Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

OBSTERTIF
TENTANG
PERDARAHAN PASCA PERSALINAN
DOSEN PEMBIMBING : Dr. ARIF RAHMANSYAH

DISUSUN OLEH :

WIDIYAH
NIM. 062402S22062

AKADEMI KEBIDANAN DIPLOMA III (D-III) SURYA MANDIRI BIMA


TAHUN AKADEMIK 2023/2024

i
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الحيم‬


Syukur Alhamdulillah pembuat Makalah panjatkan kehadirat Allah SWT, dengan limpahan
karunia dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “PERDARAHAN
PASCA PERSALINAN” dapat diselesaikan.

Tidak lupa pula Pembuat Makalah menghaturkan salawat serta salam kepada junjungan alam
Nabiullah Muhammad SAW yang telah mampu mengantarkan umat manusia dari alam yang gelap gulita
menuju alam yang terang benderang yaitu seperti nikmat iman dan Islam yang kita nikmati secara bersam
sampai pada detik ini dan mudah-mudahan kita semua mendapatkan safaatnya di akhir kelak nanti. Amin.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .......................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................ 2
C. Tujuan dan Manfaat..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHSAN
A. Apa itu Perdarahan Pasca Persalinan .......................................................................... 3
B. Bagaimana Epidemiologi ............................................................................................ 3
C. Bagaimana Perdarahan Pasca Persalinan .................................................................... 4
D. Apa Saja Klasifikasi .................................................................................................... 6
E. Bagaimana Etiologi ..................................................................................................... 6
F. Apa Saja Faktor Resiko .............................................................................................. 10
G. Bagaimana Diagnosis .................................................................................................. 11
H. Apa Saja Komplikasi .................................................................................................. 12
I. Bagaimana Pencegahan .............................................................................................. 14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................................. 16
B. Saran ........................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyebab klasik kematian ibu yang paling dikenal selain infeksi dan preeklamsia
adalah perdarahan. Perdarahan pasca persalinan (PPP) adalah perdarahan masif yang antara
lain berasal dari tempat implantasi plasenta atau robekan pada jalan lahir dan jaringan
sekitarnya. Jika perdarahan pasca persalinan tidak mendapatkan penanganan yang
semestinya, maka dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu serta proses
penyembuhan kembali (Cunningham FG, 2005).
Perdarahan pasca persalinan tetap menjadi penyebab kematian utama ibu hamil di
seluruh dunia dengan angka kejadian sekitar 30% dari seluruh kasus kematian ibu, setara
dengan 86.000 kematian per tahun atau 10 kematian setiap jam. Secara umum, angka
kematian dari PPP telah berkurang tajam seiring waktu. Di Inggris, Angka Kematian Ibu
(AKI) yang disebabkan oleh perdarahan (per 100.000 kehamilan) telah berkurang dalam 150
tahun terakhir, dari sebesar 108 pada tahun 1847 menjadi sejumlah 50 pada tahun 1926,
kemudian berkurang menjadi 11 pada tahun 1952, dan untuk saat ini mencapai 0.4 per
100.000 kehamilan (Royal College of Obstetricians and Gynaecologists, 2014).
Kematian ibu menurut definisi WHO adalah kematian selama kehamilan atau
dalam periode 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, akibat hal-hal yang terkait dengan atau
diperberat oleh kehamilan atau penanganannnya, namun bukan disebabkan oleh kecelakaan
atau cedera (Infodatin, 2014). Di negara-negara maju, AKI sudah jauh menurun, namun PPP
tetap menjadi penyebab utama kematian ibu di tempat lain. Hubungan langsung antara
kehamilan dengan AKI di Amerika Serikat adalah sekitar 7-10 wanita per 100.000 kelahiran
hidup (ACOG, 2005).
Di negara-negara industri, PPP menduduki peringkat 3 dalam penyebab utama
kematian ibu, bersama dengan emboli dan hipertensi. Sedangkan pada negara berkembang,
beberapa negara memiliki AKI lebih dari 1000 wanita per 100.000 kelahiran hidup. Di mana
25% dari kematian ibu disebabkan oleh PPP, terhitung lebih dari 100.000 kematian maternal
per tahun. American College of Obstetricians and Gynecologists memperkirakan AKI
sebesar 140.000 kematian per tahun atau 1 wanita setiap 4 menit (ACOG, 2005).

