Anda di halaman 1dari 178

TEACHING

WITH
TECHNOLOGY
SERIES

Teknologi
dan
Pembelajaran
Bahasa
Inggris
SERI

EDITOR
Gumawang Jati
Finita Dewi

Perkumpulan Pengajar Bahasa Berbasis Teknologi Informasi (ITELL)


ITELL
Indonesia Technology Enhanced Language Learning
Teknologi
dan
Pembelajaran
Bahasa
Inggris

EDITOR

Gumawang Jati
Finita Dewi

Perkumpulan Pengajar Bahasa Berbasis Teknologi Informasi (ITELL)


Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris

e-ISBN: 978-623-97558-0-5 (PDF)

Editor:
Gumawang Jati
Finita Dewi

Kontributor Penulis:
Gumawang Jati
Yustinus Calvin Gai Mali
Made Hery Santosa
Finita Dewi
Shelia Anjarani
Roghibatul Luthfiyyah

Desainer Cover:
Grace Nathania Sabandar
Tata Letak:
Tia Citra Bayuni

Penerbit:
Perkumpulan Pengajar Bahasa Berbasis Teknologi Informasi
(iTELL)
Jl. Kartini Nomor 15-17, Kota Salatiga, Jawa Tengah
Webiste : http://itell.or.id/
Email : indonesia.tell@gmail.com

Cetakan pertama, Agustus 2021

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan
cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
5

KATA PENGANTAR

Assosiasi bagai geliat, berbekal sinar kunang kunang dalam tabung


dan berbatas angan, itu istilah saya tentang iTELL. Geliat iTELL dimulai
dengan obrolan angkringan di Solo tahun 2014. Pertemuan di angkringan
memang tidak diagendakan, diawali oleh ajakan Toar Sumakul dari UKSW
yang mempunyai geliat untuk berbuat sesuatu. Geliat ini dituangkan di
angkringan Solo, bersama beberapa rekan lain. Waktu itu ada saya (ITB),
Finita (UPI), Agus Dwi Priyanto (UNS), Made Hery Santosa dan Putu
Wage (UNDIKSHA), Christian Rudianto dan tentunya Toar Sumakul dari
(UKSW).
Dari geliat, lahirlah rangkaian konferensi setiap dua tahun sekali
yang diadakan iTELL untuk memberikan kesempatan pada para guru
bahasa berbagi pengalamannya dalam menggunakan teknologi di dalam
kegiatan kelas. Geliat selalu berkedip bak si kunang kunang, memberikan
sedikit cahaya. Lahirlah pelatihan pelatihan untuk guru muncul secara tidak
direncanakan, bahkan sampai pedalaman pelosok desa yang miskin signal.
Geliat yang lain adalah rangkaian webinar tentang teknologi dan
pendidikan pada awal pandemi covid 19 dengan menggandeng British
Council Indonesia. Kali ini, geliat kami muncul untuk berbagi melalui
tulisan.
Geliat ini disambut oleh teman teman iTELL board untuk berbagi
cerita bagaimana teknologi bisa diberi makna, dicobakan, dan diterapkan
dalam pembelajaran Bahasa. Dalam buku ini, ada cerita kecerdasan buatan
yang bisa dipadukan dalam jaitan pengajaran menulis, ada cerita membuat
podcast yang bisa dipadukan dalam pengajaran speaking dan listening. Ada
juga cerita rangkaian konsep Hyflex yang renyah, pemberian feedback, dan
implementasi assessment for learning berbantuan teknologi. Selain itu ada
cerita tentang Digital Storytelling Project yang bisa diadaptasi.
Terima kasih teman iTELL board yang sudah meluangkan waktu
untuk merespon geliat ini. Semoga goresan atas respon geliat ini
bermanfaat bagi para pembaca, dan membuat para pembaca berkedip
seperti kunang kunang memberi terang dengan meneruskan cerita ke
rekan rekan guru yang lain.
Selamat menikmati sebuah geliat berteman sinar kunang kunang.

Gumawang Jati

Presiden iTELL

6 Kata Pengantar
7

DAFTAR ISI

5
Kata Pengantar
Daftar Isi 7
Pendahuluan 8
1. Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) 15
untuk Menulis dalam Pembelajaran Bahasa
Inggris
Gumawang Jati
2. Membuat Podcast di Kelas Berbicara Bahasa 32
Inggris
Yustinus Calvin Gai Mali
3. Hyflex: Belajar di Konteks Hibrida dan 56
Fleksibel dengan Teknologi
Made Hery Santosa

91
4. Digital Storytelling Project: Kegiatan
Kolaboratif di Kelas Bahasa Inggris
Finita Dewi
5. Optimalisasi Teknologi dalam Pemberian 124
Feedback
Shelia Anjarani
6. Implementasi Assessment for Learning 149
dengan Bantuan Teknologi
Roghibatul Luthfiyyah
Tentang Kontributor 174
8

PENDAHULUAN
Gumawang Jati & Finita Dewi

Terbitnya buku ini bersamaan dengan semakin meningkatnya


tren statistik masyarakat Indonesia yang terdampak oleh Pandemi
Covid-19. Saat ini Indonesia menjadi sorotan dunia dan dianggap
sebagai episentrum pandemi Covid-19 di kawasan Asia, bahkan di
dunia. Akibat dari peningkatan yang drastis ini, institusi pendidikan
yang sedianya berencana untuk memulai moda tatap muka pada
awal tahun pelajaran 2021-2022 terpaksa kembali ke pembelajaran
daring. Setelah hampir 1.5 tahun menjalankan pembelajaran jarak
jauh, sebagian pendidik sudah menemukan gaya mengajar baru
dengan memanfaatkan beragam aplikasi teknologi. Dalam berbagai
kasus kegiatan pembelajaran menjadi terhambat karena
keterbatasan akses terhadap fasilitas teknologi dan keterampilan
pendidik dalam menggunakan alat teknologi. Kondisi ini tak
terelakan karena para pendidik dan juga siswa, tidak pernah
disiapkan untuk mengajar secara jarak jauh. Integrasi teknologi di
dalam kelas pun cenderung diperlakukan sebagai unsur tambahan
saja.
'Technology is just a tool’! Pernyataan ini dulu sering sekali
muncul dalam berbagai diskusi-diskusi tentang peran teknologi
dalam pembelajaran. Teknologi dianggap sekedar pelengkap atau
penunjang, seakan-akan dapat disematkan begitu saja sebagai
bumbu kegiatan belajar mengajar. Disisi lain, kecanggihan fitur-fitur
teknologi terkadang begitu menggoda para guru untuk
membawanya ke dalam kelas, sehingga guru harus sedemikian rupa
menyelaraskan pendekatan pedagogis yang digunakan untuk
menyampaikan konten pembelajaran, agar dapat berjalan beriringan
dengan teknologi yang ingin dicobanya. Kondisi ini terkadang
membatasi dinamika kegiatan pembelajaran karena guru harus
berkompromi dengan ketersediaan fitur-fitur yang terdapat pada
alat teknologi (Perrotta, et.al., 2021).
Banyak ahli menyarankan untuk mengedepankan pedagogi
terlebih dahulu sebelum alat teknologi yang akan digunakan
(Ascough 2002, Fullan 2013, Watson 2001). Hal ini dikarenakan
adanya kecenderungan guru untuk menggunakan teknologi dengan
alasan bahwa mereka tertarik dengan fiturnya. Kemudian guru
mencoba untuk menyelaraskan pendekatan pedagogis dengan alat
teknologi yang mereka gunakan. Menciptakan kegiatan
pembelajaran yang bermakna melalui pemanfaatan teknologi, bukan

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 9


semata dengan cara menyematkan teknologi dalam urutan aktivitas
pembelajaran saja, namun sebaiknya, pemanfaatan teknologi dapat
menciptakan cara baru dalam mengajar (Zhao, dkk., 2006). Tsui dan
Tavares (2021) menjelaskan bahwa teknologi memang dapat
memfasilitasi pendekatan-pendekatan pedagogis yang saat ini ada,
namun teknologi juga dapat menghadirkan cara baru dalam kegiatan
pembelajaran yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Dengan
kata lain, interaksi antara teknologi dan pedagogi akan dapat
membawa perubahan terhadap cara guru mengajar dan cara siswa
belajar.
Kehadiran buku ini dimaksudkan untuk memberikan
beberapa ide tambahan terkait bagaimana teknologi dan pedagogi
dapat diorkestrasi secara harmonis dalam pembelajaran bahasa
Inggris. Kelas bahasa Inggris, sebaiknya dirancang secara interaktif
dan dapat memberikan kesempatan serta pengalaman belajar yang
bermakna bagi siswa. Dalam hal ini, teknologi memiliki multi-peran,
sebagai sumber belajar, mediator untuk ‘menemani’ siswa belajar,
maupun alat untuk mendemonstrasikan keterampilan berbahasa
siswa. Tulisan-tulisan dalam buku ini membahas pemanfaatan
teknologi dari beberapa sudut pandang, seperti lingkungan belajar

10 Gumawang Jati & Finita Dewi, Pendahuluan


siswa, keterampilan berbahasa, keterampilan kolaboratif, dan juga
aspek feedback dan assessment.
Salah satu yang dibahas dalam buku ini adalah kecerdasan
buatan. Setelah perkembangan Internet yang begitu pesat dalam tiga
dekade terakhir, perlahan tapi pasti, kecerdasan buatan membuat
banyak terobosan, termasuk membuat terobosan dalam dunia
pendidikan. Dalam bidang kebahasaan, kecerdasan buatan telah
menunjukkan pengaruhnya dalam penerjemahan otomatis, dan
pemrosesan Bahasa. Bahkan tanpa disadari, dalam era ini, hampir
semua orang menulis dengan mesin pintar, yang akan membantu
penulis dengan spelling dan grammar. Bahkan banyak mahasiswa sudah
menggunakan kecerdasan buatan dalam menulis tugas Bahasa
Inggrisnya. Dalam buku ini bagaimana mengintegrasikan kecerdasan
buatan dalam pembelajaran writing diulas dengan beberapa ide yang
disajikan untuk dicobakan di dalam kelas.
Selain kecerdasan buatan, podcast juga menjadi salah satu
bagian dari buku ini. Podcast, berasal dari kata iPod dan Cast,
‘penyiaran’ sesuai dengan namanya, ini diperuntukkan untuk
menyiarkan audio melalui Internet. Audio dalam podcast dirancang
untuk diunduh dan didengarkan pada pemutar mp3 jenis apapun,
smartphone, laptop atau komputer pribadi. Podcasting menjadi
popular sebagai salah satu cara alternatif untuk menyediakan konten
audio yang dapat didengarkan kapan saja, dimana saja, dan dapat

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 11


didengarkan berkali kali sesuai keinginan pendengarnya. Gagasan
bahwa podcast dapat dibuat oleh siapa saja yang memiliki akses ke
Internet, membuat banyak guru menggunakannya dalam proses
pembelajaran. Pada pembelajaran Bahasa Inggris misalnya, daya
tariknya tidak hanya dalam memberikan input listening tambahan bagi
siswa, tetapi siswa juga dapat dilibatkan dalam merekam dan
memproduksi podcast. Dalam buku ini, diuraikan secara rinci,
bagaimana membuat podcast di speaking class dan bagaimana
melibatkan siswa dalam proses perekaman dan pembuatannya.
Selain kecerdasan buatan dan podcast, HyFlex juga diulas dalam
buku ini sebagai sebuah konsep pembelajaran di era ini. HyFlex
menggabungkan istilah ‘hibrida’ dan ‘flexible’ yang mengintegrasikan
pembelajaran tatap muka (sinkron) dan pembelajaran daring (asinkron)
yang saling melengkapi. Dalam konsep hibrida siswa diharapkan
berpartisipasi dalam kombinasi aktivitas online dan tatap muka.
Sedangkan aspek flexible dalam HyFlex memberikan siswa otonomi,
dan fleksibilitas. Prinsip dasar dari model ini adalah semua siswa
mencapai tujuan pembelajaran yang sama melalui cara yang dipilih oleh
siswa. Dengan kata lain pendekatan ini dikembangkan dengan fokus
pada fleksibilitas siswa. Dalam pembahasannya, model pembelajaran
HyFlex disandingkan dengan beberapa model yang lain.
Digital storytelling project, sebagai kegiatan kolaboratif dalam
kelas Bahasa Inggris juga diulas dalam buku ini. Digital storytelling project
12

Gumawang

Jati
&
Finita

Dewi,

Pendahuluan
cocok untuk banyak mata pelajaran, namun karena sifatnya yang
komunikatif, sangat cocok untuk pembelajaran Bahasa. Sebuah proyek
mendongeng digital memungkinkan pelajar untuk mengekspresikan
diri mereka secara kreatif dan menyampaikan makna dengan lebih dari
sekedar kata yang diucapkan. Melalui gambar, video, dan audio, siswa
dapat berbagi, sambil menjalin hubungan yang lebih baik dengan
penonton mereka. Dalam proses mengerjakan proyeknya, siswa akan
belajar tidak hanya Bahasa semata, tetapi juga belajar bekerjasama
dalam sebuah tim. Dalam buku ini langkah langkah melakukan
proyeknya diulas dengan detail, dari perancangan sampai
pembuatannya.
Dalam setiap pembelajaran, diperlukan feedback baik dari guru
atau teman. Tidak mudah untuk menentukan kapan memberi feedback,
menentukan jenis feedback, feedback secara individu, kelompok atau
kelas. Belum lagi ada ‘godaan’ bagi guru untuk memberikan nilai untuk
setiap tugas dan berharap siswa melakukan refleksi proses
pembelajaran berdasarkan nilai yang didapat. Dalam buku ini diulas
bagaimana teknologi bisa berperan dalam memberikan feedback yang
baik. Teknologi mempunyai fitur dasar yang sangat kaya untuk
berkomunikasi antara guru dan siswa, dan akan sangat bermanfaat
untuk digunakan dalam memberikan feedback.
Alat dan cara yang digunakan untuk penilaian kelas bisa
berdampak signifikan pada cara guru mengajar, cara siswa belajar dan

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 13


prestasi siswa. Mendapatkan penilaian yang tepat merupakan
komponen penting dalam pembelajaran. Dalam bagian akhir dari buku
ini, diulas salah satu model penilaian yang dikenal dengan assessment for
learning, tentu saja dikaitkan dengan teknologi. Saat ini penilaian tidak
hanya bisa dilakukan di kelas, tetapi juga bisa dilakukan online. Pada
zaman yang serba digital saat ini, siswa dapat dinilai berdasarkan kinerja
di dalam dan luar kelas. Siswa juga dapat dinilai dengan membuat karya
dan mengunggah karyanya di media sosial, kanal youtube atau
portofolio digital.

Daftar Pustaka
Ascough, R. S. (2002). Designing for online distance education: Putting
pedagogy before technology. Teaching Theology & Religion, 5(1), 17-29.
Fullan, M. (2013). Stratosphere: Integrating technology, pedagogy and change knowledge.
Pearson
Perrotta, C., Gulson, K. N., Williamson, B., & Witzenberger, K. (2021).
Automation, APIs and the distributed labour of platform pedagogies
in Google Classroom. Critical Studies in Education, 62(1), 97-113, DOI:
10.1080/17508487.2020.1855597
Tsui, A. B., & Tavares, N. J. (2021). The technology cart and the pedagogy
horse in online teaching. English Teaching & Learning, 45(1), 109-118.
Watson, D. M. (2001). Pedagogy before technology: Re-thinking the
relationship between ICT and teaching. Education and Information
Technologies, 6(4), 251-266.
Zhao, Y., Frank, K. A., & Ellefson, N. C. (2006). Fostering meaningful
teaching and learning with technology: Characteristics of effective
professional development. In E. A. Ashburn & Ro. E. Floden (Eds.),
Meaningful learning using technology (pp. 161–179). Teacher College,
Columbia University

14 Gumawang Jati & Finita Dewi, Pendahuluan


15

1
KECERDASAN BUATAN
(ARTIFICIAL INTELLIGENCE) UNTUK MENULIS
DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS
Gumawang Jati

Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence-AI)


Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence - AI) mengacu pada
simulasi kecerdasan manusia pada mesin yang diprogram untuk
berpikir seperti layaknya manusia dan meniru tindakannya. Istilah
ini juga dapat diterapkan pada mesin apa saja yang menunjukkan
ciri-ciri yang terkait dengan pikiran manusia seperti pembelajaran
dan pemecahan masalah (Frankenfield, 2021). Dengan hadirnya
kecerdasan buatan dan perkembangannya yang begitu pesat,
secara tidak kita sadari, kecerdasan buatan sudah berada di tengah
tengah kita, misalnya google assistant, siri pada iPhone. Dengan
hadirnya google assistant dan siri, kita tidak perlu repot repot untuk
mencari nama kontak jika ingin menghubungi seseorang. Kita
tinggal memberikan perintah, misalnya “telepon Agus” maka
kecerdasan buatan akan melakukan pencarian dan melakukan
panggilan. Kecerdasan buatan juga digunakan dalam ojek online,
mulai dari penentuan lokasi, biaya dan rute perjalanan, semua
dikerjakan oleh kecerdasan buatan. Jika kita menonton video di
YouTube, film di Netflix atau mendengarkan musik di Spotify maka
kecerdasan buatan akan memberikan rekomendasi film dan lagu
atau musik sesuai dengan selera kita. Kehidupan sehari hari kita
dipengaruhi oleh kecerdasan buatan setiap harinya. Baik kita
menggunakan ponsel cerdas, menjelajahi internet, membeli
produk secara online, menggunakan navigasi, mendengarkan lagu
di layanan streaming musik favorit, kecerdasan buatan
memengaruhi pilihan kita.
Kecerdasan Buatan Dan Pembelajaran Bahasa Inggris
Kecerdasan buatan mempunyai potensi untuk
pembelajaran bahasa Inggris. Untuk tingkat pembelajar pemula
misalnya, pelafalan bisa dipelajari dengan bantuan kecerdasan
buatan seperti text to speech atau sebaliknya speech to text. Sebelum
ada kecerdasan buatan, pelafalan diajarkan oleh guru yang
memberi contoh atau model pelafalan berulang ulang, atau
pelafalan diajarkan di laboratorium bahasa. Dengan adanya
kecerdasan buatan siswa bisa belajar pelafalan secara mandiri

16 Gumawang Jati, Kecerdasan Buatan


menggunakan telepon pintarnya. Saat ini, Google Docs sudah
memasukan fitur pengeditan pengetikan dengan perintah suara.
Pada awalnya hanya memahami perintah sederhana, tetapi
sekarang fitur pengenalan suara telah berkembang dengan pesat.
Lotze (2016) berpendapat bahwa penggunaan aplikasi
kecerdasan buatan membantu pengembangan keterampilan
bahasa Inggris dan keterampilan komunikasi bahasa melalui
kotak dialog cerdas yang biasanya dikenal dengan istilah chatbot.
Kotak dialog cerdas juga digunakan untuk mengalih bahasakan
baik secara tertulis, misalnya google translate, maupun lisan seperti
speak & translate. Selain itu Google Assistant bisa digunakan sebagai
teman berbicara siswa, misalnya siswa mewawancara Google
Assistant. Ini adalah cara yang bagus untuk menguji kejelasan
pengucapan mereka. Siswa dapat bergiliran mengajukan
pertanyaan ke Google Assistant dengan model yang telah
ditetapkan oleh guru. Walker dkk. (2017) lebih lanjut menyoroti
pentingnya menggunakan aplikasi kecerdasan buatan untuk
menulis, khususnya dalam mengembangkan keterampilan siswa
dalam menyusun kalimat dan menulis teks.

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 17


Keterampilan Menulis
Tulisan ini mengulas secara khusus tentang kecerdasan
buatan untuk pembelajaran menulis bahasa Inggris.
Keterampilan menulis bagi sebagian siswa merupakan
keterampilan yang tidak mudah, karena dalam menulis
memerlukan pengetahuan yang cukup dalam penguasaan
kosakata, gramatika, dan penyusunan kalimat. Selain itu menulis
memerlukan ketrampilan bagaimana mengartikulasikan ide
dalam bentuk tulisan (Richards, 2010). Sebelum membahas
tentang bagaimana kecerdasan buatan bisa membantu siswa
menulis, perlu dilihat keterampilan dasar yang diperlukan siswa
dalam menulis. Salah satu keterampilan paling dasar untuk
menulis adalah membaca - kemampuan membaca dan
memahami teks. Untuk menulis, siswa perlu terlebih dahulu bisa
melafalkan kata-kata asing (decoding) dan mengenali banyak kata.
Kemudian siswa perlu memahami arti rangkaian kata, kalimat,
dan paragraf. Memiliki kosakata yang baik sangat diperlukan
dalam hal ini, dan kosakata baru kebanyakan dipelajari melalui
membaca. (Renandya, 2007). Tanpa keterampilan ini, sulit bagi
siswa untuk mulai menulis. Mereka kemungkinan akan kesulitan
mengeja dan membuat teks yang bermakna. Mereka juga akan

18 Gumawang Jati, Kecerdasan Buatan


kesulitan merevisi dan mengedit tulisan mereka sendiri. Dalam
hal ini kecerdasan buatan dapat membantu anak-anak yang
memiliki tantangan membaca. Misalnya, jika mereka kesulitan
mengucapkan kata-kata, text-to-speech (seperti disebutkan diatas)
dapat melafalkan kata-kata yang telah mereka tulis dengan
lantang. Beberapa aplikasi text-to-speech membacakan kata-kata
saat mereka mengetiknya, yang bisa membantu saat mengedit.
Selain ketrampilan ini, untuk siswa SD, dan SMP juga
memerlukan keterampilan transkripsi meliputi tulisan tangan,
mengetik, dan mengeja. Beberapa siswa kesulitan mengeja kata
kata dan memerlukan bantuan kecerdasan buatan. Kecerdasan
buatan seperti dictation (ucapan-ke-teks) dan word prediction dapat
membuat transkripsi lebih mudah. Spellcheck juga merupakan alat
yang bisa digunakan siswa dalam menulis. Selain itu siswa juga
perlu tahu bagaimana menyusun kalimat yang masuk akal. Siswa
seringkali kesulitan memahami dan menggunakan struktur
kalimat yang benar. Mereka mungkin tidak memahami
penempatan kata kerja atau bentuk kata kerja. Mereka mungkin
juga menggunakan kalimat yang terlalu sederhana, tidak lengkap,
atau mereka mungkin merangkai banyak ide menjadi kalimat
yang sangat panjang. Menggunakan tanda baca yang benar

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 19


(seperti titik, koma dan apostrof), kapan harus menggunakan
huruf kapital bisa menjadi tantangan juga. Selain tantangan yang
sudah disebutkan ada tantangan yang perlu dihadapi untuk
proses menulis. Siswa perlu dibekali dengan keterampilan
merencanakan, membuat draft, merevisi dan mengedit. Para
peneliti telah menemukan bahwa penulis yang baik
merencanakan apa yang akan mereka tulis melalui catatan singkat
sebelum mereka menulis draft pertama. (McGuire, 2009).
Kecerdasan Buatan Untuk Membantu Siswa Menulis
Siswa seringkali tidak mempunyai ide atau kesulitan
mengembangkan ide untuk menulis, apalagi kalau topik
ditentukan oleh guru. Kecerdasan buatan yang satu ini,
https://www.Essaybot.com/ bisa membantu memberikan ide.
Untuk mencoba dan eksplorasi silakan signup di
https://www.Essaybot.com/ untuk membuat akun, langkahnya
seperti waktu membuat akun email. Setelah mempunyai akun,
bisa bereksplorasi dengan menuliskan judul dan prompt, Essaybot
membantu dengan memberikan beberapa paragraf sebagai
inspirasi (lihat gambar 1) Essaybot juga bisa membantu
memparafrasekan kalimat atau paragraf. Essaybot juga bisa
merekomendasikan sources dan citation (lihat gambar 2).

20 Gumawang Jati, Kecerdasan Buatan


Gambar 1. Beberapa Paragraf Pilihan Essaybot

Gambar 2. Cara Menambahkan Resource Di Essaybot

Setelah mendapatkan ide, sumber sumber dan beberapa


contoh paragraph, siswa tentunya bisa mulai menulis draft
pertamanya. Jadi Essaybot, bisa digunakan untuk memperkaya
pengetahuan siswa tentang suatu topik tertentu sebelum mulai

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 21


menulis draft pertamanya. Misalnya, sebelum menggunakan
Essaybot, siswa diberikan topik untuk menulis essay, misalnya “The
pros and cons of allowing cell phones in schools” dan kemudian topik ini
didiskusikan di kelas untuk mengetahui pendapat para siswa. Jika
tidak memungkinkan untuk didiskusikan di kelas, bisa
didiskusikan secara sinkron atau asinkron online, misalnya
menggunakan telegram group, whatsapp group, atau alat teknologi
yang lain. Setelah diskusi untuk mendapatkan pandangan dari
kelas, siswa bisa diminta untuk menggunakan Essaybot, dengan
tujuan untuk mendapatkan pandangan orang lain yang sudah
pernah dipublikasikan. Dengan demikian, siswa mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang topik mengenai “The pros and
cons of allowing cell phones in schools”. Kemudian bagaimana
penulisan paragraf yang baik atau esai yang baik dijelaskan dan
dicontohkan.
Pada waktu siswa menulis draft baik satu paragraf,
beberapa paragraf atau esai, ada banyak aplikasi yang bisa
digunakan, misalnya Outwrite, prowritingaid, dan paperrater. Dengan
bantuan kecerdasan buatan, siswa bisa belajar gramatika, ejaan,
padan kata dan menyusun kalimat. Kecerdasan buatan ini dapat
mendeteksi kesalahan siswa dalam menulis dan memberi mereka

22 Gumawang Jati, Kecerdasan Buatan


umpan balik. Pemeriksaan tata bahasa penting dalam penulisan
teks dan pembelajaran bahasa (Mozgovoy, 2011). Mari kita lihat
beberapa kecerdasan buatan ini dan fitur yang disediakannya.
Outwrite, https://www.Outwrite.com/ (freemium - ada fasilitas yang
gratis dan berbayar) tidak hanya memeriksa tata bahasa, tetapi
bisa memberikan saran dalam membuat kalimat supaya jelas dan
ringkas, memparafrasekan kalimat, dan mendeteksi plagiarisme.
Outwrite menyediakan ekstensi browser untuk Chrome. Setelah
mengaktifkan Outwrite pada panel Chrome, aplikasi ini akan
bekerja secara otomatis, misalnya memeriksa gramatika (gratis),
memberi saran dan memeriksa ejaan (gratis). Pada waktu siswa
menulis draft paragraph misalnya, Outwrite akan memeriksa
gramatika, ejaan, dan tanda baca. (Lihat gambar 3).

