SINDHEN
SINDHEN
com:
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---
SINDHEN
1
Penokohan
1
Satu
NARADA (Terbata bata) Sembah di hadapan Adhi Guru, saya Pamanda Narada datang
menghadap. Titah apa yang hendak Adhi Guru berikan kepada saya ?
GURU (berwibawa) Duduklah yang enak Paman Narada. Saya ingin berbincang-bincang
kepadamu.
NARADA Ho, ho, ho. Ampun junjungan para dewa di khayangan, apakah Adhi Guru selalu
melihat saya selalu mengecewakan paduka ?
GURU (Tertawa kecil) Saya tak pernah melihat Paman Narada tidak menepati janji. Tapi
paman, memang ada sesuatu hal yang ingin sekali hendak saya bicarakan kepada
paman.
GURU Apakah paman tidak melihat bahwa khayangan ini sudah mulai lagi tak bisa
memberikan sesuatu yang berarti. Para dewa penghuni khayangan sudah kembali
lagi seperti mesin, mereka hanya bisa bekerja bila ada proyek. Dilain pihak, justru
di khayangan inilah terletak tanggung jawab untuk memberikan suri tauladan dalam
melakukan sesuatu yang berarti bagi kehidupan masyarakat di Marcapada. Dan itu
bukan sekedar menunggu proyek, paman. Bukan pula sebuah program atau surat
perintah kerja.
NARADA Aduh, Adhi Guru alangkah tak berartinya saya bila Adhi Guru merasa gelisah
melihat tanda-tanda itu.
1
GURU (Duduk kembali) Paman, aku takut mereka justru akan berubah menjadi stereotip
dan mekanis. Paman lihat sendiri, mereka sudah mulai mandul, tidak memiliki
kreativitas kerja yang prima. Yang mereka kerjakan cuma meminta tanda tangan
saya, menulis acara-acara khayangan dipapan tulis, menumpuk map-map di meja
mereka, main-main mesin tik, sibuk main telpon, dan bahkan ada yang berlomba-
lomba membuka pintu mobil saya setiap saya akan pulang. Kadang-kadang ada
yang cuma main catur, mengisi TTS biar tak ada kesan menganggur sebelum jam
kantor habis. Paman, itu sudah mengkhawatirkan.
GURU Saya sampai dibuatnya heran, paman. Mereka ternyata terlalu manja dengan
kedudukannya. Menganggap bahwa khayangan selalu menentukan, selalu
memutuskan tanpa memberikan penghargaan sama sekali pada prestasi orang-orang
Marcapada. Saya berpendapat itu tak ubahnya seperti bebek-bebek yang congkak.
GURU Mental mereka mesthi dirubah paman, sebelum khayangan sendiri ambruk karena
sudah tak sanggup lagi menahan beban para dewa yang korupsi, memanipulasi ide,
sombong kedudukan, lahap pada proyek, program, yesmen.
GURU Saya justru merasa bodoh oleh orang-orang Marcapada yang kaya akan kreativitas,
kaya potensi dan memiliki prestasi besar sekalipun mereka tak selalu memperoleh
fasilitas yang baik untuk mengembangkan itu seperti yang di peroleh para dewa-
dewa di khayangan.
GURU Dan kita memang harus mengangkat mereka untuk memberikan dan
menyumbangkan kemampuan mereka sebagai cermin buat para dewa.
GURU (Heran dan kaget) Lho ! kalau demikian paman-pun juga bebek ?!
NARADA (Tergagap-gagap) E..e..e..e, maksud saya, saya amat setuju dengan apa yang
dipikirkan Adhi Guru.
GURU Na, itulah yang namanya klise !. jawabannya seperti di cetak dan diulang-ulang.
Dan bebekpun seperti itu.
1
NARADA Mohon ampun Adhi Guru. Tapi kalau Paman Narada ini boleh tahu, rencana apa
yang hendak Adhi Guru bicarakan ?
GURU (Memandang Narada dengan berwibawa) Apakah paman pernah mendengar
seorang sinden bernama nyonya Semi dari Marcapada ?
GURU (Memotong) Segera akan saya buatkan surat keputusan dan sekaligus surat
perintahnya. Sinden itu memang layak untuk bisa berkembang, tidak hanya untuk
Marcapada dan khayangan, tetapi juga untuk seluruh semesta yang terbatas ini. Biar
khayangan yang akan menggodog lebih matang lagi, Paman Narada.
NARADA Ho, ho, ho, itu memang sebuah prospek yang bagus, Adhi Guru. Sekaligus bisa
mengembangkan lagi nama khayangan.
GURU Dalam pikiran saya, bukan hanya nama semata-mata, Paman Narada. Tetapi juga
sebuah tanggung jawab dan suri tauladan.
GURU Paman, tapi saya tak ingin ada kesulitan. Saya tak ingin melihat Paman Narada
pulang dengan tangan hampa.
NARADA Benar, Adhi Guru. Itulah yang ingin saya sampaikan kehadapan paduka. Orang-
orang Marcapada tentu tak akan begitu saja membiarkan Sindhen itu di bawa. Saya
sudah melihat kesulitan-kesulitannya.
GURU (Kepada abdi khayangan) Panggil Yayi Yamadipati kemari. Bilang kepadanya ini
perintah !
NARADA (Ikut tertawa lirih) Adhi Guru memang tidak keliru. Mesin memang harus diberi
pelican.
Guru tertawa. Narada ikut tertawa. Abdi khayangan masuk disertai Yamadipati.
GURU Engkau tentu tahu kenapa kupanggil kemari. Ini ada hubungannya dengan bidang
profesi pekerjaanmu. Yayi Yamadipati, maaf, ini mengganggu kesibukanmu
membaca Koran.
YAMADIPATI Titah paduka Guru diatas segala-galanya. Hamba segera akan menjalankan
apa yang hendak paduka berikan tugas kepada hamba.
