Terik mentari menyinari Desa Salem waktu itu. Aku menyeka keringatku yang dari tadi
terus bercucuran tiada henti. Ibu menatapku dan seperti mengetahui isi pikiranku, ia menyuruh
kami berhenti sejenak.
“Mari stop sebentar. Istirahat dulu… Pasti cape kan?”, ucap beliau. “Iya, Bu…”, Kami
mengangguk pelan.
Aku melihat kantong kresekku yang berisikan beberapa plastik kecil berisi bonteng.
Sudah cukup banyak bonteng yang terjual namun dagangan Ibu masih belum habis terjual juga
padahal kami sudah berkeliling kampung menjajankan bonteng. Aku memijat pelan kakiku yang
telah menempuh raturasan kilometer demi menjual bonteng yang berharga Rp 2.000,- per plastik
kecil itu.
“Cape kan jualan bonteng? Di Jakarta pasti belum pernah,” ujar Ibu. Kami hanya bisa
tertawa kecil menjawab pertanyaan Ibu. “Yah sudah, sebentar lagi kita pulang”, ujar Ibu sambil
menghitung berapa banyak bonteng yang tersisa.
“Eh Atik… Apa kabar atuh?”, seorang Ibu tua menyapa Ibu dan duduk di sebelah kami.
“Alhamdulilah… Baik juga… Ehm… Anak-anak ini siapa ya?”, Ibu tua itu menatap ke
arah kami.
“Oo… Ini anak-anak dari SMP St. Yoseph. Lagi Live in di sini”
“Oo… Dari Jakarta… Pantesan euy, mukanya putih-putih… Cantik-cantik”, goda sang
Ibu tua. Kami hanya bisa tertawa kecil membalas perkataan Ibu itu.
“Ehm… Ibu… Mau bonteng engga?”, kata Ibu sambil membuka keranjang besarnya
yang berisi banyak bonteng.
“Berapa?”
Matahari makin tinggi namun bonteng-bonteng Ibu belum terjual habis dan kaki ku sudah
lelah karena terus melintasi jalanan terjal. Terik matahari membuat ku tambah lelah dan pusing.
Kepalaku sudah berkunang-kunang dan jalanku sudah hampir tidak beraturan.
“Kenapa atuh?” Ibu menghentikan langkahnya dan menatap ke arahku yang berdiri
mematung melihat bonteng-bonteng itu.
Sementara aku hanya bisa diam sambil berjalan mengikuti Ibu. Tak tahu harus bicara apa.
Bukannya meringankan pekerjaan Ibu, malahan aku membuatnya tambah susah.
“Eh, Rin. Lu gimana sih?”, Reisa menepuk pundak ku dan menatapku dengan sinis.
“Dih, malah balik tanya. Yah, gara-gara lu Ibu jadi susah!”, kata Carol.
“Eh! Jangan salahin Rina donk! Ini kan dia ga sengaja!”, bela Yenny.
“Dih?! Kok lu malah bela in dia sih, Yen?! Dia kan salah!” bentak Reisa.
“Eh jangan salahin gue donk! Gue kan ga sengaja! Tadi kan gue cape makanya tu
bonteng jatoh!” teriakku.
“Jangan banyak alesan deh lu! Salah, salah aja! Udah salah masih batu!” ujar Carol
dengan sinis.
“Udah-udah jangan berantem lagi! Masalah kecil gini aja diperdebatin! Ibu aja ok-ok aja
tuh!” lerai Yenny.
“Masalah kecil? Lu bilang ini masalah kecil?! INI MASALAH BESAR WOI!! Gara-gara
si Rina si Ibu jadi rugi!! MIKIR DONK! PUNYA OTAK DIPAKE!” bentak Reisa.
“Udah ah! Cape gue ngomong sama anak batu! Dikasih tau susah! Rei, mending kita
jalan duluan. Tinggalin aja tuh si Rina sama Yenny” ujar Carol dengan sinis sambil
meninggalkan aku dengan Yenny sendirian.
“Gapapa. Lagian kan itu bukan salah gue! Gue kan ga sengaja!” ujarku membela diri.
“Sip! No problem!”
Matahari mulai menurun, namun kali ini aku, Carol, Reisa, dan Yenny pun tidak berjalan
bersama-sama seperti awal. Aku , Carol, Reisa, dan Yenny pun berjalan berdua-berdua dengan
jarak yang cukup jauh. Reisa bersama Carol sementara aku bersama Yenny. Sejujurnya aku tidak
suka dengan situasi canggung seperti ini. Lebih baik aku mengaku salah daripada harus berada di
situasi ini. Tapi… Gengsi lebih tinggi! Aku gengsi minta maaf dan mengaku salah pada mereka.
Lagipula untuk apa aku minta maaf? Aku kan ga salah! Tapi… Situasi ini membuat acara Live In
menjadi tidak menyenangkan… Apa aku minta maaf? Tapi kan aku ga salah!
Suara Ibu memecahkan pikiran ku. Kulihat Ibu sedang berbicara dengan seorang Bapak.
“Oo… Pak Slamet sakit parah… Sakit diabetes… Sekarang ga bisa bangun cuma bisa di
ranjang. Mau dibawa ke rumah sakit…”
Kami dan Ibu duduk di teras melihat rumah Pak Slamet yang didatangi banyak warga.
Suasananya sangat ricuh dan ramai.
“Anak-anak… Kasian yah Pak Slamet… Kena sakit diabetes… Di sini mah banyak yang
kena sakit diabetes…” ujar Ibu dengan lirih.
“Anak-anak, Ibu ke rumah Pak Slamet bentar yah”
Ibu meletakkan keranjang besarnya dan mendatangi rumah Pak Slamet. Beliau dengan
wargal lain bersama mengiring dan membopong Pak Slamet menuju ke ambulans.
“Hah?”
“Iya… Gue minta maaf udah ngomelin lu cuma gara-gara bonteng jatoh” ujar Reisa
dengan lirih.
“Iya, gue juga minta maaf udah ngomelin dan ninggalin lu sama Yenny” kata Carol.
“Oo… Ehm… Iya gapapa… Lagian itu juga salah gue… Gue juga minta maaf dah bentak
kalian…”ujarku.
“Nah, gitu donk! Jadi temen yang akur1 Eh.. Gue juga sorry yah dah bentak lu berdua
juga” ujarYenny.
“HAYOK!!”
Aku dan teman-temanku pun berdiri dan mengambil bonteng-bonteng itu. Tak lupa kami
juga mengambil keranjang besar Ibu. Bersama kami membantu mengiringi Pak Slamet masuk ke
dalam ambulans dan hari-hari Live In menjadi lebih indah. Ini adalah pengalaman Live In yang
tak akan kulupakan.
***