Puji dan Syukur ke hadirat Allah SWT. Karena atas rahmat, hidayah dan ridho-Nya,
setelah melalui berbagai kesulitan akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah yang sederhana
ini, yang berjudul “Perilaku Terpuji”.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih belum sempurna, yang dikarenakan
adanya keterbatasan waktu yang diberikan dan keterbatasan kemampuan kami. Tetapi berkat
bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak maka kami dapat menyusun makalah ini dengan
lancar dan semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Kami sangat mengharap saran, pendapat, maupun kritik yang bersifat membangun.
Semoga makalah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Sebagai
manusia biasa kami tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Bila ada kesalahan itu datangnya
dari kami dan bila ada kebenaran dan kabaikan itu dari Allah SWT Semata. Untuk itu bila ada
kesalahan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penyusun
Kelompok V
I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................................III
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................III
1.3 Tujuan Penulisan.....................................................................................................IV
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Berbuat Baik Kepada Orang Tua............................................................................1
2.2 Berlaku Jujur dan Benar..........................................................................................4
2.3 Menjaga Kesucian (Iffah).......................................................................................5
2.4 Perasaan Malu.........................................................................................................9
Daftar Pustaka...............................................................................................................15
II
BAB I
PENDAHULUAN
Mengingat betapa pentingnya bagi seseorang untuk berakhlak mulia dalam hidupnya
yang merupakan landasan bagi seseorang muslim dalam menjaga perilaku hidupnya. Orang
yang berakhlak mulia juga adalah orang yang menjalankan hidup sesuai dengan jalan yang telah
ditakdirkan oleh Allah SWT kepadanya.
Dewasa ini banyak sekali orang yang kurang menjaga akhlak mulia yang ada pada
dirinya terutama remaja zaman sekarang, yang hidupnya telah dipenuhi dengan berbagai macam
dominasi dari negara luar yang kebanyakan diterima tanpa menyaring itu terlebih dahulu.
Sesungguhnya bila perspektif remaja-remaja di Indonesia bisa dirubah maka tentu akan banyak
kita temui masyarakat yang berakhlak mulia di negara kita ini. Dan akan tercipta calon-calon
pemimpin masa depan yang memiliki perilaku terpuji yang siap memimpin bangsa Indonesia
nantinya.
Pernyataan di atas lah yang mendorong penulis untuk membuat sebuah makalah yang
berjudul “Perilaku Terpuji”.
Dalam makalah ini kami memberikan suatu gambaran yang jelas tentang beberapa
akhlak-akhlak terpuji untuk dapat dipahami oleh kita bersama.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat dirumuskan masalah-
masalah yang akan dibahas pada penulisan kali ini. Masalah yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
III
I.3. Tujuan penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah agar pembaca sekalian
mengetahui tentang beberapa akhlak-akhlak terpuji itu dan bagaimana cara mengamalkannya
secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Juga agar kita dapat memahami arti penting menjadi
pribadi yang berakhlak mulia. Agar kita bias meraih kebahagiaan dunia yang sebenarnya. Dan
kita sebagai remaja mampu mengamalkan perilaku-perilaku terpuji dalam kehidupan kita. Dan
bisa diterapkan hingga nanti menjadi pemimpin bangsa ini.
IV
BAB II
PEMBAHASAN
َو َقَض ى َر ُّبَك َأَّال َتْعُبُدوْا ِإَّال ِإَّياُه َو ِباْلَو اِلَد ْيِن ِإْح َس انًا ِإَّم ا َيْبُلَغَّن ِع نَدَك اْلِكَبَر َأَح ُدُهَم ا َأْو ِكَالُهَم ا َفَال َتُقل َّلُهَم آ ُأٍّف َو َال
َتْنَهْر ُهَم ا َو ُقل َّلُهَم ا َقْو ًال َك ِريمًا
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-
kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (Q, s. al-Isra’ / 17:23)
Ada tiga kelompok yang disebut orang tua dalam ajaran Islam. Pertama, “ “األب الذي ولدك:
bapak-ibu yang melahirkan, yaitu bapak-ibu kandung. Kedua, “ “األب الذي زوجك: bapak-ibu yang
mengawinkan, yaitu bapak-ibu mertua. Ketiga, “ “األب الذي علمك: bapak-ibu yang mengajarkan,
yaitu bapak-ibu guru. Ketiga kelompok inilah yang diwajibkan atas kita untuk menghormati dan
berbuat baik kepadanya.