GURU Kau menyertai Paman Narada turun Marcapada menjemput seorang Sindhen dan
membawanya kemari. Yayi Yamadipati tentu tahu apa yang harus yayi kerjakan.
YAMADIPATI Baru kemarin, kanda Narada. Seorang Marcapada yang hendak mengintip
orang mandi.
GURU Baiklah, paman. Paman Narada dan Yayi Yamadipati segeralah berangkat ke
Marcapada. Surat keputusan dan surat perintahnya segera bisa paman ambil di
ruang sekretaris jendral khayangan. Saya segera mengebel dia. Berangkatlah
paman.
Narada dan Yamadipati segera meninggalkan ruang paseban diikuti dengan wajah puas
Guru.
1
DUA
Desa Watugundul pada suatu hari yang tenang. Panjang seharian tak berhenti mengawasi
kelima anaknya yang masih kecil-kecil. Mereka nakal-nakal semua. Yang sulung baru
berumur 6 tahun, tapi Panjang tampaknya tak punya pikiran bahwa anak itu harus segera
di sekolahkan di kecamatan. Empat orang anaknya yang lain, hampir seluruhnya
berselang satu tahun. Yang bungsu baru saja bisa merangkakitulah sebabnya Panjang
nyaris sepanjang hari tak istirahat. Maka ketika dia mendapatkan ada sebuah kesempatan
untuk mengambil napas, dia segera menggunakan peluang itu buat mengaso sepuas-
puasnya. Panjang kelihatan cemberut, murung, dan simpang siur.
PANJANG (Keluar-duduk mengipas kipas tubuhnya yang gerah) selagi masih ada
kesempatan seperti ini, sebaiknya memang harusdipergunakan baik-baik.
(Baru saja dia duduk, tiba-tiba anaknya yang sulung meronta-ronta, sepertinya
anak itu jatuh ketimpa sesuatu, kemudian (berdiri lagi-marah-melihat kedalam)
Aduh ! kamu itu bagaimana ta Pongge ! kamu itu kan sudah kubilang jangan main-
main di tumpukan ember. Anak sialan ! sana, pergi dari situ. Sudah besar tidak
ngrumangsani. Ayo, jangan disitu !
Baru saja mau duduk kembali, seorang anak yang lain jatuh dan menangis sambil
berteriak-teriak.
(Berdiri lagi-marah) Apa lagi ini !
(Memandang kedalam rumah) Gusti Allah, Kenthos !, Kenthos !, apa kamu itu tidak
mau peduli sama bapakmu, he. Kan sudah kubilang, jangan main-main di kandang
ayam. Ayo, sana. Mandi !
(Duduk lagi) Yang satu ketimpa ember, yang satu lagi dilalap kandang ayam.
Anak… anak, dasar memang susah di urus.
(Belum lagi selesai, anaknya yang lain terdengar berlari-lari sambil berteriak-
teriak takut dikejar seekor anjing. Berdiri lagi melihat keluar)
Ya ampun… kecik. Kamu memang tidak kapok juga, main-main anjing. Jangan lari,
ayo berhenti ! jongkok !, jongkok ! Nah begitu.
Terdengar anjing itu sudah tidak menyalak lagi, mungkin sudah lari. Tapi kecik sudah
keburu takut dia nangis mencari emaknya.
SEMI (Dari dalam) Apa ini ? emak ! emak ! ayo pergi dari sini ! aku sedang repot !. Sana.
Anak itu masih tetap menangis. Sana ! aduh !, dimana gincunya tadi ? pakne
gincunya tadi kamu taruh mana?. Lho, ini lipenstiknya malah kamu injek-injek.
O…. sialan kamu setan cilik !
1
Dipukulnya anak itu. Kecik meronta-ronta lagi sambil lari terbirit-birit. Semi keluar
tergopoh-gopoh.
SEMI (Keluar dari dalam rumah) Tuh, lihat anak-anakmu sekarang sudah hampir seperti
Genjik semua !
PANJANG Wah ! kamu itu mbok ya ngomongnya jangan seperti itu. Kasar ! tidak pantes !
SEMI Tidak pantes ! tidak pantes ! memangnya kamu sendiri kalau ngomong apa juga
pantes ? itu, macam begitu itu jadinya anak-anakmu, itu hasil didikanmu !
PANJANG Ya Allah !.... kok malah tiba-tiba aku yang kamu marahi ?
PANJANG (sabar) Perkara mengurus anak, itukan juga tugas kita, tugasku dan tugasmu.
SEMI Jagad Dewa Bathara… nyuwun sabar. Kamu itu memang keterlaluan Pakne ! kamu
bisanya cuma enak-enak bikin anak, melek merem rasanya sudah marem. Tapi
kamu ndak pernah merasakan sakitnya aku melahirkan mereka. Sekarang, baru
begitu saja sudah sambat !
SEMI Nyatanya, coba lihat, baru saja ditangisi sama anak-anakmu macam begitu saja
sudah gembeng, apa itu namanya tidak sambat. Laki-laki macam apa itu !
PANJANG (Berdiri) Mbokne, kalau mau ngomong itu mbok ya jangan kebablasen. Itu
namanya tidak urus.
SEMI (Jengkel) Mana yang lebih tidak urus, kamu yang seneng bikin anak, atau tidak
becus ngurus. Atau aku yang sudah susah-susah cari duit untuk makanmu sama
anak-anak, lalu kamu mencoba menyalahkan aku. Mana, mana yang tidak urus ?
ayo mana ?
PANJANG Tapi kita kan bisa bicara baik-baik, tidak asal terus nyantlap.
SEMI Eh, pak. Sejak dulu aku selalu ngomong baik-baik sama kamu. Kamu jangan
1
ngilang-ngilangke. Apa kamu tidak ingat, kwajiban mengurus anak itu tidak hanya
perempuan saja, laki-laki macam kamupun mestinya harus bisa ngurus anak. Tidak
hanya laki-laki thok yang bias cari duit. Kalau sekarang kamu menyalahkan aku
soal anak-anak, apa itu namanya bener? Tidak gampang perempuan itu melahirkan.