B. Rumusan Masalah
1
1. Apa itu Perdarahan Pasca Persalinan ?
2. Bagaimana Epidemiologi ?
3. Bagaimana Perdarahan Pasca Persalinan ?
4. Apa Saja Klasifikasi ?
5. Bagaimana Etiologi ?
6. Apa Saja Faktor Resiko ?
7. Bagaimana Diagnosis ?
8. Apa Saja Komplikasi ?
9. Bagaimana Pencegahan ?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Apa itu Perdarahan Pasca Persalinan ?
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Epidemiologi ?
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Perdarahan Pasca Persalinan ?
4. Untuk Mengetahui Apa Saja Klasifikasi ?
5. Untuk Mengetahui Bagaimana Etiologi ?
6. Untuk Mengetahui Apa Saja Faktor Resiko ?
7. Untuk Mengetahui Bagaimana Diagnosis ?
8. Untuk Mengetahui Apa Saja Komplikasi ?
9. Untuk Mengetahui Bagaimana Pencegahan ?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Perdarahan Pasca Persalinan
Upaya penurunan AKI harus difokuskan pada penyebab langsung kematian ibu,
yang terjadi 90% pada saat persalinan dan segera setelah persalinan, yaitu perdarahan (28%),
eklamsia (24%), infeksi (11%), komplikasi pueperium (8%), partus macet (5%), abortus
(5%), trauma obstetrik (5%), emboli (3%), dan lain-lain 11% (Admin, 2011).
Menurut Prawirohardjo (2009, hlm.523). Perdarahan pasca persalinan dapat
menyebabkan kematian ibu 45 % terjadi pada 24 jam pertama setelah bayi lahir, 68-73%
dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 82-88% dalam 2 minggu setelah bayi baru lahir.
Yang terjadi pada pada 24 jam pertama setelah bayi lahir disebabkan oleh atonia uteri,
berbagai robekan jalan lahir dan sisanya adalah sisa plasenta.
Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir
yang melewati batas fisiologis normal. Pritchard dkk. (1962) menggunakan metode
pengukuran yang akurat telah menemukan bahwa sekitar 5% ibu yang melahirkan per
vaginam kehilangan lebih dari 1000 ml darah. Mereka juga melaporkan bahwa hasil
perkiraan kehilangan darah umumnya hanya sekitar separuh volume kehilangan darah yang
sebenarnya. Karena itu, perkiraan kehilangan darah yang melebihi 500 ml dikategorikan
dalam perdarahan pasca persalinan dan harus diwaspadai. Sebab kondisi tersebut dapat
menyebabkan gangguan homeostasis pada ibu (Prawirohardjo, 2008).
B. Epidemiologi
Perdarahan pasca persalinan tetap menjadi penyebab kematian utama ibu hamil
seluruh dunia dengan angka kejadian sekitar 30% dari seluruh kasus kematian ibu, setara
dengan 86.000 kematian per tahun atau sepuluh kematian setiap jam. Secara umum, angka
kematian dari PPP telah berkurang tajam seiring waktu. Di Inggris, angka kematian ibu yang
disebabkan oleh perdarahan (per 100.000 kehamilan) telah berkurang terus untuk 150 tahun
terakhir, dari sebesar 108 pada tahun 1847 menjadi sejumlah 50 pada tahun 1926, terus
berkurang menjadi 11 pada tahun 1952, dan untuk saat ini mencapai 0.4 per 100.000
kehamilan (Royal College of Obstetricians and Gynaecologists, 2014).
Di negara-negara industri, perdarahan pasca persalinan menduduki peringkat 3
dalam penyebab utama kematian ibu, bersama dengan emboli dan hipertensi. Sedangkan

3
pada negara berkembang, beberapa negara memiliki angka kematian ibu lebih dari 1000
wanita per 100.000 kelahiran hidup. Di mana 25% dari kematian ibu disebabkan oleh
perdarahan pasca persalinan, terhitung lebih dari 100.000 kematian maternal per tahun.
American College of Obstetricians and Gynecologists memperkirakan angka kematian ibu
sebesar 140.000 kematian per tahun atau 1 wanita setiap 4 menit (American College of
Obstetricians and Gynecologists, 2005).
C. Patofisiologi
1. Pemisahan Plasenta dan Aktivitas Uterus
Aktivitas biokimia yang mengawali terjadinya kelahiran plasenta dan
membrannya dimulai tepat sebelum memasuki kala II dari persalinan. Pelepasan
membran dimulai dari kala I. Segera setelah bayi lahir, serabut otot uterus melakukan
kontraksi yang sangat kuat. Serabut otot akan memendek disertai dengan penurunan
ukuran dan volume uterus yang disebut sebagai retraksi. Kejadian ini difasilitasi oleh
struktur spiral dari serabut otot uterus, sehingga penurunan volume tersebut
menyebabkan penurunan luas area perlekatan plasenta (Cunningham FG, 2002).
Menurut Brandt, kompresi plasenta menyebabkan aliran balik plasenta ke sinus di
desidua basalis. Sinus-sinus ini tertahan oleh kontraksi miometrium yang kuat, sehingga
aliran balik menjadi suatu sistem dengan resistensi yang tinggi. Lebih lanjut lagi, sinus
akan menjadi bengkak dan dapat terjadi ruptur. Darah dari sinus yang ruptur menyobek
septa-septa yang tipis pada lapisan desidua basalis, sehingga plasenta dapat terlepas.
Kontrol perdarahan pasca persalinan merupakan kontraksi dan retraksi dari serabut
miometrium yang mengelilingi arteri spiralis di dasar plasenta (Khan, 2008).
Kontraktilitas uterus tergantung pada stimulasi hormonal dan listrik. Terdapat dua
hormon yang berperan penting pada kontraktilitas uterus selama kala III, yaitu hormon
oksitosin dan prostaglandin (Khan, 2008).
2. Perdarahan pada Kala Tiga
Perdarahan dalam derajat tertentu pasti akan terjadi pada kala III persalinan akibat
pemisahan parsial transien plasenta. Saat plasenta terlepas, darah dari tempat implantasi
dapat segera mengalir keluar dari vagina (mekanisme Duncan), selain itu darah dapat
tertahan di belakang plasenta dan ketuban hingga plasenta dilahirkan (mekanisme