Menghormati mertua dan guru harus sama seperti menghormati kedua orang tua sendiri.
Sebab mertua adalah bapak-ibu kandung dari istri atau suami kita. Ketika seseorang menikah,
maka ia telah menikah dengan anak dari seorang ayah dan ibu, dan bukan –maaf-- anak hewan.
Bagi seorang suami, misalnya, keduanya bersifat mertua, tetapi bagi istrinya keduanya adalah
orang tua kandung. Demikian pula sebaliknya. Ketika seseorang menginjak dewasa, bapak-ibu
gurulah yang mengajarkannya tentang banyak hal hingga ia menjadi mengerti tentang banyak hal
dalam kehidupan ini.
1
Maka, kewajiban menghormati orang tua dalam Islam merupakan salah satu ajaran yang
sangat penting dan prinsip. Ketika Allah memerintahkan kita untuk berbakti kepada kedua orang
tua, maka perintah ini sebetulnya sangat bisa dipahami. Cobalah bayangkan, bagaimana repotnya
ibu ketika mengandung selama kurang lebih 9 bulan. Kerepotan ibu, juga bapak, semakin
bertambah ketika kita terlahir ke dunia, mulai dari merawat, memelihara, dan memberinya
makan dan minum dengan penuh kasih sayang. Bagi orang tua tidak ada yang lebih berarti
daripada sang jabang bayi yang baru saja dilahirkannya. Mereka sangat bahagia dengan tangisan
dan kotorannya, akan tetapi mereka akan sedih ketika harus melihatnya sakit.
Dalam konteks berbuat baik kepada kedua orang tua, Al-Qur’an menganjurkan agar kita
melakukannya dengan cara “ihsān”. Ihsan artinya kita melakukan sesuatu lebih dari sekedar
kewajiban. Shalat lima waktu merupakan kewajiban, tetapi jika kita menambahnya dengan
shalat-shalat sunnah lainnya, maka itulah ihsan. Puasa Ramadhan adalah kewajiban, dan jika kita
mampu menambahnya dengan puasa-puasa sunnah, puasa Senin-Kamis misalnya, maka itulah
ihsan.
Berbuat baik kepada kedua orang tua harus diupayakan secara maksimal, secara ihsan,
lebih dari sekedar kewajiban kita terhadapnya. Jika sang anak ingin memberikan sesuatu kepada
orang tua, berikanlah yang maksimal. Karena yang maksimal saja belum tentu dapat sebanding
dengan jerih payah dan pengorbanan keduanya selama ini dalam mengasuh dan
membesarkannya. Seseorang bisa menjadi dokter, tentu berkat orang tua. Menjadi insinyur, juga
berkat orang tua. Menjadi ulama juga berkat orang tua. Bahkan menjadi presiden juga berkat
orang tua. Setidaknya, karena do’a orang tua itulah seseorang berhasil menggapai apa yang
diusahakannya.