Sekarang, kalau aku sekarang aku kamu bebani anak-anak, kamu itu maunya apa,
he?
PANJANG Iya, tapi kalau kamu tidak ikut memperhatikan anak-anak, terus mau
bagaimana? Aku tiodak melarang kamu nyindhen. Tapi mbpok ya eling, ada
masanya untuk memperhatikan keluarga. Silahkan seminggu kamu tidak pulang.
Tapi apa kamu sesekali tidak punya kesadaran buat dekat dengan anak-anak?
SEMI (Berang) E....... jadi kamu anggap sepele, kamu anggap hina, kamu anggap saru ya
aku nyindhen itu?
PANJANG (Sabar) O, tidak. Sama sekali tidak ! apa aku pernah bilang begitu?
SEMI Buktinya, ngomongmu seperti itu, berarti kamu sudah kepingin bilang bahwa aku
tidak boleh nyindhen ya ta?
(Tertawa sinis) O.... tidak bisa, tidak bisa pakne. Aku tidak goblok untuk kamu rayu
supaya aku ngeloni terus anak-anakmu itu. Kuno! Kolot !
SEMI (Memotong) Jaman sekarang itu sudah tidak musimnya lagi perempuan mlungker
terus di rumah. Apa..! perempuan itu bukan pitik babon ! bukan cuma disuruh
tinggal terus di dapur! Bukan babu! Ingat, ingat! Jangan kelewatan bodohmu itu !
PANJANG Nah, nah, jadi begitu itu perolehannya kamu jadi nyindhen, dicukongi pak
Lurah, terkenal kemana-mana. Sekarang kamu ngenyek sama orang yang pernah
mendorong kamu jadi seperti itu. Apa kamu tidak eling, bahwa dulu kamu
gembeng, merengek-rengek minta dikawini?
SEMI Soal sindhen itu urusanku, soal pak Lurah itu bukan urusanmu. Aku sudah terlalu
repot untuk mengurusi soal gembeng, dan pikiranmu yang selalu cengeng itu.
1
Tiba-tiba terdengar lagi suara grombyangan.
PANJANG Kamu mau kemana. Kamu belum bikin bubur untuk si Tembong.
SEMI (Berkemas-kemas mau pergi) Apa kamu tidak bisa bikin sendiri? Laki-laki macam
apa kamu itu?
(Ribut sendiri) Mana tadi tasku, tas N President. Pakne tasku.
Panjang masuk mengambil tas. Semi sibuk berdandan. Panjang masuk sambil membawa
tas.
SEMI (Beranjak, tapi lupa sesuatu) Aduh, sandalku. Pakne sandal jepitku!
Panjang masuk mengambil sandal jepit istrinya. Dan keluarga lagi menyodorkan sandal
itu dengan wajah bersungut-sungut.
Sesudah mengenakan sandal jepit langsung nyonya Semi beranjak keluar dengan muka
sebal. Panjang duduk menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia merasa heran dengan
perkembangan istrinya yang dianggapnya sudah kelewat batas itu.
PONGGE (Terengah-engah) Cilaka Pak. Cilaka Pak. Aduh, itu….. si, si Kecik, anu.....
PANJANG Apa?!
PANJANG Tobat, tobat. Yang satu selesai, yang satu nyusul. Edan semua!
TIGA
Raden Lurah Tanpasembada. Bu Lurah duduk dengan gelisah, wajahnya menyiratkan rasa
sebal yang amat sangat. Dia tengah mendongkol, berang dan marah yang selama ini
disimpannya namun tak pernah ada waktu buat di keluarkan. Hari ini dia sudah tak tahan
lagi, seluruh isi dadanya terasa tak mampu lagi di tekan sabar, dia sepertinya hendak
meledak. Tapi Bu Lurah masih bisa mengendalikan diri.
1
Pak Lurah keluar dari dalam. Heran memandang istrinya. Apa yang dilihatnya itu memang
membuat tak mengerti, kenapa sekonyong-konyong isterinya bersikap seperti itu.
RL TANPASEMBADA O, silahkan.
BU LURAH Pak, kamu berat mana. Sindhen itu atau isterimu dan anak-anakmu?
BU LURAH Kamu bilang mudah, kalau orang-orang desa ini mulai banyak ngrasani kamu
gara-gara Sinden itu.
BU LURAH Kalau sekarang mereka mulai tidak terima karena suami-suami mereka
gendeng, menjual pohon kelapa, menjual perhiasan isterinya, melalaikan kehidupan
mereka hanya karena tergila-gila sama Sinden-mu itu, apa itu cuma perkara biasa?.
Lalu bagaimana dengan Simin yang menyia-nyiakan bininya itu, bagaimana dengan
1
Thukul yang sampai hendak menceraikan isterinya, bagaimana dengan Muji yang
sekarang miring?. Apa itu cuma perkara biasa?
BU LURAH Urusanmu, hakkmu, memang. Sampai-sampai kamu jual tanah Rejo, kamu
jual kebun Bu Arjo, kamu bujuk mereka supaya mau di jualkan olehmu, lalu
duitnya cuma kamu bagi separoh lantas kemana yang lainnya, kalau tidak kamu
pergunakan untuk memanjakan Sindenmu itu.
BU LURAH Ya, bener. Betul. Kamu bener Pak. Dan kamu memang bener kalau duit hasil
penjualan tanah kamu pergunakan untuk memanjakan Sindenmu. Duit dari mana
buat beli gamelan itu, duit dari mana buat beli seperangkat halo-halo itu? Dari
mana?
BU LURAH Sampai-sampai kupingmu buntet sama suara-suara orang desa, ya apa tidak?
RL TANPASEMBADA Bune, Sinden itu lahir di desa ini, dia milik desa Watugundul ini.
