Tak pernah terbayangkan sebelumnya jika rumah di mana sekarang saya berdiam
yang nyaman dan tentram, berada tak jauh, Gedung Sate yang megah ternyata
dahulu adalah sebuah perkampungan penduduk yang sarat sejarah, komplek
perumahan tua dulu bernama kampung Gempol. Kampung Gempol sendiri adalah
nama suatu kawasan pemukiman penduduk yang terletak di antara gedung Sate dan
dipisahkan oleh jalan Banda Bandung.
Gambar asli Gapura pintu masuk kampung gempol pada tahun 30an
Rumah Gempol Saya yang masih tersisa dan saya Pugar (Heritage)
Pada zaman Belanda, dahulu kawasan ini bernama Kleinwoningbouw Gempol dan
merupakan komplek perumahan para pribumi yang bekerja sebagai pegawai rendahan
di gedung Sate. Survey akan memperlihatkan jika kawasan ini memang termasuk
kawasan sisa peninggalan kolonial, ini bisa terlihat dari bentuk rumahnya yang khas
bangunan jaman baheula termasuk rumah yang kami pugar. Dominasi tiang kayu
jati yang setahun lagi akan berumur 100 tahun pada tiang tiang masih kokoh tidak
keropos. Pemasangan dinding rumah jaman dulu ini menggunakan sistem knock down,
dengan rangka bambu. Dikatakan arsitektur rumah ini bergaya kampung sunda china.
Tukangnya juga banyak yang berasal dari negeri tirai bambu.
Sejak dahulu, di Kampung Gempol ini mayoritas rumahnya terbuat dari kayu jati, hal
ini mungkin karena memang perumahan ini sengaja dikhususkan oleh Belanda bagi
kaum pribumi saja agar terlihat mungil dan sederhana. Kamar kamar rumah juga
berukuran kecil, sekitar 2 x 3 m2. Namun sayangnya sekarang bangunan asli
pemukiman ini hanya tinggal menyisakan kurang lebih 7-10 rumah saja dari
semestinya tidak kurang dari 50 rumah, termasuk rumah yang saya diami sekarang.
Sewaktu saya bersama teman mencari sejarah Kampung Gempol, sampailah kami
kepada seorang Om penjual Gas/Aqua Gallon, saya sempat melihat bentuk asli
dari gerbang masuk komplek Gempol ini pada tahun 30 an melalui sebuah foto yang
terpajang di dinding rumah milik salah satu warga. Ia pun menceritakan jika gerbang
yang asli ini hancur ketika Jepang mulai masuk ke Bandung. Gerbang itu hanya 5
meter dari rumah Om tersebut.
Menjadi menarik jika kita mencermati bentuk rumah di sekitar kawasan Gempol ini,
yaitu bentuk rumahnya yang memanjang berderet dan kemudian di potong menjadi
beberapa bagian rumah dan dihuni oleh beberapa keluarga serta masih dalam satu
atap yang sama. Namun, sayangnya sekarang beberapa bangunan deret ini tampak
kurang asli lagi tampilannya karena ada rumah yang berpenampilan ala rumah modern
di sebelahnya.
Asal usul pemberian nama Gempol sendiri, konon di ambil dari salah satu nama daun
yang mungkin merujuk dahulunya di kawasan ini banyak sekali pohon gempol itu.
Sisa branghang yang sudah tidak dipakai dan ditutup
Pada masa lalu perumahan di kawasan gempol ini memiliki saluran pembuangan air
yang sangat tertata rapih atau dikenal dengan nama Brandgang, (baca:branghaang)
dahulu di tengah tengah komplek perumahan Gempol ini ada sebuah Plein atau
taman yang memang sengaja di buat oleh Belanda sebagai ruang terbuka hijau kini
taman tersebut sudah dialih fungsikan sebagai rumah pemukiman yang padat.
Gang sebelah rumah saya yang kini menghubungkan kampung Gempol dengan jalan
raya dekat Gedung Sate
Selain itu dikawasan Gempol ini ada sebuah warung roti bakar yang sangat terkenal di
Bandung, yaitu Roti Gempol di Jalan Gempol Wetan No.14 dan Kupat Tahu Gempol.
Roti Gempol ini sudah berdiri sejak tahun 1958. Toko roti ini memiliki keunikan
tersendiri karena semua produk adalah home made, dan bervariasi. Variasi rotinya
dari roti putih biasa, gandum, roti tawar special bertabur oatmeal, roti bakar. Harga
yang ditawarkan cukup terjangkau dan tempatnya pun layak untuk dijadikan
tongkrongan. Konon kedua tempat ini pernah masuk sebuah acara program televisi
Bondan Winarno dengan wisata jajanan kulinernya.