Gambar 3. Panel Outwrite Waktu Memeriksa Paragraph

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 23


Dengan demikian, kecerdasan buatan memberikan masukkan
kepada siswa tentang gramatika, ejaan dan tanda baca, guru bisa
memberikan masukkan mengenai alur pemikiran dan argumen
yang disampaikan. Kecerdasan buatan yang lain, prowritingaid
(https://prowritingaid.com/) mempunyai beberapa fitur menarik
untuk dieksplorasi. Dibandingkan dengan Outwrite, prowritingaid
mempunyai fitur yang lebih lengkap. Seperti fitur panduan
kontekstual (contextual guidance), yang mengamati kata dan kalimat
dalam konteks keseluruhan teks, tidak dimiliki oleh Outwrite (lihat
gambar 4). Prowritingaid mempunyai fitur writing style, seperti
general, academic, technical, dan creative English (lihat gambar 5).

Gambar 4. Panel Prowritingaid Dalam Memilih Kontek Penulisan

24 Gumawang Jati, Kecerdasan Buatan


Prowritingaid menyediakan menu yang cukup lengkap pada
dashboard (lihat gambar 6). Sebaiknya siswa diperkenalkan pada
Outwrite terlebih dahulu untuk membiasakan bekerja dengan
kecerdasan buatan, terutama terbiasa dengan umpan balik yang
diberikan dan kemudian memperbaiki tulisannya. Setelah siswa
bereksplorasi cukup dengan Outwrite (terutama untuk cek ejaan
dan gramatika), baru dikenalkan pada prowritingaid. Dengan
demikian, siswa tidak mengalami kesulitan dalam merespon
umpan balik dari kecerdasan buatan untuk menyempurnakan
tulisannya.

Gambar 5. Panel Prowritingaid Dalam Memilih Style Penulisan

Gambar 6. Panel Prowritingaid

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 25


Beberapa catatan tentang kecerdasan buatan untuk
menulis yang sudah dibahas sebelumnya; cukup mudah untuk
digunakan oleh siswa dan memberikan umpan balik dalam waktu
yang cukup singkat. Dalam hitungan menit bahkan detik, bukan
dalam hitungan hari atau minggu, siswa sudah mendapatkan
umpan balik. Bayangkan jika tidak menggunakan kecerdasan
buatan, dibutuhkan beberapa hari untuk mendapatkan umpan
balik tentang tulisannya dari guru. Dengan bantuan kecerdasan
buatan, umpan balik mengenai ejaan dan tata bahasa menjadi
sangat singkat. Dalam hal ini guru bisa memberikan beberapa
tugas sekaligus supaya siswa belajar memperbaiki ejaan dan
gramatikanya secara mandiri. Dengan demikian, siswa
mendapatkan umpan balik dari kecerdasan buatan, kemudian
membaca kembali dan memperbaiki tulisannya dan berlatih
untuk menjadi pembelajar mandiri (Cotos, 2011). Guru
memberikan umpan balik mengenai alur tulisan, makna,
penjelasan dan argumentasi yang dituliskan oleh siswa.
Setelah Essaybot, Outwrite dan prowritingaid diperkenalkan ke
siswa dan siswa sudah terbiasa dengan kecerdasan buatan,
paperrater (https://www.paperrater.com) bisa diperkenalkan. Seperti
kecerdasan buatan untuk menulis yang sudah diulas diatas,

26 Gumawang Jati, Kecerdasan Buatan


paperrater mengklaim setara dengan editor profesional saat
memeriksa materi karena menggabungkan machine learning, natural
language processing, data mining, computational linguistics, dan information
gathering secara bersinergi dan bersamaan melakukan tugasnya.
Untuk menentukan koreksi yang harus dilakukan dengan benar,
paperrater meminta pengguna untuk mengidentifikasi materi,
apakah untuk keperluan menulis akademik tingkat sekolah
menengah, universitas, atau pascasarjana. Setelah itu, aplikasi
meminta pengguna untuk mengklasifikasikan apakah makalah
tersebut merupakan essay, business correspondence, personal narrative,
atau jenis lainnya (lihat gambar 7). Setelah tulisan diproses,
kecerdasan buatan akan memberikan analisa tentang, spelling,
grammar, word choice, style, vocabulary words, (lihat gambar 8) dan
memberikan nilai (lihat gambar 9), sehingga siswa bisa
memperbaiki tulisannya untuk mendapatkan nilai dari paperrater
yang lebih baik.

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 27


Gambar 7. Panel Paperrater Dalam Memilih Jenis Penulisan

Gambar 8. Panel Paperrater Dalam Memilih Analisa Penulisan

Gambar 9. Panel Paperrater Dalam Memberikan Nilai Pada Penulisan

28 Gumawang Jati, Kecerdasan Buatan


Semoga uraian beberapa kecerdasan buatan untuk menulis
diatas memberikan gambaran tentang kemampuan kecerdasan
buatan dan memberikan ide untuk mencoba
mengintegrasikannya dalam pelajaran menulis.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa kecerdasan buatan
untuk menulis, dalam konteks pengajaran menulis dalam bahasa
Inggris, bisa digunakan sebagai alat bantu. Sebelum kecerdasan
buatan ini ditemukan, siswa mendapatkan umpan balik tentang
tata bahasa, ejaan dan style tentang tulisannya dari guru
membutuhkan waktu yang cukup lama, bisa dalam hitungan hari
atau minggu. Dengan batuan kecerdasan buatan, siswa bisa
mendapatkan umpan balik secara langsung. Tentu saja guru perlu
mengenali dengan baik setiap kecerdasan buatan, supaya bisa
memberikan panduan pada siswa, seperti diuraikan diatas,
sebaiknya yang diperkenalkan yang sederhana terlebih dahulu,
Outwrite, prowritingaid dan kemudian paperrater. Dari sisi
penggunaannya, guru disarankan untuk memberikan contoh
bagaimana menggunakannya, dan memberikan penjelasan
tentang tata bahasa, misalnya mengulas tulisan salah satu siswa
(sebaiknya anonim) dengan salah satu kecerdasan buatan di
dalam kelas. Dengan demikian, siswa bisa menggunakan

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 29


kecerdasan buatan secara efektif dan mandiri. Jika siswa sudah
bisa menggunakannya secara efektif dan mandiri, guru bisa lebih
fokus dalam memberikan umpan balik tentang alur tulisan, cara
menyampaikan penjelasan, contoh dan argumen pada tulisan
siswa. Masih banyak alat teknologi lain yang bisa membantu guru
dan siswa dalam pembelajaran menulis selain kecerdasan buatan.
Percepatan kemajuan teknologi sangat cepat, saya yakin akan ada
banyak kecerdasan buatan bermunculan dengan kecanggihannya
masing masing. Selamat mencoba kecerdasan buatan yang sudah
kita ulas dan selamat bereksplorasi dengan alat teknologi yang
lain.
Daftar Pustaka
Cotos, E. 2011. Potential of automated writing evaluation feedback. CALICO
Journal 28(2), 420-459.
https://Journal.Equinoxpub.Com/Calico/Article/View/17123/195
93
Frankenfield, A. (2021). Artificial Intelligence (AI).
https://Www.Investopedia.Com/Terms/A/Artificial-Intelligence
Ai.Asp
Lotze, N. (2016). Chatbots eine linguistische analyse.
https://Library.Oapen.Org/Bitstream/Handle/20.500.12657/27255
/1002758.Pdf?Sequence=1&Isallowed=Y
Mcguire, L., Lay, K. And Peters, J. (2009). Pedagogy of reflective writing in
professional education. Journal of the Scholarship of Teaching and Learning,
9(1), 93-107.
https://Scholarworks.Iu.Edu/Journals/Index.Php/Josotl/Article/Vi
ew/1718/1716

30 Gumawang Jati, Kecerdasan Buatan


Mozgovoy, M. (2011). Dependency-based rules for grammar checking with language tool.
Proceedings Of The Federated Conference On Computer Science And Information
System, 209-212. https://Annals
Csis.Org/Proceedings/2011/Pliks/14.Pdf
Renandya W. A. (2007). The power of extensive reading. RELC Journal,
38(2),133-149.
Richards, J. C. & Renandya, W. A. (Eds.). (2010). Methodology in language teaching.
CUP.
Walker, M., Stent, A., Mairesse, F., & Prasad, R. (2007). Individual and domain
adaptation in sentence planning for dialogue. Journal of Artificial
Intelligence Research, 30, 413-456. https://doi.org/10.1613/jair.2329

Rekomendasi Sitasi
Jati, G. (2021). Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) untuk menulis
dalam pembelajaran bahasa Inggris. In G. Jati & F. Dewi (Eds.),
Teknologi dan pembelajaran bahasa Inggris (Hal. 13-29). Perkumpulan
Pengajar Bahasa Berbasis Teknologi Informasi (iTELL).

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 31


32

2
MEMBUAT PODCAST DI KELAS BERBICARA
BAHASA INGGRIS
Yustinus Calvin Gai Mali

Perkenalan Dengan Podcast


Apa itu podcast? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), kata podcast dipadankan dengan kata siniar (lihat:
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/siniar). Secara teknis,
podcast merupakan suatu data audio, biasanya di dalam format
mp3, yang bisa didengarkan secara online menggunakan
perangkat bergerak elektronik seperti laptop, telepon pintar, atau
tablet, dan juga bisa diunduh dari internet (sebagai gambaran,
kunjungi https://www.npr.org/programs/). Ada dua jenis
podcast yang umum dijumpai di internet. Yang pertama adalah
podcast monolog yang memberikan suatu informasi tertentu
kepada para pendengar (contohnya, Ahlquist, 2020). Yang kedua
adalah podcast percakapan santai antara pemilik podcast dan
narasumbernya tentang suatu topik tertentu (contohnya, Brown,
2020).
Seiring dengan perkembangannya, podcast saat ini juga
tersedia di dalam bentuk video yang bisa diakses secara gratis di
YouTube (contohnya, Corbuzier, 2020; mmmEnglish, 2017) dan
juga sudah banyak digunakan untuk tujuan pembelajaran bahasa
Inggris (Başaran & Cabaroğlu, 2014; Rosell-Aguilar, 2007)
dimana siswa bisa ditugaskan untuk membuat podcast mereka
sendiri atau mendengarkan podcast yang sudah tersedia di internet
(Hew, 2009). Pada bab ini, penulis akan secara khusus membahas
suatu proyek pembuatan podcast oleh siswa di kelas berbicara
dalam bahasa Inggris sebagai bahasa asing (EFL), khususnya bagi
siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) atau perguruan tinggi.
Namun demikian, para pembaca, khususnya guru bahasa Inggris,
bisa memodifikasi gagasan, kegiatan, atau tahapan yang dibahas
untuk bisa diaplikasikan di kelas bahasa serupa di tingkat Sekolah
Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Dasar (SD).
Mengapa siswa perlu membuat podcast mereka sendiri?
Setidaknya, ada 4 alasan. Yang pertama, membuat podcast bisa
menjadi suatu cara yang baru untuk berlatih berbicara dalam
bahasa Inggris daripada sekedar melakukan presentasi dengan

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 33


menggunakan PowerPoint yang sudah biasa dilakukan oleh siswa
di dalam kelas. Yang kedua, di podcast mereka, siswa bisa
membahas berbagai topik yang mereka sukai atau yang berkaitan
dengan hidup mereka sehari-hari, misalnya tentang cita-cita di
masa depan, budaya keluarga mereka, alasan dapat berhasil di
suatu kelas, respon terhadap suatu kejadian, atau topik terkait
lainnya. Menugasi siswa untuk membuat podcast dengan topik
topik tersebut penting karena, menurut Egbert et al. (2021), siswa
akan semakin terlibat dan termotivasi untuk mengerjakan suatu
tugas sebaik-baiknya ketika mereka bisa membuat koneksi
personal dengan apa yang dikerjakannya. Yang ketiga, siswa juga
dapat berperan aktif untuk membagikan konten positif untuk
memerangi hoax yang sudah banyak berkeliaran di dunia maya
saat ini. Yang keempat, membuat podcast sendiri mungkin saja
bisa menjadi cara untuk membantu siswa menemukan passion nya
sebagai pembuat podcast profesional di masa depan.
Tahapan Untuk Membuat Podcast
Penulis akan menjabarkan 8 tahapan dengan asumsi bahwa
pandemi Covid-19 sudah berangsur hilang dan siswa, walaupun
dengan protokol kesehatan yang ketat, sudah bisa kembali belajar
di dalam kelas.

34 Yustinus Calvin Gai Mali, Membuat Podcast


1. Tahap 1: Menjelaskan Capaian Pembelajaran
Guru bisa memulai dengan menjelaskan beberapa
capaian pembelajaran bahasa yang ingin dicapai.
Misalnya, di akhir proyek podcast, siswa diharapkan untuk
bisa:
a. Mengkomunikasikan gagasan yang mudah dipahami
oleh para pendengar podcast dari kalangan awam (atau
non-experts)
b. Menulis naskah podcast dengan menggunakan tata
bahasa (atau Grammar) dengan benar sesuai dengan
fokus pembelajaran saat proyek ini dibuat
c. Mengucapkan kata bahasa Inggris dengan benar
d. Memberikan umpan balik positif tentang akurasi tata
bahasa dan pengembangan ide pada suatu naskah
podcast yang ditulis oleh siswa
Selain capaian pembelajaran bahasa, guru juga bisa
mempunyai capaian pembelajaran yang terkait dengan
teknologi. Misalnya, di akhir proyek podcast, siswa
diharapkan untuk bisa:
a. Mengolah sumber bahan digital menjadi suatu kreasi
yang baru

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 35


b. Mengkomunikasikan ide kompleks secara jelas dan
efektif melalui pembuatan atau penggunaan berbagai
macam objek digital
c. Mempublikasikan konten dengan pembahasan dan
media tertentu yang disesuaikan secara khusus untuk
para penikmat konten yang dituju
(Diadaptasi dan diterjemahkan oleh penulis dari
International Society for Technology in Education
(ISTE), 2021)
Guru juga bisa membaca TESOL Technology Standard
Framework (lihat Healey et al., 2008, hal. 21-28) untuk
membantu mereka memformulasikan capaian teknologi
terkait lainnya. Walaupun standar teknologi dari Healey
et al. didesain oleh para ahli teknologi yang berasal dari
berbagai kampus di Amerika Serikat, guru di Indonesia
tentu saja dapat memodifikasi gagasan maupun indikator
capaian pembelajaran yang ada di dalamnya untuk dapat
sesuai dengan kondisi pembelajaran yang ada di kelas
mereka saat ini. Pada tahap pertama ini, guru juga bisa
memutarkan beberapa episode podcast untuk siswa agar
mereka lebih mengenal podcast. Selain contoh yang ada di

36 Yustinus Calvin Gai Mali, Membuat Podcast


bagian pendahuluan, guru juga bisa mendapat beberapa
sumber podcast pendidikan berbahasa Inggris lainnya dari
Ray (2015), misalnya:
a. EdChat Radio
(https://www.bamradionetwork.com/genre/edcha
t-radio/)
b. Angela Watson’s Truth for Teachers
(https://podcasts.apple.com/us/podcast/id954139
712)
c. Talks with Teachers (http://talkswithteachers.com/)
2. Tahap 2: Menentukan Jenis Podcast
Menugasi siswa untuk membuat podcast monolog singkat
(3 sampai 5 menit) bisa menjadi pilihan yang tepat
terlebih jika podcast masih merupakan hal yang baru untuk
guru dan siswa. Selanjutnya, siswa bisa diberi kebebasan
untuk memilih topik podcast yang mereka sukai. Yang
terpenting, guru harus mengingatkan siswa untuk tidak
membahas isu sensitif terkait dengan suku, agama, ras,
dan antargolongan (SARA), membagikan gagasan negatif
atau berita bohong (hoax), dan menggunakan kata atau

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 37


frasa berbau umpatan atau menjelekkan suatu pihak
tertentu di podcast mereka.
3. Tahap 3: Menjelaskan Rubrik Penilaian
Guru bisa menggunakan rubrik penilaian sederhana (lihat
Tabel 1). Rubrik ini perlu dijelaskan di awal proyek agar
siswa mengetahui hal-hal apa saja yang diharapkan dari
podcast mereka. Guru juga bisa mengajak siswa untuk
mendiskusikan apa saja yang perlu ditambahkan,
dikurangi, ataupun diklarifikasi di dalam rubrik tersebut.
Setelah diskusi selesai dan rubrik penilaian disetujui,
siswa dapat memulai untuk mengonsultasikan topik
podcast mereka kepada guru untuk mendapat persetujuan
sebelum berlanjut ke tahap selanjutnya.
Tabel 1. Rubrik Penilaian Podcast

MeetYesthe Expectations? Total


Expectations No Points
(10-6 points) (5-1
points)
● Introduction:
Has catchy introduction, ____/10
describes the topic, tell
who is speaking and
where the speaker is
located
● Content:
Has an original content, ____/10

38 Yustinus Calvin Gai Mali, Membuat Podcast


MeetYesthe Expectations? Total
Expectations No Points
(10-6 points) (5-1
points)
presents understandable
ideas, uses non-technical
vocabulary, focuses on
the decided topic,
summarizes key
information at the end
of the podcast
● Delivery:
Well rehearsed, smooth ____/10
delivery, clear
enunciation, and
language expressions
● Technical production:
Transitions are smooth ____/10
and spaced correctly
without dead space; the
volume of voice, music,
and effects enhance the
presentation.
General Comments: Total
Points:
____/40

Catatan. Rubrik penilaian ini diadaptasi dari Bell (2018).


4. Tahap 4: Menulis Naskah Podcast
Naskah perlu dipersiapkan agar siswa bisa
menyampaikan informasi di dalam Podcast dengan lancar
dan jelas. Guru bisa meminta siswa untuk mengetik

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 39


naskahnya dan menggunakan beberapa web gratis seperti
Grammarly, www.grammarly.com, atau Paperrater,
www.paperrater.com yang bisa mendeteksi kesalahan tata
bahasa sederhana pada naskah. Untuk tujuan yang sama,
siswa juga dapat mengetik naskahnya menggunakan
Google Docs (https://www.google.com/docs/about/).
Selanjutnya, kesalahan tata bahasa yang mungkin
terdeteksi di web tersebut maupun di Google Docs
harapannya bisa menjadi input pembelajaran bahasa
Inggris bagi siswa.
Selain menggunakan teknologi, guru bisa meminta siswa
untuk bekerja di dalam kelompok kecil (3 sampai 4
siswa), saling menukarkan naskah podcast yang sudah
diketik satu sama lainnya, lalu melakukan ulasan sejawat
(peer review) pada naskah yang diterima. Gambarannya, jika
ada 4 siswa di dalam satu kelompok, maka setiap siswa
akan membaca 3 naskah temannya. Fokus ulasannya bisa
terkait dengan tata bahasa, pengembangan ide di dalam
naskah, atau hal lainnya sesuai dengan kesepakatan kelas.
Anggota kelompok juga bisa memberikan umpan balik
positif pada naskah berdasarkan rubrik penilaian (lihat

40 Yustinus Calvin Gai Mali, Membuat Podcast


Tabel 1). Selanjutnya, siswa merevisi naskah podcast
mereka berdasarkan umpan balik dari teman
sekelompok. Karena konteks proyek podcast ini ada di
kelas EFL, guru bisa mendorong siswanya untuk
menggunakan bahasa Inggris saat berdiskusi dengan
teman sekelompok dan menulis umpan baliknya.
Pada tahap ini, siswa juga bisa mulai berlatih
mengucapkan beberapa kata bahasa Inggris yang ada di
naskah yang sekiranya masih asing bagi mereka. Secara
khusus, siswa bisa menggunakan kamus online gratis,
Oxford online dictionary
(https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/), yang
menyediakan transkripsi fonetik suatu kata bahasa
Inggris untuk memandu siswa mengucapkan suatu kata
dengan benar.

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 41


Gambar 10. Transkripsi Fonetik dari Kata “Development”

5. Tahap 5: Merekam Suara


Setelah naskah podcast jadi, siswa bisa memulai untuk
merekam suara mereka menggunakan telepon pintar atau
alat perekam suara lainnya yang memungkinkan siswa
untuk:
a. mendengarkan suara mereka kembali secara offline
tanpa harus khawatir dengan kuota internet
b. memeriksa kembali apakah informasi yang mereka
sampaikan sudah sesuai dengan rubrik penilaian
c. melakukan perekaman suara berulang kali hingga
mereka yakin dengan apa yang sudah disampaikan
(misalnya dari segi isi, kelancaran berbicara, maupun
dalam pengucapan kata bahasa Inggris)

42 Yustinus Calvin Gai Mali, Membuat Podcast


Proses perekaman bisa dilakukan di luar kelas atau
dimanapun siswa merasa nyaman. Namun, pastikan
tempat tersebut senyap agar proses perekaman suara
tidak terganggu dengan suara sekitar. Proses perekaman
sebaiknya juga tidak dilakukan saat turun hujan.
Dalam proses perekaman ini, guru bisa mendorong
siswanya untuk mendengarkan suara berulang (3 hingga
5) kali lalu menulis kekuatan dan kelemahan yang mereka
rasakan pada rekaman suara mereka (misalnya, apakah
ada pengucapan kata bahasa Inggris yang kurang jelas dan
tepat? apakah siswa menyampaikan informasi dengan
menggunakan vocabulary yang sama dan berulang?) Selain
bisa menjadi masukan positif untuk masing-masing siswa
sendiri, guru juga bisa meminta setiap siswa untuk
nantinya membagikan catatan mereka tersebut di dalam
kelas untuk menjadi sarana refleksi dan pembelajaran
antar siswa.
6. Tahap 6: Menambah Efek Musik
Siswa mungkin ingin menambah semacam opening sound di
awal podcast atau efek musik yang melatari suara mereka
di sepanjang podcast untuk menciptakan suasana tertentu

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 43


(misalnya, gembira, semangat, hingga melankolis) di
telinga para pendengar. Beberapa web seperti Bensound
(https://www.bensound.com/) atau Freesound
(https://freesound.org/), menyediakan banyak pilihan
data audio mp3 yang bisa diunduh secara gratis tentunya
dengan mengutip web tersebut dengan benar. Untuk
penjelasan lebih detail tentang cara pengutipan sumber
elektronik dari internet, silahkan kunjungi web Purdue
Online Writing Lab berikut:
https://owl.purdue.edu/owl/research_and_citation/ap
a_style/apa_formatting_and_style_guide/reference_list
_electronic_sources.html. Pada tahap ini, guru juga bisa
mengenalkan siswa pada web Creative Commons
(https://creativecommons.org/about/cclicenses/) yang
berisi informasi tentang hal apa saja yang bisa atau tidak
boleh dilakukan oleh siswa (dan guru) ketika mereka
mengunduh lalu menggunakan suatu data (musik) dari
internet. Dengan memahami informasi yang di web
Creative Commons tersebut bersama-sama, (guru dan) siswa
harapannya bisa semakin sadar akan dan tidak melanggar
hak cipta seseorang atau suatu produk di internet, terlebih

44 Yustinus Calvin Gai Mali, Membuat Podcast


jika siswa berencana untuk mempublikasikan podcast
mereka secara online.

Gambar 11. Salah Satu Informasi Pada Web “Creative Common Licenses”

Siswa kemudian dapat menggunakan perangkat lunak,


Open Shot Video Editor (https://www.openshot.org/),
untuk menggabungkan data rekaman suara dan efek
musik podcast mereka untuk menjadi satu data (mp4).
Penulis mengenalkan perangkat lunak tersebut karena
bisa diunduh secara gratis dari internet, digunakan secara
offline, dan (menurut pengalaman penulis) dioperasikan
dengan mudah di komputer atau laptop. Untuk panduan
lengkap tentang penggunaan perangkat lunak tersebut,
silahkan tonton video YouTube dari Jonathan Thomas,
https://www.youtube.com/watch?v=VE6awGSr22Q.

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 45


Selanjutnya, siswa dapat menggunakan web online audio
converter (https://online-audio-converter.com/) untuk
mengubah data podcast (mp4) mereka ke format lainnya
(misalnya mp3, wav, or m4a).
7. Step 7: Mempublikasikan Podcast Secara Online
Penelitian menunjukkan bahwa siswa akan bekerja lebih
keras dan menunjukkan upaya yang lebih serius untuk
menyelesaikan suatu tugas ketika ada orang lain di luar
kelas, selain guru dan teman sekelas, yang akan melihat
hasil pekerjaan mereka (Egbert, 2017). Siswa dapat
menggunakan web anchor.fm (https://anchor.fm/) untuk
mempublikasikan podcast mereka secara gratis sehingga
banyak orang di luar kelas dapat mengakses dan
mendengarkan podcast mereka melalui berbagai macam
platform online, seperti Apple Podcast, Breaker, Google
Podcast, Overcast, Pocket Casts, Radio Public, Spotify, and
Sticher. Sebagai pilihan, siswa juga dapat mempromosikan
podcast mereka dengan cara mendesain poster untuk satu
episode podcast di web Canva (https://www.canva.com/),
memilih salah satu desain poster yang tersedia, dan
mengedit desainnya sesuai dengan topik podcast mereka.

46 Yustinus Calvin Gai Mali, Membuat Podcast


Gambar 12. Desain Poster Yang Tersedia di Canva

Selanjutnya, siswa dapat mengunduh poster tersebut


secara gratis lalu membagikannya ke akun sosial media
untuk meminta lebih banyak orang mendengarkan podcast
mereka. Guru juga bisa memberikan tantangan untuk
siswa agar mereka meminta umpan balik konstruktif dari
para pendengar podcast di sosial media mereka. Lalu, guru
bisa meminta siswa untuk mengumpulkan umpan balik
yang didapat sebagai salah satu aspek penilaian proyek
podcast ini.

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 47


8. Step 8: Merefleksikan Proyek Podcast Yang
Sudah Dikerjakan
Setelah tahap 1 hingga 7 selesai dikerjakan, guru bisa
meminta siswa untuk mengumpulkan podcast mereka.
Secara teknis, guru bisa membuat satu folder di Google
Drive lalu meminta siswa untuk mengunggah data podcast
mereka di folder tersebut. Setelah semua data terkumpul,
guru dapat membimbing siswa untuk merefleksikan
proyek podcast ini dengan menjawab pertanyaan reflektif
berikut ini (diterjemahkan oleh penulis dari Pappas,
2010):
a. Apakah saya berhasil memenuhi capaian pembelajaran
dari proyek ini? Jelaskan alasannya!
b. Apa saja tantangan yang saya alami selama proses
pengerjaan proyek ini?
c. Langkah apa saja yang bisa saya ambil untuk bisa
menghadapi tantangan tersebut?
d. Bagaimana saya bisa mengadaptasi proses kerja yang
saya lakukan, konten, atau produk podcast yang saya
buat di proyek ini untuk dapat bisa membuat
perubahan positif di dalam hidup saya?