4
Schultze). Jika terdapat perdarahan eksternal pada kala III, uterus harus dipijat jika tidak
dapat berkontraksi kuat (Prawirohardjo, 2010).
Jika tanda-tanda terlepasnya plasenta telah timbul, pengeluaran plasenta harus
diupayakan dengan tekanan manual pada fundus. Turunnya plasenta ditandai oleh tali
pusat yang menjadi longgar. Jika perdarahan berlanjut, maka pengeluaran manual
plasenta mungkin perlu dilakukan. Pelahiran plasenta dengan traksi tali pusat khususnya
bila uterus dalam keadaan atonia, selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya inversi uteri
(Cunningham FG, 2002).
Pada beberapa kasus, plasenta tidak segera terlepas setelah persalinan. Combs dan
Laros (1991) meneliti sebanyak 12.275 persalinan bayi tunggal per vagina dan
melaporkan median durasi kala III sebesar 6 menit, dan untuk 3,3% di antaranya
memiliki durasi lebih lama dari 30 menit. Beberapa tindakan untuk menangani
perdarahan seperti resusitasi cairan, transfusi, atau eksplorasi jalan lahir perlu segera
dipertimbangkan bila kala III mencapai sekitar 30 menit atau lebih (Cunningham FG,
2002).
3. Perdarahan Pasca Persalinan
Volume darah perempuan hamil dengan hypervolemia-terinduksi-kehamilan
normal umumnya bertambah 30-60 %. Hal ini setara dengan 1500-2000 ml untuk wanita
bertubuh sedang (Pritchard, 1965). Wanita hamil normal dapat mentoleransi, tanpa
adanya penurunan bermakna pada hematokrit pasca persalinan, kehilangan darah saat
persalinan dalam jumlah mendekati volume darah tambahan yang diperolehnya selama
hamil. Sehingga, jika kehilangan darah kurang dari jumlah yang bertambah saat hamil,
maka nilai hematokrit akan tetap sama segera setelah persalinan (Cunningham FG, 2002).
Setiap kali ditemui nilai hematokrit pasca persalinan lebih rendah dibandingkan
nilai yang terdata saat pasieng datang untuk melahirkan, kehilangan darah dapat
diperkirakan sebagai jumlah perhitungan hypervolemia kehamilan ditambah 500 ml
untuk setiap penurunan nilai hematokrit sebesar 3% (Cunningham FG, 2002).

5
D. Klasifikasi
Klasifikasi dari PPP dapat dikategorikan berdasar pada waktu kejadiannya, yaitu
sebagai berikut (Prawirohardjo, 2008):
1. PPP primer/dini (early postpartum hemorrhage)
PPP primer atau dini adalah perdarahan ≥ 500 cc yang terjadi pada 24 jam
pertama setelah persalinan. Etiologi dari perdarahan pasca persalinan dini biasanya
disebabkan oleh:
a. Atonia uteri
b. Laserasi jalan lahir
c. Ruptur uteri
d. Inversio uteri
e. Plasenta akreta
f. Gangguan koagulasi herediter
2. PPP sekunder/lambat (late postpartum hemorrhage)
PPP sekunder/lambat merupakan perdarahan sebanyak ≥ 500 cc yang terjadi
setelah 24 jam pasca persalinan. Etiologi dari perdarahan pasca persalinan lambat
biasanya disebabkan oleh:
a. Sisa plasenta
b. Subinvolsi dari placental bed
Perdarahan pasaca persalin dini lebih sering terjadi, di mana biasanya berupa
perdarahan yang masif dan menimbulkan morbiditas, dan terutama paling sering
disebabkan oleh atonia uteri (Mochtar, 2008).
E. Etiologi
Kausal dari PPP dapat dibedakan atas:
1. Perdarahan dari tempat implantasi plasenta
a. Hipotoni hingga atonia uteri
1) Akibat tindakan anestesi
2) Distensi berlebihan (gemeli, makrosomia, hidramnion)
3) Partus lama/partus kasep
4) Partus presipitatus /partus terlalu cepat
5) Persalinan karena induksi oksitosin

