Anda di halaman 1dari 3

Sejarah Angkringan 

(jogja)-Hik(Solo)

Juni 20, 2008 · Disimpan dalam Pesiar Joglosemar

Apa yang anda lakukan ketika merasa suntuk sekaligus lapar, jenuh dengan aktifitas sehari-hari dan ingin

melepas penat tanpa merogoh kocek terlalu dalam? Jika anda tinggal atau kos di Jogja, entah itu kuliah

atau bekerja, anda tentu sudah tidak asing dengan yang namanya “angkringan” bukan? Ya, angkringan bisa

kita temukan di mana saja di sepanjang jalan yang ada di Jogja. Kita juga bisa menemukannya di Solo,

hanya saja namanya berbeda. Di Solo sebutannya “hik”. Ada yang mengatakan itu kepanjangan dari

“hidangan istimewa kampung”. Sedangkan angkringan berasal dari kata bahasa Jawa “angkring” yang

artinya duduk santai, biasanya dengan melipat satu kaki ke kursi. Yang jelas angkringan Jogja dan hik Solo

tidak jauh berbeda ciri-cirinya. Malam ini Jogja cerah sekali cuacanya. Rembulan terlihat setengah lingkaran,

seperti semangka keemasan melayang di langit malam yang hitam. Saya ingin menikmatinya sambil

ngangkring si dekat kosan saya di daerah Sagan, tepatnya di jalan Herman Yohanes. Ada yang belum

pernah ngangkring? Waa..kemana saja mbak?

Angkringan adalah semacam warung makan yang berupa gerobag kayu yang ditutupi dengan kain terpal

plastik dengan warna khas, biru atau oranye menyolok. Dengan kapasitas sekitar 8 orang pembeli,

angkringan beroperasi mulai sore hari sampai dini hari. Namun kini ada juga yang mulai buka siang hari.

Pada malam hari, angkringan mengandalkan penerangan tradisional senthir dibantu terangnya lampu jalan.

Makanan khas yang dijual meliputi nasi kucing, gorengan, sate usus (ayam), sate telor puyuh, kripik dan

lain-lain. Nasi kucing (dalam bahasa Jawa disebut “sega kucing“) bukanlah suatu menu tertentu, tetapi lebih

pada cara penyajian nasi bungkus yang banyak ditemukan pada angkringan. Dinamakan “nasi kucing”

karena disajikan dalam porsi yang (sangat) sedikit, seperti menu untuk pakan kucing. Bagi kaum laki-laki

mungkin bisa menghabiskan 3-5 bungkus. Saya saja yang perempuan, pernah menghabiskan 4 bungkus.

Entah karena nasinya memang enak atau saya yang doyan makan, saya sendiri bingung. Minuman yang

dijual pun beraneka macam seperti teh, es jeruk, kopi, wedang tape, wedang jahe, susu, atau campuran

beberapa yang anda suka. Semua dijual dengan harga yang sangat terjangkau. Tapi sekarang kalau dirasa-

rasa, harga hidangan angkringan ikut melambung gara-gara kenaikan harga BBM 24 Mei 2008 lalu. Tetapi

teap saja angkringan banyak penggemar.

Mungkin hampir setiap 100 meteran, kita dapat menemukan angkringan. Bagaimana awalnya usaha ini bisa

begitu menjamur di Jogja? Sebagai mahasiswa yang cukup hobi ngangkring, saya kerap mengobrol dengan

pedagangnya setiap kali ngangkring. Ternyata setiap kali saya tanya “Pak njenengan asline king pundi?”,

jawabannya hampir selalu sama, “Kula king Klaten, Mbak”. Pedagang angkringan di Jalan Herman Yohanes
tempat saya biasa membeli jasu (jahe susu) pernah saya tanya, “Wis suwe po Mas bukak angkringan?”, dan

dia menjawab, “Lha wong mbahku wae bukak angkringan kok, Mbak”. Sebenarnya sejak kapan angkringan

muncul di Jogja?

Sejarah angkringan di Jogja merupakan sebuah romantisme perjuangan menaklukan kemiskinan.