48 Yustinus Calvin Gai Mali, Membuat Podcast


e. Masukan konstruktif apa saja yang bisa saya
sampaikan kepada guru atau teman sekelas untuk
peningkatan kualitas proyek podcast ini di masa
mendatang?
Kegiatan refleksi ini dapat dilakukan secara tertulis
maupun secara lisan bergantung pada kesepakatan yang
dibuat di dalam kelas. Yang terpenting pada tahap ini
adalah guru harus terbuka dan mau mendengar apa yang
disampaikan siswa tentang proyek podcast ini, lalu
menjadikannya sebagai masukan untuk peningkatan
kualitas proyek tersebut.
Hal lain apakah yang guru sebaiknya lakukan untuk
memastikan bahwa proyek podcast ini dapat berjalan
dengan lancar? Yang pertama, ajarkan dan
demonstrasikan cara penggunaan teknologi yang akan
digunakan dalam proyek ini, misalnya cara
menggabungkan data di perangkat lunak Open Shot Video
Editor atau cara mengunggah data podcast ke web anchor.fm.
Kegiatan ini bisa berlangsung beberapa kali sesuai dengan
tahap-tahap pembuatan podcast. Yang terpenting adalah
siswa mempunyai kesempatan untuk mencoba teknologi

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 49


bersama-sama. Siswa yang dianggap melek teknologi
dapat ditugaskan secara khusus menjadi asisten guru di
dalam kelas untuk membantu mendemonstrasikan
teknologi kepada setiap siswa yang mungkin masih
mengalami kesulitan untuk mengoperasikan teknologi
tertentu. Hal ini akan sangat membantu khususnya jika
ada banyak siswa (misalnya lebih dari 30) di dalam satu
kelas. Guru benar-benar harus memastikan bahwa setiap
siswa mampu menggunakan setiap teknologi yang akan
digunakan. Jika tidak, proses pengerjaan proyek tentu
akan terhambat.
Yang kedua, jelaskan dan diskusikan dengan siswa
tentang pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan oleh setiap
teknologi (Egbert, 2017) yang akan digunakan di dalam
proyek podcast ini seperti yang dipaparkan di Tabel 2.
Penjelasan ini akan membantu siswa untuk memahami
mengapa mereka harus menggunakan suatu teknologi
dan memaksimalkan semua potensi yang dimiliki oleh
setiap teknologi tersebut. Janganlah menggunakan
teknologi hanya karena ingin terlihat keren di mata siswa

50 Yustinus Calvin Gai Mali, Membuat Podcast


tanpa mengetahui potensi dari atau alasan mengapa
menggunakan suatu teknologi tertentu.
Tabel 2. Teknologi Yang Digunakan Di Dalam Proyek Podcast Ini

No Teknologi Apa Yang Bisa Dikerjakan


1 Bensound Menyediakan data musik (mp3)
2 Freesound yang bisa diunduh secara gratis
Mendesain poster untuk suatu
3 Canva
episode podcast
Menginformasikan berbagai jenis
Creative Commons
4 lisensi penggunaan materi di
Licenses
internet
5 Grammarly Mendeteksi kesalahan tata bahasa
6 Paperrater dan ejaan pada naskah podcast yang
7 Google Docs diketik dalam bahasa Inggris
Oxford Online Menunjukkan transkripsi fonetik
8
Dictionary dari suatu kata bahasa Inggris
Menggabungkan data rekaman
Open Shot Video
9 suara siswa dan efek musik
Editor
menjadi satu data podcast
Mengubah suatu data podcast
10 Online audio converter menjadi bentuk audio yang
berbeda
Mempromosikan suatu episode
11 Social media podcast ke lebih banyak orang di
luar kelas
Menyediakan video tutorial
12 YouTube videos tentang cara menggunakan suatu
perangkat

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 51


Yang ketiga, berikan instruksi tentang tahap (1-8)
pengerjaan proyek podcast dalam bentuk yang beragam,
misalnya secara tertulis, lisan, atau dalam bentuk visual.
Hal ini akan sangat membantu siswa yang mungkin
mempunyai disabilitas, menyukai metode belajar tertentu,
ataupun yang memerlukan tambahan waktu untuk
memahami instruksi yang diberikan oleh seorang guru
(Egbert, 2017). Contoh kongkritnya, guru dapat
menyediakan suatu modul sederhana tentang tahap
pembuatan podcast lalu membagikannya kepada siswa.
Pilihan lainnya adalah untuk merekam penjelasan guru
saat mendemonstrasikan suatu teknologi di laptop
dengan menggunakan perangkat lunak bernama
Screencast-O-Matic (https://screencast-o-
matic.com/home) atau FlashBack
(https://www.flashbackrecorder.com/express/).
Kemudian, guru dapat meletakkan rekaman instruksi
tersebut, misalnya pada Google Drive atau Learning
Management System (LMS) agar siswa dapat menonton dan
mempelajari rekamannya berulang kali di luar kelas.

52 Yustinus Calvin Gai Mali, Membuat Podcast


Yang terakhir, guru perlu memahami bahwa beberapa
siswa mungkin akan merasa terbebani dengan proses
pembuatan podcast ini. Oleh karena itu, guru sebisa
mungkin harus selalu hadir untuk siswanya, misalnya
dengan menjawab email siswa (dalam 1 x 24 jam) dan
membantu untuk mengatasi tantangan atau masalah yang
mereka temui saat proses pembuatan podcast. Tanpa
kehadiran guru, siswa mungkin akan kehilangan motivasi
untuk menyelesaikan proyek podcast ini dengan usaha
terbaiknya.
Penutup
Penulis berharap agar informasi yang dibagikan di bab ini
dapat menjadi petunjuk praktis untuk para guru bahasa Inggris
yang tertarik untuk mengerjakan proyek podcast serupa di kelas
EFL mereka. Tidak perlu menunggu lama, rencanakan ide
proyeknya dari sekarang secara sederhana, lalu mulai kerjakan
idenya. Setelahnya, berefleksi dan tingkatkan kualitas proyek
podcast nya di masa mendatang. Selamat mencoba!

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 53


Daftar Pustaka
Ahlquist, J. (Host). (2020, September 22). What is your why for leading online?
In Josie and the podcast. https://www.josieahlquist.com/podcast/what
is-your-why-for-leading-online/
Başaran, S., & Cabaroğlu, N. (2014). Language learning podcasts and learners’
belief change. The Electronic Journal for English as a Second Language, 17(4),
1–32.
Bell, A. (2018). Podcast rubric.
https://www2.uwstout.edu/content/profdev/rubrics/podcastrubric.
html
Brown, B. (Host). (2020, December 7). Brené with President Barack Obama
on leadership, family and service. In Dare to lead.
https://brenebrown.com/podcast/brene-with-president-barack
obama-on-leadership-family-and-service/
Corbuzier, D. (2020, September 9). Ade Rai akhirnya buka suara!! Ada apa
dibalik Covid!? (Ade Rai finally shares his thoughts!! What is behind Covid!?)
[Video]. YouTube.
https://www.youtube.com/watch?v=Rw_U6j2eErs
Egbert, J. (2017). Methods of education technology: Principles, practice, and tools. Open
Egbert,Educational
J., Shahrokni,Resources
S.A., Zhang,
(OER).
X., Abobaker,
https://opentext.wsu.edu/tchlrn445/
R., Bantawtook, P., He, H.,

Bekar, M., Roe, M.F. & Huh, K. (2021). Language task engagement:
An evidence-based model. The Electronic Journal for English as a Second
Language, 24(4), 1-34.
Healey, D., Hegelheimer, V., Hubbard, P., Ioannou-Georgiou, S., Kessler, G.,
& Ware, P. (2008). TESOL technology standards framework. Teachers of
English to Speakers of Other Languages, Inc. (TESOL).
https://www.tesol.org/docs/default
source/books/bk_technologystandards_framework_721.pdf?sfvrsn=
4bd0bee6_2
Hew, K. F. (2009). Use of audio podcast in K-12 and higher education: A
review of research topics and methodologies. Educational Technology
Research and Development, 57(3), 333–357. https://doi.org/10.1007/s
International Society for Technology in Education (ISTE). (2021). ISTE
standards for students. https://www.iste.org/standards/for-students
mmmEnglish. (2017, January 13). Build your English confidence [Video].
YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=FfwwDCzs2vE

54 Yustinus Calvin Gai Mali, Membuat Podcast


Naseri, S., & Motallebzadeh, K. (2016). Podcasts: A factor to improve Iranian
EFL learner’ self-regulation ability and use of technology. Educational
Technology and Society, 19(2), 328–339.
Pappas, P. (2010, January 5). The reflective student: A taxonomy of reflection
(Part 2). Copy/Paste. https://peterpappas.com/2010/01/reflective
student-taxonomy-reflection.html

Ray, B. (2015, May 25). Best education podcast. Edutopia.


https://www.edutopia.org/blog/best-education-podcasts-betty-ray
Rosell-Aguilar, F. (2007). Top of the pods - In search of a podcasting
“podagogy” for language learning. Computer Assisted Language Learning,
20(5), 471–492. https://doi.org/10.1080/09588220701746047

Rekomendasi Sitasi
Mali, Y, C, G. (2021). Membuat podcast di kelas berbicara bahasa Inggris. In
G. Jati & F. Dewi (Eds.), Teknologi dan pembelajaran bahasa Inggris (Hal.
30-53). Perkumpulan Pengajar Bahasa Berbasis Teknologi Informasi
(iTELL)

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 55


56

3
HYFLEX: BELAJAR DI KONTEKS HIBRIDA DAN
FLEKSIBEL DENGAN TEKNOLOGI
Made Hery Santosa

Belajar Hari Ini


Proses pembelajaran telah mengalami transformasi berkali
kali sesuai dengan jamannya. Ketika proses belajar lebih berpusat
pada siswa (student-centred) dalam dua dekade terakhir (Santosa,
2019; Wiraningsih & Santosa, 2020), pembelajaran serta merta
berubah menyesuaikan dengan tuntutan dan kondisi tersebut
(Huba & Freed, 2000; Zarouk dkk., 2018; Zucker & Fisch, 2019).
Generasi yang berbeda antara guru dan murid dengan
karakteristiknya masing-masing sangat mempengaruhi efektifitas
pembelajaran (Santosa, 2017). Peran guru tidak lagi menjadi
sentral sumber ilmu pengetahuan dan informasi saja, namun
bertambah luas menjadi kolega yang sama-sama belajar dengan
siswa yang bersikap terbuka terhadap perubahan yang sangat
cepat saat ini (Jagtap, 2016; Looney dkk., 2017; Malik dkk., 2011;
Murati, 2015). Tuntutan dan dinamika ini sangat mempengaruhi
seluruh proses pembelajaran dewasa ini.
Selain transformasi tersebut, saat ini juga sedang terjadi
pandemi panjang karena virus Covid19. Ketika masa pandemi,
proses pembelajaran di konteks yang disebut sebagai emergency
remote teaching – atau pembelajaran daring darurat – ini juga
mengalami penyesuaian (Hodges dkk., 2020). Proses persiapan,
pelaksanaan dan asesmen pembelajaran juga menerima akibat
dari pergeseran paradigma pembelajaran abad ke-21 dan situasi
terkini akibat Covid19. Ada banyak sekali isu yang muncul, mulai
dari perangkat dan fasilitas sampai kemampuan mengajar dalam
situasi pandemi ini (Aristovnik dkk., 2020; Atmojo & Nugroho,
2020; Cao dkk., 2020; Collie, 2021; Kuhfeld dkk., 2020; Mok dkk.,
2021; Moorhouse, 2020). Semuanya berlangsung dalam suasana
daring penuh dengan tetap harus memperhatikan proses
pelaksanaan belajar yang variatif, bermakna dan membuat siswa
aktif dan paham.
Dari hasil jajak pendapat dan wawancara informal dengan
beberapa guru di beberapa sesi webinar yang dilakukan penulis
untuk konteks pembelajaran daring, terdapat beberapa temuan
menarik dan penting. Seperti yang terlihat di Gambar 13 yang

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 57


menampilkan hasil jajak pendapat pembuatan video perkenalan
di awal pembelajaran.

Gambar 13. Jajak Pendapat Pembuatan Video Perkenalan di Awal


Pembelajaran di Masa Pandemi

Dalam hal ini, sekitar 79% guru merespon membuat video


di awal untuk memperkenalkan dirinya dan sisanya tidak. Temuan
ini menarik. Dalam konsep humanizing online learning, pembuatan
video di awal penting untuk mengenalkan diri lebih banyak
termasuk hal-hal ringan di luar konteks mata pelajaran (Pacansky
Brock, 2014; Weiss, 2000).
Dari aspek strategi pembelajaran di konteks pembelajaran
daring, hasil jajak pendapat di Gambar 14 menunjukkan temuan
temuan menarik.

58 Made Hery Santosa, Hyflex


Gambar 14. Jajak Pendapat Strategi Konteks Pembelajaran Daring di Masa Pandemi

Dari Gambar 14, ditemukan bahwa pemanfaatan platform


virtual seperti Google Classroom, WhatsApp, dan Telegram
cukup dominan. Ini menunjukkan pembelajaran berbantuan
teknologi menjadi dominan saat ini. Strategi pembelajaran lain,
seperti diskusi, tanya jawab, dan kuis menjadi pilihan guru-guru
di masa pandemi. Temuan ini penting untuk mengetahui strategi
pedagogis dan juga pemanfaatan teknologi relevan yang
digunakan dalam kondisi pembelajaran virtual saat ini. Hal ini
menunjukkan bahwa para guru berusaha mengintegrasikan
beberapa hal terkait seperti strategi dan alat bantu pembelajaran
di kelas-kelas mereka (Long dkk., 2019; Santosa & Priyanti, 2021).

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 59


Dari segi asesmen, beberapa hal menarik juga menjadi
temuan, seperti ditampilkan di Gambar 15.

Gambar 15. Jajak Pendapat Asesmen di Konteks Pembelajaran Daring di Masa Pandemi

Temuan ini juga penting. Gambar 15 menunjukkan bahwa


projek cukup dominan digunakan dalam pembelajaran di masa
pandemi ini oleh para guru. Hal ini dikombinasikan dengan
beberapa asesmen lain, seperti kuis pilihan ganda dan ulangan
harian. Menurut Chaijum dan Hiranyachattada (2020),
pembelajaran berbasis proyek sangat baik diberikan kepada siswa
terutama di situasi daring dengan tujuan membelajarkan siswa
agar lebih mandiri dan mengasah keterampilan abad ke-21 lebih
intensif lagi (Santosa, 2019).

60 Made Hery Santosa, Hyflex


Terlepas dari temuan-temuan penting dan menarik di atas,
beberapa tantangan juga masih dihadapi oleh para guru. Isu-isu
seperti kesiapan, fasilitas, desain pembelajaran, asesmen, juga
masih banyak dan sangat mempengaruhi efektivitas pembelajaran
di masa pandemi ini. Dari Gambar 16, diketahui bahwa guru-guru
masih banyak kesulitan menjalankan pembelajaran di masa saat
ini, dilihat dari isu-isu yang muncul dari segi fasilitas (sinyal, kuota,
ketersediaan gawai), kondisi siswa (kurang termotivasi, kurang
mampu mengikuti pembelajaran), dan teknologi pendukung
(untuk kuis, untuk pembelajaran, untuk aktivitas tertentu).
Gambar 16 menampilkan jajak pendapat mengenai tantangan di
konteks daring di masa pandemi.

Gambar 16. Jajak Pendapat di Konteks Pembelajaran Daring di Masa Pandemi

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 61


Temuan-temuan berdasar jajak pendapat ini menunjukkan
bahwa pembelajaran di konteks daring khususnya dalam masa
pandemi sangat perlu mendapat perhatian dan pemahaman baik
dari segi konsep maupun segi praktek pelaksanaan pembelajaran
daring di masa darurat seperti pandemi sekarang. Pembelajaran
berbasis virtual penuh dengan beragam aktivitas yang
berbarengan pelaksanaannya sudah menjadi kenormalan baru
saat ini. Adalah penting bagi pengajar, siswa dan pihak terkait
lainnya siap dan mampu beradaptasi dengan tantangan-tantangan
proses pembelajaran yang bisa muncul di masa depan baik ada
atau tidaknya pandemi. Salah satunya adalah dengan
mengoptimalkan pemanfaatan alat-alat belajar berbasis teknologi
di konteks campur atau hibrida yang diintegrasikan secara efektif
dengan beragam aspek penting pembelajaran lainnya, seperti
strategi pedagogi dan pemahaman akan konten materi yang
disesuaikan dengan konteks masing-masing.
Kerangka Pembelajaran Technology, Pedagogy, and
Content Knowledge (TPACK)
Saat ini, teknologi tentunya sudah tidak asing lagi bagi kita
semua. Siswa kita bahkan mungkin lebih cepat dalam
menggunakan teknologi karena mereka adalah generasi yang lahir

62 Made Hery Santosa, Hyflex


dengan teknologi (Prensky, 2001). Oleh karena itu, untuk
memanfaatkan teknologi secara efektif dalam pengajaran bahasa,
kerangka pedagogis yang relevan dan kuat diperlukan untuk
mengatur semua komponen pembelajaran. Salah satunya adalah
kerangka pembelajaran Technology, Pedagogy, and Content Knowledge
(TPACK). Menurut (Mishra & Koehler, 2006), TPACK
merupakan kerangka kerja yang mengintegrasikan pengetahuan
teknologi, pedagogi, dan konten dalam konteks pembelajaran.
Gambar 17 mengilustrasikan kerangka pembelajaran TPACK dan
hubungan antar komponen pengetahuan.

Gambar 17. Kerangka Pembelajaran TPACK (Mishra & Koehler, 2006)

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 63


TPACK awalnya dikembangkan oleh Shulman (1986) yang
mendeskripsikan Pedagogical and Content Knowledge (PCK). Ia
menekankan bahwa keberhasilan pembelajaran terjadi ketika guru
memahami isi mata pelajaran tertentu yang akan diajarkan dan
bagaimana cara menyampaikan mata pelajaran tersebut. Seiring
waktu, teknologi berkembang sangat pesat dan menurut Mishra
dan Koehler (2006), komponen teknologi dimasukkan dalam
kerangka ini dan terdapat tujuh komponen pembelajaran yang
terintegrasi dalam kerangka TPACK yang harus diperhatikan bagi
guru atau calon guru.
1. Technological Knowledge (TK) adalah pengetahuan

tentang cara mengoperasikan komputer dan perangkat


lunak yang relevan;
2. Pedagogical Knowledge (PK) adalah kemampuan
mengelola pembelajaran siswa;
3. Content Knowledge (CK) adalah pokok bahasan
pengetahuan seperti pengetahuan bahasa, matematika,
ilmu pengetahuan alam, dan lain-lain;
4. Technological Content Knowledge (TCK) adalah
pengetahuan tentang bagaimana konten dapat
dipelajari atau direpresentasikan oleh teknologi, seperti

64 Made Hery Santosa, Hyflex


menggunakan simulasi komputer untuk
merepresentasikan dan mempelajari budaya di
berbagai belahan dunia dengan Google Earth;
5. Pedagogical Content Knowledge (PCK) adalah pengetahuan
tentang bagaimana menyampaikan isi atau informasi
tentang suatu hal yang dipahami oleh orang lain,
seperti mengajar konsep tertentu dengan diskusi
kelompok kecil;
6. Technological Pedagogical Knowledge (TPK) adalah
pengetahuan tentang bagaimana teknologi dapat
memfasilitasi pendekatan pedagogis, misalnya
menggunakan diskusi asinkron seperti forum daring
untuk mendukung konstruksi sosial pengetahuan;
7. Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK)
adalah pengetahuan tentang bagaimana memfasilitasi
pembelajaran peserta didik dari konten tertentu
melalui pendekatan pedagogis dan teknologi.
TPACK menjelaskan bagaimana pengetahuan teknologi
dapat bekerja dengan PCK untuk menghasilkan pembelajaran
yang efektif. Aspek konteks seperti fasilitas, kemampuan siswa,
strategi guru, dan lain-lain juga harus diperhatikan dalam

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 65


mengintegrasikan kerangka TPACK dalam pembelajaran.
TPACK terus berkembang dari waktu ke waktu melalui
serangkaian penelitian dan publikasi. Dengan memahami
keterkaitan antar komponen pembelajaran dalam kerangka
TPACK tersebut di atas, maka pengajar dapat mengetahui faktor
apa saja yang paling berpengaruh signifikan dalam proses belajar
mengajar guna meningkatkan kualitas profesional dan guru
berbasis TIK. Adanya pembelajaran daring penuh khususnya di
masa pandemi tentu menuntut penyesuaian kerangka ini dalam
kondisi yang terjadi. Hal ini penting bagi pengajar agar bisa
beradaptasi optimal dengan menerapkan pembelajaran efektif
untuk belajar bermakna bagi siswa-siswinya. Salah satunya dengan
menerapkan pembelajaran HyFlex, yang menekankan konsep
hibrida (campur) dan fleksibilitas dalam proses belajar mengajar.
Pembelajaran HyFlex
Seperti diketahui, pembelajaran daring adalah sebuah
situasi dimana proses belajar dan mengajar bisa terjadi di luar
ruang-ruang fisik kelas. Pembelajaran daring bisa dalam bentuk
campur (hybrid/blended) dengan beragam prosentase aktivitas
daring, mulai dari berbantuan saja (sekitar 20-30%),
hybrid/campur (sekitar 31 – 80%), dan daring penuh (81%-100%)

66 Made Hery Santosa, Hyflex


(Putra & Santosa, 2020). Tujuan dari pembelajaran daring
umumnya mengakomodasi karakteristik pembelajar masa kini –
disebut sebagai digital natives (Prensky, 2001) yang sudah sejak lahir
berinteraksi dengan teknologi, seperti terlihat pada generasi Z
atau Alpha saat ini.
Dalam situasi tertentu, pembelajaran daring bisa
dirangkaikan dengan banyak aktivitas belajar dengan berbantuan
teknologi – konvensional sampai digital – mulai pemanfaatan
kertas dan pensil sampai aplikasi pembelajaran yang relevan,
misalnya Canva untuk pembuatan poster atau infografis,
Microsoft Word untuk mengetik, Mendeley untuk sistem rujukan
otomatis berbasis metadata, atau aplikasi Android Animals of
Nusantara untuk belajar dengan teknologi Virtual Reality.
Tujuan dari pembelajaran daring adalah membantu
terselenggaranya proses belajar dan mengajar yang lebih efektif
dan membantu siswa menjadi lebih aktif dimana ruang-ruang
berpikir diberikan sehingga pembelajaran bisa lebih bermakna.
Pemanfaatan teknologi dalam konteks pembelajaran daring tentu
memerlukan dasar pedagogis yang kuat dan pemahaman konten
yang matang. Dasar-dasar pedagogis inilah yang membantu guru

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 67


menyiapkan proses belajar apapun situasi yang terjadi, seperti
misalnya situasi daring penuh di konteks pandemi ini.
Dalam perkembangannya, pembelajaran daring mengalami
perkembangan. Salah satu yang muncul saat ini adalah
pembelajaran HyFlex. Istilah HyFlex menggabungkan konsep
hibrida (hybrid) dan fleksibel (flexible) di mana pembelajaran terdiri
dari kehadiran siswa secara daring dan kehadiran siswa tatap
muka dalam satu proses pembelajaran (Keiper dkk., 2020). Ia
adalah sebuah metode pembelajaran campur inovatif. Liu dkk.
(2017) menambahkan bahwa HyFlex berkaitan dengan
pembelajaran campur daring dalam konteks Concurrent Classroom
dimana sebuah proses pembelajaran dengan beberapa aktivitas
belajar terkait topik terjadi dalam waktu berbarengan di konteks
pembelajaran. Trail dkk., (2020) menambahkan, di konteks
pembelajaran daring di masa pandemi seperti sekarang, proses
belajar yang terjadi secara virtual penuh berpendekatan individual
ke masing-masing siswa (in-person). Oleh karenanya, pembelajaran
harus didesain sedemikian rupa untuk bisa mengakomodasi
situasi daring dan keberagaman kondisi siswa agar bisa berjalan
secara efektif, aktif, dan bermakna untuk siswa, guru, dan
termasuk pihak-pihak terkait lainnya, misalnya kepala sekolah dan

68 Made Hery Santosa, Hyflex


orang tua di rumah masing-masing siswa (Keiper dkk., 2020;
Miller dkk., 2020).
Model ini mendorong siswa untuk mandiri untuk belajar
sendiri. HyFlex sebagai bentuk pembelajaran daring baru
umumnya menggunakan beragam isu-isu kekinian dan
kontekstual sebagai bahan dasar pembelajaran. Materi dan bahan
pembelajaran dirangkum dalam bentuk bacaan dan/ atau video
yang diunggah di portal sekolah atau YouTube (dan sejenisnya).
Siswa kemudian mempersiapkan diri di rumah dengan menonton
atau membaca materi yang diberikan gurunya dalam bentuk
daring. Dalam pertemuan di kelas virtual, proses pembelajaran
akan berfokus pada aktivitas diskusi, dengan berbagai pola, mulai
individual, berpasangan dan berkelompok, menjawab kuis,
mengekspresikan pemahaman di papan tulis virtual, dan
sejenisnya.
Pembelajaran HyFlex dengan Teknologi
Dengan munculnya kondisi belajar daring penuh di masa
pandemi, desain, pembelajaran, dan asesmen serta aktivitas
belajar melakukan penyesuaian. Hal ini menyebabkan beragam
aktivitas belajar dan manajemen pembelajaran menjadi
berbarengan terjadi. Hal inilah yang relevan dengan pembelajaran

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 69


HyFlex dimana proses pembelajaran daring penuh dengan
kegiatan dan manajemen kelas berbarengan dalam suatu waktu.
Menurut Liu dkk., (2017), pada awalnya, guru-guru bisa
melakukan proses belajar dan mengajar berbarengan dalam situasi
campur atau blended. Namun, sejak muncul pandemi, kelas-kelas
bergeser menjadi daring penuh. Trail dkk., (2020) menambahkan
bahwa HyFlex muncul di konteks pembelajaran daring di masa
pandemi seperti sekarang dimana pembelajaran terjadi secara
virtual penuh dan berpendekatan individual. Sebagai ilustrasi, dua
model pembelajaran yang bisa dilakukan dalam konteks HyFlex,
yaitu Station Rotation dan Virtual Flipped Classroom disampaikan
sebagai berikut.
Model 1: Pembelajaran Station Rotation dengan
Teknologi
Station Rotation menekankan adanya keragaman aktivitas
dalam berbagai station atau tempat beraktivitas
pembelajaran dan nanti siswa-siswa dalam berbagai
kelompok berotasi bergantian melakukan aktivitas
pembelajaran yang didesain guru (Harb, 2019; Mahalli dkk.,
2019). Station ini bisa berpindah fleksibel saat ini (Fulbeck
dkk., 2020; Maxwell & White, 2017). Misal, station 1 berisi

70 Made Hery Santosa, Hyflex


aktivitas diskusi di LMS yang dipandu guru, station 2 berisi
aktivitas daring di Padlet – papan tulis virtual, dan station 3
berisi aktivitas projek membuat poster di aplikasi pembuat
poster, seperti Canva, Genially, Photoshop, dan lain
lainnya. Berikut adalah contoh pembelajaran station rotation
dengan teknologi dalam tahapan-tahapan pembelajaran
untuk bisa diimplementasikan dalam situasi belajar baik
daring penuh atau campur.
Contoh Model 1: Pembelajaran Station Rotation dengan
Teknologi
Contoh aktivitas pembelajaran untuk model 1 berbasis
station rotation ini bertajuk “My Favourite Food.” Kegiatan ini
dijabarkan dalam Tabel 3 dan dilakukan dalam beberapa
tahapan dengan asumsi dilakukan dalam situasi hibrida dan
fleksibel.
Tabel 3. Kegiatan Pembelajaran Station Rotation dengan Teknologi

Nama
My Favourite Food
Kegiatan
Belajar bahasa asing seperti bahasa Inggris, hendaknya
menyasar keterampilan dan komponen berbahasa secara
Deskripsi komprehensif. Dalam kegiatan ini, fokus diarahkan pada
upaya membantu siswa mampu mendeskripsikan sesuatu
di sekitar mereka.