Apa kamu tidak sadar bila dia sudah merupakan kuwajiban kita buat
menghidupkan, menjaga dan memelihara. Dia milik desa ini satu-satunya.
BU LURAH (Sinis-tertawa) Hingga kamu lupa sama anak isterimu ya kan? Ubyang-
ubyung kesana-kemari sampai kamu tidak ingat rumah, tidak ingat sama orang-
orang desa. Tidak ingat bahwa kamu itu Lurah. Kalau aku sudah merasa malu.
BU LURAH Iya, memang aku malu. Disangkanya apa aku terus pasrah begitu saja. O,
tidak. Tidak!
BU LURAH Sekarang, aku ulangi lagi. Sinden itu atau isteri dan anak-anakmu.
RL TANPASEMBADA Aku memang juga sudah tahu. Apa kamu kira aku tidak sanggup
buat mbayar tuntutanmu? Jangan dikira ya?
RL TANPASEMBADA Lantas apa yang kamu maui? Kamu kepingin rumah ini?. Bawa.
Kepingin perhiasan yang di almari itu?. Bawa. Apa lagi?
BU LURAH O....kamu pikir aku gampangan? Memang buntet utekmu, Pak!. Kamu tidak
ngerti, aku punya kemampuan untuk membeberkan kebusukanmu itu sama Pak
Camat, kamu pikir apa aku tidak bisa mengadu sama Pak Bupati, he? Aku bisa
bayar wartawan biar kebrengsekanmu itu di tulis di koran! Jelas ?!
RL TANPASEMBADA Lha gimana tidak mau nganggap enteng, lha wong ngomongmu
saja seperti orang ngelindur kok.
BU LURAH (Marah) Kamu kepingin bukti pak? Baik, saya pikir sayapun berani. Tunggu
saja !
BU LURAH E, e allah ! jadi kamu nantang rupanya. Baik, nanti kalau orang-orang desa ini
ramai-ramai nuntut kamu, jangan keder. Kalau nanti terjadi sesuatu dengan
sindenmu, jangan mengkerut nyalimu!
SANG WARTAWAN
Dari ibukota, saya ditugaskan dari mingguan TEMPE untuk sedikit mendapatkan sesuatu
dari pak Lirah tentang Sinden yang membikin geger itu, pak.
RL TANPASEMBADA
Kalau begitu, saudara ini datang pada alamat yang tepat. Saya yang berkompeten soal
Sinden itu.
(tertawa puas)
Dia itu memang hebat kok, nak! Sudah sepantasnya bila harus dimuat khusus di majalah
bonafid saudara itu. Kalau perlu, di muat untuk satu terbitan istimewa, semua isinya
sinden. Begitu ta nak?
RL TANPASEMBADA (Tertawa) Saya lupa, kita belum kenalan, tiwas sudah ndrojos.
Baik! Nama birokrasi saya Raden Lurah Tanpasembada, nama ndesanya tidak usah,
itu bukan berita nak. Nah, disamping saya ini adalah carik saya, namanya Genjik.
Lha, kalau itu, yang suka cungar-cungir itu, namanya Sawi, salah seorang pamong
saya.
SANG WARTAWAN Pertama tama pak Lurah, berapa luas wilayah desa ini, berapa banyak
penduduknya, berapa orang yang punya radio dan tv, berapa orang yang punya
kerbau, berapa.....
RL TANPASEMBADA Lho, lho. Ini maunya sensus ekonomi apa sensus berita ?
SANG WARTAWAN Ah ! ini yang kode etik jurnalistik. Fakta memang harus diungkap
secara obyektif, meskipun bisa dibikin-bikin, rak iya ta mas ?
RL TANPASEMBADA O... saya pikir mau apa. Genjik, tolong jelaskan pada saudara
wartawan ini soal-soal yang disebutkan itu mengenai desa kita.
GENJIK Nah, mas, tidak usah pakai buku monografi desa ya, lha wong bukunya saja udah
hilang. Tidak harus persis ta, di bikin-bikin saja ya?
SANG WARTAWAN Ini tentu saja ada pengaruhnya kenapa desa ini tiba-tiba saja
melahirkan sinden besar macam Nyonya Semi itu. Pak Lurah. Bolehkah saya tahu
apa yang menyebabkan bahwa sinden itu bisa menjadi demikian masyhur ?
GENJIK (Berdehem)Bagai air jatuh di pelimbahan, bak pisau bertemu gagangnya. Desa ini,
mas wartawan, sejak jaman moyang kami tumbuh bersama sinden. Mereka tak bisa
dipisahkan. Begitulah semesta jagad raya mengatur kehidupan.
RL TANPASEMBADA Ah, nak, nak. Tulis itu, tulis itu ! Genjik, coba kasih saudara
wartawan ini rokok yang paling mahal. Ehm, nak, lanjutkan lagi penilaianmu itu,
jangan rikuh. Ayo !
SANG WARTAWAN (Setelah menerima rokok) Dalam mendidik seorang sinden, seperti
pak Lurah sudah selayaknya bila harus berkorban materi maupun waktu, sebab itu
demi kebesaran sebuah desa, dus sekaligus demi identitas budaya kita dan nilai
serta semangat nasionalisme kita.
RL TANPASEMBADA Tulis lagi itu, nak. Saya setuju. Pokoknya jangan sampai tercecer
sedikitpun ya ? bagaimana Sawi, kamu mesthi setuju ya? Harus ! dan juga kamu,
Genjik.
RL TANPASEMBADA Ingat Genjik ! ini mau masuk koran. Tidak perlu pakai tetapi!
RL TANPASEMBADA Nak, nak. Sebagai seorang wartawan, apa pendapat saudara tentang
ketenaran sinden yang saya asuh itu.
