
keseluruhan juga akan terganggu.

LANGKAH-LANGKAH YANG HARUS DIAMBIL

Ada beberapa langkah kebijakan yang perlu diambil oleh BI untuk mencegah terjadinya kejahatan bank
khususnya pembobolan bank.

Pertama, BI hendaknya menetapkan standar teknologi pengamanan yang seragam untuk semua
perbankan. Saat ini teknologi pengamanan dana nasabah untuk setiap bank masih berbeda-beda.
Misalnya untuk pengambilan uang di ATM. Ada bank yang mesin ATM nya jika kartu ATM nasabah
belum dicabut bisa disalahgunakan oleh orang berikutnya yang menggunakan ATM tersebut. Tetapi ada
mesin ATM jika suatu transaksi sudah selesai harus masuk ke menu awal lagi dengan memasukkan
nomer PIN sehingga meskipun kartu ATM belum dicabut orang berikutnya tidak mungkin bisa
mengambil aung atau menyalahgunakannya.

Untuk keperluan penciptaan teknologi pengamanan bank yang seragam itu BI bisa menyewa konsultan
teknologi informasi yang setiap saat harus makin canggih. Untuk biayanya BI bisa meminta iuran dari
pihak perbankan. Pihak perbankan sendiri bisa menyisihkan, misalnya, 5 persen dari keuntugannya
untuk mendukung program pengembangan teknologi pengamanan yang diprakarsai BI tersebut.

Kedua, BI harus melakukan audit secara teratur setahun sekali terhadap bank-bank umum khususnya di
cabang-cabang. Selama ini BI kesulitan melakukan hal tersebut karena keterbatasan auditor internal BI.
Untuk mengatasi hal tersebut, BI bisa menggunakan auditor independen dari kantor akuntan publik. Hal
itu tidak menyalahi aturan karena diperbolehkan sesuai dengan Pasal 31A UU Nomor 7 tahun 1992
tentang Perbankan yang telah diubah dengan UU Nomer 10 tahun 1998 dan sesuai pula dengan Pasal 30
ayat 1 Undang-undang Nomor23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dengan audit rutin tersebut
diharapkan kejahatan bank bisa dideteksi dan dicegah.

Ketiga, pihak bank juga harus melakukan audit intern secara rutin setahun sekali. Audit itu dilakukan
oleh lembaga yang bisa saja disebut sebagai Satuan Pemeriksa Intern (SPI). Hasil pemeriksaan
disampaikan kepada dewan komisaris bank dan BI. Hasil audit tersebut bisa dijadikan bahan verifikasi
oleh BI untuk audit BI.

Keempat, calon karyawan bank harus menjalani tes psikologi untuk memastikan watak yang baik dari si
calon karyawan. Artinya dalam tes psikologi itu harus dipastikan bahwa karyawan itu tidak akan berbuat
jahat meskipun ada peluang di depan matanya.

Kelima, untuk karyawan lama harus diterapkanwajib tes psikologi unbtuk mengetahui konsistensi
sikapnya. Sebab ada kemungkinan karyawan yang dulunya baik (lolos tes psikologi pada saat
penerimaan) bisa berubah karena berbagai faktor misalnya lingkungan kerja, pergaulan, dan lain-lain.
Contoh dari karyawan yang berubah adalah Melinda D yang membobol Citibank setelah dia bekerja di
bank itu selama 17 tahun.

Keenam, BI, pemerintah, dan DPR harus merevisi UU Perbankan dengan menekankan pada antisipasi
kejahatan bank. Undang-undang tersebut harus mengakomodasi atau merujuk pada berbagai UU yang
sudah ada misalnya UU Nomor 31 tahun 1999 yang sudah diperbaharui dengan UU Nomor 20 tahun
2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) serta Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang
penyucian uang. Bentuk-bentuk kejahatan bank yang mungkin terjadi juga harus diantisipasi beserta
sangsi hukumannya. Kejahatan perbankan tersebut bisa kejahatan yang dilakukan oleh orang dalam,
orang luar, orang luar yang dibantu orang dalam, serta yang dilakukan oleh organisasi kejahatan yang
canggih seperti mafia. Sampai detik ini, nampaknya usulan terhadap revisi UU Perbankan ini belum
terdengar. Yang selama ini dinyatakan oleh BI adalah BI hanya akan merevisi dan memperketat
Peraturan BI tentang Private Banking yaitu pelayanan terhadap nasabah-nasabah kelas kakap (yaitu
nasabah yang simpanannya Rp 500 juta ke atas).
Tugas Mata Kuliah Hukum Perbankan

KEJAHATAN PERBANKAN

Dibuat Oleh:

JAKA MAULANA – 10040004099

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2011

Anda mungkin juga menyukai