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 71


Nama
My Favourite Food
Kegiatan
Target
Inggris, atau asing lainnya.
Bahasa
Keterampilan
dan Membaca, Berbicara, Menyimak, Menulis, Kosakata,
Komponen Tata Bahasa
Berbahasa
Jenjang SD sampai SMP sederajat
Aktivitas ini bertujuan untuk membantu siswa mampu
Tujuan
mendeskripsikan sesuatu di sekitar mereka dengan
Kegiatan
produk berbasis kinerja berbantuan teknologi.
Durasi 60 menit (bisa disesuaikan)
60 menit untuk guru menyiapkan media dan materi
Lama terkait topik, yaitu materi video di EdPuzzle, mystery game,
Persiapan panduan pertanyaan, galeri virtual di Instagram, dan
rubrik penilaian produk.
Hal-hal Guru memerlukan proyektor, smartphone (atau tablet atau
Teknis dan laptop), ruang kelas virtual (misal LMS atau grup chat,
Sumber seperti WhatsApp atau Telegram), dan galeri virtual
Pembelajaran (misal Instagram).
Tahap 1: Menjelaskan capaian pembelajaran
Tahap ini adalah dimana siswa memahami penjelasan
dari guru mengenai capaian pembelajaran. Misalnya
dalam aktivitas ini adalah, “Di akhir pembelajaran, siswa
siswi diharapkan bisa mendeskripsikan sesuatu di sekitar
mereka dalam bahasa Inggris produk berbasis kinerja
berbantuan teknologi.”
Prosedur
Tahap 2: Mengenalkan alat-alat bantu belajar
daring yang akan digunakan
Tahap ini adalah pengenalan dan/ atau penjelasan
mengenai alat-alat bantu belajar yang akan digunakan,
yaitu EdPuzzle (https://edpuzzle.com/), Artificial
Intelligence-based Mystery Game
(https://mysteryanimal.withgoogle.com/), LMS (misal,

72 Made Hery Santosa, Hyflex


Nama
My Favourite Food
Kegiatan
Moodle), dan Instagram
(https://www.instagram.com/).

Tahap 3: Menyampaikan rubrik penilaian


Tahap ini adalah dimana guru menjelaskan aspek-aspek
tagihan yang diminta dan cara penilaiannya. Asesmen
berupa asesmen kinerja dan dengan rubrik penilaian.
Misalnya rubrik terlampir yang meminta tagihan media
sebagai alat untuk mengecek pemahaman siswa.

Tahap 4: Siswa menonton video mengenai topik


Tahap ini adalah tahap awal Station 1. Ada dua sub
aktivitas di tahap ini.
4.1 Siswa diajak menebak sebuah teka-teki sambil
bermain. Teka-teki ini adalah semacam awalan
untuk menjembatani ke aktivitas selanjutnya.
4.2 Siswa kemudian diajak bermain mystery animals
berbasis AI jika memungkinkan dengan permainan
di Mystery Animals with Google.
4.3 Setelah ini, setiap individu siswa menonton video

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 73


Nama
My Favourite Food
Kegiatan
mengenai topik dengan kuis secara daring. Di
Station 1 ini, masing-masing siswa berupaya
memahami topik dan kosakata terkait dari materi
video yang ditonton.

Tahap 5: Siswa berdiskusi mengenai materi


sebelumnya
Tahap ini adalah tahap aktivitas kolaboratif antar siswa di
Station 2. Terdapat beberapa sub aktivitas di tahap ini:
5.1 Siswa dibagi dalam beberapa kelompok dan
berdiskusi mengenai materi video termasuk
kosakata yang belum dimengerti. Siswa kemudian
menjawab pertanyaan panduan dari guru yang
diberikan via proyektor (atau grup chat), misalnya:
a. Apakah kalian punya makanan favorit? Jika
tidak bayangkan kalian punya.
b. Apa makanan favorit kalian?
c. Apa ciri khasnya?
d. Mengapa kalian sangat suka makanan
tersebut?
e. Dan lainnya.
5.2 Setelah menjawab, siswa menukarkan jawabannya
ke temannya bisa secara acak atau memilih
langsung.
5.3 Semua siswa membaca dan kemudian saling
memberi masukan atau komentar terhadap jawaban
temannya.
5.4 Jawaban tersebut dikembalikan dan direvisi sesuai
masukan, jika diperlukan.
5.5 Jawaban dikumpulkan di LMS.

Tahap 6: Siswa memilih satu jawaban terbaik dari


temannya

74 Made Hery Santosa, Hyflex


Nama
My Favourite Food
Kegiatan
Tahap ini adalah Station 3 yang terdiri dari beberapa sub
aktivitas. Tahapan ini bisa dilakukan daring atau
menyesuaikan.
6.1 Masing-masing siswa memilih satu jawaban
temannya yang paling disukai.
6.2 Siswa mengembangkan jawaban temannya
mengenai makanan favorit dalam bentuk paragraph
deskriptif pendek.
6.3 Siswa mendiskusikan paragraph mereka ke rekan
mereka.
6.4 Jika ada revisi, siswa merevisi kembali tulisan
mereka.
Tahap 7: Siswa menerbitkan tulisan
Tahap ini adalah tahap penerbitan tulisan siswa dalam
bentuk paragraf deskriptif mengenai topik makanan
favorit. Tulisan siswa ini bisa ditaruh di galeri virtual
(misal menggunakan Instagram kelas) untuk memberi
motivasi dan kepercayaan diri.
Tahap 8: Merefleksikan aktivitas
Tahap ini adalah bagian memberi ruang pembelajaran
bermakna bagi siswa. Beberapa aktivitas lanjutan bisa
dilakukan, seperti:
8.1 Mereka bisa merespon pertanyaan, seperti “Jika
kalian melihat ada makanan yang kalian tidak begitu
suka, apa yang akan kalian lakukan terhadap
makanan tersebut dan mengapa demikian?”
8.2 Merespon pertanyaan “Apa yang sukses dalam
aktivitas belajar kali ini?”
8.3 Merespon pertanyaan “Apa yang saya perlu perbaiki
dalam pembelajaran kali ini?”
Saran 1. Pembelajaran dengan model station rotation ini bisa
menyesuaikan situasi dan kondisi yang ada. Misal
materi di EdPuzzle bisa diganti dengan materi video
di YouTube atau jika koneksi menjadi perhatian,
bisa diganti dengan Gambar.

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 75


Nama
My Favourite Food
Kegiatan
2. Tergantung tujuan pembelajaran dan level, kegiatan
menulis paragraf deskriptif bisa dimodifikasi
menjadi kegiatan membuat poster, komik, atau yang
lainnya.
Jika digambarkan, kegiatan dalam model ini bisa
diilustrasikan sebagai berikut.

Gambar 18. Model Pembelajaran Station Rotation

Model ini bisa divariasikan dan/ atau dimodifikasi sesuai


kebutuhan, tujuan pembelajaran, dan konteks yang ada di
tempat masing-masing. Misal, seperti Gambar 19 di bawah
ini.

76 Made Hery Santosa, Hyflex


Gambar 19. Alternatif Model Pembelajaran Station Rotation

Model pembelajaran ini menekankan adanya perpindahan


station antar siswa dalam beragam kegiatan. Tujuannya
adalah memberi ruang aktif dan bermakna bagi siswa dalam
fasilitasi guru yang terus menerus dan menyesuaikan situasi
hibrida dan fleksibel.
Model 2: Pembelajaran Virtual Flipped Classroom
dengan Teknologi
Model selanjutnya yang bisa dipertimbangkan dalam
konteks pembelajaran HyFlex adalah Virtual Flipped
Classroom (VFC). VFC ini adalah pergeseran dari Flipped
Classroom (FC) yang terjadi di masa pandemi dimana proses
belajar mengajar menjadi daring penuh. Secara sederhana,
VFC ini berpola mirip dengan FC dimana aktivitas belajar
dimulai (1) pre activity dengan diskusi daring dengan
menonton video atau membaca teks terkait topik,

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 77


kemudian dilanjutkan aktivitas (2) flip and engage dimana
siswa belajar baik menggunakan pertemuan virtual dengan
Zoom, Google Meet, Webex, dan sejenisnya, atau asinkron
WhatsApp, Telegram dan sejenisnya, selanjutnya siswa
melakukan (3) post activity untuk mengekspresikan
pemahamannya baik dengan merespon soal atau kuis, atau
pembuatan projek terkait topik dan area studi. Berikut
adalah contoh pembelajaran Virtual Flipped Classroom
dengan teknologi dalam tahapan-tahapan pembelajaran
untuk bisa diimplementasikan dalam situasi belajar baik
daring penuh (dengan istilah VFC) atau campur (dengan
istilah FC).
Contoh Model 2: Pembelajaran Virtual Flipped Classroom
dengan Teknologi
Contoh aktivitas pembelajaran untuk model 2 berbasis
VFC ini bertajuk “QR Code-based Virtual Quest.” Kegiatan
ini dijabarkan dalam Tabel 4 dan dilakukan dalam beberapa
tahapan dengan asumsi dilakukan dalam situasi hibrida dan
fleksibel.

78 Made Hery Santosa, Hyflex


Tabel 4. Kegiatan Pembelajaran Virtual Flipped Classroom dengan Teknologi

Nama Kegiatan QR Code-based Virtual Quest


Kegiatan ini mengajak siswa belajar bahasa asing, seperti
bahasa Inggris dengan beragam alat bantu berbasis
Deskripsi teknologi. Dalam kegiatan ini, fokus diarahkan pada
upaya membantu siswa mampu mengkomunikasikan ide
persuasif mengenai suatu isu penting di sekitar mereka.
Target Bahasa Inggris, atau asing lainnya.
Keterampilan
Membaca, Menyimak, Berbicara, Menulis, Kosakata,
dan Komponen
Tata Bahasa, Ejaan
Berbahasa
Jenjang SMP, SMA sampai Universitas
Aktivitas ini bertujuan untuk membantu siswa mampu
Tujuan mengkomunikasikan ide persuasif mengenai suatu isu
Kegiatan penting di sekitar mereka dengan produk berbasis kinerja
berbantuan teknologi.
Durasi 120 menit (bisa disesuaikan)
60 menit untuk guru menyiapkan media dan materi
Lama terkait topik, yaitu materi teks bacaan di website, video di
Persiapan YouTube, panduan pertanyaan, materi di Padlet, dan
rubrik penilaian produk.
Hal-hal Teknis Guru memerlukan proyektor, smartphone (atau tablet atau
dan Sumber laptop), dan ruang kelas virtual (misal LMS atau grup
Pembelajaran chat, seperti WhatsApp atau Telegram).
Tahap 1: Menjelaskan capaian pembelajaran
Tahap ini adalah dimana siswa membaca dan memahami
capaian pembelajaran untuk aktivitas ini, yaitu “Di akhir
pembelajaran, siswa-siswi diharapkan mampu
mengkomunikasikan ide persuasif mengenai suatu isu
penting di sekitar mereka dalam bahasa Inggris dengan
Prosedur
produk berbasis kinerja berbantuan teknologi.”
Tahap 2: Mengenalkan alat-alat bantu belajar
daring yang akan digunakan
Tahap ini adalah pengenalan dan/ atau penjelasan
mengenai alat-alat bantu belajar yang akan digunakan,
yaitu YouTube (https://www.youtube.com/), Padlet

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 79


Nama Kegiatan QR Code-based Virtual Quest
(https://padlet.com/), Canva (https://canva.com/) atau
Genially (https://www.genial.ly/), Wakelet
(https://wakelet.com/), QR Code, dan LMS (misal,
Moodle).
Tahap 3: Menyampaikan rubrik penilaian
Tahap ini adalah dimana guru menjelaskan aspek-aspek
tagihan yang diminta dan cara penilaiannya. Asesmen
berupa asesmen kinerja berbentuk poster dengan rubrik
penilaiannya seperti rubrik di bawah ini.

Tautan untuk mengunduh:


https://www.slideshare.net/cedecite/rubric-to-assess
a-digital-poster

Tahap 4: Pre activity


Tahap ini adalah tahap belajar mandiri di rumah masing
masing. Terdapat beberapa sub kegiatan di tahap ini.
4.1 Siswa diberikan tautan dalam bentuk QR Code

80 Made Hery Santosa, Hyflex


Nama Kegiatan QR Code-based Virtual Quest
sebagai berikut.

4.2 Siswa menggunakan pemindai QR untuk bisa


menuju laman untuk membaca teks terkait topik.
4.3 Setiap siswa membaca dan berusaha memahami
teks tersebut sambil memperkaya kosakata.
4.4 Setiap siswa memilih satu binatang yang hampir
punah yang diberikan dalam teks untuk menjadi
binatang favorit mereka.
4.5 Siswa bisa mencari foto binatang tersebut kemudian
diunggah di Padlet (atau LMS Discussion Forum).
Tahap 5: Flip and engage
Tahap ini adalah dimana siswa berdiskusi,
berkomunikasi, menggali lebih dalam, dan memahami
topik lebih jauh lagi dengan beragam strategi di mode
daring pertemuan kelas menggunakan Zoom (atau Meet
dan lainnya). Terdapat beberapa sub aktivitas di tahap ini:

5.1 Siswa memindai kode QR di bawah ini dan tonton


video tentang harimau.

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 81


Nama Kegiatan QR Code-based Virtual Quest

5.2 Siswa menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang


diberikan di panduan pertanyaan sebelumnya,
misalnya:
a. Tentang apa videonya?
b. Dimana lokasinya?
c. Apa pendapat Anda tentang kampanye video
tersebut?
5.3 Siswa membagi diri menjadi empat kelompok dan
masing-masing kelompok mendapat peran berbeda,
yaitu sebagai (1) perwakilan pemerintah, (2) LSM /
aktivis, (3) warga, dan (4) penjaga kebun binatang.
5.4 Setiap anggota kelompok menanggapi dari sudut
pandang peran mereka di halaman Padlet:
https://padlet.com/mhsantosa/animals
5.5 Guru bisa memvariasikan aktivitas di Padlet
(misalnya, dengan Station Rotation antar kelompok
seperti yang dimodelkan sebelumnya).
Tahap 6: Post activity
Tahap ini terdiri dari beberapa sub aktivitas untuk
mengetahui pemahaman siswa terhadap topik. Tahapan
ini bisa dilakukan daring atau menyesuaikan.
6.1 Siswa membuat poster tentang kampanye
pelestarian suatu hewan langka yang telah mereka
pilih sebelumnya atau lainnya setelah berdiskusi
dengan teman-temannya, seperti contoh di bawah.

82 Made Hery Santosa, Hyflex


Nama Kegiatan QR Code-based Virtual Quest

6.2 Siswa bisa menggunakan aplikasi atau program


pembuat poster, seperti Canva, Genially, dan
lainnya.
6.3 Siswa menukarkan poster mereka kepada satu
temannya untuk mendapatkan umpan balik dari
siswa lainnya.
6.4 Siswa merevisi dan mengunggah poster terbaru
mereka di galeri kelas (bisa virtual) atau pameran di
sekolah.
Tahap 7: Merefleksikan aktivitas
Tahap ini adalah bagian memberi ruang pembelajaran
bermakna bagi siswa. Beberapa aktivitas lanjutan bisa
dilakukan, seperti:
7.1 Mereka bisa merespon pertanyaan, seperti “Jika
kalian adalah seekor binatang terancam punah, yang
kalian ingin lakukan dan mengapa?”
7.2 Merespon pertanyaan “Apa yang sukses dalam
aktivitas belajar kali ini?”
7.3 Merespon pertanyaan “Apa yang saya perlu perbaiki
dalam pembelajaran kali ini?”
1. Alternatif dari QR Code adalah dengan memberi
Saran tautan URL langsung.
2. Alternatif media terkait topik bisa diberikan,

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 83


Nama Kegiatan QR Code-based Virtual Quest
misalnya aplikasi virtual reality Animals of Nusantara
(https://play.google.com/store/apps/details?id=c
om.SusilaLanDharma.AnimalofNusantara&hl=in).
3. Aktivitas mencari dan menggali informasi lebih
banyak dan dalam secara kolaboratif (crowd curation)
bisa disisipkan sebelum diskusi dengan beragam
peran (sebelum aktivitas 5.4) dengan menggunakan
aplikasi Wakelet (atau Evernote:
https://evernote.com/).
4. Alternatif poster sebagai tugas bisa dibuat beragam,
misal projek membuat infografis atau digital
video/audio story.
Untuk memperjelas kondisi kelas dalam konteks virtual
flipped classroom, Gambar 20 memberi ilustrasi perbandingan
antara tiga jenis pembelajaran yang terjadi sejauh ini, yaitu
Traditional Classroom, Flipped Classroom, dan Virtual Flipped
Classroom.

Gambar 20. Perbedaan Model Pembelajaran

Model pembelajaran VFC ini menekankan pada aktivitas


belajar yang sudah dimulai sejak dari rumah secara mandiri

84 Made Hery Santosa, Hyflex


(pre activity), kemudian diskusi kolaboratif di ruang kelas
(dan di masa pandemi ini terjadi di ruang-ruang kelas
virtual) (flip and engage), kemudian aktivitas mandiri dan/
atau kolaboratif sebagai upaya untuk mengetahui
pemahaman siswa terhadap pembelajaran sebelumnya (post
activity).
Kesimpulan
Pembelajaran berbasis HyFlex menekankan unsur-unsur
pembelajaran di abad ke-21, khususnya di situasi darurat seperti
pandemi kali ini. Ada unsur hibrida (campur atau bahkan daring
penuh) dan fleksibilitas dalam proses belajar mengajar pada moda
belajar, strategi, ruang, dan waktu. Pembelajaran berbasis HyFlex
umumnya menggunakan beragam topik kekinian dan kontekstual
sebagai bahan dasar pembelajaran dengan tujuan menarik minat
siswa untuk terlibat dalam aktivitas belajar dan mengajar. Dalam
pembelajaran ini, sangat penting untuk menggunakan kerangka
pembelajaran tepat untuk integrasi teknologi dalam kelas-kelas
virtual dengan aktivitas-aktivitas fleksibel yang beragam dan
relevan, serta dilakukan dalam konteks daring (atau bahkan daring
penuh). Teknologi yang ada dan berkembang pesat saat ini bisa
digunakan untuk membantu proses belajar dan mengajar namun

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 85


perlu ditekankan bahwa teknologi hanyalah alat dan penggunaan
teknologi yang berlebihan dan tidak sesuai dengan situasi dan
kebutuhan akan menjadi hal yang bisa menghambat proses
belajar dan mengajar dan pada akhirnya mempengaruhi
kesuksesan pembelajaran tersebut (Ben-Jacob & Glazerman,
2021). Seperti Warschauer (1998) sampaikan sekitar dua dekade
lalu bahwa proses pembelajaran yang aktif dan bermakna
hendaknya tidak bergantung pada teknologi apa dan seberapa
banyak teknologi yang digunakan, namun lebih menekankan
integrasi efektif kemampuan pedagogi guru dalam pemanfaatan
teknologi yang paling relevan dan efektif untuk membantu siswa
siswi belajar dalam situasi masing-masing.
Daftar Pustaka
Aristovnik, A., Keržič, D., Ravšelj, D., Tomaževič, N., & Umek, L. (2020).
Impacts of the COVID-19 pandemic on life of higher education
students: A global perspective. Sustainability (Switzerland), 12(20), 1–34.
https://doi.org/10.3390/su12208438
Atmojo, A. E. P., & Nugroho, A. (2020). EFL classes must go online!
Teaching activities and challenges during COVID-19 pandemic in
Indonesia. Register Journal, 13(1), 49–76.
https://doi.org/10.18326/rgt.v13i1.49-76
Ben-Jacob, M. G., & Glazerman, A. H. (2021). The ethical implications of the
overuse of technology in education. Journal of Educational Technology
Systems, 49(6), 1–4. https://doi.org/10.1177/00472395211013049
Cao, W., Fang, Z., Hou, G., Han, M., Xu, X., Dong, J., & Zheng, J. (2020).
The psychological impact of the COVID-19 epidemic on college

86 Made Hery Santosa, Hyflex


students in China. Psychiatry Research, 287.
https://doi.org/10.1016/j.psychres.2020.112934
Chaijum, N., & Hiranyachattada, T. (2020). Integrated learning and project
based learning for project of electrical measurement and
instrumentations in electrical engineering course. European Journal of
Science and Mathematics Education, 8(1), 6–11.
Collie, R. J. (2021). COVID-19 and teachers’ somatic burden, stress, and
emotional exhaustion: Examining the role of principal leadership and
workplace buoyancy. AERA Open, 7(1), 233285842098618.
https://doi.org/10.1177/2332858420986187
Fulbeck, E., Atchison, D., Giffin, J., Seidel, D., & Eccleston, M. (2020).
Personalizing student learning with station rotation: A descriptive study (Issue
July).
Harb, G. K. (2019). Reshaping undergraduates research experience with
station rotation learning model. International Journal of Advanced Research,
7(11), 702–710. https://doi.org/10.21474/ijar01/10061
Hodges, C., Moore, S., Lockee, B., Trust, T., & Bond, A. (2020). The difference
between emergency remote teaching and online learning.
https://er.educause.edu/articles/2020/3/the-difference-between
emergency-remote-teaching-and-online-learning
Huba, M., & Freed, J. (2000). Learner-centered assessment on college campuses: Shifting
the focus from teaching to learning (8th ed.). Pearson.
Jagtap, P. (2016). Teachers role as facilitator in learning. Scholarly Research
Journal, 3(17), 3903–3905.
Keiper, M. C., White, A., Carlson, C. D., & Lupinek, J. M. (2020). Student
perceptions on the benefits of Flipgrid in a HyFlex learning
environment. Journal of Education for Business, 95(8), 1–9.
https://doi.org/10.1080/08832323.2020.1832431
Kuhfeld, M., Soland, J., Tarasawa, B., Johnson, A., Ruzek, E., & Liu, J. (2020).
projecting the potential impact of COVID-19 school closures on
academic achievement. Educational Researcher, 49(8), 549–565.
https://doi.org/10.3102/0013189X20965918
Liu, F., Stapleton, C., & Stephen, J. (2017). A pilot study on concurrent
learning/teaching model (CLTM) for online and in-class informatics
students. Association Supporting Computer Users in Education, 1, 59–66.

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 87


Long, T., Cummins, J., & Waugh, M. (2019). To flip or not in higher
education: A tale of three instructors. Asia-Pacific Education Researcher,
August. https://doi.org/10.1007/s40299-019-00470-4
Looney, A., Cumming, J., Kleij, F. van Der, & Karen Harris. (2017).
Reconceptualising the role of teachers as assessors: Teacher
assessment identity. Assessment in Education: Principles, Policy & Practice,
25(5), 442–467.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1080/0969594X.2016.1268090
Mahalli, Nurkamto, J., Mujiyanto, J., & Yuliasri, I. (2019). The implementation
of station rotation and flipped classroom models of blended learning
in EFL learning. English Language Teaching, 12(12), 23–29.
https://doi.org/10.5539/elt.v12n12p23
Malik, M. A., Murtaza, A., & Khan, A. M. (2011). Role of teachers in managing
teaching learning situation. Interdisciplinary Journal of Contemporary
Research in Business, 3(5), 783–833.
Maxwell, C., & White, J. (2017). Blended (r)evolution: How 5 teachers are
modifying the station rotation to fit students’ needs. In Christensen
Institute (Issue July).
Miller, A. N., Sellnow, D. D., & Strawser, M. G. (2020). Pandemic pedagogy
challenges and opportunities: Instruction communication in remote,
HyFlex, and BlendFlex courses. Communication Education, 70(1), 1–3.
https://doi.org/10.1080/03634523.2020.1857418
Mishra, P., & Koehler, M. (2006). Technological pedagogical content
knowledge: A framework for teacher knowledge. The Teachers College
Record, 108(6), 1017–1054. https://doi.org/10.1111/j.1467
9620.2006.00684.x
Mok, K. H., Xiong, W., Ke, G., & Cheung, J. O. W. (2021). Impact of
COVID-19 pandemic on international higher education and student
mobility: Student perspectives from mainland China and Hong Kong.
International Journal of Educational Research, 105(November 2020),
101718. https://doi.org/10.1016/j.ijer.2020.101718
Moorhouse, B. L. (2020). Adaptations to a face-to-face initial teacher
education course ‘forced’ online due to the COVID-19 pandemic.
Journal of Education for Teaching, 46(4), 1–3.
https://doi.org/10.1080/02607476.2020.1755205
Murati, R. (2015). The role of the teacher in the educational process. The Online
Journal of New Horizon in Education, 5(2), 75–78.

