Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

WAWASAN HADIS METODE PENDIDIKAN (HADITS TARBAWI)

Dosen pengampu : Dr. Charles Rangkuti, S.Pd.I , M. Pd.I

Disusun Oleh:

Amir Mahmud Habibi MTD (2210110064)

Gilang Purnama (2210110054)

FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & HUMANIORA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN PANCABUDI MEDAN

2023

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pendidikan adalah upaya sadar yang mengandung norma kebaikan dan


berlangsung dalam interaksi antar individu. Penularan suatu norma kepada orang lain
hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang berilmu pengetahuan dan memiliki
kepribadian, sehingga dengan ilmu pengetahuan tersebut proses pendidikan dan
pengajaran dapat berlangsung dengan baik.

Guru merupakan faktor utama dalam memberhasilkan belajar siswa,


kemampuan guru dalam menggunakan metode, menguasai bahan pelajaran dan teknik
penyajian yang sesuai, sehingga dapat merangsang siswa untuk lebih bergairah dalam
belajar.

Keberhasilan menanamkan nilai-nilai rohaniah (keimanan dan ketakwaan pada


Allah swt.) dalam diri peserta didik, terkait dengan satu faktor dari sistem pendidikan,
yaitu metode pendidikan yang dipergunakan pendidik dalam menyampaikan pesan-
pesan ilahiyah. Sebab dengan metode yang tepat, materi pelajaran akan dengan
mudah dikuasai peserta didik. Dalam pendidikan Islam.Sebaik apapun tujuan
pendidikan, jika tidak didukung oleh metode yang tepat, tujuan tersebut sangat sulit
untuk dapat tercapai dengan baik. Sebuah metode akan mempengaruhi sampai
tidaknya suatu informasi secara lengkap atau tidak. Bahkan sering disebutkan cara
atau metode kadang lebih penting daripada materi itu sendiri. Oleh sebab itu
pemilihan metode pendidikan harus dilakukan secara cermat, disesuaikan dengan
berbagai faktor terkait, sehingga hasil pendidikan dapat memuaskan.

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian metode graduasi?


2. Pengertian metode situasional dan metode kondisional?.

2
3. Pengertian metode mengulang- ulang materi
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana metode graduasi dalam pembelajaran.
2. Untuk mengetahui bagaimana metode situasi dan metode kondision
3. Untuk mengetahui metode mengulang-ulang materi.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Metode Graduasi (pentahapan sesuai tingkatan)

Dalam teknik pengajarannya, Rasul saw mengajarkan satu persatu syariat hingga
para sahabat paham secara mendalam secara definisi dan aplikasi nilai dari satu
syariat tersebut, kemudian diaplikasikannya dalam kehidupan mereka serta meresap
sampai ke hati dengan terhindar dari rasa keraguan dalam menjalakannya. Berkenaan
pengajaran Rasul yang mempunyai gaya bertahap dalam mendidik, di sini ada sebuah
hadis dari Imam Ibnu Majah, menjelaskan tentang proses pendidikan yang diawali
dengan iman lalu pembelajaran al-Qur’an.1

“Sewaktu kami masih remaja, kami pernah (belajar) bersama Rasulullah. Materi yang
kami pelajari terlebih dahulu adalah tentang keimanan, setelah itu barulah kami
mempelajari al- Qur’an, sehingga ketika kami usai mempelajari al-Qur’an, maka
keimanan kami semakin bertambah.” (HR Ibn Majah, 23 No. 61 Bab Fi’l-Iman, Juz 1)
.Diriwayatkan dari Muhammad Ibnu Fudhail, dari ‘Atha’ (Ibn As-Sa’ib), dari Abi
‘Abdurrahman (As-Sulami Al-Muqri’), dia berkata: “Salah seorang yang biasa
mengajari kami, yakni dari kalangan shahabat Nabi Muhammad, bercerita kepada
kami bahwa sesungguhnya mereka (para shahabat) pernah mempelajari 10 ayat (Al
Qur’an) dari Rosulullah saw. Mereka tidak mempelajari 10 ayat yang lain sebelum
mereka dapat mengetahui setiap ilmu yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut dan
mengamalkannya.”2

Pengajaran pada anak hendaknya dilakukan secara berangsur –angsur, setapak


demi setapak dan sedikit demi sedikit. Pertama – tama guru menjelaskan
permasalahan yang prinsipil mengenai setiap cabang pembahasan yang diajarkan,
keterangan yang diberikan haruslah bersifat umum. Metode Metode ini dipergunakan
sebagai proses klasifikasi yang disesuaikan dengan tahap pendidikan umat. Agar
ajaran Islam dapat dengan mudah dimengerti oleh umat dan akhirnya dijalankan

1
Qomari Anwar, Pendidikan Sebagai Karakter Budaya Bangsa (Jakarta: UHAMKA Press, 2003), h.
42243.
2
Abdul al Rahman Ibnu Muhammad Ibnu Khaldun , Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun (Beirut:
Muassasah al Kutub al tsaqofiyah, 1996), Hlm.234.