Itulah pengorbanan orang tua dalam memelihara, mengasuh dan membesarkan kita
hingga seperti ini. Oleh karenanya, Al-Qur’an lagi-lagi menegaskan:
َو َو َّصْيَنا اِإل ْنَس اَن ِبَو اِلَد ْيِه َح َم َلْتُه ُأُّم ُه َو ْهنًا َع َلى َو ْهٍن َو ِفَص اُلُه ِفي َعاَم ْيِن َأِن اْشُك ْر ِلي َو ِلَو اِلَد ْيَك ِإَلَّي اْلَم ِص يُر
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya
2
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-
Kulah kembalimu (Q, s. Luqman / 31:14)
Jadi menurut Al-Qur’an ibu mengandung, melahirkan dan menyusui adalah suatu
pengorbanan yang luhur, yang menuntut adanya balasan terimakasih dari anaknya. Ini berbeda
dengan Genesis dalam Perjanjian Lama yang mengatakan bahwa wanita mengandung,
melahirkan dan menyusui adalah akibat dosanya (melalui Hawa, istri Adam) yang telah
melanggar larangan Tuhan di Surga.
Berbuat baik kepada orang tua dalam Islam bersifat mutlak. Artinya andaikata ada
diantara kita yang kedua orang tuanya kebetulan berbeda agama, Al-Qur’an tetap mengajarkan
untuk berbuat baik kepada keduanya. Artinya, berbuat baik kepada kedua orang tua itu tidak
didasarkan atas kesamaan agama, tetapi lebih karena jasa-jasa baik keduanya terhadap
perkembangan dan jati diri kita.
َو ِإن َج اَهَداَك َع َلى َأن ُتْش ِرَك ِبي َم ا َلْيَس َلَك ِبِه ِع ْلٌم َفَال ُتِط ْعُهَم ا َو َص اِح ْبُهَم ا ِفي الُّد ْنَيا َم ْعُروفًا َو اَّتِبْع َس ِبيَل َم ْن َأَناَب
ِإَلَّي ُثَّم ِإَلَّي َم ْر ِج ُع ُك ْم َفُأَنِّبُئُك ْم ِبَم ا ُك نُتْم َتْع َم ُلوَن
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak
ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah
keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
(Q, s. Luqman / 31:15)
Dalam rangka berbuat baik kepada kedua orang tua tersebut, Al-Qur’an mengajarkan
agar kita berdo’a:
َو اْخ ِفْض َلُهَم ا َج َناَح الُّذ ِّل ِم َن الَّرْح َم ِة َو ُقل َّرِّب اْر َحْم ُهَم ا َك َم ا َر َّبَياِني َصِغ يرًا
Ya Tuhanku, berilah rahmat kepada kedua orang tuaku, sebagaimana mereka berdua
telah mendidikku di waktu kecil. (Q, s. al-Isra’/17:24)
3
Maka, barangsiapa yang durhaka kepada kedua orang tua, Allah akan melaknatnya, dan
mengharamkan surga baginya.
Keridhaan Allah tergantung pada keridhaan kedua orang tua, dan kemurkaan Allah
tergantung pula pada kemurkaan kedua orang tua (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Istilah benar dan jujur merupakan terjemahan dari kata sidq. Lawannya adalah kizb yang
berarti dusta atau bohong. Sifat benar dan jujur seharusnya menjadi sifat orang beriman dan
bertakwa. Sifat ini membawa pemiliknya kepada kebaikan.
“Sesungguhnya sifat benar dan jujur membawa kepada kebaikan, kebaikan membawa ke
surge. Sesungguhnya yang benar lagi jujur akan digelari Allah dengan siddiq. Sedangkan
kebohongan membawa kepada perbuatan dosa, perbuatan dosa membawa pemiliknya ke neraka.
Laki-laki yang berbohong akan digelari Allah dengan kazzab(pembohong).”(HR Bukhari-
Muslim).
Sifat benar dan jujur merupakan akhlak mulia. Bahkan ia termaksud sifat yang selalu
melekat pada setiap Rasul allah. Allah berfirman: “Ceritakanlah(hai Muhammad) kisah Ibrahim
dalam kitab (Al-Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seseorang yang sangat membenarkan lagi
seorang nabi. Allah juga member gelar siddiq kepada Ismali, Idris, dan rasul lain”.