88 Made Hery Santosa, Hyflex


Pacansky-Brock, M. (2014). Learning out loud: Increasing voluntary voice
comments in online classes. In P. R. Lowenthal, C. S. York, & J. C.
Richardson (Eds.), Online learning: Common misconceptions, benefits and
challenges (pp. 99–114). Nova Science Publishers.
Prensky, M. (2001). Digital natives, digital immigrants. On the Horizon, 9(5), 1–
6. https://doi.org/10.1108/10748120110424816
Putra, M. A. M., & Santosa, M. H. (2020). Mobile assisted language learning
in Intensive English Course for freshmen year students. Journal of
Educational Technology, 4(2), 127–132.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.23887/jet.v4i2.25097
Santosa, M. H. (2017). Learning approaches of Indonesian EFL Gen Z
students in a flipped learning context. Journal on English as a Foreign
Language, 7(2), 183–208.
Santosa, M. H. (2019). Introduction to Core Skills and its best practices in the
Indonesian classrooms. In M. H. Santosa (Ed.), Penerapan Core Skills di
kelas-kelas di Indonesia (1st ed., Vol. 1, pp. 07–23). Azizah Publishing.
Santosa, M. H., & Priyanti, N. W. I. (2021). The effect of mobile-assisted
language learning “Quizizz” on High School students’ reading
comprehension in the English learning context. In F. A. Hamied (Ed.),
Literacies, Culture, and Society towards Industrial Revolution 4.0: Reviewing
Policies, Expanding Research, Enriching Practices in Asia (1st ed.). Nova
Science Publishers.
Shulman, L. S. (1986). Those who understand: Knowledge growth in teaching.
American Educational Research Association, 15(2), 4–14.
https://doi.org/http://www.jstor.org/stable/1175860
Trail, L., Fields, S., & Caukin, N. (2020). Finding flexibility with HyFlex:
Teaching in the digital age. International Journal of the Whole Child, 5(2),
22–26.
Warschauer, M. (1998). Researching technology in TESOL: Determinist,
instrumental, and critical approaches. Tesol Quarterly, 32(4), 757–761.
Weiss, R. E. (2000). Humanizing the online classroom. New Directions for
Teaching and Learning, 2000(84), 47–51. https://doi.org/10.1002/tl.847
Wiraningsih, P., & Santosa, M. H. (2020). EFL teachers’ challenges in
promoting learner autonomy in the 21st century learning. Journal on
English as a Foreign Language, 10(2), 290–314.
https://doi.org/https://doi.org/10.23971/jefl.v10i2.1881

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 89


Zarouk, M. Y., Restivo, F., & Khaldi, M. (2018). Student-centered learning
environment for self-regulated project-based learning in higher
education: A qualification/selection study. Learning through Inquiry in
Higher Education: Current Research and Future Challenges (INHERE 2018),
2–15.
Rekomendasi Sitasi
Santosa. M, H. (2021). Hyflex: Belajar di konteks hibrida dan fleksibel
dengan teknologi. In G. Jati & F. Dewi (Eds.), Teknologi dan
pembelajaran bahasa Inggris (Hal. 54-88). Perkumpulan Pengajar
Bahasa Berbasis Teknologi Informasi (iTELL)

90 Made Hery Santosa, Hyflex


91

4
DIGITAL STORYTELLING PROJECT:
KEGIATAN KOLABORATIF DI KELAS BAHASA
INGGRIS
Finita Dewi

Berkenalan dengan Digital Storytelling


Storytelling atau kegiatan bercerita menjadi aktivitas yang
sering terjadi di kelas-kelas bahasa Inggris. Untuk kelas dengan
siswa yang memiliki kemampuan berbahasa pada level elementary,
biasanya guru bercerita dalam bahasa inggris kemudian para
siswa diajak untuk berinteraksi membahas atau menanggapi isi
cerita. Sementara di kelas dengan siswa yang sudah memiliki
kemampuan berbahasa Inggris cukup baik, misalnya level
intermediate sampai advanced, kegiatan bercerita biasanya dilakukan
oleh siswa. Cerita bisa merupakan karya siswa sendiri atau
adaptasi dari karya cerita yang sudah ada sebelumnya. Kegiatan
bercerita ini, selain menarik dan mengasyikan bagi siswa, juga
memiliki potensi untuk mengembangkan keterampilan
berbahasa siswa.
Di awal tahun 2000an, digitalisasi kegiatan Storytelling mulai
dikenal, seiring dengan perkembangan alat teknologi digital yang
menjadi lebih terjangkau dan lebih mudah diakses oleh berbagai
kalangan. Kemajuan teknologi memberikan repertoar baru yang
memungkinkan orang awam membuat cerita dengan berbantuan
komputer, laptop, tablet, bahkan smartphone. Istilah Digital
Storytelling (DST), menurut Robin (2008) adalah seni membuat
cerita pendek yang menggabungkan berbagai media digital seperti
foto, suara, animasi, atau gambar bergerak. Isi cerita dalam DST
biasanya disajikan dalam bentuk narasi pendek yang tidak hanya
berbentuk dongeng, namun bisa juga dalam bentuk otobiografi,
sejarah, atau topik lainnya yang mengedepankan kekuatan sudut
pandang personal si pembuat pencerita. Personalisasi menjadi
kunci dari DST, dimana siswa mendapat kesempatan untuk
mengkonstruksi pendapat dan pengalaman pribadinya secara
otentik dalam kegiatan pembelajaran yang bermakna (Miller,
2007). Sebagian besar cerita digital berfokus pada topik tertentu
dan berisi sudut pandang tertentu, dalam rentang durasi antara
dua hingga 10 menit.

92 Finita Dewi, Digital Storytelling Project


Saat ini banyak tersedia website-website yang membahas
tentang Digital Storytelling. Website Storycenter
(https://www.storycenter.org/), misalnya, menawarkan
beragam informasi terkait DST dan juga workshop-workshop
tentang DST bagi siapa saja yang ingin mempelajari DST lebih
dalam. Website Storycenter yang dahulu bernama Center for
Digital Storytelling ini dikembangkan oleh Lambert dan
Atchley (Lambert, 2010) yang merupakan penggagas istilah
Digital Storytelling pada awal tahun 90-an. Selain Storycenter,
Bernard Robin, yang juga salah satu ahli di bidang Digital
Storytelling, mengembangkan website Educational Uses of
Digital Storytelling (https://digitalstorytelling.coe.uh.edu/).
Website ini memuat elemen-elemen yang terdapat dalam Digital
Storytelling, contoh Digital Story dalam beragam topik, juga
tahapan pembuatan Digital Story untuk kebutuhan pendidikan.
Tahapan pembuatan DST Project yang disampaikan dalam
artikel ini merupakan adaptasi dari 8 tahap pembuatan Digital
Story yang dibuat oleh Morra (2014). Ke-delapan tahap tersebut
terdiri dari 1) Start with an Idea, 2) Research/Explore/Learn, 3)
Write/Script, 4) Storyboard/Plan, 5) Gather and Create Images, Audio
and Video, 6) Put It All Together, 7) Share, 8) Reflection and Feedback

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 93


(Morra, 2014). Namun dalam artikel ini, tahapan-tahapan
tersebut disederhanakan menjadi enam tahapan untuk
memberikan kemudahan bagi para pemula yang baru akan
mengimplementasikan DST Project.
Digital Storytelling Project: Bukan Sekedar Melatih
Keterampilan Berbahasa
Keterlibatan siswa dalam DST Project tidak hanya memberi
kesempatan untuk mengembangkan keempat keterampilan
berbahasa (berbicara, menyimak, membaca, dan menulis) secara
terintegrasi. Mereka pun dapat mengekspresikan opini mereka,
dengan menggunakan berbagai media seperti gambar, musik, dan
suara mereka sendiri. Dalam DST Project, siswa tidak hanya
terpaku untuk menjadi konsumen pasif teknologi, namun mereka
dapat berperan dan terlibat secara aktif dalam memproduksi
artefak digital. Keterlibatan siswa dalam proses kreatif membuat
DST berpotensi untuk mengembangkan berbagai keterampilan
masa depan (future-ready skills) yang dibutuhkan siswa baik secara
personal maupun profesional. Siswa dapat mengembangkan
berbagai keterampilan yang sering disebut sebagai 21st century

literacy skills seperti keterampilan berkomunikasi, melakukan riset


online terkait topik DST yang mereka pilih, keterampilan bertanya,

94 Finita Dewi, Digital Storytelling Project


mengorganisasi ide, mengekspresikan pendapat, dan membuat
narasi yang bermakna (Robin, 2008). Robin juga menyebutkan
bahwa ketika siswa belajar mengkritik hasil pekerjaannya sendiri
maupun hasil pekerjaan orang lain, mereka sebetulnya sedang
dilatih untuk bersosialisasi dan memiliki kecerdasan emosi.
DST Project yang dilaksanakan di kelas bahasa sejalan
dengan tuntutan untuk terciptanya transformasi dalam
pembelajaran bahasa Inggris (Ohler, 2008). Eaton (2010)
menjelaskan adanya urgensi untuk mengkaji ulang konsep
pembelajaran bahasa Inggris yang lebih berpusat pada siswa,
kolaboratif, dan berbantuan teknologi. Proses rekonseptualisasi
kelas bahasa inggris ini dapat dilakukan dengan menyelaraskan
kerangka kerja pendidikan abad 21 dengan pendekatan
pendekatan pembelajaran bahasa Inggris. Royce (2007)
menyarankan agar para pendidik bidang bahasa mulai bergerak
untuk mengajarkan bahasa yang tidak hanya berfokus pada
keempat keterampilan berbahasa, tetapi juga melihat interaksi
dalam komunikasi sebagai aspek yang lebih luas, saling terkoneksi
dan multimodal.

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 95


Rancangan Kegiatan Kolaboratif
Bagian awal dari tulisan ini telah mengajak pembaca untuk
berkenalan dengan konsep DST dan mengeksplorasi potensi
DST untuk mengembangkan keterampilan berbahasa siswa dan
juga keterampilan yang dibutuhkan dimasa depan. Selanjutnya,
artikel ini akan mengeksplorasi tahapan-tahapan pembuatan
DST, memberikan rekomendasi alat teknologi yang dapat
digunakan, dan juga aspek-aspek yang dapat digunakan sebagai
bahan penilaian atau asesmen baik dari proses pembuatan
maupun produk DST yang dibuat oleh siswa.
Tahapan DST Project dalam artikel ini berdasarkan
pengalaman yang dilakukan bersama mahasiswa dalam konteks
online learning selama Pandemi Covid-19. Tahapan ini cukup
fleksibel untuk diadaptasi dalam konteks tatap muka maupun
moda blended learning. Sebagai gambaran, mahasiswa yang terlibat
dalam DST Project ini adalah mahasiswa tingkat satu dari jurusan
non-bahasa Inggris. Mayoritas kemampuan bahasa inggris
mereka berada di level elementary sampai low-intermediate,
namun ada beberapa mahasiswa yang berada pada level
intermediate sampai low-advanced. Artinya, DST Project ini dapat
dilakukan di kelas dengan siswa yang memiliki kemampuan

96 Finita Dewi, Digital Storytelling Project


berbahasa yang beragam. Selain itu, dengan berbagai
penyesuaian, DST Project juga tidak menutup kemungkinan untuk
dapat diterapkan di kelas non-Bahasa Inggris.
Tujuan pelaksanaan DST Project ini adalah untuk 1)
mengembangkan keterampilan berbicara, menyimak, membaca,
dan menulis, 2) memberi kesempatan untuk berkolaborasi secara
online, 3) mengembangkan digital literasi, dan 4) membangun
kepercayaan diri. Project ini dilakukan dalam durasi 6 minggu.
Dalam pembuatan DST, siswa sebaiknya dipandu dalam setiap
tahapannya, sehingga kegiatan pembelajaran tidak hanya
berfokus pada hasil akhir namun pengajar mengambil peran
sebagai pendamping atau fasilitator dalam setiap tahapan
pembuatan Digital Story. Proses pendampingan ini dapat berupa
proses scaffolding untuk membantu siswa mengkonstruksi ide,
memberi umpan balik dalam pembuatan skrip, atau juga pada
proses pra pengisian suara.
Berikut ini adalah tahapan-tahapan Digital Storytelling Project
yang saya lakukan bersama mahasiswa dalam kurun waktu 6
minggu. Tahapan ini dapat diadaptasi oleh para pengajar sesuai
dengan ketersediaan waktu, tujuan pembelajaran dan project scope.

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 97


1. Minggu I: Project Launching
Pada tahapan Project Launching, guru dapat menjelaskan
yang dimaksud dengan Digital Story, tahapan-tahapan
yang akan dilalui oleh siswa dan aspek-aspek yang akan
menjadi poin penilaian dalam pelaksanaan DST Project ini.
Pengenalan alat teknologi untuk membuat DST
sebaiknya tidak disampaikan di awal, agar siswa dapat
fokus pada proses pembuatan cerita dan tidak tergesa
gesa untuk memproduksi Digital Story mereka.
Tahap perkenalan atau sosialisasi DST Project dapat
dimulai dengan menonton beberapa Digital Story dan
meminta siswa menanggapi hal yang mereka suka atau
tidak suka dari Digital Story tersebut. Untuk memancing
diskusi yang lebih seru, siswa dapat diajak mengevaluasi
Digital Story dari aspek penceritaan. Pertanyaan
pertanyaan berikut dapat digunakan untuk memandu
diskusi:
a. Apa yang dilakukan pencerita untuk menjadikan
cerita ini sebuah Digital Story yang bagus?
b. Bagaimana mencerita mengekspresikan pendapat
pribadinya dalam Digital Story ini?

98 Finita Dewi, Digital Storytelling Project


c. Bagaimana gambar, suara, atau latar belakang musik
dapat memberikan warna dan nuansa yang berbeda
pada Digital Story ini?
d. Apa yang dapat dilakukan pencerita untuk membuat
Digital Story ini lebih baik?
Beberapa contoh Digital Story dapat diambil dari website
Digital Storytelling Contest (http://distco.org/results/) atau
dari playlist Digital Storytelling yang dapat diakses melalui
tautan berikut http://bit.ly/dst-fd.
2. Minggu II: Brainstorming
Tahapan brainstorming merupakan bagian kunci dari
pembuatan Digital Story dimana siswa mengkonstruksi ide
cerita mereka berdasarkan topik yang mereka pilih
sendiri. Sebaiknya siswa diarahkan untuk memilih topik
yang relevan dengan kehidupan pribadi mereka, sehingga
mereka dapat mengedepankan aspek personalisasi dalam
Digital Story yang mereka buat. Topik-topik seperti “my
interest”, “my dream”, “my inspirational person”, cukup
relevan untuk tahap awal pembuatan Digital Story. Selain
itu, topik-topik umum seperti “historical events”, “cultural
values”, atau “invention” juga berpotensi untuk menarik

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 99


minat siswa. Pada proses brainstorming, siswa juga dapat
diajak membaca artikel atau menonton video yang bisa
memberikan inspirasi dalam mencari ide Digital Story.
Dalam konteks pembelajaran yang saya lakukan, saya
mengajak siswa untuk membuat Digital Story dengan
topik terkait kegiatan menarik yang dapat mereka lakukan
selama Pandemi Covid-19. Topik yang saya usung untuk
memayungi ide DST Project para mahasiswa adalah
“Hobby Ideas”. Kegiatan brainstorming dapat dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Siswa diajak untuk membaca artikel tentang “Hobby
Ideas” dari tautan berikut
https://www.mydomaine.com/hobby-ideas,
kemudian masing masing diminta untuk memilih satu
Hobby Ideas yang menarik untuk mereka coba.
b. Siswa dikelompokan secara acak dengan
menggunakan Zoom Breakout Room untuk saling
berbagi “Hobby Ideas” yang mereka pilih dan
menjelaskan alasannya
c. Dalam kelompok kecil, siswa diminta untuk memilih
salah satu “Hobby Ideas” yang akan mereka eksplorasi
Finita

Dewi,

Digital

Storytelling

Project
100
bersama teman-teman dalam kelompoknya,
kemudian mendiskusikan alasan mereka memilih
“Hobby Ideas” tersebut.
d. Siswa diminta untuk menuliskan hasil diskusi
kelompok mereka dan mengunggahnya di Padlet
(https://padlet.com/)

Gambar 21. Contoh Hasil Diskusi Siswa Di Padlet

e. Siswa kembali ke Main Room di Zoom Meeting untuk


saling berbagi hasil diskusi kelompok kecil dan
mendapat komentar atau pertanyaan baik guru
maupun dari teman kelompok lain.

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 101


Selain menggunakan mengunggah hasil diskusi kelompok
dengan menggunakan Padlet (https://padlet.com/)
siswa juga dapat diajak untuk berkolaborasi melakukan
kegiatan mind mapping dengan menggunakan Mindmesiter
(https://www.mindmeister.com/). Mindmeister
memungkinkan siswa untuk membuat Mind Map secara
bersamaan dalam satu platform, sehingga mereka juga
dapat saling melihat dan memberi komentar pada ide-ide
yang dituliskan oleh temannya.
3.

Minggu III: Online Research


Setelah siswa menentukan topik yang akan diangkat
dalam DST mereka, siswa dapat mulai mencari informasi
lebih detail terkait topik yang mereka pilih. Beberapa
pertanyaan pemandu dapat membantu siswa dalam
melakukan online research dan membantu mereka fokus
pada topik yang dibahas. Siswa juga dapat diminta untuk
mengkonstruksi pertanyaan bersama kelompok masing
masing sebelum mereka memulai proses pencarian
informasi. Kegiatan online research ini dapat dilakukan
secara individu terlebih dahulu sebelum mereka
berkolaborasi dalam kelompok untuk bertukar informasi,

102 Finita Dewi, Digital Storytelling Project


menyortir informasi yang relevan dan yang kurang
relevan, serta memilih informasi mana yang akan
dijadikan bahan DST Project kelompok mereka. Dari hasil
diskusi ini, masing-masing kelompok dapat mulai
memetakan alur DST Project mereka dengan menentukan
informasi mana yang akan disampaikan di bagian awal,
bagaimana mereka akan mengisi bagian inti dari cerita,
dan bagaimana mereka akan mengakhiri cerita yang akan
mereka buat.
Dalam konteks project yang saya lakukan dengan
mahasiswa, langkah-langkah kegiatan dalam tahapan
online research adalah sebagai berikut:
a. Setelah masing-masing kelompok memilih salah satu
“Hobby Ideas” yang akan dijadikan topik DST Project,
siswa diberi pertanyaan panduan (lihat Gambar 22).
Pertanyaan panduan ini sifatnya tidak mengikat.
Siswa dapat memilih beberapa pertanyaan yang
dianggap relevan dan dapat digunakan sebagai bahan
online research.

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 103


Gambar 22. Online Research Guided Questions

b. Siswa juga diberi ruang untuk membuat sendiri


pertanyaan yang mereka diskusikan dalam kelompok,
sehingga mereka memiliki ownership terhadap cerita
digital yang akan mereka buat.
c. Masing-masing anggota kelompok bekerja secara
mandiri mencari informasi atau jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang sudah ditentukan
sebelumnya, lalu dalam kelompok mereka menyortir
informasi yang akan mereka gunakan dalam Digital
Story
d. Siswa berkolaborasi membuat skrip untuk DST
Project dengan mempertimbangkan bagian awal,
tengah, dan akhir cerita.

104 Finita Dewi, Digital Storytelling Project


e.
Pada tahap ini, guru dapat memberikan masukan dan
komentar terhadap draft skrip DST Project. Biasanya
siswa memilih informasi yang terlalu umum dan
kurang unik, yang mungkin membuat DST Project
mereka menjadi kurang menarik. Guru dapat
memberikan pancingan-pancingan atau bantuan agar
siswa dapat membuat alur cerita DST Project mereka
menjadi lebih menarik minat penonton nantinya.
Misalnya dengan menggali fakta-fakta unik, informasi
menampilkan
yang tidak angka
diketahui
statistik
banyak
yang orang,
mengejutkan.
atau

Namun perlu diperhatikan juga bahwa guru


sebaiknya tidak mendominasi atau memberikan
terlalu banyak ide yang membuat siswa kehilangan
sudut pandang personal dari DST Project mereka.
4. Minggu IV: Storyboarding and Picture Collecting
Dari informasi yang didapat melalui online research, siswa
dapat mulai menyusun Storyboard sederhana untuk
memperjelas alur cerita dan media apa saja yang
dibutuhkan untuk mendukung penyampaian cerita digital.
Storyboard berisikan urutan gambar atau foto, skrip atau

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 105


narasi untuk setiap foto, dan media tambahan seperti
music latar, animasi, dsb. Guru dapat menyediakan
platform online seperti Padlet atau Google Slides untuk
memfasilitasi kolaborasi kelompok. Pada tahap ini, siswa
perlu diberi informasi mengenai hal-hal terkait hak
kekayaan intelektual atau copyright. Siswa perlu diingatkan
untuk menggunakan gambar atau foto milik pribadi atau
mencari gambar yang bebas copyright. Beberapa website
seperti https://pixabay.com/,
https://unsplash.com/images/stock/non-copyrighted,
dan https://www.freeimages.com/ dapat digunakan
untuk mencari gambar-gambar yang bebas dari isu
copyright. Sementar untuk latar musik, siswa dapat mencari
musik dari website-website penyedia musik yang bebas
royalty seperti https://mixkit.co/free-stock-music/,
https://www.hooksounds.com/.
https://taketones.com/, atau

Dalam DST Project ini, saya menggunakan Google Slides


sebagai platform kolaborasi siswa (contoh Google Slides
dapat diakses melalui tautan: https://bit.ly/dst-gslides ).

106 Finita Dewi, Digital Storytelling Project


Kegiatan storyboarding dapat dilakukan dengan langkah
langkah sebagai berikut:
a. Siswa diminta untuk melihat contoh storyboard yang
terdapat pada google slides
b. Siswa diminta untuk mencari 4-6 gambar yang
relevan dengan alur cerita yang telah dibuat,
kemudian menuliskan caption atau narasi untuk
masing-masing gambar. Narasi ini diadaptasi dari
draft DST yang sudah dibuat pada tahapan
sebelumnya.
c. Jika memungkinkan, siswa dapat diminta untuk
mempresentasikan progress pengerjaan DST Project
untuk mendapat mendapat masukan dari guru dan
teman kelompok lain
d. Guru memberikan Feedback pada caption yang dibuat
oleh siswa atau berdasarkan hasil presentasi
kelompok. Feedback yang diberikan dapat berupa
masukan untuk kesalahan grammar, alur atau urutan
gambar, dan konten atau ide cerita

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 107


e. Setelah mendapat masukan, siswa dapat merevisi
caption atau skrip yang mereka buat sebelum masuk
ke tahap selanjutnya
5.

Minggu V: Creating DST


Setelah semua gambar dan narasi siap, saatnya siswa
untuk membuat DST mereka. Siswa disarankan untuk
berlatih presentasi terlebih dahulu sebelum mulai proses
produksi DST. Mereka dapat berlatih dengan merekam
suara mereka, kemudian melakukan evaluasi mandiri
terhadap aspek-aspek kebahasaan seperti pronunciation,
expression dan intonation. Siswa juga dapat saling bertukar
hasil rekaman dengan teman kelompoknya dan saling
memberikan masukan. Rekaman presentasi dapat
dilakukan dengan menggunakan online voice recorder seperti
Vocaroo (https://vocaroo.com/) atau Voice Spice
(https://voicespice.com/). Dengan menggunakan online voice
recorder ini, siswa dapat dengan mudah membagikan hasil
rekaman mereka secara online tanpa harus mengunggah
atau mengunduh hasil rekaman tersebut, karena file
rekaman suara telah tersimpan di server website diatas.

108 Finita Dewi, Digital Storytelling Project


Setelah semua materi untuk konten DST Project siap,
saatnya masuk pada bagian teknis pembuatan DST.
Mayoritas siswa saat ini sudah familiar dengan berbagai
alat teknologi yang dapat digunakan untuk membuat
DST. Salah satu alat teknologi sederhana yang dapat
digunakan untuk membuat DST Project adalah Microsoft
Photostory. Software gratis ini dapat diunduh melalui tautan
berikut:
ry/. Walaupun fitur-fitur yang dimiliki Microsoft Photostory
https://filehippo.com/download_microsoft_photo_sto

cukup terbatas, software ini sudah memadai untuk


digunakan dalam membuat DST Project. Selain Microsoft
Photostory, alat teknologi yang umum digunakan adalah
Kinemaster, Filmora, Viva Video, atau Inshot. Dalam hal
pemilihan alat teknologi, guru perlu menyarankan pada
siswa untuk menggunakan software-software resmi agar
tidak melanggar hak cipta.
6. Week VI: Publishing and Reflecting
Pada tahapan terakhir ini, siswa dapat diminta untuk
mengunggah hasil DST Project mereka ke platform online
seperti YouTube, Facebook, Instagram, atau Tiktok. Siswa

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 109


dapat diinformasikan sejak awal pelaksanaan Project
bahwa hasil karya mereka akan diunggah ke platform online.
Dengan mengetahui bahwa ada audiens diluar
lingkungan sekolah yang akan menonton hasil karya para
siswa, biasanya akan meningkatkan motivasi mereka
untuk memproduksi Digital Story yang terbaik yang dapat
mereka lakukan.
Setelah menyelesaikan semua rangkaian tahapan
pembuatan DST Project, siswa dapat diajak berefleksi
membahas pengalaman yang mereka lalui selama proses
pembuatan, dan hal-hal yang mereka pelajari selama
proses pelaksanaan DST Project bersama kelompok
masing-masing. Siswa juga dapat diajak untuk
mengevaluasi hasil DST kelompok mereka, atau DST
yang dibuat kelompok lain, dan memberi komentar hal
hal yang dapat ditingkatkan untuk membuat DST
tersebut lebih baik.
Mengapresiasi Kerja Keras Siswa
Seperti telah dibahas pada bagian sebelumnya, DST Project
merupakan kegiatan yang membutuhkan durasi yang cukup lama
dan memerlukan investasi waktu yang cukup banyak, baik dari

110 Finita Dewi, Digital Storytelling Project


sudut pandang siswa sebagai kreator DST, maupun dari sudut
pandang pengajar sebagai perancang aktivitas pembelajaran.
Oleh karena itu, akan sangat tidak bijak jika pengajar hanya
memberikan penilaian berdasarkan produk akhir saja (Brenner,
2014). Pengajar perlu mengapresiasi kerja keras siswa dari
berbagai sudut pandang, baik dari sisi produk akhir maupun
proses pengerjaan.
Untuk menilai produk, pengajar dapat mengadaptasi rubrik
penilaian DST dari website Digital Storytelling Contest melalui tautan
berikut https://bit.ly/distco_judging. Dari 15 aspek yang
terdapat pada rubrik Digital Storytelling Contest ini (lihat Gambar
23), pengajar disarankan memilih beberapa aspek saja yang akan
menjadi fokus penilaian.