4
secara merata, maka metode yang ditempuh oleh Walisongo didasarkan atas pokok
pikiran li kulli maqam yaitu memperhatikan bahwa setiap jenjang dan bakat, ada
tingkat, bidang materi dan kurikulumnya.sesuai dengan cara ini, penyampaian fiqih
ditujukan bagi masyarakat awam dengan jalan pesantren dan melalui lembaga sosial.
Dalam lingkungan pesantren \disediakan pengajaran dan pendidikan bagi masyarakat
umum yang ingin belajar takhassus (mengkaji secara intens dan khusus) masalah fiqih
dan syariat. Untuk menjadi peserta, tidak diajukan persyaratan tertentu karena
memang dibuka untuk umum yang memang berminat. Selanjutnya, metode lembaga
sosial.

Melalui pendidikan sosial atau usaha-usaha kemasyarakatan diupayakan agar


ajaran-ajaran Islam yang bersifat praktis dapat menjadi tradisi yang memungkinkan
terciptanya adat lembaga islam yang bersifat normatif. Dalam dunia pendidikan,
pengetahuan harus disampaikan melalui cara yang sesuai dengan kapasitas anak didik
yang pada dasarnya tengah mengalami perkembangan dan pertumbuhan. Rasulullah
Saw telah memberikan contoh yang jelas tentang kesesuaian cara pemberian ilmu
pengetahuan lewat perkataan para sahabat:

Artinya: kami disuruh berdialog dengan manusia menurut tingkat intelektualnya.

Istilah sekarang yaitu sistem gradasi (setahap demi setahap). Zaman Rasulullah,
khamar merupakan minuman yang lazim bagi bangsa Arab ketika itu. Setelah
datangnya Islam dan mulai menyebar, Rasulullah mulai memberikan nasehat dengan
beberapa tahapan, sebagaimana Allah menurunkan wahyu kepadanya:dalam surah an-
Nahl ayat 67, al-Baqarah: 219, an- Nisa: 43, sampai khamar itu dilarang Sebagaimana
surah al- Maidah: 90.

Dalam hal ini Rasulullah Saw ketika mengajar, mendidik dan berdakwah
mengikuti metode yang telah digariskan Allah, sebagaimana termaktub dalam Qur’an
surah an-Nahl ayat 125.

Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan


pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan
dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.3
3
Qur’an surah an-Nahl ayat 125.

5
Metode ini sangat efektif dalam memberikan pemahaman kepada anak didik.
Karena guru menyajikannya secara bertahap dari yang mudah kepada yang sulit.
Implementasi metode ini dalam pengajaran bahasa Arab dapat digunakan Dalam
materi qawaid. Adapun langkah-langkah penyajiannya ialah:4

1. Guru menyiapkan contoh-contoh sebanyak mungkin mengenai qawaid.


2. GuruGuru menulis contoh-contoh itu di papan tulis dan mengarahkan perhatian
murid ke papan tulis
3. Guru memberikan perbandingan untuk mengetahui persamaan dan perbedaannya
dan mengakhirinya dengan penerapan dalam susunan kalimat, serta memperdalam
contoh-contoh serupa.Guru menarik kesimpulan dalam bentuk kaidah dan
hendaklah mengambil kesimpulan itu dengan perantaraan murid itu sendiri.
4. Guru menulis kaidah yang telah disimpulkan itu di atas papan tulis.
5. Guru Guru menyuruh kepada murid untuk membuat beberapa contoh dalam
bentuk kalimat susunan mereka sendiri sebagai tatbhiq kaidah yang telah
disimpulkan.
6. Guru menyuruh kepada murid untuk membuat beberapa contoh dalam bentuk
kalimat susunan mereka sendiri sebagai tatbhiq kaidah yang telah disimpulkan.5

Metode tadarruj atau tarbiyat al-umma yaitu merupakan sebagai proses untuk
Menyesuaikan pada jenjang, bakat, dan tahap pendidikan agar tujuannya agama islam
mudah untuk diterima dan dimengerti oleh masyarakat. Didalam Al-Qur’an
disebutkan beberapa metode yang dapat diterapkan dalam pendidikan islam, yaitu:

1. Keteladanan, yaitu metode dengan memberikan contoh yang baik kepada


muridnya.
2. MetodeMetode Kisah-kisah, yaitu metode yang hampir sama dengan ceramah
yang mana pendengar seolah-olah dibawa ke dalam latar dan setting sebagaimana
isi cerit sehingga metode ini lebih terkesan lebih efektif untuk menarik perhatian.
3. NasihatNasihat, yaitu biasanya disampaikan dari orang yang lebih tua kepada
yang lebih muda, atau dari orang yang berilmu kepada yang membutuhkan
sebagai arahan.
4
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet. Ketiga, 2002), h. 2.
.
5
Agus Nur Qowim, Metode Pendidikan Islam Perspektif Al-Qur’an, Jurnal Pendidikan Islam Institut
PTIQ Jakarta, Vol.3 No.1 2020, 45-46

6
4. Habituasi-Habituasi, yaitu proses pembiasaan untuk bertingkah laku atau
berakhlak yang baik.
5. Metode Hukuman dan Ganjaran, yaitu sebuah metode yang menerapkan hukuman
dan anjaran seperti ketika yang dilakukan buruk maka akan mendapatkan
hukuman, tetapi jika yang dilakukan baik akan mendapatkan ganjaran atau hadiah

Dalam metode pengajaran Ibnu Khaldûn menggunakan metode berangsur-angsur


setapak demi setapak, sedikit demi sedikit dan ia menganjurkan agar seorang pendidik
itu bersikap sopan dan halus pada muridnya, hal ini juga termasuk sikap orang tua
terhadap anaknya, karena orang tua adalah guru utama bagi anaknya. Menurut Ibnu
khaldûn, keahlian adalah sifat dan corak jiwa yang tidak dapat tumbuh serempak.

Ibnu Khaldûn menjelaskan, bahwa suatu pembelajaran akan berlangsung secara


efektif (al-ta‟lim al-mufidz) jika dilaksanakan dengan metode graduasi atau tadrij.
Dimana materi pelajaran disampaikan secara gradual atau bertahap, sedikit demi
sedikit sampai murid menguasai seluruh materi. Pertama, guru menyampaikan konsep
dasar suatu materi secara global, kemudian menjelaskan secara terperinci materi
tersebut perbab, bertahap sesuai dengan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik.

B. Metode Situasional dan kondisional

Metode Pengajaran Bahasa Situasional atau yang sering disebut dengan Metode
Situasional merupakan metode yang menghubungkan pola-pola struktural dari bahasa
dengan situasi atau konteks kejadian. Kegiatan bahasa dipandang sebahgai bagian dari
keseluruhan kegiatan yang melibatkan pelaku, objek dan situasi aktual.

Ciri-ciri pengajaran metode pengajaran Bahasa Situasional ciri utama dalam


pengajaran Bahasa Situasional yaitu:

a. Pengajaran bahasa berawal dengan bahasa lisan. Bahasa diajarkan secara lisan
sebelum disajikan dalam bentuk tertulis.

b. Bahasa sasaran merupakan bahasa (pengantar) kelas.

c. Kosakata baru diperkenalkan dan dipraktikkan secara situasional

7
d. Prosedur penyeleksian kosakata dituruti untuk meyakinkan bahwa kosakata umum
yang penting benar-benar disajikan.

e. Tahapan tata bahasa dijelaskan secara bertahap sesuai dengan prinsip bahwa
bentuk-bentuk yang sederhana diajarkan sebelum bentuk yang rumit.

f. Membaca dan menulis diperkenalkan/dimulai apabila dasar leksikal dan


gramatikal yang memadai sudah terpenuhi.

Kelebihan dan Kelemahan Pengajaran Bahasa Situasional

Kelebihan-kelebihan metode Pengajaran Bahasa Situasional ialah:

a. Peserta didik mendapatkan latihan yang cukup banyak dalam kosa kata dan
membaca.

b. Peserta didik mendapat latihan yang cukup banyak dalam berbicara dan menyimak.

c. Peserta didik mendapat latihan dalam sistem bunyi BT, tekanan, ritme, dan
intonasi.

Kelemahan-kelemahan metode Pengajaran Bahasa Situasional ialah:

a. Peserta didik terlalu banyak mendapat latihan dalam struktur dan kurang
dalamberkomunikasi yang wajar.

b. Para peserta didik mendapat latihan dalam berbicara dalam konteksberarti dengan
siapa, dimana, topik apa, dan kapan waktunya, sehingga ragam yang dipelajari hanya
satu saja.6

Dalam hadist dijelaskan sebagai berikut.