Ada beberapa tingkatan jujur dan benar yang perlu dipraktekkan, yaitu:
a. Benar dan jujur dalam ucapan atau lisan. Orang yang memiliki sifat ini akan selalu
memelihara lisan dari perkataan bohong.
b. Benar dan jujur dalam niat. Dibuktikan dengan selalu iklas dalam niaat untuk semua
aktivitas yang dikerjakannya.
c. Benar dalam cita-cita. Biasanya, sebelum melakukan pekerjaan selalu diawali dengan
cita-cita(azam). Misalnya , ada orang mengatakan, apabila Allah memberikan rezeki ia
4
akan menyedekahkan semuanya atau sebahagiannya. Begitu pula, apabila Allah
memberinya kekuasaan sebagai pemimpin,ia akan berlaku adil. Kebenaran tekad ini akan
terbukti setelah ia mencapai apa yang ia cita-citakan
d. Benar dalam memenuhi tekad dan cita-cita. Orang sering kali mudah berjanji dan
menyatakan tekad, janji dan cita-cita. Namun banyak orang yang sulit mewujudkannya
karena tergoda oleh hawa nafsunya. Perilaku orang ini bertentangan dengan nilai-nilai
kejujuran. Sebaliknya orang yang benar dan jujur selalu memenuhi tekad, janji dan cita-
citanya dengan baik. Seperti firman Allah. “Diantara orang-orang Mukmin itu ada orang-
orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.”(QS 33:23).
e. Benar dan jujur dalam beramal. Sifat ini ditampilkan secara lahir dan batin. Apa yang ada
dalam batin dibuktikan dengan amal secara lahir.
f. Benar dan jujur dalam dalam menjalankan ajaran islam. Dan ini merupakan tingkatan
yang tertinggi. Orang yang memiliki sifat ini melekat padanya sifat yang lain . seperti:
kauf dan raja (takut dan harap), zuhud, ridha, tawakal dan hub(cinta) kepada Allah dan
Rasulnya
Sifat benar dan jujur perlu dimiliki setiap manusia mukmin, sehingga ia disenangi allah
dan manusia lain. Melaluinya, ia akan berhasil, beruntung dan memperoleh kebahagiaan hidup
dunia dan akhirat.
''Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian ('iffah diri)-
nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.'' (QS An Nuur: 33).
Secara bahasa 'iffah adalah “menahan dan menjaga”. Adapun secara istilah; ”menahan
diri dari perkara-perkara yang Allah haramkan”. Dengan demikian seorang yang 'afif adalah
orang yang bersabar dari perkara-perkara yang diharamkan walaupun jiwanya menginginkannya.
5
untuk menikah hendaklah menjaga kesucian diri sampai Allah menjadikan mereka mampu
dengan karunia-Nya." (QS. An Nuur: 33)
Termasuk dalam makna 'iffah adalah menahan diri dari meminta-minta kepada manusia.
Allah Swt berfirman:"Orang yang tidak tahu menyangka mereka itu adalah orang-orang yang
berkecukupan karena mereka ta’affuf ." (QS. AL Baqarah: 273)
Dalam hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu mengabarkan bahwa orang-
orang dari kalangan Anshar pernah meminta-minta kepada Rasullah Saw. Tidak ada seorang pun
dari mereka yang minta kepada Rasulullah Saw melainkan beliau berikan hingga habislah apa
yang ada pada beliau. Rasulullah Saw pun bersabda kepada mereka:
"Apa yang ada padaku dari kebaikan tidak ada yang aku simpan dari kalian.
Sesungguhnya siapa yang menahan diri dari meminta-minta, maka Allah akan memelihara dan
menjaganya dan siapa yang bersabar dari meminta-minta, maka Allah akan menjadikannya
sabar. Dan siapa yang merasa cukup dengan Allah dari meminta kepada selain-Nya, maka Allah
akan memberikan kecukupan padanya. Tidaklah kalian diberi suatu pemberian yang lebih baik
dan lebih luas daripada kesabaran.”(HR. Bukhori dan Muslim)
Itulah dua makna dari 'iffah, yaitu menahan dan menjaga diri dari syahwat kemaluan, dan
menahan diri dari syahwat perut dengan cara meminta-meminta.