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 111


Gambar 23. Rubrik Penilaian Produk Digital Story

112 Finita Dewi, Digital Storytelling Project


Selain menilai produk akhir, terdapat cukup banyak aspek
yang dapat dinilai dari proses pembuatan DST dari mulai
perencanaan sampai produk akhir DST Project. Berikut ini adalah
beberapa rekomendasi kriteria penilaian proses terhadap DST
Project yang diadaptasi dari Brenner (2014).
1. Perencanaan
a. Kualitas skrip DST Project menunjukan bahwa siswa
telah berusaha untuk mencari informasi yang
memadai dan melakukan proses reviu dan revisi
dengan baik
b. Kualitas skrip DST menunjukan bahwa siswa
menggunakan bahasanya sendiri
c. Kualitas skrip DST menunjukan bahwa siswa
memiliki perbendaharaan kata yang beragam
d. Storyboard menunjukan adanya perencanaan yang
baik untuk menghubungkan skrip DST dengan
gambar atau foto yang relevan
2. Narasi dan audio tambahan lainnya
a. Tingkat kecepatan narasi relevan dengan konten
cerita dan dapat menarik minat audiens

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 113


b. Kata-kata diucapkan dengan baik dan benar, dan
penggunaan word stress yang tepat pada tempatnya
c. Intonasi suara mengarahkan pada respon emosional
yang ingin dibangun oleh DST
d. Latar belakang musik atau suara relevan dengan
konten cerita
3. Presentasi DST
a. Kualitas presentasi menunjukan bahwa siswa telah
melakukan latihan yang cukup, dan dapat membuat
audiens tertarik
b. Kedalaman konten DST menunjukan bahwa siswa
menggunakan keterampilan berpikir kritis
c. Kualitas presentasi menunjukan organisasi konten
yang baik dengan struktur dan alur cerita yang jelas
4. DST Project secara keseluruhan
a. Kualitas DST menunjukan bahwa siswa telah
bekerjasama dan berdiskusi dengan kelompok dan
telah membagi tugas masing-masing anggota dengan
baik
b. Kualitas DST menunjukan concept DST yang
memiliki alur dan tujuan yang jelas

114 Finita Dewi, Digital Storytelling Project


c. Kualitas DST menunjukan hasil kerja kelompok yang
kreatif dan imajinatif
d. Kualitas DST menunjukan penggunaan alat
teknologi dipilih dengan baik dan, digunakan untuk
mengkomunikasikan ide cerita dengan efektif.
e. Durasi 3–5 menit
Kriteria-kriteria diatas dapat dipilih oleh pengajar sesuai
dengan kebutuhan dan fokus penilaian yang akan diambil dari
DST Project. Kemudian guru dapat menggunakan skala likert
untuk membuat rubrik penilaian berdasarkan kriteria yang
dipilih. Pada tabel 5 di bawah ini dapat dilihat contoh rubrik
penilaian proses untuk DST Project.
Tabel 5. Contoh Rubrik DST Project

Items Excellent Very Good Fair


Good
Planning Depth of content/
information
Originality
Use of Vocabulary
Storyboard
Narration and Speaking Pace
Music Pronunciation and
Background Word Stress
Intonation
Music Background

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 115


Items Excellent Very Good Fair
Good
Presentation
DST Project Kualitas
penyampaian
presentasi
Kualitas konten
presentasi
Organisasi
presentasi
Rubrik penilaian proses dan penilaian produk DST Project
sebaiknya disampaikan pada tahapa awal (Project Launching)
sehingga siswa mengetahui bukan hanya produk akhir yang
menjadi bahan penilaian namun energi dan usaha yang mereka
keluarkan selama pelaksanaan DST Project ini akan mendapat
apresiasi. Hal ini akan memotivasi siswa untuk bekerja lebih
sungguh-sungguh terutama dalam proses kolaborasi dengan
kelompok mereka.
Mengantisipasi Tantangan dalam DST Project
Dalam melaksanakan DST Project ini akan ada beberapa
tantangan yang perlu diantisipasi sebelum memulai project untuk
meminimalisir terjadinya masalah dalam implementasi project.
Untuk mengantisipasi berbagai tantangan yang akan dihadapi
dalam pelaksanaan DST Project dan meminimalisir terjadinya
masalah, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
dalam implementasi DST Project.

116 Finita Dewi, Digital Storytelling Project


1. Persiapan
Persiapan yang matang dan detail perlu dilakukan
dengan mempertimbangkan tingkat pemahaman
siswa untuk melaksanakan tahapan-tahapan DST
Project. Untuk itu, guru perlu membuat draft instruksi
yang akan disampaikan pada siswa agar tahapan
kegiatan dapat terstruktur dengan rapi dan mudah
dipahami siswa.
2. Waktu
Melaksanakan DST Project akan cukup memakan
waktu, terutama bagi guru dan siswa yang belum
pernah melaksanakan proyek dengan output produk
digital. Memberikan pembatasan durasi DST (3-4
menit) akan sangat membantu mengurangi beban
kerja dan waktu yang dibutuhkan dalam pembuatan
DST.
3. Hak Cipta
Isu Copyright dan urgensi untuk menghargai hak
kekayaan intelektual cukup penting untuk
dikenalkan pada siswa. Terkait hal ini, siswa perlu
disarankan untuk menuliskan referensi dari gambar,

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 117


foto, music, dan atau teks yang mereka kutip.
Sebagai konsekuensinya, jumlah sitasi yang terlalu
banyak akan membuat siswa tergerak untuk menulis
skrip dengan kata-kata sendiri.
4. Keterampilan Teknologi

Tidak semua siswa akan merasa nyaman dengan


penggunaan teknologi dan mungkin sebagian dari
mereka merasa lebih nyaman untuk belajar bahasa
Inggris dengan cara konvensional. Dalam hal ini,
teknologi sebaiknya tidak terlalu mendominasi
dalam proses pembelajaran bahasa Inggris.
Teknologi sebaiknya menjadi batu loncatan bagi
siswa untuk mempelajari bahasa Inggris dan sebagai
alat bantu untuk menciptakan lingkungan belajar
yang menarik, menyenangkan, dan bermakna.
Dengan pertimbangan ini, siswa dapat memulai DST
Project dengan menggunakan alat-alat teknologi
sederhana dan mereka juga perlu diingatkan bahwa
fokus DST Project bukan pada produknya namun
pada proses pembuatan dan kerjasama mereka
dalam tim.

118 Finita Dewi, Digital Storytelling Project


5. Pemberian Feedback
Feedback atau masukan dari pengajar akan sangat
bermakna bagi siswa. Usahakan untuk memberikan
Feedback yang konstruktif dan bermakna sehingga
dapat membantu siswa dalam melakukan revisi.
Kebanyakan siswa merasakan Feedback yang
konstruktif membuat mereka terpacu untuk
melanjutkan project dan menambah percaya diri
mereka untuk menghasilkan DST yang baik.
DST Project, Keterampilan Berbahasa, dan Keterampilan
Masa Depan (Future-Ready Skills)
Bagian terakhir dari artikel ini akan membahas hal-hal yang
bisa didapatkan siswa dari DST Project baik itu untuk
mengembangkan keterampilan berbahasa Inggris, maupun
keterampilan masa depan bagi siswa. Tentunya, dari sisi
keterampilan berbahasa, banyak aspek yang tersentuh oleh project
ini. Keterampilan membaca dan menyimak siswa terasah melalui
exposure pada Bahasa Inggris pada saat mereka menonton DST
dan juga melakukan online research. Mereka membaca berbagai
artikel atau menonton video-vidio dalam bahasa Inggris dengan
topik yang mereka pilih dan sesuai dengan ketertarikan mereka.

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 119


Hal ini tentunya memberikan sensasi yang berbeda dibandingkan
jika mereka harus membaca teks atau menonton video yang sudah
ditentukan oleh guru. Selain itu, keterampilan menulis dilatihkan
pada saat mereka merangkum hasil online research dan
menjadikannya skrip dan narasi untuk DST Project. Selanjutnya,
keterampilan berbicara mendapatkan porsi yang cukup besar
pada saat siswa berlatih presentasi dan juga pada saat mereka
mengisi suara untuk narasi DST Project mereka. Secara
terintegrasi, DST Project telah membantu siswa dalam
mengembangkan keempat keterampilan berbahasa mereka,
dalam bingkai pelaksanaan project yang melibatkan mereka secara
aktif untuk bekerjasama dalam tim.
DST Project ini juga berpotensi untuk mengembangkan
keterampilan yang akan dibutuhkan siswa di masa depan, baik itu
untuk kehidupan personal maupun kebutuhan professional
mereka di dunia kerja nantinya. Keterampilan yang cukup
dominan dikembangkan dalam DST Project ini adalah
keterampilan kolaborasi, komunikasi, dan bekerja sama dalam
Tim. Selama pelaksanaan DST Project, banyak hal yang harus
dilakukan bersama dalam tim. Tentunya tidak mudah
menyatukan ide-ide dari berbagai pemikiran untuk menghasilkan

120 Finita Dewi, Digital Storytelling Project


satu DST yang baik. Dalam prosesnya, siswa harus belajar
mendengar dan menerima pendapat orang lain, dan juga
menyampaikan argumen agar dapat diterima oleh anggota
kelompoknya. Proses negosiasi dan pengambilan keputusan
banyak terjadi di berbagai tahapan DST Project.
Selanjutnya keterampilan berpikir kritis dan memecahkan
masalah juga menjadi highlight dalam DST Project. Ketika siswa
mengevaluasi Digital Story yang sudah ada ataupun melakukan self
evaluation dan peer-evaluation terhadap karya yang mereka buat,
siswa dituntut untuk berpikir kritis dalam memberikan komentar
dan masukan untuk hal-hal yang dapat membuat DST mereka
menjadi lebih baik. Mereka pun dilatih untuk memberikan
komentar positif dan melihat kekuatan dari setiap karya yang
mereka tonton. Keterampilan berpikir kritis juga dilatih pada saat
siswa menyortir dan memilih informasi-informasi mana yang
akan mereka masukan dalam Digital Story. Kemampuan
memecahkan masalah juga muncul terutama pada saat proses
produksi. Ketika siswa menghadapi isu teknis pada saat
berhadapan dengan software untuk membuat media digital, siswa
perlu memecahkan masalah bersama sama dengan tim. Selain itu,
kemampuan memecahkan masalah juga mungkin muncul ketika

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 121


terjadi ketidakselarasan dalam kerja tim. Dari fakta-fakta diatas,
dapat terlihat bahwa keterampilan-keterampilan yang siswa
dapatkan dari DST Project adalah keterampilan yang relevan
dengan kebutuhan mereka untuk menjadi bagian dari masyarakat
di abad 21 ini.
Penutup
Sebagai penutup, saya ingin menggarisbawahi bahwa DST
Project memiliki keunggulan dalam menciptakan transformasi di
kelas Bahasa Inggris. Pembelajaran berbasis teknologi tidak
hanya menempatkan siswa sebagai konsumen pasif teknologi
namun juga memberdayakan siswa untuk secara aktif menjadi
produsen teknologi digital. Saya yakin, jika DST Project
direncanakan dengan baik, sesuai dengan konteks siswa dari sisi
kemampuan berbahasa, akses, lingkungan belajar, dan
ketertarikan siswa, DST Project dapat menjadi jembatan untuk
mengasah keterampilan berbahasa secara integratif. Terlepas dari
banyaknya tantangan yang mungkin harus dihadapi guru dan
siswa dalam pelaksanaan DST Project, banyak manfaat yang dapat
dirasakan baik oleh guru maupun oleh siswa. Guru tentunya
mengetahui bahwa saat ini, integrasi yang harmonis antara
teknologi, pedagogi, dan konten akan membawa pada

122 Finita Dewi, Digital Storytelling Project


pemahaman yang lebih mendalam terhadap betapa powerful-nya
peran teknologi dalam menciptakan transformasi dalam kegiatan
belajar mengajar (Robin, 2008). Berbagai penelitian terkait dan
juga pengalaman saya dalam melaksanakan DST Project ini
menunjukan bahwa kombinasi antara desain instruksi dan alat
teknologi memiliki peran dan memberikan efek positif terhadap
luaran pembelajaran.
Daftar Pustaka
Brenner, K. (2014). Digital stories: A 21st century communication tool for the
English language classroom. English Teaching Forum, 1, 22–29.
Eaton, S. E. (2010). Global trends in language learning in the 21st century. Onate
Press.
Lambert, J. (2010). Digital storytelling cookbook. Digital Diner Press.
Miller, S. M. (2007). English teacher learning for new times: Digital video
composing as multimodal literacy practice. English Education, 40(1), 61–
83.
Morra, S. (2014). 8 Steps to great digital storytelling. In Edudemic.
http://samanthamorra.com/2013/06/05/edudemic-article-on-digital
Storytelling/
Ohler, J. B. (2008). Digital storytelling in the classroom: New media pathways to literacy,
learning and creativity. Corwin Press.
Robin, B. R. (2008). Digital storytelling: A powerful technology tool for the
21st century classroom. Theory into Practice, 47(3), 220–228.
Rekomendasi Sitasi
Dewi, F. (2021). Digital storytelling project: Kegiatan kolaboratif di kelas
bahasa Inggris. In G. Jati & F. Dewi (Eds.), Teknologi dan pembelajaran
bahasa Inggris (Hal. 89-121). Perkumpulan Pengajar Bahasa Berbasis
Teknologi Informasi (iTELL).

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 123


124

5
OPTIMALISASI TEKNOLOGI PADA PEMBERIAN
FEEDBACK
Shelia Anjarani

Feedback
Pernahkah kita memberikan sebuah hadiah kepada orang
orang terdekat namun tidak ada respon apapun dari mereka?.
Mungkin kita akan bertanya-tanya, apakah mereka menyukai
hadiah yang kita berikan, apakah mereka sebelumnya sudah
memiliki barang tersebut, apakah barang tersebut perlu diganti,
apakah di masa mendatang kita harus memberikan hadiah yang
berbeda jenis, warna, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Analogi itu dapat kita gunakan juga saat siswa sudah
mengumpulkan tugas yang mereka kerjakan namun tidak ada
umpan balik atau feedback yang diberikan oleh guru. Mereka
mungkin akan bertanya-tanya apakah guru sudah cek tugas yang
dikumpulkan, apakah tugas yang mereka kerjakan sudah betul,
apakah ada yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan, dan lain-lain.
Umpan balik atau feedback merupakan bagian penting yang
tidak dapat dipisahkan pada proses pembelajaran, namun
mayoritas guru tidak mendapat banyak pelatihan bagaimana
memberikan feedback sehingga mengakibatkan feedback menjadi
tidak efektif yang nantinya akan berpengaruh pada hasil
pembelajaran siswa (Corwin & Lortie, 1976). Selain itu, masih
banyaknya miskonsepsi tentang feedback yang dipahami hanya
sebagai sebuah informasi atau komentar yang diberikan oleh guru
pada tugas yang dikerjakan siswa (Boud & Molloy, 2013). Selain
masih banyaknya miskonsepsi tentang feedback, tantangan lainnya
adalah bagaimana memberikan feedback kepada siswa.
Perubahan pedagogi dengan adanya teknologi juga
meluaskan pembahasan tentang feedback saat ini. Apalagi
tantangan yang dihadapi oleh guru saat ini adalah mengubah
proses pemberian feedback secara daring karena situasi pandemi
Covid-19. Sementara itu, pemberian feedback dengan
menggunakan teknologi belum banyak dibahas sebelumnya.
Oleh karena itu, melalui artikel ini kita akan bersama-sama
merefleksikan pemahaman kita tentang feedback dan bagaimana
cara memberikan feedback. Selain itu, artikel ini juga akan
mengeksplorasi beberapa teknologi yang dapat mendukung

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 125


proses pemberian feedback dan bagaimana mengintegrasikannya
agar dapat diimplementasikan pada emergency remote teaching saat ini
atau ketika proses belajar mengajar sudah kembali tatap muka.
Memberi Komentar di Tugas Siswa = Memberi Feedback?
Secara umum, feedback dipahami sebagai sebuah informasi
atau komentar yang diberikan oleh guru terkait hasil pekerjaan
siswa. Hal tersebut juga diperkuat oleh Hattie & Timperley
(2007) yang menjelaskan bahwa feedback merupakan sebuah
informasi yang diberikan oleh guru tentang aspek kinerja atau
pemahaman siswa. Namun, apakah feedback hanya sekedar
sebuah informasi atau komentar yang diberikan oleh guru kepada
siswa? Henderson, dkk. (2019) menjelaskan feedback dengan lebih
spesifik bahwa feedback adalah proses siswa memahami informasi
atau komentar yang didapat dari guru tentang tugas atau
pemahaman mereka, lalu siswa menggunakan informasi atau
komentar tersebut untuk meningkatkan proses pembelajaran.
Ada dua kata kunci utama pada penjelasan feedback tersebut yaitu
memahami dan mengimplementasikan feedback. Proses
memahami dan mengimplementasikan feedback ini dilakukan oleh
siswa, bukan guru. Jadi, feedback merupakan student centered.
Melalui penjelasan tentang feedback tersebut, kita juga dapat

126 Shelia Anjarani, Feedback


melihat peran guru yaitu mengajarkan atau memandu siswa
menggunakan feedback yang diperoleh untuk meningkatkan
proses pembelajaran. Kemudian, guru perlu memberikan waktu
dan kesempatan pada siswa untuk menggunakan feedback yang
sudah diperoleh.
Jadi, feedback bukan bagian akhir dari proses pembelajaran.
Jika kita memberikan komentar pada tugas siswa namun tidak
ada aktivitas pembelajaran lain yang berkelanjutan setelah itu,
maka hal tersebut bukanlah sebuah feedback. Komentar tersebut
hanya sebuah informasi yang didapat oleh siswa dari guru (Boud
& Molloy, 2013). Aktivitas yang berkelanjutan contohnya seperti
meminta siswa merevisi lalu mengumpulkan kembali tugas
mereka setelah mendapat feedback dari guru. Aktivitas
berkelanjutan lainnya misalnya guru memberikan tugas lain yang
masih berkaitan dengan tugas sebelumnya yang sudah diberikan
feedback. Contoh aktivitasnya dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Siswa menulis sebuah esai pendek berupa argumentative
text dengan tema media sosial.
2. Setelah siswa mengumpulkan tulisan mereka, guru lalu
memberikan feedback

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 127


3. Setelah siswa menerima feedback tersebut, guru meminta
siswa untuk menulis esai pendek berupa argumentative text
namun dengan tema yang berbeda, misalnya tentang
pembelajaran daring.
Pada aktivitas pembelajaran di atas, siswa menulis
argumentative text. Saat siswa menulis argumentative text dengan
tema yang berbeda dengan tugas sebelumnya, siswa dapat
mengimplementasikan feedback yang mereka terima sebelumnya
untuk diimplementasikan di tulisan mereka yang baru dengan
tema yang berbeda (pembelajaran daring). Intinya, dari deskripsi
kegiatan pembelajaran tersebut, ada kesempatan bagi siswa untuk
memahami dan mengimplementasikan feedback yang diterima.
Seringkali, siswa tidak memperhatikan feedback yang diberikan
oleh guru karena tugas berikutnya tidak linear dengan tugas
sebelumnya yang sudah diberikan feedback (Rand, 2017).
Feedback dapat dideskripsikan sebagai sebuah simpul tali
yang saling berkesinambungan satu dengan yang lain dimana
pada akhirnya mengarah pada peningkatan hasil pembelajaran
siswa.

128 Shelia Anjarani, Feedback


Gambar 24. Gambaran proses feedback

Hal tersebut juga diperkuat oleh Boud & Molloy (2013) yang
mengemukakan bahwa hasil dari proses pembelajaran siswa akan
meningkat jika siswa terlibat aktif dalam proses feedback yang
sudah diberikan oleh guru. Terlibat aktif disini maksudnya adalah
siswa dapat memahami lalu menggunakan feedback yang sudah
diberikan. Walaupun guru memberikan feedback pada tugas siswa
secara detil dan menyeluruh, namun efek feedback pada proses
pembelajaran itu akan terlihat pada bagaimana siswa dapat
mengimplementasikan feedback yang diberikan.
Sekarang, kita dapat merefleksikan proses pemberian
feedback kita selama ini, apakah kita sudah benar-benar
memberikan feedback kepada tugas-tugas dan pemahaman siswa

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 129


serta memberikan mereka kesempatan untuk
mengimplementasikan feedback tersebut?
Feedback yang Efektif
Feedback dapat menjadi pengaruh yang paling kuat pada
proses pembelajaran siswa sehingga tidak mengherankan banyak
literatur yang membahas tentang bagaimana cara memberikan
feedback yang efektif agar memberikan dampak pada proses
belajar siswa (Hattie & Timperley, 2007). Banyak studi kasus
tentang feedback menyebutkan bahwa feedback efektif yang
diberikan oleh guru ke siswa dapat dipengaruhi oleh banyak
faktor dari waktu ke waktu misalnya jumlah siswa dalam satu
kelas, kebijakan institusi, metode penyampaian feedback, dan lain
lain. Namun, secara garis besar, Henderson dan Phillips (2014)
mengkategorikan beberapa prinsip terkait feedback yang efektif,
antara lain:
1. Tepat waktu
Tepat waktu disini diartikan bahwa jangka waktu siswa
mengumpulkan tugas dan pemberian feedback oleh guru
tidak boleh terlalu lama. Hal ini akan berpengaruh pada apa
yang akan mereka kerjakan atau lakukan setelah
mendapatkan feedback agar memberikan dampak pada

130 Shelia Anjarani, Feedback


proses pembelajaran. Tidak ada aturan baku tentang waktu
untuk pemberian feedback seperti satu hari atau satu minggu
setelah siswa mengumpulkan tugas, namun perlu segera
mungkin diberikan feedback sebelum siswa mengerjakan
tugas berikutnya atau belajar materi baru.
2. Jelas atau tidak ambigu
Memberikan feedback hanya dengan memberikan komentar
seperti “Bagus”, “Excellent”, “Good job”, “Banyak grammar
yang salah”, dan lain-lain merupakan feedback yang ambigu
atau tidak jelas. Pemberian feedback harus diberikan secara
jelas dan spesifik. Jika tugas yang dikerjakan bagus, maka
perlu dijelaskan apa yang bagus dari tugas yang siswa
kerjakan, begitu juga sebaliknya jika tugas yang dikerjakan
tidak lengkap atau tidak memenuhi rubrik penilaian guru,
maka perlu dijelaskan aspek apa saja yang masih kurang
atau tidak lengkap.
3. Edukatif
Feedback yang disampaikan perlu konstruktif untuk
meningkatkan proses pembelajaran siswa. Pemberian
feedback tidak hanya untuk mengoreksi tugas yang siswa
kerjakan, namun guru perlu memberikan saran konstruktif

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 131


yang edukatif tentang bagaimana memperbaiki atau
meningkatkan tugas tersebut.
4. Proporsional dengan rubrik penilaian
Setiap tugas pasti memiliki rubrik penilaian masing-masing.
Misalnya ketika guru mengoreksi tugas menulis yang bobot
rubrik penilaiannya lebih menekankan pada aspek
organisasi ide, tata bahasa, dan penulisan tanda baca, maka
feedback yang diberikan kepada siswa juga harus mengarah
pada aspek-aspek tersebut.
5. Berdialog melalui feedback
Feedback yang disampaikan guru dapat menstimulasi siswa
untuk berdiskusi lebih lanjut tentang feedback tersebut.
Diperlukan keaktifan siswa untuk berani berdiskusi dengan
guru tentang feedback yang diberikan. Selain itu guru juga
perlu memfasilitasi dialog tentang feedback ini agar proses
pembelajaran melalui feedback yang diberikan oleh guru
dapat terjadi.
6. Memotivasi siswa
Feedback yang diberikan seharusnya dapat memotivasi
siswa tentang kelebihan yang mereka miliki. Sehingga, kita
perlu berhati-hati dengan pemilihan kata-kata yang

132 Shelia Anjarani, Feedback


digunakan saat pemberian feedback agar tidak mematikan
semangat siswa dalam proses belajar.
Prinsip-prinsip di atas dapat membantu menavigasi guru
untuk menciptakan feedback yang efektif kepada siswa secara garis
besar. Meskipun menciptakan feedback yang efektif merupakan
sesuatu yang kompleks karena terdapat banyak variabel-variabel
lain yang berpengaruh dan saling bersinergi seperti mata
pelajaran, jenis tugas, kebijakan institusi, metode penyampaian
feedback dan lain-lain (Henderson dkk., 2019).
“Feedback Sandwich”
Seperti dipaparkan sebelumnya, feedback tidak hanya
diberikan dengan memberikan komentar seperti “Bagus”, “Tidak
bagus” dan lain-lain. Namun, feedback perlu menjadi jembatan
bagi siswa untuk meningkatkan proses belajar. Sehingga, dalam
memberikan feedback apalagi dengan mediasi teknologi (e
feedback), terdapat beberapa struktur penyampaian feedback yang
perlu diperhatikan. Struktur pemberian feedback ini biasa dikenal
dengan istilah feedback sandwich. Ada banyak jenis feedback sandwich
yang dapat diadopsi oleh guru. Berikut adalah adopsi feedback
sandwich menurut Henderson dan Phillips (2014) yang memuat 7
elemen dalam penyampaian e-feedback, antara lain:

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 133


1. Salam pembuka
Pada salam pembuka ini kita bisa menyapa siswa dengan
menyebut nama mereka
Contoh:
“Hi, Denta. Selamat pagi”
2. Apresiasi
Pada bagian awal setelah salam, kita bisa menyampaikan
apresiasi kita terhadap tugas yang mereka kerjakan. Hal
ini juga dianggap dapat memperkuat hubungan dan
interaksi antara guru dan siswa.
Contoh:
“Terimakasih banyak ya sudah mengumpulkan tugas ini
tepat waktu.”
“Saya lihat tugas menulis kamu yang ini lebih terstruktur
idenya”
3. Tujuan feedback
Kita perlu menjelaskan tujuan dari pemberian feedback
ini. Siswa perlu mengetahui bahwa feedback yang
diberikan akan membantu mereka meningkatkan proses
belajar mereka sehingga feedback yang diberikan akan
berfokus pada apa yang sudah bagus dari tugas mereka

134 Shelia Anjarani, Feedback


dan apa yang perlu ditingkatkan. Selain itu, siswa juga
perlu dijelaskan bahwa pemberian feedback ini bukan
untuk menjustifikasi nilai yang mereka dapat.
Contoh:
“Feedback ini adalah untuk tugas menulis yang ketiga.
Saya tidak dapat memberikan feedback per kalimat.
Namun, saya akan fokuskan pada apa yang sudah bagus
dan apa perlu ditingkatkan dari tulisanmu ini”
4. Evaluasi
Pada bagian ini, kita memberikan evaluasi terhadap
tugas siswa. Pada bagian ini kita dapat menyoroti
kelebihan dan kekurangan dari tugas yang dikerjakan
siswa, sebelum kita menjelaskan feedback secara lebih
spesifik.
Contoh:
“Esai yang kamu tulis sangat bagus dengan pendekatan
teoritis yang kuat. Namun, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, antara lain…….”
“Saya sangat menikmati membaca ide di tulisan yang
kamu buat, namun ada beberapa hal yang perlu
diperbaiki yaitu……..”