Bersumber dari Ibnu Mas’ud, berkata: Nabi SAW. Selalu menyeling-nyelingi


kami dalam beberapa dengan nasehat karena khawatir membosankan.”)7

Dalam hadis di atas, dipaparkan bahwa ketika memberikan pelajaran kepada para
sahabat, Nabi SAW senantiasa memperhatikan waktu dan kondisi yang tepat dan
sisesuaikan dengan waktu dan kondisi mereka. Hal ini beliau lakukan agar mereka
6
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik (Bandung: Angkasa, 1990 , h. 2.
7
HR. Al-Bukhari, Muslim, Al-Turmuzi dan Imam Ahmad.

8
tidak merasakan jenuh/bosan. Nabi Saw. Juga selalu berusaha menjaga tujuan dan
keseimbangan dalam proses pembelajarannya. Adapaun langkah-langkah strategis
yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pembelajaran ini serta upaya Nabi saw
memilih waktu yang tepat dalam menyampaikan nasehat dan ilmu kepada ummat atau
para sahabat ini selanjutnya dikenal dengan metode situasional. Sehubungan dengan
itu, Imam Buchary dan Imam muslim menerangkan bahwa Nabi saw sentiasa memilih
waktu yang tepat untuk menyampaikan nasehat dan ilmu pengetahuan kepada para
sahabat dan kaum muslimin (selaku pasertadidik) agar para peserta didiknya tidak
jenuh, bahkan juga memilih hari-hari tertentu. Nabi saw juga menerangkannya dengan
sikap yang bersahaja dan bervariasi.8

Metode situasional, yang mendorong manusia didik untuk belajar dengan


perasaan gembira dalam berbagai tempat dan keadaan. Anak Cerdas Istimewa
memiliki kondisi yang berbeda dengan teman sebayanya yang normal. Di satu sisi dia
mengalami kemajuan yang sangat cepat namun di sisi lain ada perkembangannya
yang terhambat. Oleh karena itu sebagai orang tua maupun pendidik harus memahami
situasi dan kondisi anak maupun seserta didik yang mana mereka adalah anak cerdas
istimewa.

Pendekatan situasional

Kegiatan pembelajaran untuk anak tunarungu pada tahap-tahap awal tentunya


tidak akan terlepas dengan pengalaman-pengalaman yang diperoleh pada kegiatan-
kegiatan sebelumnya. Hal tersebutkan dapat membantu dan memudahkan dalam
proses pembelajaran, khususnya berbahasa oral. Mulyono menjelaskan bahwa sebagai
makhluk sosial, anak-anak tidak hanya menjalin interaksi kooperatif dengan
sesarnanya,tetapi juga menjalin interaksi kompetitif Interaksi kompetitif akan
berdampak positif maupun negatif terhadap peningkatan prestasi belajar manpun
pengembangan kepribadian pada anak-anak: Beberapa hasil penelitian menunjukkan
adanya empat suasana belajar yang kompetitif,(1) kompetisi antarindividu yang
berkemampuan homogen,(2) kompetetisi antar kelompok yang berkemampuan
seimbang, (3)kompetisi dengan standar nilai minimum, dan (4) kompetisi dengan
dirisendiri.Pendekatan yang dirancang dalam konteks ini adalah suatn pendekatan

8
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 2018) cet. Ed. Hal. 197.Muhammad Zein,
Methodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta, AK Group dan Indra Buana, 2018), hal. 251..

9
yang fleksibel, yang mencoba mengangkat hal-hal situasional yang menarik
perhatianan untuk diangkat dalam kegiatan pembelajaran. Apabila tidak dijumpai
adanya suatu objek tertentu yangi’menjadi perhatian Anak, hal itu bisa diciptakan.
Sebelum kegiatan pembelajaran dirnulai, anak-anak diajak ke luar kelas atau jalan-
jalan untuk melihat atau mengamati’kejadian segala sesuatu,misalnya ikan berenang
dikolam.Anak distimulasi atau dimotivasi untuk mengungkapkan peristiwa yang baru
saja diperhatikan dan diketahui. Di dalam pengungkapan pengetahuannya tersebnt ke-
mungkinan pola-pola kalimatnya belum sempurna. Selanjutnya, dibantu penyusunan
struktur kalimatnya yang betul,meskipun mungkin gramatikalnya sederhana apa yang
dilibat dan diketahui anak mungkin sudah diajarkan,sedangkan pengetahuan yang
baru murnnya ditunjukkan melalui isyarat dan menanyakannya.pendekatan
situasional.

