Anda di halaman 1dari 4

Nama : Yunita Eka Safitri

Nim : 190721637621
Offering : A/2019
Tugas Pertemuan 5
1. Identifikasi komunitas budaya lokal yang dibangun sebagai hasil imigrasi negara asing (Study a local
cultural community that developed as a result of immigration from a foreign land)!

 Kampung Ketandan (Pecinan di Yogyakarta yang tak termakan zaman)

Gambar 1. Gapura Kampung Ketandan


Sumber: Google

Kota Yogyakarta didirikan pada tahun 1756. Cukup panjang sejarah perjalanan Yogyakarta sebagai sebuah
kota yang saat ini telah menjadi destinasi wisata sejarah, budaya, seni tradisi, hingga kuliner. Elemen utama kota
tua Yogyakarta adalah wilayah Keraton dan Kota Gede.
Di antara keduanya, terdapat satu wilayah yang turut mewarnai perkembangan kota, Ketandan-kompleks
permukiman masyarakat Cina Yogyakarta sejak awal abad 19 masa Kapitan Tan Jin Sing (KRT Secodiningrat)
yaitu sosok pimpinan warga Cina yang tenar di kalangan Keraton, masyarakat Jawa dan Eropa. Tempat awal
munculnya kuliner kesohor, bakpia tiga roda dan mi Ketandan. Ketandan juga merupakan tempat asal muasalnya
Jamu Sidomuncul dan tempat kelahiran dokter mata terkenal di Yogyakarta, Dokter Yap.
Gerbang masuk Kampung Ketandan ditandai dengan sebuah gapura raksasa setinggi tujuh meter. Gapura
ini didominasi oleh warna merah serta hijau yang menjadi simbol akulturasi antara keraton dan Tionghoa. Kata
'Kampoeng Ketandan' di gapura tersebut ditulis dalam tiga aksara. Yakni dalam bahasa Jawa, Latin, dan
Mandarin. Dua ornamen kuat dalam gapura ini adalah tiga atap berjajar khas rumah Tionghoa serta gambar
naganya. Dimana keduanya memiliki makna berupa kekuasaan, ketidaktakutan, dan kejujuran.
Di Yogyakarta, kawasan orang Tionghoa muncul sejak tahun 1860an, dimana Kampung Ketandan lahir
sebagai pusat permukiman orang Tionghoa pada zaman Belanda. Pemerintah Belanda kemudian menerapkan
aturan pembatasan pergerakan (passentelsel) serta membatasi wilayah tinggal Tionghoa (wijkertelsel). Tetapi
dengan izin Sri Sultan Hamengku Buwono II, warga Tionghoa tersebut tetap dapat menetap di Ketandan. Maksud
dari Sri Sultan, dengan keberadaan warga di Ketandan, dapat memperkuat kawasan sebagai kawasan perdagangan
dan dapat memperkuat perekonomian masyarakat. Masyarakat Tionghoa Yogyakarta sudah sejak 200 tahun yang
lalu menempati kawasan Malioboro seperti kampung Ketandan, Beskalan, dan Pajeksan.
Asal mula penamaan Ketandan yaitu saat mereka bekerja sebagai penarik pajak atau dalam bahasa
sanksekerta disebut tanda. Kata tanda yang berarti pajak lama kelamaan menjadi ke-tandaan, kemudian menjadi
nama kampong (umy.ac.id).
Ketandan sendiri dibagi menjadi 2 wilayah, yaitu Ketandan Utara dan Ketandan Selatan. Wilayah
Ketandan Utara dapat dikatakan sangat padat, dimana kondisi jalan utama yang tidak terlalu besar, merupakan
daerah yang sangat strategis karena bersinggungan langsung dengan wilayah Malioboro. Wilayah Ketandan Utara
dikenal sebagai pusat perdagangan wilayah ini dan didominasi oleh bangunan tua yang berfungsi sebagai ruko/
“shopping shop”. Hal yang sama juga terdapat di Ketandan Selatan. Di Ketandan selatan jumlah toko mas lebih
banyak daripada di Ketandan Utara. Hal ini disebabkan karena letak Ketandan selatan yang lebih dekat dengan
lokasi Pasar Beringharjo.
Pada awalnya etnis Tionghoa di Kampung Ketandan kebanyakan adalah penjual sembako dan jasa.
Namun seiring berjalannya waktu banyak diantara mereka yang beralih menjual emas dan perhiasan. Sehingga
tak heran bila berkunjung kesana yang bisa ditemui saat ini adalah deretan pertokoan emas di sisi kiri dan kanan
jalan. Bahkan ada pula yang menjajakan emas hanya berbekal etalase berukuran 1x1 meter di trotoar atau
pinggiran jalan.
Arsitektur bangunan berbentuk ruko (rumah toko atau shop house) sering menjadi ciri rumah di kampung
Ketandan, hal ini karena orang Tionghoa rata-rata berkerja sebagai pedagang yang melibatkan rumah pribadi
sebagai tempat usaha, sehingga rumah bagi mereka mempunyai dua fungsi yaitu sebagai tempat usaha dan tempat
tinggal. Untuk memenuhi kedua fungsi tersebut biasanya rumah-rumah di daerah kampung pecinan terdiri dari
dua lantai atau lebih (bertingkat). Pada umumnya bagian lantai dasar digunakan sebagai toko atau tempat
berdagang, sedangkan pada lantai di atasnya digunakan untuk tempat tinggal. Sebagian kecil bangunan tersebut
masih sangat kental bernuansa Cina. Hal ini terlihat dari “gunungan” (atap), jendela, dan tembok yang berornamen
jangkar.
Walau era dan para penghuni telah berganti, nuansa Tionghoa di Ketandan tetap terasa, terlebih ketika
Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) digelar. Kegiatan tersebut rutin diselenggarakan untuk menyambut
Imlek dan Cap Go Meh. Selama sepekan, pengunjung akan disuguhi beragam sajian khas Tionghoa. Mulai dari
menu makanan yang dijajakan hingga seni budayanya.
Meski Ketandan semakin menua, namun atmosfer pecinan di Kota Yogyakarta ini tidak pernah surut.
Hingga kini, Ketandan masih menjadi daya tarik bagi siapa saja, baik warga lokal ataupun asing.
2. Identifikasi toko dan restoran lokal yang melambangkan difusi budaya (Identify local stores and
restaurants that typify cultural diffusion)!