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 135


5. Memberikan contoh
Setelah kita mengevaluasi tugas mereka, kita juga dapat
memberikan contoh untuk mendukung feedback yang
kita berikan. Hal ini untuk memudahkan mereka dalam
memahami feedback yang guru sampaikan.
6. Kesimpulan
Ketika kita memberikan feedback, kita mengharapkan
bahwa siswa dapat belajar melalui feedback yang
diberikan. Jadi, feedback yang kita berikan juga
seharusnya memfasilitasi siswa untuk mengeksplorasi
feedback yang kita sampaikan dengan memberikan
kesimpulan yang dapat mengajak siswa untuk berpikir
tentang feedback tersebut.
Contoh:
“Jika teori A sudah digunakan, memungkinkan tidak ya
jika kita menggunakan teori B di tulisan ini?”
“Coba dieksplorasi lagi ya siapa kira-kira pembaca dari
tulisan ini, apakah mereka dapat memahami teori yang
ditulis melalui tulisan ini?”

136 Shelia Anjarani, Feedback


7. Penutup
Pada bagian penutup ini kita dapat mengucapkan
selamat kepada siswa jika tugas yang dikerjakannya baik
atau kita juga dapat mengajak siswa berdiskusi lebih
lanjut terkait feedback yang diberikan.
Contoh:
“Selamat ya, tugas yang kamu kerjakan sangat baik.
Semoga dapat terus dipertahankan”
“Terimakasih sudah mengerjakan tugas dengan tepat
waktu. Setelah mendengar atau menonton feedback ini
dan jika masih ada pertanyaan, jangan ragu untuk
menghubungi saya ya”
Technology-Mediated Feedback
Berkembangnya teknologi yang sangat pesat saat ini dan
adanya pandemi global, Covid-19, memberikan dimensi baru
terkait integrasi teknologi dalam proses pembelajaran. Hal ini
juga berpengaruh bagaimana guru memberikan feedback dengan
mediasi teknologi (e-feedback). Namun sayangnya, e-feedback
selama ini belum banyak dieksplorasi. Umumnya, feedback
disampaikan secara tatap muka di kelas (oral feedback) dan
menggunakan feedback tertulis (written feedback). E-feedback juga

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 137


dapat dalam bentuk tertulis (written) seperti penggunaan fitur
komentar pada Microsoft Word atau Google Docs.
Inovasi lain yang dapat dilakukan dalam pemberian e
feedback adalah dengan audio feedback. Feedback ini berbentuk
rekaman suara. Audio feedback dapat membuat siswa merasa diajak
berkomunikasi oleh guru dan feedback yang diberikan dapat
dirasakan lebih personal (Cavanaugh & Song, 2014; Hennessy &
Forrester, 2014). Apalagi di situasi emergency remote teaching karena
pandemi seperti sekarang dimana tidak ada pembelajaran tatap
muka sama sekali dengan siswa. Kita dapat memilih teknologi
yang paling mudah diakses siswa dan disesuaikan dengan konteks
serta tujuan pembelajaran masing-masing. Berikut adalah
beberapa teknologi yang dapat digunakan untuk mendukung
proses pemberian audio feedback kepada siswa:
1. Vocaroo (https://vocaroo.com/)
Vocaroo adalah aplikasi berbasis website yang dapat
membantu kita merekam audio feedback. Vocaroo dikenal
mudah untuk digunakan karena kita tidak perlu
menginstalasi aplikasi ini. Kita dapat langsung masuk ke
website Vocaroo (https://vocaroo.com/) lalu memulai
proses perekaman. Setelah itu, kita dapat langsung

138 Shelia Anjarani, Feedback


mengunduh file rekaman atau dapat menggunakan tautan
(link) yang dapat kita bagikan kepada siswa. Vocaroo ini
tidak memiliki batasan waktu untuk perekaman audio.

Gambar 25. Tampilan Vocaroo

2. Mote (https://www.justmote.me/)
Teknologi lain yang dapat digunakan untuk memfasilitasi
audio feedback adalah Mote. Jika kita memberikan tugas

Gambar 26. Tampilan Mote

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 139


kepada siswa melalui Google Classroom, Google Docs, Google
Slides, dan Google Sheets maka Mote ini dapat diintegrasikan
dengan fitur-fitur tersebut karena merupakan ekstensi
dari Google. Ketika kita menggunakan Mote, siswa dapat
langsung mengakses feedback yang kita berikan di tugas
mereka. Selain itu, siswa juga dapat merespon feedback
yang kita berikan dengan mengetik di kolom reply atau
siswa dapat juga merekam suara mereka di kolom reply
tersebut. Namun, jika menggunakan fitur Mote yang tidak
berbayar, aplikasi ini hanya dapat merekam audio selama

Gambar 27. Mote yang diintegrasikan dengan Google Docs

30 detik.
Melalui audio feedback, guru dapat menyampaikan feedback lebih
detail dan komprehensif daripada menggunakan feedback tertulis.
Audio feedback juga dianggap lebih efektif dan efisien jika

140 Shelia Anjarani, Feedback


dibandingkan dengan feedback tertulis (Ice, dkk., 2019; King,
2008). Bahkan audio feedback dianggap tidak menakutkan oleh
siswa daripada ketika siswa mendapat feedback tertulis dari guru
(Lefroy, 2020). Namun, dengan beberapa kelebihan audio feedback
tersebut, ada beberapa kekurangan dari audio feedback yang dapat
kita cermati. Salah satunya adalah siswa akan kesulitan
memahami feedback yang diberikan jika suara guru dalam proses
pemberian audio feedback terlalu cepat atau tidak jelas. Selain itu,
terbatasnya akses alat teknologi dan koneksi internet jika
menggunakan aplikasi audio feedback berbentuk website yang
harus terkoneksi dengan internet. Hal lainnya adalah jika tugas
yang dikerjakan siswa adalah tugas menulis lalu guru memberikan
feedback berupa audio, siswa akan mendapat kesulitan bagian
mana dari tulisan mereka yang diberikan feedback oleh guru.
Selain menggunakan audio feedback, inovasi lain yang dapat
diterapkan dalam pemberian e-feedback yaitu dengan video feedback.
Guru dapat berkomunikasi secara verbal dan non-verbal
(ekspresi muka dan gestur) melalui video feedback. Ada beberapa
teknologi yang dapat digunakan untuk mendukung proses video
feedback ini, antara lain:

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 141


1. Screencast-O-Matic (https://screencast-o-
matic.com/)
Screencast-O-Matic adalah perangkat lunak (software) yang
dapat digunakan untuk merekam aktivitas dan suara yang
ada di laptop kita serta dapat disimpan dalam format
video. Software ini ada yang berbayar dan tidak berbayar
namun versi tidak berbayar memberikan beberapa
batasan seperti waktu perekaman yang hanya berlangsung
selama 15 menit. Kita dapat mengakses Screencast-O-Matic
ini dengan mengunduh dan menginstal di laptop kita
masing-masing atau dapat langsung diakses melalui
websitenya. Setelah kita selesai merekam feedback melalui
software ini, file video dapat dibagikan langsung kepada
siswa atau dapat diunggah melalui Youtube supaya siswa
lebih mudah mengakses.

Gambar 28. Tampilan Screencast-O-Matic

142 Shelia Anjarani, Feedback


2. Explain Everything
(https://drive.explaineverything.com/)
Selain sebagai papan tulis digital, Explain Everything dapat
digunakan untuk pemberian video feedback. Namun,
sebelum kita merekam, kita harus menyematkan file
dalam bentuk PDF (jika tugas siswa dalam bentuk
tertulis) atau file dalam bentuk video (jika tugas siswa
dalam bentuk video). Kita dapat memberi anotasi dengan
tulisan dan gambar ketika proses perekaman feedback. Hal
ini tentu akan membantu siswa untuk memahami lebih
detail tentang feedback yang diberikan. Setelah selesai
merekam, kita dapat mengcopy tautan feedback yang kita
rekam lalu membagikannya kepada siswa.

Gambar 29. Tampilan Explain Everything

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 143


Video feedback juga dianggap menjadi media feedback yang
mudah dipahami oleh siswa dan dapat membuat feedback
menjadi lebih detil (Crook, dkk., 2012). Berbeda dengan
audio feedback dimana siswa hanya dapat mendengarkan
feedback yang disampaikan guru, dengan menggunakan
video feedback, siswa dapat mendengar dan melihat bagian
mana dari tugas mereka yang mendapatkan feedback dari
guru. Walaupun video feedback dianggap lebih mudah
dipahami oleh siswa, namun pemberian video feedback
dapat menjadi tantangan tersendiri untuk guru terutama
terkait masalah waktu dalam proses pembuatan video
feedback ini.
Berikut adalah contoh audio feedback yang diberikan guru
untuk tugas berbicara siswa dan video feedback untuk tugas
menulis siswa. Feedback tersebut yang dapat didengar dan
ditonton dengan mengklik tautan atau scan barcode di
bawah ini:

144 Shelia Anjarani, Feedback


Contoh Implementasi Audio Contoh Implementasi Video
Feedback Feedback
http://bit.ly/contohaudiofeedback http://bit.ly/contohvideofeedback

Gambar 30. Contoh Implementasi Audio dan Video Feedback

Dengan melihat beberapa teknologi yang dapat


mendukung pemberian audio feedback atau video feedback, tidak ada
teknologi yang lebih baik daripada teknologi yang lain. Terdapat
kekurangan dan kelebihan di masing-masing teknologi tersebut.
Sebagai guru, kita yang dapat menentukan teknologi apa yang
aksesnya mudah bagi kita dan siswa. Begitu juga dengan pilihan
apakah metode pemberian feedback berbentuk audio atau video.
Namun, audio atau video feedback dapat diibaratkan seperti artefak
permanen dimana siswa dapat melihat atau mendengar feedback
itu berulang kali sesuai kebutuhan mereka. Sampai sejauh artikel
ini dibuat, belum ada bukti empiris yang membuktikan apakah
audio atau video feedback yang lebih efektif. Jadi, keputusan apakah

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 145


kita akan menggunakan audio atau video feedback dapat disesuaikan
dengan tujuan dari pemberian feedback dan indikator penilaian.
Penutup
Feedback bukan sekedar memberikan komentar pada tugas
siswa namun proses siswa menggunakan informasi atau
komentar tersebut untuk meningkatkan proses belajar mereka.
Ada banyak teknologi yang dapat digunakan untuk mendukung
aktivitas pemberian feedback namun hal yang perlu kita pahami
bahwa teknologi bukan sebuah magic yang akan menjamin bahwa
feedback yang diberikan dengan mediasi teknologi akan menjadi
feedback yang efektif. Namun, dengan mediasi teknologi,
pemberian feedback dapat memfasilitasi proses komunikasi dan
desain pedagogi yang berbeda. Selain itu, menurut hasil penelitian
yang sudah dipaparkan sebelumnya, feedback dalam bentuk audio
dan video dapat membuat feedback lebih detil dan mudah
dipahami oleh siswa. Disamping kelebihan yang dimiliki, feedback
dalam bentuk audio dan video feedback juga mempunyai kekurangan
dan tantangan masing-masing ketika diimplementasikan. Yang
ingin penulis tekankan disini adalah implementasi pemberian
feedback dengan mediasi teknologi ini dapat disesuaikan dengan
konteks masing-masing guru, siswa, dan institusi.

146 Shelia Anjarani, Feedback


Daftar Pustaka
Boud, D., & Molloy, E. (2013). Rethinking models of feedback for learning:
The challenge of design. Assessment and Evaluation in Higher Education,
38(6), 698–712. https://doi.org/10.1080/02602938.2012.691462
Cavanaugh, A., & Song, L. (2014). Audio feedback versus written feedback:
Instructors’ and students’ perspectives. Journal of Online Learning and
Teaching, 10(1), 122–138. https://doi.org/10.1177/1469787416637482
Corwin, R. G., & Lortie, D. C. (1976). School teacher: A sociological study.
Social Forces, 54(4). https://doi.org/10.2307/2576192
Crook, A., Mauchline, A., Maw, S., Lawson, C., Drinkwater, R., Lundqvist,
K., Orsmond, P., Gomez, S., & Park, J. (2012). The use of video
technology for providing feedback to students: Can it enhance the
feedback experience for staff and students? Computers and Education,
58(1), 386-396. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2011.08.025
Hattie, J., & Timperley, H. (2007). The power of feedback. Review of Educational
Research, 77(1), 81–112. https://doi.org/10.3102/003465430298487
Henderson, M., & Phillips, M. (2014). Technology enhanced feedback on
assessment. ACEC2014. Now It’s Personal. Innovating Education (Trudy
Sweeney 30 September-3 October 2014).
Henderson, M., Phillips, M., Ryan, T., Boud, D., Dawson, P., Molloy, E., &
Mahoney, P. (2019). Conditions that enable effective feedback. Higher
Education Research and Development, 38(7), 1401–1416.
https://doi.org/10.1080/07294360.2019.1657807
Hennessy, C., & Forrester, G. (2014). Developing a framework for effective
audio feedback: A case study. Assessment and Evaluation in Higher
Education, 39(7), 777-789.
https://doi.org/10.1080/02602938.2013.870530
Ice, P., Curtis, R., Phillips, P., & Wells, J. (2019). Using asynchronous audio
feedback to enhance teaching presence and students’ sense of
community. Online Learning, 11(2), 3
25. https://doi.org/10.24059/olj.v11i2.1724
King, D. (2008). Does it make a difference? Replacing text with audio
feedback. Practice and Evidence of Scholarship of Teaching and Learning in
Higher Education, 3(2), 145-163.
Lefroy, R. (2020). Audio or written feedback? The secondary school English
student experience. English in Education, 54(4), 284-296.
https://doi.org/10.1080/04250494.2019.1585184

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 147


Rand, J. (2017). Misunderstandings and mismatches: The collective
disillusionment of written summative assessment feedback. Research in
Education, 97(1), 33-48. https://doi.org/10.1177/0034523717697519

Rekomendasi Sitasi
Anjarani, S. (2021). Optimalisasi teknologi pada pemberian feedback. In G.
Jati & F. Dewi (Eds.), Teknologi dan pembelajaran bahasa inggris (Hal. 122
146). Perkumpulan Pengajar Bahasa Berbasis Teknologi Informasi
(iTELL).

148 Shelia Anjarani, Feedback


149

6
IMPLEMENTASI ASSESSMENT FOR LEARNING
DENGAN BANTUAN TEKNOLOGI
Roghibatul Luthfiyyah

Assessment for Learning


Apa yang terlintas di benak pembaca ketika mendengar
kata “asesmen atau penilaian”? Mungkin jawaban yang sering
muncul adalah ujian, tes, evaluasi, tugas, nilai, ranking, dan lain
sebagainya. Secara umum, pandangan konvensional menganggap
penilaian sebagai kegiatan untuk mengukur dan membandingkan
kemampuan peserta didik dengan cara memberikan label
kemampuan berupa angka atau skor (Earl, 2003). Padahal, jika
kita ingat kembali kegiatan penilaian memiliki berbagai macam
tujuan, seperti tujuan diagnostik, formatif, dan sumatif (Berry,
2008). Penilaian yang dilakukan pada akhir masa pembelajaran
untuk mengukur kemampuan peserta didik dengan memberikan
nilai disebut penilaian sumatif. Sedangkan penilaian yang
dilakukan pada saat proses pembelajaran untuk mengetahui
kesulitan belajar peserta didik disebut dengan penilaian
diagnostik. Ketika penilaian difokuskan pada pemberian umpan
balik pada proses belajar peserta didik untuk memperbaiki
kualitas belajar dan juga instruksi belajar, penilaian tersebut
memiliki tujuan formatif. Dalam istilah lain disebut dengan
Penilaian untuk Pembelajaran (Assessment for Learning).
Konsep Assessment for Learning mulai didesiminasikan secara
luas di Inggris pada tahun 2002 dalam sebuah forum bernama
Assessment Reform Group (ARG). Kegiatan ini dilakukan sebagai
tidak lanjut dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Black &
William (1999) yang menyoroti perbedaan tujuan antara penilaian
sumatif atau Assessment of Learning (AoL) dan Assessment for
Learning (AfL) serta potensi AfL sebagai pendekatan alternatif
dalam penilaian yang dapat dilakukan oleh guru dan peserta didik
selama proses pembelajaran. Hasil dari AfL dapat dijadikan
refleksi bagi peserta didik dan guru untuk memperbaiki kualitas
pembelajaran (Black & Wiliam, 2009). Temuan ini mendapatkan
perhatian yang cukup besar dari para pakar pendidikan dan
berdampak signifikan pada pergeseran paradigma penilaian.
Dalam kurun waktu dua dekade terakhir, konsep AfL
sudah banyak dikaji dan diterapkan di berbagai negara, termasuk

150 Roghibatul Luthfiyyah, Assessment for Learning


Indonesia (Arrafii & Sumarni, 2018; Azis, 2012; Birenbaum, dkk.,
2015; Leong, dkk., 2017). Dalam pedoman penilaian Kurikulum
2013, telah disampaikan bahwa praktik penilaian di kelas idealnya
dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu
pendekatan Penilaian Hasil Belajar (Assessment of Learning),
Penilaian untuk Pembelajaran (Assessment for Learning), dan
Penilaian sebagai Pembelajaran (Assessment as Learning). Kegiatan
penilaian dilakukan tidak hanya di akhir pembelajaran, tetapi
dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung untuk
memantau perkembangan belajar peserta didik. Dengan cara
melibatkan peserta didik secara aktif dalam proses penilaian
melalui kegiatan penilaian diri (self-assessment) atau penilaian teman
sejawat (peer-assessment). Berbeda dengan penilaian tradisional
yang memberikan porsi lebih besar pada praktik AoL, dalam
pedoman penilaian Kurikulum 2013 ditekankan bahwa praktik
AfL dan AaL perlu lebih sering dilakukan untuk mengamati
perkembangan belajar siswa, (Kemendikbud, 2017). Proporsi
penerapan ketiga pendekatan penilaian dapat dilihat pada gambar
31.
Meskipun teori Assessment for Learning telah ramai
diperbincangkan dalam literatur terkini, tetapi praktik AfL di

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 151


dalam kelas, khususnya di negara-negara yang memiliki sistem
penilaian nasional berbasis high-stake examination, masih jarang
ditemukan (Leong, dkk., 2017). Faktor-faktor yang menjadi
kendala penerapan AfL, antara lain, minimnya pemahaman
tentang konsep AfL, sistem penilaian nasional yang berorientasi
pada penilaian sumatif, kondisi kelas di Indonesia yang mayoritas
memiliki kapasitas besar, dan kurangnya keterlibatan peserta
didik dalam proses penilaian (Arrafii & Sumarni, 2018;
Luthfiyyah, dkk., 2021; Puad & Ashton, 2020). Kondisi tersebut
melatarbelakangi ditulisnya artikel ini. Melalui artikel ini, penulis
akan memberikan penjelasan singkat tentang konsep AfL,
bagaimana menerapkannya, dan bagaimana teknologi dapat
membantu pelaksanaan AfL yang efektif dan bermakna.

Gambar 31. Perubahan proporsi penerapan Assessment of, for, as Learning


(Earl, 2003)

152 Roghibatul Luthfiyyah, Assessment for Learning


Apa dan Bagaimana Menerapkan Assessment for Learning
Assessment for Learning dapat dimaknai sebagai proses
pengumpulan dan penafsiran hasil belajar peserta didik yang
digunakan oleh peserta didik dan guru untuk mengetahui dimana
posisi kemampuan peserta didik, kemana tujuan pembelajaran
yang harus dicapai, dan bagaimana cara terbaik untuk
mendapatkannya (Assessment Reform Group, 2002). Tujuan
utama penilaian ini bukanlah sekadar mendeskripsikan
kemampuan peserta didik secara kuantitatif, melainkan
membantu peserta didik untuk menutup kesenjangan (closing the
gap) antara kondisi kemampuan yang dialaminya saat ini dengan
tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Untuk menutupi
kesenjangan tersebut, guru memberikan umpan balik yang
membangun dan melibatkan peserta didik secara aktif dalam
kegiatan penilaian diri maupun sejawat. AfL diyakini efektif
membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran sekaligus
mendorong peserta didik menjadi pembelajar yang mandiri,
percaya diri, dan bertanggung jawab terhadap proses
pembelajaran yang dijalani. Selain itu, hasil dari AfL dapat
dijadikan bahan refleksi bagi guru untuk memperbaiki instruksi
pembelajaran selanjutnya (Black & Wiliam, 2010).

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 153


Wiliam dan Thompson (2007) merumuskan lima strategi
utama dalam melakukan AfL (lihat tabel 1). Pertama, guru harus
menginformasikan kepada peserta didik tujuan pembelajaran
yang akan dicapai. Hal ini membantu peserta didik untuk
memonitor progres belajar yang mereka lalui. Kedua, guru
memberikan tugas berupa tanya jawab, diskusi, interviu, proyek,
atau tugas lainnya untuk mengetahui kemampuan peserta didik.
Tentunya kriteria penilaian yang jelas perlu disampaikan terlebih
dahulu kepada peserta didik agar mereka dapat mengerjakan
tugas tersebut sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan.
Selanjutnya, guru memberikan umpan balik yang konstruktif
terhadap pekerjaan peserta didik sehingga peserta didik dapat
mengetahui langkah-langkah untuk melakukan perbaikan.
Keempat, libatkan teman sejawat dalam melakukan penilaian.
Melalui penilaian teman sejawat (peer-assessment), peserta didik
belajar untuk berkomunikasi dan berkolaborasi, serta dapat
mengaktifkan metakognitif dalam belajar. Terakhir, berikan
kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan penilaian diri
(self-assessment) dengan cara menyediakan waktu untuk melakukan
refleksi, membantu mengidentifikasi kesulitan yang dirasakan,

154 Roghibatul Luthfiyyah, Assessment for Learning


dan mendorong peserta didik untuk mengetahui langkah yang
perlu dilakukan agar bisa mencapai tujuan pembelajaran.
Tabel 6. Key Strategies of Assessment for Learning (Wiliam & Thompson, 2007)

Where the learner Where are they How to get


is going now there

Teacher 1 success
of
intentions
Clarifying
and learning 2 Engineering
criteria classroom effective 3 Providing feedback
discussions
that moves learners
and other
tasks that learning
elicit forward

evidence of the student


understanding

Peer Understanding
sharing
intentions and 4 Activating students as instructional resources
and learning
criteria
for one another (Peer-Assessment)

for success

Learner Understanding
sharing
intentions and 5 Activating students as the owners of their
and learning
criteria
own learning (Self-Assessment)

for success
Dari lima strategi utama AfL dapat diketahui bahwa praktik
AfL membutuhkan peran aktif guru, peserta didik, dan teman
sejawat untuk terlibat dalam proses penilaian. Penilaian bukanlah
sebuah proses yang membutuhkan interaksi satu arah, melainkan
interaksi dari berbagai arah, yaitu interaksi guru dengan peserta
didik, peserta didik dengan guru, dan peserta didik dengan
peserta didik. Guru berperan sebagai fasilitator yang memonitor,

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 155


mengarahkan, dan memotivasi peserta didik selama proses
penilaian. Aktivitas yang menjadi ciri dari AfL antara lain
questioning, comment-only marking, peer-assessment, dan self-assessment.
Keberhasilan implementasi AfL membutuhkan pengajar yang
memiliki pengetahuan yang baik tentang asesmen dan keyakinan
terhadap paradigma penilaian formatif, yaitu pandangan bahwa
penilaian adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan
pembelajaran untuk memperbaiki kualitas belajar (Heritage,
2010). Selain itu, dukungan kultur belajar dan sistem penilaian
yang berlaku juga menjadi faktor penting dalam pelaksanaan AfL.
Penilaian Berbasis Teknologi
Seiring berkembangnya penggunaan teknologi dalam dunia
pendidikan, teknologi dianggap sebagai alat untuk menunjang
proses pembelajaran agar menjadi lebih efektif dan bermakna.
Teknologi umumnya digunakan sebagai media pembelajaran dan
sumber belajar. Namun, dewasa ini teknologi secara khusus
menawarkan manfaat untuk membantu pelaksanaan kegiatan
penilaian yang lebih efektif (Bennet, dkk., 2016; Dawson dan
Henderson, 2016, Deeley, 2018).
Evolusi penilaian berbasis teknologi telah mengalami
perubahan dalam tiga tahap atau generasi (Bennet, 2015).