6
6) Multipara
7) Korioamnionitis
8) Riwayat mengalami atonia uteri sebelumya
b. Sisa Plasenta
1) Kotiledon atau selaput ketuban tersisa
2) Plasenta susenturiata
3) Plasenta akreta, inkreta, atau perkreta
2. Perdarahan karena robekan
a. Episiotomi yang melebar
b. Robekan pada perineum, vagina, atau serviks
c. Rupture uteri
3. Gangguan koagulasi
Merupakan masalah yang paling jarang terjadi, namun dapat memperburuk keadaan pada
poin (1) dan (2)
a. Trombofilia
b. Sindroma HELLP
c. Preeklamsia
d. Solusio plasenta
e. Kematian janin dalam kandung (Intrauterine Fetal Disstress/IUFD)
f. Emboli cairan ketuban
Epidemiologi dari setiap kausal PPP adalah sebagai berikut (Mochtar, 2011):
1. Atonia Uteri : 50-60%
2. Retensio Plasenta : 16-17%
3. Sisa Plasenta : 23-24%
4. Laserasi Jalan Lahir : 4-5%
5. Kelainan Darah : 0,5-0,8%
Beberapa kausal tersering dijelaskan secara singkat dalam poin-poin di bawah ini:
1. Atonia uteri
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus atau kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdaraan terrbuka dari tempat implantasi
plasenta setelah bayi dan plasenta lahir (Prawirohardjo, 2010). Kegagalan uterus

7
berkontraksi secara adekuat setelah persalinan merupakan penyebab tersering perdarahan
obstetris. Pada kasus perdarahan terutama PPP, atonia uteri menjadi penyebab lebih dari
90% perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran bayi
(Cunningham FG, 2005).
2. Robekan Jalan Lahir
Robekan jalan lahir merupakan penyebab terbesar kedua dari perdarahan pasca
persalinan setelah atonia uteri. Hal ini sering terjadi pada primipara karena pada saat
proses persalinan tidak mendapat tegangan yang kuat sehingga menimbulkan robekan
pada perineum (Bone Selatan, 2012). Pada umumnya, robekan jalan lahir terjadi pada
persalinan dengan trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan
traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir, oleh karena itu perlu dihindarkan
memimpin persalinan saat pembukaan serviks belum lengkap (Prawirohardjo, 2010).
Keluarnya bayi melalui jalan lahir umumnya menyebabkan robekan pada vagina
dan perineum. Meski tidak tertutup kemungkinan robekan itu memang sengaja dilakukan
untuk memperlebar jalan lahir. Petugas kesehatan atau dokter akan segera menjahit
robekan tersebut dengan tujuan untuk menghentikan perdarahan sekaligus penyembuhan.
Penjahitan juga bertujuan merapikan kembali vagina ibu menyerupai bentuk semula
(Sutikno, 2006).
3. Retensi Plasenta
Retensi plasenta adalah tertinggalnya bagian plasenta (satu atau lebih lobus),
sehingga uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif dan dapat menimbulkan PPP
primer atau sekunder. Selain itu, retensi plasenta dapat didefinisikan sebagai adanya sisa
plasenta di dalam rahim yang sudah lepas tapi belum keluar sehingga dapat menyebabkan
perdarahan yang banyak. Adanya sisa plasenta tersebut dapat disebabkan oleh atonia
uteri, adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim akibat kesalahan penanganan
kala III, dan hal-hal yang dapat menyebabkan terhalangnya plasenta keluar.
Keadaan ini ditandai dengan plasenta yang belum lahir hingga 30 menit setelah
persalinan, perdarahan segera, serta uterus berkontraksi dan keras. Selain itu tali pusat
mungkin putus akibat traksi yang berlebihan, terjadi inversi uteri sebagai akibat tarikan,
dan mungkin terdapat perdarahan lanjutan.