 Restoran “Bakmi Tiga Marga”

Gambar 1. Restoran Bakmi Tiga Marga


Sumber: Kumparan

Warung bakmi bergaya kontemporer mungkin menjadi deskripsi yang paling pas untuk Bakmi
Tiga Marga. Lokasinya cukup terpencil, yaitu di tengah-tengah perumahan di kawasan Permata Hijau.
Dari luar, tempat makan ini bagaikan warung rumahan biasa. Kita akan disambut dengan konter etalase
makanan seperti bacang, bakso goreng, dan siomay. Saat masuk lebih jauh ke dalam, kita akan
menemukan ruangan lapang dengan suasana khas Tiongkok yang kental namun tetap berhiaskan elemen-
elemen modern. Konsep ini tentunya unik dan jarang ditemukan pada sebuah warung sederhana di dalam
komplek. Sisi kontemporernya didukung oleh lantai serba beton dan foto warna-warni bergaya retro,
sedangkan sisi ‘jadul’ sengaja dipertahankan melalui lantunan lagu Tiongkok dari puluhan tahun lalu dan
papan nama bertuliskan Wang Dai Li serta kanji mandarinnya. Spot dengan papan nama ini menjadi spot
favorit, dengan meja bundar besar yang cocok ditempati beramai-ramai. Wang Dai Li sendiri merupakan
tiga marga dari pemiliknya, yang menginspirasi nama warung bakmi ini. Bakmi hadir dalam tiga jenis di
Bakmi Tiga Marga, yaitu dengan topping ayam, babi, dan campuran keduanya yang disebut Bakmi
Spesial.
 Toko “Roti Go”

Gambar 2. Toko Roti Go


Sumber:Google

Didirikan oleh sepasang suami istri keturunan tionghoa, pada tahun 1898 mereka mulai merintis
membuka toko roti Go. Nama Go sendiri diambil dari nama sang suami Go Kwee Ka, bersama istrinya
The Pake Nio pasangan ini memproduksi sendiri rotinya. Toko roti tertua ini berlokasi di Kota
Purwokerto, tepatnya di Jalan Jenderal Soedirman Nomor 724. Meskipun banyak orang lebih mengenal
Purwokerto sebagai kota mendoan, ternyata toko roti pertama di Indonesia justru lahir di kota ini.

Anda mungkin juga menyukai