Pendekatan situasional hampir sama dengan pendekatan perilaku keduanya


menyoroti perilaku kepemimpinan dalam situasi tertentu. Dalam hal ini
kepemimpinan lebih merupakan fungsi situasi daripada sebagai kualitas pribadi, dan
merupakan suatu kualitas yang timbul karena interaksi orang-orang dalam situasi
tertentu. Menurut pandangan perilaku, dengan mengkaji kepemimpinan dari beberapa
variabel yang mempengaruhi perilaku akan memudahkan menentukan gaya
kepemimpinan yang paling cocok. Pendekatan ini menitikberatkan pada berbagai
gaya kepemimpinan yang paling efektif diterapkan dalam situasi tertentu.9

Pendekatan situasional berasumsi bahwa kesuksesan suatu organisasi tidak hanya


dipengaruhi oleh sifat dan perilaku pemimpin saja. Setiap organisasi atau bahkan
lembaga pendidikan islam mempunyai ciri-ciri yang khas, khusus dan unik, bahkan
organisasi atau lembaga sejenispun akan mempunyai dan menghadapi problematika
yang berbeda, karena lingkungan yang berbeda, motivasi, watak dan kompetensi
anggota organisasi yang berbeda. Situasi dan kondisi yang berbeda ini harus dihadapi
dengan perilaku kepemimpinan yang sesuai situasi dan kondisi organisai tersebut,
maka pendekatan situasional ini bisa disebut juga pendekatan kontingensi, yaitu
kemungkinan. Oleh karena itu, tinggi-rendahnya kematangan suatu organiasi dapat
menentukan kemana kecenderungan model kepemimpinan pemimpin diarahkan.10
9
Marlina, L. (2017). Tipe-tipe kepemimpinan dalam manajemen pendidikan. Ta’dib: Jurnal Pendidikan
Islam, 18(02), 215-227
10
Abu Zakaria Yahya ibn Syaraf An-Nawawi, Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim (Beirut: Dar al-Fikri,
1401 H), juz 8, h. 15.

10
Pendekatan situasional disebut juga dengan pendekatan contingency yang
didasarkan pada pendapat bahwa kepemimpinan yang efektif tergantung sejumlah
faktor. Tidak ada kepemimpinan yang efektif untuk semua situasi atau keadaan.
Menurut teori Fiedler terdapat 3 kriteria situasi yaitu hubungan antara pimpinan dan
karyawan, tugas kelompok dan kekuasaan. Fiedler percaya bahwa kunci kesuksesan
seorang pemimpin terletak pada gaya kepemimpinannya. Para ahli mencoba membuat
suatu model kepemimpinan.Pendekatan situasional menekankan pada ciri-ciri pribadi
pemimpin dan situasi, mengemukakan dan mencoba untuk mengukur atau
memperkirakan ciri- ciri pribadi ini, dan membantu pimpinan dengan garis pedoman
perilaku yang bermanfaat yang didasarkan kepada kombinasi dari kemungkinan yang
bersifat kepribadian dan situasional. Pendekatan situasional juga menekankan faktor
konstektual yang mempengaruhi proses kepemimpinan. Variabel situasional yang
penting seperti karakeristik bawahan, sifat pekerjaan pemimpin, jenis organisasi, dan
sifat lingkungan eksternal. Pendekatan ini berangkat dari asumsi bahwa tidak ada
satupun gaya kepemimpinan yang cocok dengan semua situasi.11

Pendekatan situasional atau pendekatan kontingensi merupakan suatu teori yang


berusaha mencari jalan tengah antara pandangan yang mengatakan adanya asas- asas
organisasi dan manajemen yang bersifat universal, dan pandangan yang berpendapat
bahwa tiap organisasi adalah unik dan memiliki situasi yang berbeda- beda sehingga
harus dihadapi dengan gaya kepemimpinan tertentu. Kepemimpinan kepemimpinan
Situasional adalah pendekatan reseptif untuk kepemimpinan yang menunjukkan
bagaimana pemimpin dapat menjadi efektif dalam berbagai jenis pengaturan
organisasi yang melibatkan berbagai tujuan organisasi. Pendekatan ini memberikan
model yang menyarankan kepada para pemimpin bagaimana mereka harus
berperilaku berdasarkan tuntutan situasi tertentu.12