8
4. Inversi Uterus
Inversi uterus adalah keadaan di mana fundus uteri terbalik, sehingga sebagian
(inkomplit) atau seluruhnya (komplit) masuk ke dalam kavum uteri. Keadaan ini ditandai
dengan uterus yang tidak teraba, lumen vagina yang terisi massa, serta akan tampak tali
pusat jika plasenta belum dilahirkan. Lebih jauh lagi, ibu dapat mengalami syok
neurogenik, pucat, kelelahan, dan tampak limbung.
Faktor-faktor yang memungkinkan itu terjadi antara lain adanya atonia uteri,
serviks yang masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan yang menarik fundus ke bawah.
Sebagai contoh, disebabkan oleh plasenta akreta, inkreta, dan perkreta di mana tali pusat
tertarik kuat dari bawah. Selain itu, adanya tekanan pada fundus uteri dari atas (maneuver
Crede) atau tekanan intraabdominal yang keras dan tiba-tiba, misalnya batuk atau bensin
dengan keras (Prawirohadjo, 2010).
5. Gangguan Koagulasi Darah
Kausal PPP karena gangguan koagulasi darah baru dicurigai bila penyebab-
penyebab lain dapat disingkirkan, terlebih jika disertai riwayat mengalami hal serupa
pada persalinan sebelumnya. Kecenderungan akan terdapat di mana mudah terjadi
perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes atau timbul
hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan dari gusi, rongga hidung, dan lain-
lain (Prawirohardjo, 2010).
Pada hasil pemeriksaan penunjang akan didapatkan faal hemostasis yang
abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi
hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (Fibrin Degradation Product) serta
perpanjangan tes protrombin dan PTT (Partial Thromboplastin Time). Faktor
predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam
kandungan, eklamsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang dapat dilakukan
adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar, trombosit,
fibrinogen, dan heparinisasi, atau pemberian EACA (Epsilon Amino Caproic Acid)
(Prawirohardjo, 2010).

9
F. Faktor Risiko
Beberapa faktor yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya perdarahan pasca
persalinan antara lain (Khan, 2008):
1. Usia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pardosi (2005), diketahui bahwa ibu
hamil yang berusia di bawah 20 tahun atau di atas 30 tahun memiliki risiko mengalami
perdarahan pasca persalinan 3,3 kali lebih besar dibandingkan ibu yang berusia 20-29
tahun. Penelitian lain dari Najah (2004) menunjukkan ibu berusia di bawah 20 tahun dan
di atas 35 tahun bermakna sebagai kelompok berisiko tinggi yang dapat mengalami
perdarahan pasca persalinan.
2. Tingkat pendidikan. Seorang dengan tingkat pendidikan yang tinggi diperkirakan dapat
mengambil keputusan lebih rasional serta mempunyai keinginan untuk berupaya
memelihara dan meningkatkan kesehatannya.
3. Jumlah paritas. Pada jumlah paritas yang rendah seperti paritas 1 dapat menyebabkan
ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan. Sedangkan semakin sering seorang
wanita mengalami kehamilan dan melahirkan (paritas lebih dari 3), maka uterus semakin
melemah sehingga risiko untuk munculnya komplikasi dalam kehamilan menajdi lebih
besar.
4. Jarak antar tiap kelahiran. Persalinan yang berturut-turut dalam jangka waktu dekat dapat
menyebabkan kontraksi uterus menjadi kurang baik.
5. Riwayat persalinan buruk. Riwayat persalinan buruk dapat berupa abortus, kematian
janin, eklampsi dan preeklampsi, kelahiran melalui section caesarea, persalinan sulit atau
lama, janin besar, infeksi, dan pernah mengalami perdarahan antepartum dan postpartum.
6) Anemia (Hb < 11 g%). Ibu yang mengalami anemia berisiko 2,8 kali lipat lebih bsar
untuk mengalami perdarahan pasca persalinan primer dibanding yang tidak mengalami
anemia.
6. Berat Badan Lahir Janin
Berat badan janin dapat mengakibatkan terjadinya ruptur perineum, yaitu berat badan
janin lebih dari 3500 gram, karena resiko trauma partus melalui vagina seperti distosia
bahu dan kerusakan jaringan lunak pada ibu. Perkiraaan berat janin bergantung pada
pemeriksaan klinik atau ultrasonografi. Pada masa kehamilan hendaknya terlebih dahulu
mengukur taksiran berat badan janin (Label, 2011).