SANG WARTAWAN Ehm, begini pak Lurah. Saya berpendapat bahwa apa yang dilakukan
oleh pak Lurah adalah sesuatu yang luhur, sesuatu yang tidak mudah dilakukan oleh
orang seperti bapak. Menurut saya, itu semacam.... panggilan, begitu istilahnya.
Jadi suatu kerja yang penuh pengabdian, tulus, dan tanpa pamrih. E, pak Lurah, pak
lurah, coba tulis itu, tulis ya.
RL TANPASEMBADA (Sesudah menulis) Memang benar, nak. Tiga kali sinden saya itu
menang dalam kejuaraan tingkat kabupaten, dan dua kali tingkan propinsi dan ini
yang hendak direncanakan adalah tingkat nasional. Bagaimana menurut
1
pendapatmu, nak?
SANG WARTAWAN Begini.... tilis ya pak Lurah. Saya bisa memastikan pasti menang di
tingkat nasional, sebab sebenarnya tidak menangnya yang penting, tapi justru
bagaimana prestasi sinden itu telah mendapatkan kepercayaan penuh dari warga
bangsa kita. Sudah di tulis ta, awas, jangan sampai tercecer !
SAWI Lho, lho, maaf pak Lurah, lha kok malah wartawannya pak Lurah ? E,,, nuwun
sewu.
SAWI O, jadi sekarang wartawan itu malah cari orang supaya diwawancarai. Wah, hebat
itu kang, wartawannya bisa jadi hebat itu.
RL TANPASEMBADA Mh... maaf saudara wartawan, bawahan saya itu memang suka
guyon. Tidak perlu di tulis ya, itung-itung buat selingan.
Dari luar datang sinden. Pak Lurah berdiri menyambut. Sinden masuk.
RL TANPASEMBADA Nah, ini kebetulan. Perkenalkan nak wartawan, inilah sinden yang
menggemparkan itu. Semi, ini wartawan yang hendak menulis kamu di koran nanti.
Itu artinya kamu memang sudah bonafid, sampai jauh-jauh ada wartawan datang
kemari. Ayo salaman.
Mereka bersalaman.
SANG WARTAWAN Saya Lenthuk, wartawan dari mingguan TEMPE. Saya sudah lima
kali dapat penghargaan. Saya wartawan senior, mbak yu Sinden, eh siapa
namanya ?
SEMI Nama saya Semi, sinden masyhur dari desa Watugundul, asuhan Raden Lurah
1
Tanpasembada. Delapan kali menang di tingkat kecamatan, tiga kali menang di
tingkat kabupaten, dua kali menang di tingkat propinsi.
GENJIK dan SAWI (Bersama sama-koor) Ya, pak Lurah. Ya, pak Wartawan.
SANG WARTAWAN (Tertawa kecil) Bagus, bagus. Kepada mbak yu Semi, mbak yu telah
memperoleh nama besar sebagai sinden, dalam hal ini, apa resep mbak yu kok
langsung bisa misuwur ?
SEMI Resep saya, mas, adalah bangun pagi teratur, minum susu, mengunyah kencur, ajeh
pakai pilis,....
RL TANPASEMBADA E, e, e, jangan yang itu njawabnya. Ayo, pakai saja teks yang untuk
latihan dulu itu.
SAWI Anu mas, supaya wawancaranya itu lancar dan sistematik, mbak yu sinden itu sudah
di tatar khusus untuk menghadapi wartawan. Wawancara pakai naskah, begitulah.
SEMI Soal resep? Ada, begini, resepnya adalah satu, mempunyai kesadaran untuk
melestarikan kekayaan kebudayaan bangsa. Dua, mengabdi sepenuhnya demi
kelestarian dan perkembangan kesenian tradisional. Tiga, memiliki pandangan jauh
terhadap usaha memetri kesenian adiluhung.
SANG WARTAWAN (Mengangguk puas) Memang, itu sudah merupakan panggilan buat
kita sebagai warga dari masyarakat suatu bangsa. Mbak yu Semi, tentang bakat, eh,
mas soal bakat apa ada dalam naskah ?
SAWI O, ada. Ada. Pada pasal duabelas, ayat lima. Bagian enam, sub bagian tujuh,
paragraf empat, kalimat kedua dengan daftar pustaka no sepuluh, yak.
1
SANG WARTAWAN Baiklah, mbak yu Sinden, dalam memupuk bakat mbak yu ini,
apakah pendapat mbak yu tentang keberhasilan bakat yang dimiliki mbak yu
Sinden.
SEMI Keberhasilan bakat saya adalah A. Karena hasil tempaan dari orang yang memiliki
kuajiban tinggi menjunjung nilai kebudayaan nasional. B. Hasil dari kesadaran
dalam mengangkat wajah budaya tradisional, C. Hasil dari kesadaran dalam
memberikan arti dalam mengisi makna kemerdekaan dalam bidang seni budaya, D.
Hasil proses kreatif yang secara terus menerus.
SANG WARTAWAN (Tertawa renyah) Ternyata mbak yu Sinden ini memang betul-betul
intens sebagai seorang yang punya prestasi besar. Nah, mbak yu Sinden,
sehubungan dengan hal itu, bagaimana pendapat mbak yu tentang kepekaan pak
Lurah dalam mengangkat begitu mbak yu punya potensi yang mengagumkan itu ?
RL TANPASEMBADA Aha, itu langsung menyangkut aku. Sawi, coba kamu jelaskan
prosesku dalam mengangkat Semi. Meskipun yang ditanyakan itu pendapat Semi.
E, nak wartawan, supaya lebih obyektip, supaya kesannya tidak dipaksakan. Ayo,
Sawi.
SAWI Saya bisa langsung membaca pendapat mbak yu Sinden ini, mas. Bahwa menurut
saya dia akan berpendapat pak Lurah itu seorang luhur, di samping memang beliau
memiliki pengamatan yang tajam dalam memandang prospek cemerlang mbak yu
Sinden.