Kepemimpinan yang efektif terjadi ketika pemimpin dapat secara akurat


mendiagnosis tingkat perkembangan pengikut dalam situasi tujuan dan kemudian
menunjukkan gaya kepemimpinan yang ditentukan yang cocok dengan situasi
itu.kepemimpinan diukur dalam pendekatan ini dengan kuesioner yang meminta
responden untuk menilai serangkaian situasi terkait pekerjaan. Kuesioner memberikan

11
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 89.
12
J. D. Parera, Teori Semantik Edisi Kedua (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 46

11
informasi tentang kemampuan, fleksibilitas, dan efektivitas diagnostik pemimpin.
Mereka berguna dalam membantu para pemimpin untuk belajar tentang bagaimana
mereka dapat mengubah gaya kepemimpinan mereka menjadi lebih efektif di berbagai
situasi.

Kepemimpinan situasional mendukung fleksibilitas karena itu membentuk


kepemimpinan sesuai tingkat keterampilan, motivasi, dan kepercayaan diri setiap
anggota tim. Model kepemimpinan yang kurang fleksibel mungkin tidak
mempertimbangkan tingkat motivasi setiap anggota tim, tapi kepemimpinan
situasional harus fleksibel guna menghasilkan produktivitas yang lebih baik.berkaitan
dengan ini, hasil diagnosis akan memberikan pengaruh pada flesibilitas dalam
penerapan gaya kepemimpinan. Kondisional adalah menyesuaikan dengan kondisi
atau keadaan.

Kondisional sering dipakai untuk menyebut sesuatu yang harus / perlu


menyesuaikan keadaan yang sedang terjadi dan bisa saja berubah-ubah. Pembelajaran
membutuhkan komunikasi dua arah antara pendidik dengan peserta didik agar segala
kegiatan pembelajaran dan tujuan pembelajaran dapat tersalur dengan baik. Oleh
karena itu, untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dibutuhkan sinergi dalam
berbagai sektor dalam mendukung pendidikan. Pada masa pandemi ini, tentunya
semua bidang mengalami kesulitan termasuk dalam bidang pendidikan. Covid-19 ini
mengakibatkan terjadinya perubahan kebijakan secara mendasar dalam dunia
pendidikan.13

Melalui Surat Edaran no. 4 tahun 2020 dari Menteri pendidikan dan kebudayaan
yang menganjurkan seluruh kegiatan di institusi pendidikan harus jaga jarak dan
seluruh penyampaian materi akan disampaikan dari rumah masing-masing.
Pemberlakuan pembelajaran secara daring dan luring diharapkan dapat menjadi
alternatif agar tetap terrlaksana pembelajaran di tengah situasi pandemi saat ini. Bagi
daerah yang memiliki jaringan internet bagus dapat melakukan proses belajar
mengajar dalam jaringan (daring) dengan baik.14

13
Muhammad ibn Abdul Hafidh Suwaid, Cara Nabi Mendidik Anak (Jakarta: AlI‘tishom Cahaya Umat,
2006), h. 9.
14
Muhammad al-Khudhriy Bek, Tarikh at-Tasyri‘ al-Islamiy (Surabaya: Maktabah Ahmad ibn Sa‘ad ibn
Nahban wa-Awladuh, t.t.), h. 43.

12
C. Metode mengulang-ulang materi

Metode pengulangan adalah sarana efektif untuk menghafal pelajaran dan untuk
memfokuskan kepada poin yang penting. Mengulang-ulang juga sebagai bentuk
penekanan untuk menggugah perhatian pendengar agar menghadirkan pemahaman.
Semoga ikhtiar ini apa yang dipelajari dan dihafal beserta menjadi ilmu yang
bermanfaat untuk dirinya dan orang lain.

“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengulang-ulang ‘kata’ sebanyak tiga


kali agar dapat dipahami darinya.”15

Al Mubarakfuri berkata, “Maksudnya bahwa beliau shallallahu’alaihi wa sallam


pernah mengulangi perkataannya tiga kali ketika kondisinya menuntut itu, karena
sulitnya (pemahaman) maknanya atau keasingannya atau banyaknya orang-orang
yang mendengar, beliau melakukannya tidak secara terus-menerus, karena mengulang
perkataan tanpa ada kebutuhan untuk mengulanginya bukanlah termasuk balaghah
sama sekali. Demikian disebutkan dalam Syarh Asy Syama’il karya Al Baijuri,
perkataannya (‫ )ِلُتعَق َل َع ْن ُه‬agar dapat dipahami darinya, dengan kalimat pasif.
Maksudnya agar kata tersebut dapat dipahami dari beliau shallallahu’alaihi wa
sallam” (Tuhfatul Ahwazi).