'Iffah merupakan akhlaq paling tinggi dan dicintai Allah Swt. Oleh sebab itulah sifat ini
perlu dilatih sejak anak-anak masih kecil, sehingga memiliki kemampuan dan daya tahan
terhadap keinginan-keinginan yang tidak semua harus dituruti karena akan membahayakan saat
telah dewasa. Dari sifat 'iffah inilah akan lahir sifat-sifat mulia seperti: sabar, qana'ah, jujur,
santun, dan akhlak terpuji lainnya.
Ketika sifat 'iffah ini sudah hilang dari dalam diri seseorang, maka akan membawa
pengaruh negativ dalam diri seseorang tersebut, dikhawatirkan akal sehatnya akan tertutup oleh
nafsu syahwatnya, ia sudah tidak mampu lagi membedakan mana yang benar dan salah, mana
baik dan buruk, yang halal dan haram.
Dengan memiliki sifat' iffah seorang yang sudah dewasa akan mampu menahan dirinya
daridorongan syahwat, mengambil hak orang lain dan sebagainya. Namun ketika sifat itu sudah
tidak dimiliki lagi maka secara otomatis pula tidak ada lagi daya tahan dalam dirinya. Sehingga
6
pada saat sekarang ini sifat 'iffah itu semakin mulai memudar dan menghilang dari masyarakat,
kita sering mendapati perilaku mengumbar syahwat dan perzinahan semakin sulit untuk untuk
dibendung.
Oleh sebab itulah,'iffah pada diri manusia merupakan sifat potensial yang harus dididik,
ditanamkan serta dilatih secara sungguh-sungguh dalam diri manusia, sehingga bisa menjadi
benteng dalam menjaga kemuliaan eksistensi dirinya.
Pentingnya sifat'Iffah ini ditanamkan dalam diri seorang muslim karena ia merupakan
perintah agama yang banyak memberikan kebaikan serta keutamaan bagi seseorang yang
memilikinya, diantara beberapa keutamaan itu adalah:
"Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam syurga) karena
kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di
dalamnya". (QS. Al Furqon: 75)
Dari Abu Musa Al-Asy'ari ra, Rasulullah Saw bersabda: "Siapa yang menjaga lisan dan
antara kakinya akan masuk surga." (HR. Ahmad dan Baihaqi)
Dengan menahan diri dari mengikuti syahwat perut dan syahwat kemaluan karena Allah,
maka Allah akan menggantinya dengan kenikmatan yang lebih lezat dan abadi dari pada
merasakan kenikmatan sesaat yang membahayakan dirinya sendiri, yaitu berupa ketenangan hati,
rasa bahagia dan keluasan rezeki. Salafushalih berkata: "Demi Allah, lezatnya 'Iffah itu lebih
besar dari lezatnya dosa."
Allah Swt berfirman: "Siapa yang bertaqwa kepada Allah, Ia akan memberikan jalan
keluar." (At Talaq: 2)
7
Bagaimana cara menanamkan dan mendididik sifat 'iffah dalam diri seorang muslim
sehingga mampu membentengi dirinya dan kuat terhadap godaan yang dihadapi? Diantara
caranya adalah:
Ini merupakan asas paling fundamental dalam menanamkan 'iffah pada diri seseorang.
Ketaqwaan adalah perisai seseorang dari perbuatan-perbuatan tercela yang dilarang oleh ajaran
agama Islam.
Malu adalah adalah sifat yang mulia dan terpuji. Bahkan malu itu bagian dari iman yang
merupakan pedoman muslim dan penegak hidupnya. Dengan rasa malu, seseorang akan
terhindar dari berbagai perbuatan yang keji, tidak pantas, mengandung dosa dan kemaksiatan.