SANG WARTAWAN Untuk itu, mas Sawi, bagaimana pendapat saudara dan apa saja yang
telah di sumbangkan pak Lurah demi prospek yang cemerlang itu ?
RL TANPASEMBADA (Tertawa) Itu adalah bagianmu Genjik, coba jelaskan untuk nak
wartawan ini.
GENJIK Sebagai pejabat teras desa, mas wartawan, saya bisa langsung menjawab pendapat
saudara Sawi. Begini, pak Lurah itu adalah seorang yang memiliki pengabdian
besar dalam mengembangkan potensi seni budaya yang dimiliki oleh desa ini,
termasuk juga tentang mbak yu Sinden ini. Untuk itu beliau tak sungkan-sungkan
untuk menyumbangkan apa yang beliau miliki. Beliau telah menyumbang
seperangkat gamelan slendro pelog, membangun pendopo, membangun studio
modern, membuatkan sebuah padepokan dan masih banyak lagi yang tak bisa
dihitung satu persatu.
1
SANG WARTAWAN (Ternganga) Siapa mereka itu, pak Lurah. Kedengarannya kok
seperti tak terkendali.
SAWI O, .... itu memang sudah rutin di desa ini, mas. Itu karena memang membuktikan
bahwa segala sesuatu harus diatur begitu. Semakin orang tidak suka dengan
berteriak-teriak seperti itu, terbukti mbak yu Sinden makin terkenal. Jangan lupa itu
sudah diatur.
Dua orang warga desa masuk. Seorang menuntun seorang lagi yang tengah menderita
sinthing.
WARGA DESA I Nah, pak Lurah !, saya tidak terima, abang saya jadi gendeng seperti ini
gara-gara Sinden sialan itu. Dia sudah menjual semua miliknya. Harta bendanya
sudah ludes, keluarganya kocar-kacir lantaran kedanan sinden itu. Saya tidak
terima.
WARGA DESA I Pokoknya pak Lurah mesti tanggung jawab ! pilih salah satu, desa ini
atau Sinden itu !
ORANG SINTING Cihui, Sinden bahenol, bahenol nerkom. Ihik, ihik. Sinden kupeluk,
sinden kukenyut-kenyut, sindennya kenyil-kenyil. Aduh bapa, aduh simbok, hati
beta jadi senut-senut. Duh, Sindenku......
SAWI He ! Kempo ! Itu tidak ada hubungannya dengan pak Lurah, apa kamu tidak lihat
bahwa ini sedang ada tamu !
WARGA DESA I Tidak ada hubungannya, matamu ! Sinden itu sudah banyak bikin gara-
gara !
WARGA DESA I Matamu memang merem, kang Sawi. Mulutmu sekarang ngomongnya
sudah lain.
RL TANPASEMBADA Kempo ! Sudah, aku sudah dengar. Kamu butuh berapa buat
menyembuhkan kakangmu ini ? Eh, Sawi, coba kamu kasih si Kempo ini uang yang
sudah saya siapkan itu.
Sawi maju menyodorkan uang kepada Kempo. Mula-mula Kempo menolak, tapi akhirnya
menerima juga.
WARGA DESA I Em..soalnya tadi anu, kok pak Lurah, saya memang ndak tahu kalau
harus ke dokter. Terimakasih pak Lurah.
Kempo beranjak dari tempat itu menuntun orang sinthing yang terus saja ngomel-ngomel.
SAWI Pak Lurah tidak segan memberikan dana untuk warganya yang miskin, mas
wartawan.
RL TANPASEMBADA (Kepada wartawan) Nak, itu jangan kamu tulis. Jiwa sosial tidak
perlu kelewat jelas diperlihatkan. Saya tidak enak.
GENJIK (Kepada wartawan dan Semi) Pak Lurah memang benar. Itu beliau lakukan agar
jangan sampai nanti timbul kesan berlebihan. Bukankah begitu mbak yu Semi ?
SEMI Bagaimanapun juga yang namanya berlebih-lebihan itu kurang sreg bagi kami
orang-orang desa ini, meskipun kami tahu bahwa mas wartawan sesekali justru
penasaran ingin menulis.
RL TANPASEMBADA (Tertawa) Sinden saya tepat sekali, nak. Dia ini contoh yang dalam
memperlakukan seorang wartawan. Nah, saya bisa memberikan buktinya. Sawi,
kasih sang wartawan ini yang sudah saya siapkan sejak kemarin.
1
Sawi menyodorkan sebuah amplopan. Sang wartawan terheran-heran.
WARGA DESA II (Marah) Sialan ! Sinden itu memang setan cilik tak tahu diuntung ! Pak
Lurah ! anak saya sudah dibikin celaka sama Sinden itu, dia menggoda anak saya,
dan sekarang anak saya itu mau menjual kebun kelapa saya!
RL TANPASEMBADA Genjik, Genjik, Coba kamu ladeni orang ini. Saya sudah capai
mengurus soal-soal seperti itu.
GENJIK Mengemban titah pak Lurah, saya mau tanya kenapa anakmu itu tidak kamu
larang, kamu kan orang tuanya. Itu soal gampang. Gampang! Sebab kamu bisa
menyelesaikan sendiri. Tanpa harus marah-marah di sini. Pulang saja, ya?
WARGA DESA II Pulang-pulang bagimana. Dia itu mau membunuh saya kalau saya
melarang menjual kebun kelapa itu ! Sinden itu masalahnya sekarang sudah
macem- macem.
GENJIK Kamu sudah tua, dan itu bukan urusan kami, pulang saja, ya?
GENJIK Maap, pak. Tangan saya tiba-tiba jadi gatel! Pulang, ya?
1
WARGA DESA II E . . . . Kamu kira saya tua-tua begini tidak berani, apa kamu tidak
mengerti saya punya aji-aji Sumur Gemuling, he !?
RL TANPASEMBADA Sudah, sudah Genjik. Emh, Sawi, coba kamu kasih bapak ini
amplop yang sudah disediakan untuk perkara seperti ini.