10
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sekartini (2007) menunjukkan bahwa ada hubungan
berat badan bayi lahir dengan laserasi jalan lahir pada ibu bersalin normal. Berat badan
janin dapat mengakibatkan terjadinya laserasi pada jalan lahir yaitu berat badan badan
janin lebih dari 3500 gram, karena resiko trauma partus melalui vagina. Berat badan lahir
adalah berat badan bayi yang ditimbang dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
G. Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu cara penegakan diagnosis yang dilakukan pertama
kali. Di mana anamnesa yang baik dan benar dapat mengarahkan diagnosis. Anamnesis
pada kasus obstetri dan ginekologi memiliki prinsip yang sama dengan anamnesa pada
umumnya yaitu meliputi identitas, keluhan utama, penyakit saat ini, riwayat penyakit
sebelumnya, riwayat pengobatan, riwayat keluarga, dan riwayat sosial. Pada kasus
obstetri dan ginekologi, anamnesis dititik beratkan pada riwayat perkawinan, kehamilan,
siklus menstruasi, penyakit yang pernah diderita khususnya penyakit obstetri dan
ginekologi serta pengobatan, riwayat KB, serta keluhan-keluhan seperti perdarahan dari
jalan lahir, keputihan (fluor albus), nyeri, maupun benjolan (Prawirohardjo, 2011).
Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari
volume darah total tanpa menunjukkan gejala-gejala klinis. Tanda dan gejala baru tampak
pada kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala klinis berupa perdarahan per vaginam yang
terus-menerus setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tanda-
tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil,
ekstrimitas dingin, dan lain-lain (Wiknjosastro, 2002).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik perlu dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan fisik akan bermakna signifikan dalam menegakkan diagnosis jika dilakukan
sedini mungkin agar mengetahui tanda-tanda awal dari perdarahan pasca persalinan.
Perdarahan pasca persalinan dapat dimulai sebelum atau setelah terlepasnya
plasenta. Lazimnya yang terjadi bukanlah perdarahan masif mendadak, namun
perdarahan yang konstan. Efek perdarahan bergantung pada kondisi/derajat perdarahan di
mana kita memulai tindakan resusitasi, volume darah saat tidak hamil, dan besarnya
hipervolemia yang diinduksi kehamilan. Gambaran perdarahan pasca persalinan yang

11
dapat menyesatkan adalah kegagalan kompensasi dari denyut nadi dan tekanan darah
hingga telah terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar.
Wanita yang awalnya normotensif bahkan dapat menjadi hipertensif sebagai
respon terhadap perdarahan. Begitu pula, wanita yang sebelumnya hipertensif dapat
dianggap sebagai normotensif walaupun sebenarnya berada dalam keadaan hipovolemia
berat. Namun perlu diberikan pertimbangan khusus terhadap wanita dengan preeklamsia
berat dan eklamsia, karena golongan tersebut tidak mengalami pertambahan volume
darah yang normalnya terjadi. Pada wanita hamil dengan eklamsia akan sangat peka
terhadap PPP, karena sebelumnya telah mengalami defisit cairan intravascular dan
terdapat penumpukan cairan ekstravaskular. Sehingga, perdarahan dalam volume rendah
saja dapat mempengaruhi status hemodinamika ibu secara cepat dan memerlukan
penanganan segera sebelum terjadinya tanda-tanda syok (Prawirohardjo, 2010).
3. Pemeriksaan Penunjang
Penegakan diagnosis pada pasien dengan perdarahan pasca persalinan cukup dengan
anamnesa dan pemeriksaan fisik, namun agar dapat mengetahui penyebab dan
menyingkirkan diagnosis banding, maka pemeriksaan penunjang diperlukan.
H. Komplikasi
Risiko komplikasi yang mungkin terjadi jika rupture perineum tidak segera
diatas, yaitu :
1. Perdarahan
Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan dalam waktu
satu jam setelah melahirkan. Penilaian dan penatalaksanaan yang cermat selama kala satu
dan kala empat persalinan sangat penting. Menilai kehilangan darah yaitu dengan cara
memantau tanda vital, mengevaluasi asal perdarahan, serta memperkirakan jumlah
perdarahan lanjutan dan menilai tonus otot (Depkes, 2006).
2. Fistula
Fistula dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya karena perlukaan pada vagina
menembus kandung kencing atau rectum. Jika kandung kencing luka, maka air kencing
akan segera keluar melalui vagina. Fistula dapat menekan kandung kencing atau rectum
yang lama antara kepala janin dan panggul, sehingga terjadi iskemia (Depkes, 2006).

12
3. Hematoma
Hematoma dapat terjadi akibat trauma partus pada persalinan karena adanya
penekanan kepala janin serta tindakan persalinan yang ditandai dengan rasa nyeri pada
perineum dan vulva berwarna biru dan merah.
Hematoma dibagian pelvis bisa terjadi dalam vulva perineum dan fosa
iskiorektalis. Biasanya karena trauma perineum tetapi bisa juga dengan varikositas vulva
yang timbul bersamaan dengan gejala peningkatan nyeri. Kesalahan yang menyebabkan
diagnosis tidak diketahui dan memungkinkan banyak darah yang hilang. Dalam waktu
yang singkat, adanya pembengkakan biru yang tegang pada salah satu sisi introitus di
daerah rupture perineum ( Martius, 1997).
4. Infeksi
Infeksi pada masa nifas adalah peradangan di sekitar alat genetalia pada kala
nifas. Perlukaan pada persalinan merupakan tempat masuknya kuman ke dalam tubuh
sehingga menimbulkan infeksi. Dengan ketentuan meningkatnya suhu tubuh melebihi