Angkringan di Jogjakarta dipelopori oleh seorang pendatang dari Cawas, Klaten bernama Mbah Pairo pada

tahun 1950-an. Cawas yang secara adminstratif termasuk wilayah Klaten Jawa Tengah merupakan daerah

tandus terutama di musim kemarau. Tidak adanya lahan subur yang bisa diandalkan untuk menyambung

hidup, membuat Mbah Pairo mengadu nasib ke kota. Ya, ke sini, ke Jogjakarta.

Mbah Pairo bisa disebut pionir angkringan di Jogjakarta. Usaha angkringan Mbah Pairo ini kemudian diwarisi

oleh Lik Man, putra Mbah Pairo sekitar tahun 1969. Lik Man yang kini menempati sebelah utara Stasiun

Tugu sempat beberapa kali berpindah lokasi. Seiring bergulirnya waktu, lambat laun bisnis ini kemudian

menjamur hingga pada saat ini sangat mudah menemukan angkringan di setiap sudut Kota Jogja.

Angkringan Lik Man pun konon menjadi yang paling dikenal di seluruh Jogja, bahkan di luar Jogja.

Berbeda dengan angkringan saat ini yang memakai gerobak, diawal kemunculannya angkringan

menggunakan pikulan sebagai alat sekaligus center of interest. Bertempat di emplasemen Stasiun Tugu

Mbah Pairo menggelar dagangannya. Pada masa Mbah Pairo berjualan, angkringan dikenal dengan sebutan

ting-ting hik (baca: hek). Hal ini disebabkan karena penjualnya berteriak “Hiiik…iyeek” ketika menjajakan

dagangan mereka. Istilah hik sering diartikan sebagai Hidangan Istimewa Kampung. Sebutan hik sendiri

masih ditemui di Solo hingga saat ini, tetapi untuk di Jogja istilah angkringan lebih populer. Demikian

sejarah angkringan di Jogjakarta bermula.

Boleh jadi angkringan merupakan stereotipe kaum marjinal berkantung cekak yang beranggotakan sebagian

mahasiswa, tukang becak dan buruh maupun karyawan kelas bawah. Namun, peminat angkringan kini

bukan lagi kaum marjinal yang sedang dilanda kesulitan keuangan saja, tetapi juga orang berduit yang bisa

makan lebih mewah di restoran.

Dari semua angkringan yang pernah saya coba, saya jatuh cinta pada jadah bakar dan teh nasgitel (panas,

legi, kentel) racikan Lik Man, angkringan legendaris Jogja. tidak jarang warung angkring Lik Man

kedatangan orang-orang terkenal dari berbagai jenis pekerjaan. Djadug Feriyanto misalnya, kakak kandung

Butet Kartaradjasa yang juga leader kelompok musik Sinten Remen ini pun jatuh cinta kepada angkringan

Lik Man di Stasiun Tugu sana. Tidak hanya Djadug, beberapa sastrawan, budayawan, atau olahragawan

ternama seperti Cak Nun (Emha Ainun Najib), Butet Kartaradjasa, Marwoto Kawer hingga Jammie Sandoval

pemain PSIM asal Chilie pun sering meluangkan waktu malamnya untuk jajan di angkringan. Menyenangkan

sekali melepas kepenatan bersama teman atau orang lain yang baru ketemu disana, lalu ngobrol ngalor-
ngidul, gojeg kere, main plesetan kata-kata, menggoda bencong lewat, sampai tertawa lepas melepaskan

beban pikiran. Tak perlu minder dengan apa status anda, karena di angkringan semuanya adalah sama

Rekomendasi Angkringan Enak Solo-Jogja >>

- Angkringan Tugu (kopi Jozz) Jog

- Angkringan PDAM Jogja Sleman

- Angkringan Kali Code (Sepanjang Kali Code Jogja)

- Hik Pak Kumis (Manahan Solo)

- Hik Bladu (Kantor KB Karanganyar Solo)

- Hik Gaul (Karanganyar Solo)

dan masih banyak lagi angkringan / hik di  solo-jogja yang mestinya kamu samperin..yang jumlahnya

hampir ribuan di kedua kota itu..

(dari berbagai sumber dan author emmanis)

Anda mungkin juga menyukai