Metode adalah strategi yang tidak bisa ditinggalkan dalam proses belajar
mengajar. Setiap kali mengajar guru pasti menggunakan metode. Metode yang di
gunakan itu pasti tidak sembarangan, melainkan sesuai dengan tujuan pembelajaran .

Metode Takrir yaitu suatu cara membaca dengan mengulang-ulang baik sudah
menambah maupun sudah tidak menambah yang sudah diperdengarkan. Adapun
hafalan yang diulang dapat dikelompokkan menjadi hafalan yang baru dan hafalan
yang lama. Membaca materi pelajaran terutama bahasa Arab secara rutin dan
berulang-ulang akan memindahkan materi yang telah dihafal dari otak kiri ke kanan.
Diantara karakteristik otak kiri adalah menghafal dengan cepat, tetapi cepat pula
lupanya. Sedangkan karakteristik otak kanan adalah daya ingat yang memerlukan
jangka waktu yang cukup lama guna memasukkan memori ke dalamnya.16

15
Zuhairini, dkk., Metode Khusus Pendidikan Agama (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), h. 83.
16
Surur, Inafi Lailatis. 2019. Pengaruh Metode Takrir dalam Meningkatkan Kemampuan Menghafal Al-
Qur’an Surat-surat Pendek Kelas VI MIT Hidayatul Qur’an Gerning Pesawaran. Skripsi: Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.

13
Sementara dalam waktu yang sama otak kanan juga mampu menjaga ingatan
yang telah dihafal dalam jangka waktu yang cukup lama pula. Sudah diketahui bahwa
salah satu cara yang penting dan baik untuk memasukkan memori ke dalam otak
kanan adalah dengan cara sering mengulang-ulangnya. Karena itu, sering dan banyak
membaca sangat efektif dalam rangka mematangkan dan menguatkan hafalan. Dalam
melatih penuturan dalam membaca juga diperlukan teknik yang khusus. Ada beberapa
teknik yang dapat digunakan yaitu: Seorang guru bahasa Arab hendaknya
mengucapkan kata-kata yang beragam, baik huruf per huruf maupun dalam bentuk
kata, sementara peserta didik menirukannya di dalam hati secara kolektif,Selanjutnya
memberikan materi tentang bunyi huruf yang hampir sama sifatnya, misalnya: ‫س– ش‬
‫ ع‬، - ‫ ء‬dan seterusnya, Kemudian materi diteruskan dengan tata bunyi yang tidak
terdapat di dalam bahasa ibu, seperti: ،‫ خ‬،‫ ذ‬،‫ص‬، ‫ ثض‬dan seterusnya, Melafalkan huruf
atau kata-kata untuk menirukannya, sehingga ia betul-betul yakin akan dapat
melafalkan sebagaimana guru.17

Metode yang dapat digunakan dalam pengulangan ada dua macam, yaitu :
pertama, mengulang dari dalam hati. Hal ini dilakukan dengan teknik membaca al-
Qur’an dalam hati tanpa melafalkannya lewat mulut. Metode ini adalah salah satu
kerutinan masa lalu para ulama guna menguatkan hafalan mereka. Cara ini juga
digunakan untuk membantu Hafi mengingat hafalan yang telah dicapai sebelumnya.
Kedua, katakan dan ulangi. Cara ini sangat membantu Hafid untuk bercita-cita
menjaga daya ingat. Secara tidak langsung, metode ini melafalkan mulut dan
telinganya serta melatihnya untuk mendengarkan bacaannya sendir.

Prinsip belajar yang menekankan perlunya pengulangan adalah teori psikologi


daya. Menurut teori ini belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia yang
terdiri atas daya mengamati, menanggap, mengingat, mengkhayal, merasakan, berfikir
dan sebagainya. Dengan mengadakan pengulangan maka daya-daya tersebut akan
berkembang, seperti halnya pisau yang selalu diasah akan menjadi tajam, maka daya yang
dilatih dengan pengadaan pengulangan-pengulangan akan sempurna.

Mengulang dapat dilakukan dengan membaca, dan dapat juga dilakukan dengan
mempelajari kembali bahan pelajaran yang sudah dipelajari misalnya dengan
membuat ringkasan. Teori lain yang menekankan prinsip pengulangan adalah teori
17
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pres, 2002), h. 136.