380 C, tanpa menghitung pireksia nifas. Setiap wanita yang mengalami pireksia nifas
harus diperhatikan, diisolasi, dan dilakukan inspeksi pada traktus gentitalis untuk
mencari laserasi, robekan atau luka episiotomi (Liwellyin, 2001).
Robekan jalan lahir selalu menyebabkan perdarahan yang berasal dari perineum,
vagina, serviks dan robekan uterus (rupture uteri). Penanganan yang dapat dilakukan
dalam hal ini adalah dengan melakukan evaluasi terhadap sumber dan jumlah perdarahan.
Jenis robekan perineum adalah mulai dari tingkatan ringan sampai dengan robekan yang
terjadi pada seluruh perineum yaitu mulai dari derajat satu sampai dengan derajat empat.
Rupture perineum dapat diketahui dari tanda dan gejala yang muncul serta penyebab
terjadinya. Dengan diketahuinya tanda dan gejala terjadinya rupture perineum, maka
tindakan dan penanganan selanjutnya dapat dilakukan.
Kaitan yang ditemukan dalam penulisan ini adalah penyebab terjadinya rupture
perineum, hal-hal yang dapat dilakukan serta tanda dan gejala yang terlihat serta upaya
lanjutan yang berkaitan dengan penanganannya.

13
I. Pencegahan
1. Perawatan Masa Kehamilan
Klasifikasi kehamilan risiko rendah dan risiko tinggi akan memudahkan
penyelenggara pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat
perawatan antenatal dan melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana yang
sesuai dan jenjang rumah sakit rujukan. Akan tetapi, pada saat proses persalinan, seluruh
kehamilan berisiko untuk mengalami persalinan yang bermasalah, salah satunya adalah
perdarahan pasca persalinan (Prawirohardjo, 2010).
Pencegahan atau paling tidak bersiap siaga pada kasus-kasus yang dicurigai akan
terjadi perdarahan adalah tindakan penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan
sewaktu bersalin tetapi sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan antenatal care
yang baik. Menangani anemia dalam kehamilan adalah penting, di mana ibu-ibu yang
mempunyai faktor-faktor predisposisi atau riwayat perdarahan pasca persalinan sangat
dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit (Mochtar, 1998).
Beberapa antisipasi terhadap kejadian PPP yang dapat dilakukan oleh tenaga kerja
kesehatan antara lain (Cunningham, 2005):
a. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi setiap
penyakit kronis, anemia, dan lain-lain. Sehingga, pasien berada dalam keadaan
optimal saat hamil dan proses persalinan
b. Mengenal faktor predisposisi PPP seperti multiparitas, anak besar, hamil kembar,
hidramnion, bekas seksio sesaria, riwayat PPP sebelumnya, dan kehamilan risiko
tinggi lainnya
c. Mengarahkan ibu hamil dengan risiko tinggi untuk melahirkan di fasilitas rumah sakit
rujukan
d. Kehamilan risiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan
menghindari persalinan oleh dukun bayi
e. Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi PPP dan mengadakan
rujukan sebagaimana mestinya
2. Persiapan Persalinan
Di rumah sakit dilakukan pemeriksaan terhadap keadaan fisik, keadaan umum,
kadar Hb, golongan darah, serta bila memungkinkan sediakan donor darah dan dititipkan