Sifat malu yang menghiasi diri seorang muslim akan membuatnya menjadi bertambah indah dan
menawan.
Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda: "Tidaklah sifat malu berada pada sesuatu
kecuali ia akan menghiasinya, dan tidaklah sifat fahsy (keji dan buas) berada pada sesuatu
kecuali akan memperburuknya." (KitabAdabul Mufrad, bab Malu, dishahihkan oleh Al bani)
Salah satu manifestasi dari kesucian dan kebersihan diri adalah dengan menghindari
tempat-tempat yang akan mendatangkan fitnah dan kerusakan baginya.
8
Dalam surat Yusuf digambarkan sebuah sikap yang diambil oleh Nabi Yusuf as saat
digoda, yaitu dengan berlari keluar menuju pintu yang telah dikunci rapat oleh Zulaikhah,
sebagaimana firman Allah:
Rasulullah bersabda: "Tidaklah seorang laki-laki dan perempuan berduaan, kecuali setan
yang ketiganya." (HR. Bukhori)
Diantara doa yang diajarkan Rasulullah untuk memiliki sifat iffah adalah:
"Ya Allah aku mohon kepadamu petunjuk, taqwa, Iffah dan kekayaan
Menurut bahasa berarti perubahan, kehancuran perasaan atau duka cita yang terjadi pada
jiwa manusia karena takut di cela. Adapun asal kata al-hayaa u (malu) berasal dari kata al-
hayaatu (hidup), juga berasal dari kata al-hayaa (air hujan).
Sedangkan menurut istilah adalah akhlaq yang sesuai dengan sunnah yang
membangkitkan fikiran untuk meninggalkan perkara yang buruk sehingga akan menjauhkan
manusia dari kemaksiatan dan menghilangkan kemalasan untuk menjalankan hak Allah.
Pertama, bentuk hadits di atas adalah perintah tapi maksudnya adalah pemberitaan. Hal
ini di karenakan sebagai pencegah utama agar manusia tidak terjerumus ke dalam kejahatan
9
adalah sifat malunya. Maka jika ia meninggalkan sifat malunya, ia seakan-akan di perintahkan
untuk mengerjakan semua larangan.
Kedua, hadits di atas merupakan ancaman, artinya lakukan apa saja yang kau inginkan
karena sesungguhnya Allah akan membalas semua perbuatanmu.
Ketiga, lihatlah kepada apa yang ingin engkau lakukan. Jika tidak termasuk yang
membuat malu maka lakukanlah, jika termasuk yang membuat malu, maka tinggalkanlah.
Keempat, hadits di atas mendorong pada sifat malu dan memuji keutamaannya. Artinya
karena seseorang tidak boleh berprilaku semata-mata mengikuti kehendak hatinya, maka ia tidak
boleh meninggalkan sifat malunya.
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa malu membatasi antara seorang hamba dengan
semua larangan atau kemaksiatan. Maka dengan kuatnya rasa malu makin lemahlah
kecenderungan seseorang untuk terjerumus dalam kemaksiatan. Sebaliknya dengan lemahnya
rasa malu makin kuatlah keinginan seseorang untuk melakukan kemaksiatan.
Ketahuilah, Allah memberikan sifat malu agar manusia menahan diri dari keinginan-
keinginannya sehingga tidak berprilaku seperti binatang. Ingatlah ketika Adam dan Hawa
memakan buah yang terlarang lalu nampaklah aurat keduanya.
“Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. tatkala
keduanya Telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah
keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka:
"Bukankah Aku Telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu:
"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?" (Qs. Al-A’raaf : 22)
Dari ayat di atas menunjukkan bahwa secara fitrah manusia merasa malu jika tidak
berpakaian. Dan tidaklah manusia itu memamerkan auratnya tanpa pakaian kecuali fitrahnya
telah rusak. Sedangkan rusaknya fitrah adalah akibat gangguan iblis dan tentaranya.