156 Roghibatul Luthfiyyah, Assessment for Learning


Generasi pertama adalah tahap technology-based testing, yaitu
terjadinya transformasi bentuk dan cara penyampaian tes
tradisional menjadi tes yang disajikan dalam bentuk digital
berbasis komputer. Tujuan dari perubahan ini adalah untuk
membantu sekolah dalam melakukan administrasi yang
dibutuhkan dalam kegiatan penilaian. Penilaian berbasis
teknologi tahap kedua ditandai dengan perubahan yang cukup
signifikan dan efektif dari segi format tes dan cara penskoran.
Format tes menjadi lebih variatif, seperti soal yang membutuhkan
respons singkat, soal uraian, atau soal pilihan ganda yang dibuat
dengan visual yang menarik berbasis multimedia. Selain itu, pada
tahap ini, teknik penskoran secara otomatis dapat dilakukan
dengan bantuan teknologi. Perubahan pada generasi ketiga tidak
lagi berfokus pada bentuk penilaian digital melainkan pada
substansi penilaian itu sendiri. Pada tahap ini mulai muncul
pemahaman bahwa penilaian berbasis teknologi dapat
memfasilitasi tujuan pembelajaran institusi maupun
pembelajaran individu. Penilaian tidak hanya menilai
kemampuan kognitif tetapi juga keterampilan-keterampilan lain
yang dibutuhkan dalam kehidupan nyata. Jenis penilaian berbasis
simulasi dan tugas unjuk kerja interaktif dan kontekstual menjadi

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 157


model penilaian autentik yang lazim dilakukan. Hal lain yang
menarik dari generasi ketiga ini adalah munculnya pemahaman
bahwa penilaian merupakan kegiatan yang terintegrasi dalam
proses pembelajaran. Penilaian berbasis teknologi dapat
membantu pelaksanaan penilaian formatif secara efektif (Zhan &
So, 2017).
Teknologi memiliki potensi nyata untuk mendukung
kegiatan penilaian formatif (AfL) (Dawson & Henderson, 2016;
Zhan & So, 2017). Sebagai contoh, pemberian kuis daring
dengan menggunakan platform seperti Kahoot, Quizizz,
Socrative, dan lainnya saat ini sering digunakan sebagai aktivitas
questioning yang menarik dan menyenangkan untuk mengetahui
pemahaman peserta didik selama proses pembelajaran.
Pemberian kuis berbasis permainan interaktif tersebut dapat
memotivasi peserta didik dalam belajar, melibatkan peserta didik
dalam proses penilaian, dan meningkatkan pemahaman peserta
didik terhadap materi (Bawa, 2018). Selain itu, aplikasi seperti
Screencastify, Loom, Mote, Camtasia, dan lain-lain juga
menawarkan fasilitas pemberian umpan balik yang efektif dan
efisien dengan menggunakan audio, video, atau screencasting. Bush
(2020) mengungkapkan hasil penelitiannya tentang penggunaan

158 Roghibatul Luthfiyyah, Assessment for Learning


Camtasia pada mata kuliah Academic Writing. Bush (2020)
menyatakan bahwa pemberian umpan balik menggunakan
screencasting, sebuah teknik merekam tampilan layar komputer atau
laptop dengan video sekaligus memberikan umpan balik dengan
suara, dianggap lebih efektif daripada memberikan umpan balik
secara tertulis. Potensi yang ditawarkan oleh alat-alat digital dapat
membantu penerapan AfL, khususnya dalam pembelajaran
daring di masa pandemi.
Aktivitas Assessment for Learning dengan Menggunakan
Teknologi
Dewasa ini, maraknya ketersediaan aplikasi-aplikasi
pembelajaran yang mudah untuk diakses dan digunakan
memberikan kesempatan bagi pengajar untuk melakukan aktifitas
AfL dalam konteks masing-masing, khususnya pada
pembelajaran daring di masa pandemi. Di tengah masa sulit yang
dihadapi oleh guru dan peserta didik, yakni mereka harus
melakukan perubahan proses belajar mengajar yang “mendadak
daring”, muncul sebuah peluang untuk lebih sering melakukan
penilaian yang berorientasi pada formatif daripada penilaian yang
berorientasi pada skor atau nilai (Kemendikbud, 2020). Berikut

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 159


adalah beberapa contoh melakukan aktivitas AfL dengan
bantuan teknologi:
1. Questioning
Questioning atau memberikan pertanyaan kepada peserta
didik, baik setelah atau sebelum materi disampaikan, dapat
membantu guru untuk mengetahui posisi pemahaman peserta
didik tentang materi ajar. Ketika questioning diberikan sebelum
materi disampaikan, kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui
“prior knowledge” yang peserta didik miliki sehingga guru bisa
merencanakan pemberian materi atau teknik mengajar yang
sesuai dengan tingkat pemahaman peserta didik. Sedangkan
questioning yang diberikan setelah materi disampaikan bertujuan
untuk mengecek pemahaman peserta didik. Ketika guru
menemukan pemahaman peserta didik masih di bawah kriteria
yang diharapkan, guru dapat menyusun langkah apa yang akan
diambil untuk meningkatkan pemahaman peserta didik.
Pertanyaan yang diberikan kepada peserta didik disarankan
bersifat terbuka agar dapat melatih keterampilan berpikir kritis.
Selain itu, berikan “wait time” bagi peserta didik untuk berpikir
sejenak sebelum menjawab pertanyaan dan yakinkan peserta
didik bahwa mereka semua memiliki kesempatan untuk

160 Roghibatul Luthfiyyah, Assessment for Learning


menjawab, tidak perlu khawatir untuk melakukan kesalahan.
Dalam konteks pembelajaran, daring aktivitas questioning dapat
dikemas dengan berbagai cara, misalnya dengan memberikan
survei singkat menggunakan Mentimeter
(www.mentimeter.com) atau Slido (www.sli.do) atau dengan
memberikan kuis interaktif menggunakan Kahoot
(www.kahoot.com), Quizizz (www.quizizz.com), Go Formative
(www.goformative.com) dan lainnya.
2. Umpan Balik
Pemberian umpan balik merupakan salah satu kegiatan inti
dari AfL, yaitu dimana peserta didik mendapatkan dan
memahami sebuah informasi dari berbagai sumber (guru, teman
sejawat, orang tua, diri sendiri) dan mereka menggunakan
informasi tersebut untuk memperbaiki atau meningkatkan
kualitas belajar mereka (Carless dan Bound, 2018). Terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan umpan
balik, yakni sebagai berikut (1) umpan balik berupa comment-only
marking (COM) dianggap lebih efektif untuk meningkatkan
kualitas belajar peserta didik daripada feedback-by-mark/score (Lam,
2011). Istilah COM mengacu pada pemberian umpan balik yang
diberikan kepada peserta didik dalam bentuk komentar, bukan

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 161


nilai. Jikalau umpan balik berupa skor atau nilai sangat
dibutuhkan, hal tersebut dapat diberikan setelah peserta didik
mendapatkan umpan balik berupa komentar terlebih dahulu
(ARG, 2002). (2) Umpan balik harus bersifat konstruktif, yaitu
berikan komentar tentang hal-hal yang sudah dilakukan oleh
peserta didik dengan baik, hal yang perlu dikoreksi atau
ditingkatkan, dan bagaimana tahapan-tahapan untuk
memperbaikinya. Oleh karena itu, pemberian umpan balik perlu
disampaikan dengan jelas, spesifik, dan mengacu pada kriteria
penilaian atau rubrik yang telah disepakati bersama. Untuk
mendapatkan contoh-contoh rubrik penilaian dapat dilihat disini
(http://rubistar.4teachers.org/index.php). (3) Umpan balik
dapat disampaikan melalui berbagai jenis moda, seperti catatan
tertulis, audio, video, atau screencasting (Orlando, 2016).
Aplikasi yang dapat membantu pemberian umpan balik
berbentuk digital, antara lain: fitur komentar pada Google Docs,
Google Slides, atau Microsoft Word untuk memberikan feedback
berupa catatan. Mote (www.justmote.me), Vocaroo
(www.vocaroo.com), Talk & Comment
(www.talkandcomment.com), Kaizena (www.kaizena.com)
untuk memberikan feedback berupa audio. Screencastify

162 Roghibatul Luthfiyyah, Assessment for Learning


(www.screencastify.com), Loom (www.loom.com), Seesaw
(www.web.seesaw.me), Screencast-O-Matic (www.screencast-o-
matic.com) untuk memberikan umpan balik berupa video dan
screencasting.
3. Peer and Self -Assessment
Penilaian teman sejawat (Peer-Assessment) dan penilaian diri
(Self-Assessment) merupakan strategi AfL yang melibatkan peserta
didik secara aktif dalam proses penilaian. Kegiatan ini dapat
membantu peserta didik memahami proses pembelajaran,
meningkatkan keterampilan
mengembangkan metakognisi komunikasi
dan kemandirian, serta
dan kolaborasi dalam

belajar (Kearney, 2013; Seifert dan Feliks, 2018). Umpan balik


yang dilakukan melalui penilaian sejawat dan diri lebih bisa
diterima oleh peserta didik daripada penilaian dari guru (Florez
& Sammons, 2012). Penggunaan bahasa dan komunikasi yang
berasal dari sesama peserta didik menjadi salah satu faktor yang
memudahkan peserta didik untuk menerima umpan balik.
Namun demikian, praktik kedua penilaian ini dianggap jarang
dan sulit karena peserta didik tidak terbiasa untuk melakukannya.
Oleh sebab itu, guru perlu melatih peserta didik, mengingatkan
kembali tujuan penilaian, dan mempersiapkan kriteria penilaian

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 163


berupa rubrik atau ceklis dengan detail sehingga peserta didik
tahu bagaimana melakukan penilaian teman sejawat dan penilaian
diri.
Salah satu contoh aktivitas Peer-Assessment yang adalah
“TAG me!”. Dalam kegiatan ini peserta didik diminta untuk
memberikan komentar pada tugas rekannya dengan
menggunakan formula TAG, yaitu T= Tell me something that you
really like, A= Ask question(s) to better understand the work presented,
G= Give suggestion to help the work even better. Kegiatan ini bisa
dilakukan dengan cara menuliskan komentar TAG di selembar
kertas atau dengan menggunakan aplikasi digital, seperti Google
Slides (www.google.com/slides/about/), Google Form
(www.google.com/forms/about/), atau Padlet
(www.padlet.com). Aktivitas lain seperti “Two Stars and a Wish”
dan “Traffic Lights” juga dapat dilakukan sebagai alternatif
kegiatan penilaian teman sejawat. Adapun untuk Penilaian Diri
(Self-Assessment) formula K-W-L (What I know- What I want to
know- What I have learned) dapat diberikan agar peserta didik dapat
melakukan refleksi proses pembelajaran yang sudah dilalui.
Contoh aktivitas lainnya dapat dilihat di

164 Roghibatul Luthfiyyah, Assessment for Learning


https://www.teachingenglish.org.uk/article/assessment
learning-activities-0.
Setelah mengenal beberapa aktivitas Assessment for Learning
dan rekomendasi alat digital yang dapat membantu pelaksanaan
AfL, berikut akan diberikan contoh implementasi AfL dalam
pembelajaran daring. Instruksi pembelajaran ini bersifat fleksibel
dan dapat digunakan atau diadaptasi sesuai dengan kebutuhan
dan konteks masing-masing. Konteks yang tersedia kali ini adalah
kelas bahasa Inggris untuk mahasiswa semester dua. Tujuan
pembelajaran ini untuk melatih kemampuan membaca kritis dan
kemampuan mengomunikasikan kembali informasi dari proses
membaca dalam bentuk tulisan. Topik yang diberikan adalah
“Prepare for Your Future Career”. Langkah-langkah
pembelajarannya sebagai berikut:

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 165


Tabel 7. Langkah-langkah Pembelajaran

Sharing tujuan ● Pada tahap ini peserta didik


pembelajaran akan memahami tujuan
dengan peserta pembelajaran yang akan dicapai.
didik ● Pengajar menyampaikan tujuan
pembelajaran dengan cara
menampilkannya pada Learning
Management System, misal Google
Classroom, Schoology, atau
LMS yang digunakan di sekolah.
Contoh tujuan pembelajaran:
“Di akhir pembelajaran peserta
didik diharapkan dapat
mengidentifikasi hal-hal utama
yang dibutuhkan dalam
mempersiapkan karier dan
dapat mengomunikasikannya
melalui infografis”.
● Pengajar perlu memberikan
kesempatan kepada peserta
didik untuk mengajukan
pertanyaan tentang tujuan
pembelajaran jika ada hal yang
belum jelas.

166 Roghibatul Luthfiyyah, Assessment for Learning


167

Mencari ● Peserta didik diajak untuk


informasi melakukan jajak pendapat
tentang dengan menggunakan
pemahaman Mentimeter. Pertanyaan yg
peserta didik diberikan seperti: “What do you
(Memberikan want to be when you finish your
pertanyaan dan study?”, “Why did you choose that
diskusi job?”, “What skills do you need to
kelompok) pursue your career?”
● Peserta didik akan berkelompok
sesuai dengan future career yang
dipilih. Misal dibuat pilihan
kelompok (1) Edupreneur, (2)
Content Developer, (3)
Entrepreneur, (4) Tourism
Consultant.
● Peserta didik melakukan
pencarian informasi secara
kelompok dengan membaca
beberapa teks dari sumber
daring tentang hal-hal penting
terkait pekerjaan yang mereka
pilih, misal job description, skills
required, the way to develop the skills,
dan seterusnya. Informasi yang
didapatkan ditulis pada Padlet
yang sudah disiapkan oleh
pengajar.
● Setiap kelompok diberi
kesempatan untuk mengajukan
pertanyaan kepada kelompok
lainnya secara langsung melalui
video conference menggunakan
Zoom Meeting atau Google
Meet.
Mencari ● Masing-masing peserta didik
informasi mendesain sebuah infografis
tentang tentang “My Future Career
pemahaman Dream”. Mereka diperbolehkan
peserta didik memilih karier sesuai dengan
(Memberikan passion yang dimiliki (Tidak
tugas) harus sama dengan hasil
pekerjaan kelompok).
● Pengajar memberikan sebuah
rubrik yang memuat aspek
aspek penilaian (content,
organization, accuracy, and delivery)
dan peserta didik diberi
kesempatan untuk
mendiskusikan rubrik tersebut.
● Peserta didik diminta untuk
mengunggah produk infografis
pada Google Slides yang sudah
disiapkan oleh pengajar.

168 Roghibatul Luthfiyyah, Assessment for Learning


169

Umpan Balik & ● Setiap peserta didik


Penilaian memberikan umpan balik
Sejawat “TAG Me” pada tiga produk
infografis milik temannya.
Umpan balik mengacu pada
rubrik penilaian dan dituliskan
pada kolom komentar Google
Slides.
● Pengajar memberikan umpan
balik kepada pekerjaan peserta
didik sesuai dengan rubrik pada
kolom komentar di Google
Slides. Catatan: untuk
mengurangi beban pengajar,
umpan balik dapat diberikan
dengan bentuk audio dan batasi
aspek yang perlu dikomentari.
Misal, cukup 2 aspek penilaian
untuk masing-masing peserta
didik.
● Pengajar memberikan
kesempatan kepada peserta
didik untuk merevisi produk
infografis sesuai dengan saran
dari teman sejawat dan juga
pengajar.

Penilaian Diri ● Setiap peserta didik


mengunggah infografis yang
telah direvisi (final version) pada
kolom “Assignment” Google
Classroom.
● Selain mengunggah produk,
peserta didik juga diminta untuk
menuliskan refleksi/penilaian
diri, seperti: Hal apa yang saya
pelajari dari kegiatan ini? Hal
apa yang perlu saya
perbaiki/tingkatkan? Hal yang
membuat saya semangat dari
kegiatan ini? dan seterusnya.

Penutup
Assessment for Learning (AfL) menekankan pada penilaian
yang dilakukan selama berlangsungnya proses pembelajaran
dengan tujuan untuk memonitor perkembangan belajar peserta
didik dengan cara memberikan umpan balik. Teknologi memiliki
potensi untuk membantu pelaksanaan kegiatan AfL menjadi
lebih efektif dan efisien, misalnya memfasilitasi jalannya diskusi,
pemberian umpan balik, penilaian sejawat, penilaian diri, dan
lain-lain. Namun, esensi dari AfL bukan hanya sebatas
melakukan kegiatan AfL dengan menggunakan teknologi,
melainkan bagaimana peserta didik dan pengajar dapat memaknai
informasi dari kegiatan-kegiatan tersebut untuk meningkatkan
dan memperbaiki kualitas belajar. Selain itu, pengajar perlu
mengenalkan dan melatih peserta didik untuk melakukan
kegiatan AfL yang jarang dilakukan, misal penilaian sejawat dan
penilaian diri. Kedua kegiatan tersebut penting dilakukan agar

170 Roghibatul Luthfiyyah, Assessment for Learning


peserta didik dapat menjadi pemelajar yang reflektif dan mandiri.
Terakhir, penulis berharap artikel sederhana ini dapat
memberikan gambaran bagaimana mengimplementasikan AfL
dengan bantuan teknologi dan mendorong pembaca untuk
menerapkannya di kelas masing-masing.
Daftar Pustaka
Arrafii, M. A., & Sumarni, B. (2018). Teachers’ understanding of formative
assessment. Lingua Cultura, 12(1), 45.
https://doi.org/10.21512/lc.v12i1.2113
Assessment Reform Group. (2002). Assessment for Learning: 10 Principles.
Available on the Assessment Reform Group website:
www.assessment-reform-group.org.uk.
Azis, A. (2015). Conceptions and practices of assessment: A case of teachers
representing improvement conception. TEFLIN Journal, 26(2), 129.
https://doi.org/10.15639/teflinjournal.v26i2/129-154
Bawa, P. (2018). Using kahoot to inspire. Journal of Educational Technology
Systems. https://doi.org/10.1177/0047239518804173
Bennett, R. E. (2015). The changing nature of educational assessment. Review
of Research in Education, 39(1), 370–407.
https://doi.org/10.3102/0091732X14554179
Bennett. S., Dawson, P., Bearman, M., Molloy, E., & Boud, D. (2016). How
technology shape assessment design: Findings from a study of
university teachers. British Journal of Educational Technology. 48(2), 672
682. https://doi.org/10.1111/bjet.12439.
Berry, R. (2008). Assessment for learning. Hongkong University Press.
Black, P., & Wiliam, D. (1998). Assessment and classroom learning. Assessment
in Education, 5(1), 7–74. https://doi.org/10.1080/0969595980050102
Black, P., & Wiliam, D. (2009). Developing the theory of formative
assessment. Educational Assessment, Evaluation and Accountability, 21(1),
5–31. https://doi.org/10.1007/s11092-008-9068-5
Black, P., & Wiliam, D. (2010). Inside the black box: Raising standards
through classroom assessment. Phi Delta Kappan, 92(1), 81–90.
https://doi.org/10.1177/003172171009200119

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 171


Bush, J.C. (2020): Using screencasting to give feedback for academic writing,
Innovation in Language Learning and Teaching, https
://doi.org/10.1080/17501229.2020.1840571
Carles, D. & Boud, D. (2018) The development of student feedback literacy:
enabling uptake of feedback, Assessment & Evaluation in Higher
Education, 43(8), 1315-1325,
https://doi.org/10.1080/02602938.2018.1463354
Dawson, P., & Henderson, M. (2017). How does technology enable scaling
up assessment for learning? In D. Carless, S. M. Bridges, C. K. Y.
Chan, & R. Glofcheski (Eds.), Scaling up assessment for learning in higher
education (pp. 209-222). (The Enabling Power of Assessment; Vol. 5).
Springer. https://doi.org/10.1007/978-981-10-3045-1_14
Deeley, S. J. (2018). Using technology to facilitate effective assessment for
learning and feedback in higher education. Assessment & Evaluation in
Higher Education, 43(3), 439–448.
https://doi.org/10.1080/02602938.2017.1356906
Earl, L.M. (2003). Assessment as Learning: using classroom assessment to maximize
student learning. Thousand Oaks, Ca: Corwin Press.
Heritage, H.M. (2010). Formative assessment: Making it happen in the classroom.
Singapore: SAGE Asia-Pacific Pte. Ltd.
Kearney, S. (2013) Improving engagement: the use of ‘Authentic self-and
peer-assessment for learning’ to enhance the student learning
experience, Assessment & Evaluation in Higher Education, 38:7, 875-891,
https://doi.org/10.1080/02602938.2012.751963
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Panduan penilaian oleh
pendidik dan satuan kependidikan untuk sekolah menengah atas. Direktorat
Pembinaan SMA Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Pedoman pengelolaan
pembelajaran jarak jauh jenjang SMP dalam masa pandemi Covid-19.
Direktorat Sekolah Menengah Pertama.
Lam, R. (2011). Trying out comment-only marking (COM): A worthwhile
experience. SLWIS Newsletter, TESOL, 6(2), 9-12.
Leong, W.S., Ismail, H., Costa, J.S., & Tan, H.B. (2018). Assessment for
learning research in East Asian countries. Studies in Educational
Evaluation. 59(1), 270-277.
Luthfiyyah, R., Aisyah, & Sulistyo, G. H. (2021). Technology-enhanced
formative assessment in higher education: A voice from Indonesian

172 Roghibatul Luthfiyyah, Assessment for Learning


EFL teachers. EduLite: Journal of English Education, Literature, and Culture,
6(1), 42-54. http://dx.doi.org/10.30659/e.6.1.42-54
Orlando, J. (2016) A comparison of text, voice, and screencasting feedback to
online students. American Journal of Distance Education, 30(3), 156-166,
https://doi.org/10.1080/08923647.2016.1187472
Puad, L. M. A. Z., & Ashton, K. (2020). Teachers’ views on classroom-based
assessment: An exploratory study at an Islamic boarding school in
Indonesia. Asia Pacific Journal of Education, 1–13.
https://doi.org/10.1080/02188791.2020.1761775
Seifert, T & Feliks, O. (2019) Online self-assessment and peer-assessment as
a tool to enhance student-teachers’ assessment skills, Assessment &
Evaluation in Higher Education, 44(2), 169-185,
https://doi.org/10.1080/02602938.2018.1487023
Wiliam, D., & Thompson, M. (2007). Integrating assessment with instruction: What
will it take to make it work? In C. A. Dwyer (Ed.), The future of
assessment: Shaping teaching and learning (pp. 53–82). Erlbaum.
Zhan, Y. & So, W.W.M. (2017) Views and practices from the chalkface:
development of a formative assessment multimedia learning
environment, Technology, Pedagogy and Education, 26(4), 501-515, https://
doi.org/10.1080/1475939X.2017.1345783

Rekomendasi Sitasi
Luthfiyyah, F. (2021). Implementasi assessment for learning dengan bantuan
teknologi. In G. Jati & F. Dewi (Eds.), Teknologi dan pembelajaran bahasa
Inggris (Hal. 147-171). Perkumpulan Pengajar Bahasa Berbasis
Teknologi Informasi (iTELL).

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 173


174

Tentang Kontributor

Gumawang Jati adalah dosen senior bahasa Inggris


di Institut Teknologi Bandung. Menyelesaikan
pendidikan S2 di University of Warwick dan
menggeluti Computer Assisted Language Learning
sejak itu, dan merampungkan studi S3 di Universitas
Pendidikan Indonesia. Selain mengajar di ITB,
Gumawang Jati juga giat memberikan seminar,
workshop yang berkaitan dengan penggunaan teknologi untuk
pembelajaran di universitas dan sekolah. Saat ini, Gumawang Jati adalah
Presiden iTELL.

Yustinus Calvin Gai Mali adalah dosen dan peneliti di


Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas
Kristen Satya Wacana, Salatiga. Calvin menyelesaikan
studi doktoralnya, Language, Literacy and Technology
Education, di Washington State University, Amerika
Serikat. Saat ini, Ia menjadi iTELL Board di bidang
networking. Kunjungi website
https://satyawacanachristianu.academia.edu/YustinusCalvin untuk
membaca tulisan Calvin yang lain dan jika tertarik pada penelitiannya.

Made Hery Santosa adalah pendidik dan peneliti di


Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris,
Universitas Pendidikan Ganesha, Bali, Indonesia.
Hery menyelesaikan studi doktoralnya di Faculty of
Education, La Trobe University, Australia. Selain
membantu di iTELL sebagai Direktur Program dan
Pengembangan, ia juga aktif meneliti, menulis,
mengembangkan materi pembelajaran berbasis teknologi, dan secara
berkelanjutan membantu sekolah, kepala sekolah, guru, siswa-siswi dalam
kegiatan profesional dan sosial bersama para relawan di organisasinya.
Minat penelitiannya meliputi English as a Foreign Language (EFL), Computer
Assisted Language Learning (CALL), Learning Technologies, Innovative Pedagogies,
dan Literacy. Di waktu luang, ia suka berkebun dan melihat pemandangan
alam. Untuk informasi lebih lanjut, bisa membaca di
about.me/mhsantosa.
Finita Dewi adalah dosen Bahasa Inggris di Prodi
Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini,
Universitas Pendidikan Indonesia, Kampus
Purwakarta. Saat ini, Finita juga menjadi salah satu
iTELL board member, sebagai Director of Teacher
Professional Development. Finita memiliki ketertarikan
khusus di bidang teknologi dan pembelajaran, dan telah terlibat dalam
berbagai program pelatihan guru terkait integrasi teknologi dalam kegiatan
pembelajaran. Dia juga membuat sejumlah video tutorial untuk
pemanfaatan alat teknologi digital dalam kegiatan belajar mengajar,
videonya dapat diakses melalui kanal YouTube dari tautan berikut:
https://www.youtube.com/c/Finitadewi

Shelia Anjarani adalah dosen di program studi


Pendidikan Bahasa Inggris Universitas
Muhammadiyah Purwokerto, Jawa Tengah. Shelia
merupakan salah satu iTELL board member yang
bertugas sebagai sekretaris. Penelitian yang sekarang
sedang ditekuni Shelia adalah tentang TELL,
Feedback, Digital Literacy, dan Teacher Professional
Development.

Roghibatul Luthfiyyah adalah dosen Bahasa


Inggris di Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon,
Jawa Barat. Saat ini, dia sedang menempuh studi
doktoral di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris,
Universitas Negeri Malang. Luthfiyyah adalah salah
satu Board Member of Indonesia Technology Enhanced
Language Learning (iTELL), divisi Program and
Development. Kajian penelitian yang sedang ditekuninya yaitu Language
Assessment, TELL, dan Teacher Professional Development.

Teknologi dan Pembelajaran Bahasa Inggris 175


Teknologi
dan
Pembelajaran Bahasa Inggris

Kehadiran buku ini dimaksudkan untuk memberikan


beberapa ide tambahan terkait bagaimana teknologi dan
pedagogi dapat diorkestrasi secara harmonis dalam
pembelajaran bahasa Inggris. Kelas bahasa Inggris, sebaiknya
dirancang secara interaktif dan dapat memberikan
kesempatan serta pengalaman belajar yang bermakna bagi
siswa. Dalam hal ini, teknologi memiliki multi-peran, sebagai
sumber belajar, mediator untuk ‘menemani’ siswa belajar,
maupun alat untuk mendemonstrasikan keterampilan
berbahasa siswa. Tulisan-tulisan dalam buku ini membahas
pemanfaatan teknologi dari beberapa sudut pandang, seperti
lingkungan belajar siswa, keterampilan berbahasa,
keterampilan kolaboratif, dan juga aspek feedback dan
assessment.

Penerbit:
Perkumpulan Pengajar Bahasa Berbasis
Teknologi Informasi (iTELL)
Jl. Kartini Nomor 15-17, Kota Salatiga,
Jawa Tengah
Webiste : http://itell.or.id/
Email : indonesia.tell@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai