Anda di halaman 1dari 1

Tempat mengadu

Dibolak-balik seperti apa pun sudah pasti tidak bisa mengubah tinta hitam yang menempel di
kertas putih itu. Kalau pun dipaksa dengan cat putih korektor toh sama saja. Justru bisa
menimbulkan pertanyaan di hadapan Pak Broto sebagai pimpinan.
Kegelisahan dan kegundahan yang terus menghantui seolah memaksa tangannya mengepal dan
ingin sekali memukul meja makan di depannya. Namun, hal itu ia urungkan. Mas Brengos hormat
betul kepada sosok wanita yang sudah lanjut usia di depannya. Wanita itu yang mengantarkannya
pada sebuah pilihan hidup, apakah bertahan jadi preman jalanan atau jadi penerus lidah dari Pak
Broto pimpinannya.
“Aih,” gumamnya dengan kedua tangan memegang kepala dan sangat terlihat carut-marut
rambutnya.
Wanita itu pun mendekat. Tertatih-tatih langkahnya, kemudian menemani duduk di samping
kanan Mas Brengos yang gondrong berkumis dan penuh tato di sekujur tubuh.
“Bagaimana ini Mbah, aku harus bilang apa lagi ke Pak Broto?” Sayup terdengar Mas Brengos
bertanya.
Kemudian, Si Mbah malah balik bertanya “Berapa orang yang belum mencicil kasbon itu?”
Terdengar hembusan napas keluar pelan-pelan “Baru 3 orang dari 10 penghutang” ujarnya dengan
suara lirih, “Tapi, 3 orang ini langsung melunasi sisa cicilannya”. Mas Brengos sambil buku kasbon
itu.
Tiba-tiba dahi Si Mbah mengerut dan dengan senyuman “Nah itu. Masih ada harapan. Paling tidak,
pelunasan 3 orang ini bisa menutupi kekurangan dari 7 orang yang masih menunggak. Toh hutang
mereka juga tak banyak-banyak amat” ujar Si Mbah.
“Walah Mbah, bukan itu jawaban yang kuharapkan dari masalah yang sedang kuhadapi ini”
gumam Mas Brengos sambil menggaruk-garuk rambut di kepalanya.
Tak lama tangan Si Mbah menepuk punggung Mas Brengos “Mas,” dengan suara sayup “Sudah
berapa lama kamu kerja seperti ini. Tentu sudah kenyang asam garam menghadapi berbagai
masalah.”
Mendengar penjelasan itu Mas Brengos bukan lega tapi malah tambah sewot “Mbah, bukan itu
maksudku.” Tangan kanannya mulai mengepal di atas meja “Sudah 2 minggu mereka menunggak
cicilan. Dan ini sudah masuk minggu ke-3 masa tunggakan. Terus, alasan apa lagi yang
kusampaikan kepada Pak Broto.”
Si Mbah masih duduk setia mendengar kata demi kata Mas Brengos bak serangan mitraliur “Mbah
sih, tak pernah tahu sifat Pak Broto itu, marah-marah dan bahkan mengumpat bila dengar laporan
yang kuberikan hanya itu-itu saja.”
Tak berselang lama, Si Mbah hanya bisa pasrah dan coba mengetuk kisi-kisi hati Mas Brengos,
kemudian berkata lirih sambil mengelus punggungnya.
Mas, cobalah pergi ke ujung dermaga. Lihat dan rasakan posisi mereka pada dirimu. Bagaimana
mungkin mereka bertaruh nyawa dengan angin dan ombak yang seberingas itu. Bukankah malah
menambah masalah demi masalah jika tetap melaut.”
Si Mbah masih melanjutkan dengan wajah penuh harapan. “Katakan saja pada Pak Broto dengan
situasi dan kondisi yang kau rasakan saat berada di ujung dermaga itu. 2 minggu tak melaut
bagaimana rasanya. Tentu mereka pun tak hanya tinggal diam pasti akan terus berusaha.”
“Percayalah,” dengan satu tarikan napas dan dalam. “Engkau adalah salah satu tempat mengadu
harapan bagi mereka. Kehadiranmu seperti angin segar. Coba kau lihat anak-anak mereka masih
bisa berseragam sekolah. Bukankah kau turut andil dalam hal ini,” ujar Si Mbah meyakinkan Mas
Brengos
Mendengar hal itu, seketika ada yang meleleh jauh di lubuk hati yang paling dalam. Mas Brengos
terdiam dengan kepala menunduk dan sorot mata yang mulai sejuk.
Terlihat kepalanya manggut-manggut, seperti telah menangkap suatu jawaban untuk bekal
menghadap Pak Broto. Wajahnya pun mulai Nampak percaya diri. Dan Si Mbah pun beranjak dari
tempat duduk, kemudian membuatkan teh manis untuk Mas Brengos yang tak lagi berwajah
kusam.

Anda mungkin juga menyukai