Adapun orang yang berupaya menelanjangi badan dari pakaian, melucuti jiwa dari
pakaian ketakwaan dan menghilangkan sifat malu kepada Allah dan manusia, mereka itulah yang
menginginkan manusia lepas dari fitrahnya dan sifat-sifat kemanusiaannya. Padahal dengan
fitrah dan sifat kemusiaannya itulah ia di sebut sebagai manusia.
10
Sesungguhnya telanjang adalah sifat asli dari hewan, manusia tidak punya kecenderungan
kepadanya, jika sampai ada tentulah akan terjerumus dalam Lumpur kehewanan.
“… dan akan aku (syaitan) suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar
mereka mengubahnya…” (Qs. An-Nisa’ : 119)
1. Jenis-Jenis Malu
Ketahuilah sesungguhnya celaan Allah itu diatas seluruh celaan. Dan pujian Allah
subhanahu wata’ala itu diatas segala pujian. Orang yang tercela adalah orang yang dicela oleh
Allah. Orang-orang yang terpuji adalah orang-orang yang dipuji oleh Allah. Maka haruslah
lebih malu kepada Allah dari pada yang lain.
Malu kepada Allah adalah jalan untuk menegakkan segala bentuk Ketaatan dan menjauhi
segala bentuk kemaksiatan. Karena jika seorang hamba takut di cela Allah, tentunya ia tidak
akan menolak ketaatan dan tidak pula mendekati kemaksiatan. Oleh karena itulah malu
merupakan sebagian dari iman.
Nabi shollallahu’alaihi wassallam bersabda, “Iman itu memiliki tujuh puluh cabang lebih,
yang paling utama adalah ucapan laa ilaaha illallah (tiadak illah yang berhak diibadahi dengan
benar selain Allah), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan
rasa malu termasuk salah satu cabang iman.”
11
b. Malu kepada Manusia,
Termasuk jenis malu adalah malunya sebagian manusia kepda sebagian yang lain.
Sebagaimana malunya seorang anak kepada orangtuanya, isteri kepada suaminya, orang bodoh
kepada orang pandai, serta malunya seorang gadis untuk terang-terangan menyatakan ingin
menikah.
Dan ini salah satu bentuk malu yang di rasakan oleh jiwa yang terhormat, tinggi dan
mulia, sehingga ia tidak puas dengan kekurangan , kerendahan dan kehinaan. Karena itu engkau
akan menjumpai seseorang yang merasa malu kepada dirinya sendiri, seolah-olah di dalam
raganya terdapat dua jiwa, yang satu merasa malu kepada yang lain.
Malu inilah yang paling sempurna karena jika pada dirinya sendiri saja sudah demikian
malu, apalagi terhadap orang lain.
13
BAB III
PENUTUPAN
1. KESIMPULAN
2. SARAN
Sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan tentu kami banyak
membuat kesalahan dalam pembuatan makalah ini. Jika ada sesuatu yang kurang bekenan
harap memberikan saran untuk perbaikan kami di masa yang akan datang.
14
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Mahfud Rois, pendidikan Agama Islam “Al Islam”, Gramedia, Bandung, 2010.
Rahmat Mulyana, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan tinggi, PT Revika, Bandug, 2008.
www.google\agamaislamhtcakhlakterpuji.com.
15
PERILAKU TERPUJI
MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Oleh:
Bambang Saputra (2312.035)
Frenti Nurul Fauzi (2312.039)
Sri Wahyuni (2312.040)
Nike Septika (2312.045)
Sandra Syofriandra (2312.059)
Delvia Deliana (2312.064)
Dosen Pembimbing:
Charles, M. Pd.I
LOKAL 1B
PRODI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
STAIN SJECH M. DJAMIL DJAMBEK
BUKITTINGGI
2012