14
di bank darah. Selain itu dilakukan pemasangan kateter intravena dengan lobang yang
besar untuk persiapan apabila diperlukan transfusi. Khusus untuk pasien dengan anemia
berat sebaiknya langsung dilakukan transfusi. Sangat dianjurkan pada pasien dengan
risiko perdarahan pasca persalinan untuk menabung darahnya sendiri dan digunakan saat
persalinan (DeCherney & Nathan , 2003).
3. Persalinan
Setelah bayi lahir, lakukan masase uterus dengan arah gerakan circular atau maju
mundur hingga uterus menjadi keras dan berkontraksi dengan baik. Masase yang
berlebihan atau terlalu keras terhadap uterus sebelum, selama, ataupun sesudah lahirnya
plasenta dapat mengganggu kontraksi normal miometrium, bahkan mempercepat
kontraksi. Lebih lanjut lagi, dapat menyebabkan kehilangan darah yang berlebihan dan
memicu terjadinya perdarahan pasca persalinan (DeCherney & Nathan , 2003).
Fundus harus segera dipijat setelah pelahiran plasenta, baik manual maupun
spontan untuk memastikan bahwa uterus berkontraksi dengan baik. Jika uterus tidak
teraba keras, pemijatan uterus yang agresif harus dilakukan. Sebagian besar bukti
mendukung bahwa pemijatan uterus dapat mencegah perdarahan pasca persalinan,
terutama akibat atonia uterus (Hofmeyr, dkk., 2008). Umumnya 20 U oksitosin dalam
1000 ml Ringer Laktat atau Normal Saline terbukti efektif bila diberikan secara intravena
dengan kecepatan sekitar 10mL/menit –200 mU oksitosin per menit– secara simultan
dengan pemijatan uterus yang efektif. Oksitosin tidak boleh diberikan dalam dosis bolus
yang tidak diencerkan, karena dapat menyebabkan aritmia jantung atau hipotensi berat.
4. Kala Tiga dan Kala Empat
Uterotonika dapat diberikan segera sesudah bahu depan dilahirkan. Beberapa
studi menunjukkan adanya penurunan insiden perdarahan pasca persalinan pada pasien
yang mendapat oksitosin setelah bahu depan dilahirkan dan tidak didapatkan peningkatan
insiden terjadinya retensi plasenta. Hanya saja lebih baik berhati-hati pada pasien dengan
kecurigaan hamil kembar apabila tidak ada USG untuk memastikan. Pemberian oksitosin
selama kala tiga terbukti mengurangi volume darah yang hilang dan kejadian perdarahan
pasca persalinan sebesar 40%.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut Prawirohardjo (2009, hlm.523). Perdarahan pasca persalinan dapat
menyebabkan kematian ibu 45 % terjadi pada 24 jam pertama setelah bayi lahir, 68-73%
dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 82-88% dalam 2 minggu setelah bayi baru lahir.
Yang terjadi pada pada 24 jam pertama setelah bayi lahir disebabkan oleh atonia uteri,
berbagai robekan jalan lahir dan sisanya adalah sisa plasenta.
Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir
yang melewati batas fisiologis normal. Pritchard dkk. (1962) menggunakan metode
pengukuran yang akurat telah menemukan bahwa sekitar 5% ibu yang melahirkan per
vaginam kehilangan lebih dari 1000 ml darah.
B. Saran
Disarankan kepada teman-teman mahasiswi agar dapat mempelajari materi
tentang Asfiksia Bayi Baru Lahir agar dapat menguasai materinya dan dapat menerapkannya
pada saat Praktek atau bekerja pada suatu Instansi Pemerintah seperti Puskesmas atau Rumah
Sakit Umum Daerah.

16
DAFTAR PUSTAKA

Aryasatiani, E. (2013). Penatalaksanaan ruptur perineum derajat 3 & 4.


http://pogijaya.or.id/blog/2013/02/21/penatalaksanaan-ruptur-perineum-derajat-3-4/
diperoleh tanngal 15 januari 2014
Bkkbn. (2013). Angka kematian ibu melahirkan di Jawa Tengah Masih Tinggi.
http://jateng.bkkbn.go.id/Lists/Berita/DispForm.aspx?
ID=2710&ContentTypeId=0x0100A28EFCBF520B364387716414DEECEB1E diperoleh
tanggal 18 desember 2013 Depkes RI. (2008). Pelatihan
Cunningham , F.G. 2006. Obstetri Williams 1. Jakarta : EGC. h. 251.
Depkes RI. (2008). Pelatihan klinik asuhan persalinan normal. Jakarta : Depkes
Enggar P, Y. Hubungan berat badan lahir dengan kejadian ruptur perineum pada persalinan
normal di RB Harapan Bunda di Surakarta. Surakarta : Jurnal kesehatan. 2010.
Mariyatul Qifriyah. (2006). Hubungan antara pengetahuan ibu nifas tentang perawatan luka
perineum dengan kecepatan penyembuhan luka perineum di BPS Jatirejo Tuban. KTI.
Tuban : AKBID Nahdatul Ulama
Nasution, N. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan terjadinya Ruptur Perineum pada Ibu
Bersalin Di RSU Dr.Pirngadi Medan periode Januari-Desember 2007 : Jurnal kesehatan,
2011.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan dan prilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Rohmah, N. (2010). Pendidikan prenatal upaya promosi kesehatan bagi ibu hamil. Jakarta :
Gramata Publishing
Saifudin A.B, 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Maternal dan Neonatal. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. h. v.
Saifudin A.B,2008. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta :Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h. 462-4.
Setyorini, R.H. (2013). Belajar tentang persalinan. Yogyakarta : Graham Ilmu
Sumarah. W.Y., & Wiyati, N. (2008). Perawatan Ibu Bersalin. Yogyakarta : Fitramaya
Wiknjosastro H., 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Prawirohardjo. h. 26 ;
33 ; 180 ; 789 ; 882.

17

Anda mungkin juga menyukai