RL TANPASEMBADA Itu cukup untuk mengganti harga kebun kelapamu. Kasih amplop
itu pada anakmu.
RL TANPASEMABADA (Kepada sang wartawan) Nah, itu bukti lagi, nak. Bukti bahwa
kami ini kuat sekali percaya kepada adat istiadat kami. Masih tidak percaya ? Baik.
Sekarang saudara bisa melihat-lihat apa yang sedang kami persiapkan selama ini.
Mari saya tunjukkan sesuatu yang lebih penting untuk ditulis di koran saudara.
Semi, kamu ikut aku. Genjik dan Sawi tinggal disini sementara aku dan Semi
mengantar nak wartawan.
Pak Lurah dan Semi mengantar sang wartawan. Sawi dan Genjik tinggal. Setelah mereka
pergi.
SAWI Untung tadi pak Lurah tidak langsung tanya soal SPJ.
SAWI Ya, SPJ duit yang sudah dikeluarkan itu. Padahal kuitansinya tidak ada. Aduh, lega
aku.
GENJIK Lho iya, tapi kang sawi mestinya kan harus kasih laporan ta ?
SAWI Itu masalahnya. Sebenarnya saya mau lapor terus terang, tapi Le, aku ada nak
1
wartawan itu, jangan-jangan nanti aku masuk koran. Padahal, duit sisanya itu Le,
sudah saya gunakan buat nalangi cicilan Kerbau.
SAWI Le, apa betul, pak Bupati itu segera mau rawuh ke desa ini buat meresmikan dan
merestui pak Lurah dan Semi untuk mengikuti festival tingkat nasional itu ?
GENJIK Lho, kamu itu bagaimana ta kang. Jadwalnya kan sudah dikasih sama kita?
SAWI Itu artinya, pak Lurah sedang sibuk-sibuknya. Beliau pasti tidak sempat tanya soal
SPJ, ya ta ?
GENJIK Itu tidak baik kang. Kalau kang Sawi tidak lapor. Saya lapor.
GENJIK Kalau tidak lapor itu kan namanya tidak disiplin ta kang?
SAWI Untuk kali ini saya mohon dispensasi dari kamu Le, tapi besok tidak sudah, yakin !
Buat kali ini saja !
GENJIK Wah ya tidak bisa. Itu masalah berat, kang! Kamu sudah tidak bisa naik banding
lagi.
GENJIK Asal kang Sawi bisa kasih saya berapa persen untuk tutup mulut kalau nanti kang
Sawi ada sisa anggaran.
SAWI Sepuluh ?
1
GENJIK Empat puluh persen !
GENJIK Sudah enam puluh, belum termasuk beli odol, sikat gigi, sabun cuci, sampo, . . .
Tiba-tiba muncul Narada dan Yamadipati, dari atas mereka memandang Genjik dan Sawi.
NARADA Rupanya, kalau tidak keliru kita sudah sampai didesa Watugundul, yayi
Yamadipati. Orang angon bebek disana tadi bilang disini tempatnya. Lho! Yayi, aku
mendengar pembicaraan orang Marcapada, Yayi !
NARADA Mbok coba kamu liat disana itu, kelap-kelip itu apa yayi ?
NARADA He ! Orang Marcapada apa kamu tahu di mana rumahnya Lurah Watugundul ?!
GENJIK Na, itu dia! He ! makhluk E.T. ! kamu tanya yang sopan. Turun !
NARADA Wella dallah, Orang Marcapada itu tidak urus yayi ! Coba kamu bereskan saja
yayi Yamadipati!
GENJIK He ! makhluk E.T yang jelek! Saya ini utusan pak Lurah !
Yamadipati pasang kuda-kuda hendak nyabut nyawa Sawi dan Genjik. Pak Lurah datang,
heran melihat Sawi dan Genjik meronta-ronta.
RL TANPASEMBADA Hah ?! Sang hyang dewa ?! he, njik ! itu dewa !ayo nyembah !
NARADA Kedatangan kami ini memang mengemban titah sang Hyang Guru di
khayangan. Maka tepatlah kiranya, bila aku bisa langsung berhadapan dengan
Lurah desa Watugundul.
RL TANPASEMBADA Syukur, sang hyang dewa dapat mengunjungi kami dengan titah
yang luar biasa ini. Kalaulah saya boleh tahu, tugas apakah gerangan yang di
bebankan sang hyang dewa?
NARADA Sang Hyang Guru di khayangan member tugas aku untuk menjumpai Sinden
Watugundul ini, yang kabarnya hendak mengikuti kejuaraan festifal tingkat
nasional.
RL TANPASEMBADA Kebetulan, kami sedang mempersiapkan tugas suci itu. Saya sangat
berterima kasih bila upaya kami ini mendapat perhatian besar para dewa di
khayangan.
1
Sawi memanggil Sinden. Sinden keluar disertai dengan wartawan
RL TANPASEMBADA Inilah Sinden kami itu, sang Hyang dewa. Dan mas yang satu itu
adalah seorang wartawan.
RL TANPASEMBADA Wi! Njik! Tahu ta tugasmu? Bawa keluar dulu mas wartawan.
Sawi dan Genjik menyeret wartawan keluar. Wartawan meronta, tapi orang itu tak peduli.
SEMI Semi, sinuhun. Saya menghaturkan selamat datang kepada sang hyang dewa,
mudah-mudahan salam saya ini diterima.
YAMADIPATI Rontok rasanya hatiku demi mendengar alunan tembang sinden ini. Wa…,
sinden ini memang hebat, wa!
NARADA Kalau cuma restu, kuberi!. Tapi ada sesuatu yang lebih penting lagi, ki Lurah.
Sang Hyang Adi Guru di khayangan memberikan titah padaku dan yayi Yamadipati
ini untuk segera memboyong sindenmu, kubawa ke khayangan.