Itulah mungkin sekilas tentang Kampung Gempol saya, salah satu bentuk sisa sejarah
di kota Bandung tercinta ini yang masih bertahan melawan gerusan zaman. Sejatinya
letak kota bukanlah hanya masalah urusan letak geografis saja tapi jauh dari hal itu
melibatkan unsur2 seperti cinta, air mata dan romantisme di dalamnya.
Jadi walau tidak kaya kaya amat, sebagai tukang kebun yang dimana dulu kawanan
monyet sehari hari menjadi teman saya di sumatera, sekarang sudah hilang berganti
dengan kawanan kawanan pencari nikmat kuliner. Tapi saya tidak akan lupakan dan
damainya di kampung kebun saya yang orangnya bersahaja dan dunia terasa luas.
Luas di sungai yang jernih, di kebun kebun buah nenek moyang, diperbukitan bukit
barisan, di mana babi hutan menjadi warga sekebun berikut turunan berbagai jenis
monyet yang ada.
Saya masih rindu untuk teriak teriak terhadap monyet sedari monyet Kia Kia hitam
berekor panjang yang nakal memakan tanaman munggil saya hingga Monyet Lampung
yang terkenal sangat kurang ajar, menjatuhkan durian durian saya dan bukan hanya
mencuri pisang tetapi juga memakan pohon pisangnya.
Sejatinya untuk tiap tiap ukuran kehidupan manusia, kita patut bersyukur bukan
hanya didalam pemikiran tetapi dalam tiap tiap waktu perenungan. Perenungan jaman
kanak kanak dari bermain di lelumpuran sawah dan ladang, duit cekak tapi banyak
acara hingga jaman kuliah, ada duit cukup acara pacaran sering disia siakan, hingga
jaman sekarang duit lebih dari cukup, tapi acara makin sedikit...hehehe....
Smoga nama dan rupa ini dapat menjalani hidup lebih baik lagi...
Sabbe Satta Bhavanthu Sukhitata..Sabbe Sangkhara Annicca.....Sadhu sadhu sadhu
http://mittatrader.blogspot.co.id/2014/09/kampung-gempol-sejarah.html
PASAR Gempol Bandung berada di kawasan Gempol yang dulu merupakan hasil
penataan oleh pemerintahan Belanda sekira tahun 1920- 1935. Kawasan ini dikenal
dengan Kleinwoningbow atau bagian dari tahap pembangunan Uitbreidingsplan yang
dirancang oleh arsitek perancang kota terkenal yakni Ir. Thomas Karsten. Kawasan
tersebut merupakan komplek perumahan formal pertama yang dibangun di Kota
Bandung dengan konsep Garden City yang berkarakteristik kuldesak. Selanjutnya
sekira tahun 1925 seorang arsitek lainnya yakni Ir. J.Gerber dengan program
Kampong Verbatering (program perbaikan kampung) merubah konsep kawasan ini
menjadi rumah bangunan tropis.
Pasar Gempol pada awalnya adalah sebuah taman milik Pemerintahan Daerah
Kotamadya Daerah Tingkat II. Sekira tahun 1953 terjadi penertiban Pedagang Kaki
Lima (PKL) di Jalan Bahureksa dan Jalan Tirtayasa . Selanjutnya PKL hasil
penertiban akhirnya di tampung di taman di sekitar kawasan Gempol. Nama
pasar mengikuti nama kawasannya yakni Gempol diambil dari salah satu nama
daun yang dulu banyak tumbuh di kawasan ini. Karakteristik pasar Gempol sama
dengan pasar tradisional lainnya yakni pasar eceran yang kegiataannya melayani
permintaan dan penawaran barang dan jasa secara eceran. Namun yang berbeda
adalah kios-kios Pasar tersebut berada didalam lorong sempit dan terdapat ditengah-
tengah pemukiman.
Sekira tahun 1960-an jumlah pedagang yang membuka kiosnya melayani pembeli
hingga mencapai sekira 46 . Jumlah tersebut berkurang seiring dengan banyaknya
pasar-pasar tradisional tumbuh pada waktu itu dan sebagian pedagang pindah ke
pasar tradisional lain. Kini Pasar Gempol menurut data PD Pasar Bermartabat Kota
Bandung jumlah pedagang yang ada di Pasar Gempol tidak berubah sejak pasar
tersebut berdiri. (Nugraha Ramdhani/PDR)
Alamat:
Pasar Gempol
Jln. Gempol Kel. Citarum, Kecamatan Bandung Wetan
40115 Bandung Jawa Barat
Indonesia
http://info.pikiran-rakyat.com/direktori/pasar-tradisional/kota-bandung/pasar-gempol