14
koneksionisme-nya Thordike. Dalam teori koneksionisme, Thordike mengemukakan
bahwa belajar ialah pembentukan hubungan antara stimulus dan respon dan
pengulangan terhadap pengalaman- pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya
respon benar.

Teori pengulangan sebagai salah satu teori belajar telah dinyatakan dengan jelas
dalam Al-Qur’an dimana Allah SWT menyuruh Nabi Adam as. mengulangi
menyebutkan nama-nama benda. Hal yang sama juga terjadi ketika Malaikat Jibril as.
menyampaikan wahyu pertama dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW di goa
Hiro. Secara berulang-ulang Malaikat Jibril as. menyebut kata Iqra’ untuk mengajari
Nabi Muhammad SAW membaca.

15
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Pengajaran pada anak hendaknya dilakukan secara berangsur –angsur, setapak demi setapak
dan sedikit demi sedikit. Pertama – tama guru menjelaskan permasalahan yang prinsipil
mengenai setiap cabang pembahasan yang diajarkan, Melalui pendidikan sosial atau usaha-
usaha kemasyarakatan diupayakan agar ajaran-ajaran Islam yang bersifat praktis dapat
menjadi tradisi yang memungkinkan terciptanya adat lembaga islam yang bersifat normatif.
Dalam dunia Pendidikan . . Dalam dunia pendidikan, pengetahuan harus disampaikan melalui
cara yang sesuai dengan kapasitas anak didik yang pada dasarnya tengah mengalami
perkembangan dan pertumbuhan. Metode adalah strategi yang tidak bisa ditinggalkan dalam
proses belajar mengajar. Setiap kali mengajar guru pasti menggunakan metode. Metode yang
di gunakan itu pasti tidak sembarangan, melainkan sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Sementara dalam waktu yang sama otak kanan juga mampu menjaga ingatan yang telah
dihafal dalam jangka waktu yang cukup lama pula. Sudah diketahui bahwa salah satu cara
yang penting dan baik untuk memasukkan memori ke dalam otak kanan adalah dengan cara
sering mengulang-ulangnya. Karena itu, sering dan banyak membaca sangat efektif dalam
rangka mematangkan dan menguatkan hafalan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anulkarim.

Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah. Shahih Bukhari, Juz 5. Beirut: Dar Ibnu
Katsir, 1987.

An-Nawawi, Abu Zakaria Yahya Ibn Syaraf. Syarah An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, Juz 8.
Beirut: Al-fikri, 1401 H.

Anwar, Qomari. Pendidikan Sebagai Karakter Budaya Bangsa. Jakarta: Uhamka Press, 2003.

Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pres, 2002.

Bek, Muhammad al-Khudhriy. Tarikh at-Tasyri al-Islamiy. Surabaya: Maktabah Ahmad ibn
Sa’ad ibn Nahban Wa-Awladuh, t.t.

Chaer, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.

Khaldun, Abdul al Rahman Ibnu Muhammad Ibnu. Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun.
Beirut: Muassasah al Kutub al tsaqofiyah, 1996.

L., Marlina. Tipe-tipe Kepemimpinan Dalam Manajemen Pendidikan, Vol. 18, No. 02. Ta’dib:
Jurnal Pendidikan Islam, 2017.

Parera. Teori Semantik Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga, 2004.

Qowim, Agus Nur. Metode Pendidikan Islam Perspektif Al-Qur’an, Vol. 03, No. 01. Jakarta:
Jurnal Pendidikan Islam, 2020.

Ramadhani, Nastiti Ramadhani, Ayi Sobarna, dan Dinar Nur Inten. Iplementasi
Pembelajaran Al-Qur’an Metode Ummi pada Anak Usia Dini, Vol. 02, No. 02.
Bandung: Universitas Islam, 2022.

Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2002.

Surur, dan Inafi Lailatis. Pengaruh Metode Takrir dalam Meningkatkan Kemampuan
Menghafal Al-Qur’an Surat-surat Pendek Kelas VI MIT Hidayatul Qur’an Gerning
Pesawaran. Lampung: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Raden Intan, 2019.

Suwaid, Muhammad ibn Abdul Hafidh. Cara Nabi Mendidik Anak. Jakarta: All‘tishom
Cahaya Umat, 2006.

T., Ma’sum. Persinggungan kepemimpinan transformational dengan kepemimpinan visioner


dan situasional, Vol. 02, No. 02. Intizam: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 2019.

Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa, 1990.

17
Zuhairini, dkk. Metode Khusus Pendidikan Agama. Surabaya: Usaha Nasional, 1983.

18

Anda mungkin juga menyukai