YAMADIPATI Wa, apa tidak sebaiknya Semi ini tetap saja di Marcapada. Ia orang
Marcapada, hidup di Marcapada, tempatnya di Marcapada. Jangan dibawa ke
khayangan, wa.
NARADA Hush! Jangan mlenca-mlence mulutmu, yayi. Ini bahaya! Baiklah, Ki Lurah, ini
sudah kubawa surat perintah dan surat keputusannya.
RL TANPASEMBADA Tapi mestinya kami harus berembug dulu dengan Semi, sinuhun.
NARADA Berembuglah sana. Berembug dan berembug itu kerja orang marcapada. Sana
berembug sana!
RL TANPASEMBADA Bagaimana Mi? Ini sudah tidak bisa ditawar lagi, kamu harus ke
khayangan. Artinya aku harus kehilangan kamu. Baiklah, terima saja ini Semi. Dan,
hati-hati saja Mi.
NARADA Kami dewa-dewa di khayangan tahu apa yang harus dilakukan untukmu Semi.
Khayangan akan menjadi tempatmu yang baru. Ingatlah, kehormatan orang
Marcapada bisa diboyong ke khayangan.
SEMI Saya bisa memutuskan, asal saya mesti berembug dulu dengan suamiku, sinuhun.
1
NARADA Berembug lagi? Baiklah, kamu boleh berembug dengan suamimu, tapi ingat,
titah itu sudah keputusan dan tidak perlu kamu berjalan jauh ke rumah, kusebda
kamu bisa langsung sampai di rumah! Alakazam!
PANJANG Lho Semi, kenapa kamu sudah di rumah lagi ? Kamu urung menyanyi bersama
pak Lurah ?
SEMI Ini kang, tadi ada utusan dari khayangan, bermaksud memboyong saya ke
khayangan. Ini kang surat perintah dan keputusannya.
SEMI Tapi di khayangan, aku bakal bisa berkembang lebih baik. Dewa-dewa bakal
menggodogku, kang!
PANJANG Tidak! Kemampuanmu itu justru bakal sirna, oleh penyakit kesombongan
khayangan! Tidak Semi!
PANJANG Sekarang kalau kamu ndak nggugu suamimu, ini, ini, obat nyamuk di tangan
kananku atau clurit di tangan kiriku.
1
SEMI Aduh, kang! Jangan kang! Aku mohon jangan!
NARADA E… e… e… nanti dulu kisanak, jangan keburu nafsu! Dipikir dulu tindakan
tololmu itu!
NARADA E… nekad kamu ya? Kusebda clurit dan obat nyamuk jatuh! Alakazam!
PANJANG Dewa kok tidak tahu aturan, tidak tahu sopan santun. Masuk desa tanpa
permisi, masuk rumah tanpa kula nuwun!
NARADA Saya diutus oleh sang hyang adi guru untuk menjemput sindenmu ini!
PANJANG Tidak bisa! Sinden ini isteriku, aku sendiri yang ngurus bukan cuma untuk
dewa-dewa macam kamu! Kelancanganmu ini sudah melanggar tatanan desa! Aku
harus laporkan ini pada pak Lurah!
PANJANG Tidak bisa! Aku harus lapor pak Lurah! Ayo Semi, ikut aku!
1
PANJANG (Menyeret istrinya) Assh… pokoknya ikut! Ayoh!
YAMADIPATI (Menahan Narada) Jangan Wa. Biarkan mereka pergi! Itu adalah hak dan
kewajiban mereka. Kita tidak bisa memaksakan kehendak kita kepada orang
Marcapada, mereka bukan dewa seperti kita, Wa. Pulang saja Wa, pulang saja!
NARADA Angger Yamadipati, engkau seorang dewa yang menjadi kiblat orang
Marcapada, tidak selayaknya itu diucapakan, sebab kiblat itu bukan sekedar
harapan.
YAMADIPATI Aduh Uwa Narada, kiblat itu sekarang telah menggelisahkan kita, Uwa
tahu, kenapa kita diutus ke Marcapada bila memang khayangan sendiri hendak
mencari kebijakan baru, dari Marcapada ini.
NARADA Angger Yamadipati, hendaklah kamu sabar, kamu ini hanya melihat satu sisi
saja, nilai-nilai luhur kebijakan hidup tak hanya diperoleh dengan sekali melihat
kenyataan, kamu butuh waktu untuk bisa mengerti!
YAMADIPATI Duh, uwa Narada, bagi saya tidak keliru untuk menemukan kebijakan
sendiri untuk mendapat makna hidupku. Saya bukan mesin, diriku sendirilah yang
menentukan kebijakan yang ada dalam sanubariku.
NARADA Sudah jadi hukum di khayangan, bahwa seorang dewa harus merencanakan
keluhurannya. Dia adalah suri tauladan. Puncak harapan orang Marcapada.
YAMADIPATI Suri tauladan, tidak hanya keluar dari kedudukan yang tinggi. Suri tauladan
keluar dari keluhuran hidup setiap orang. Ia tidak ditentukan, tapi keluar sendiri dari
perilaku dan kebesaran jiwa. Marcapada ini lebih ragam untuk mencari kabijakan
hidup dan mendewasakan diri. Sudah Wa, aku tdiak ingin kembali ke khayangan,
tidak, aku tidak akan kembali ke khayangan. Sudah Wa, sudah wa! Sudah wa!.
Yamadipati pergi.
NARADA Tunggu, angger Yamadipati! Edan tenan! Baiklah, akan kuadukan kamu kepada
sang hyang adi guru di khayangan.
(Terbang ke khayangan) Sang Hyang Adi Guru….!
1
SELESAI
Di tulis ulang oleh Husni Wardana untuk kebutuhan arsip Naskah Teater gandrik,
Mahasiswa ISI Yogyakarta Mata Kuliah Studi Orientasi Profesi Teater Gandrik