Anda di halaman 1dari 9

Setidaknya kota kelahiranku kembali tenang selepas tragedi Sum Kuning yang sempat

menggemparkan jagat hukum di Indonesia. Bagaimana tidak? Penjual telur yang jelas-jelas
diperkosa, malah dituduh mencemarkan nama baik. Oh Tuhan, aku hampir lupa. Ia juga
dipaksa membuka pakaiannya untuk mencari tanda palu arit, dia dituduh sebagai anggota
PKI. Mengerikan. Yah, hanya karena anak penggede menjadi pelakunya, hukum
diperjualbelikan. Hei, itu masih tahun 1970, bagaimana sepuluh tahun yang akan datang?
Aku mendesah penuh gelisah memikirkan hal tersebut sembari melipat koran yang kini tepat
berusia lima tahun.
Mbak Nimas, ayo makan, teriak adikku, Ambar. Suaranya terdengar samar-samar diantara
lantunan musik yang kini berdendang dari radio Telesonic kesayanganku.
Ah iyah. Sebentar. Aku akan segera ke meja makan, teriakku tak kalah kencang.
Lima menit telah berlalu. Aku masih bertahan di ruang tamu. Membolak-balik koran yang
sudah lusuh.
Mbak Nimas, udah di tungguin Papa. Cepetan dong.
Aku hanya nyengir. Ambar memiliki tabiat yang sama dengan Mama. Telaten, penyabar, dan
gemar memasak. Sedangkan aku? Hanya gadis berusia delapan belas tahun yang gemar
membuat rusuh. Haha.
Bentar lah Ambar. Mbak lagi asyik nih baca koran, teriakku. Sedikit menggoda.
Hening. Mungkin Ambar memutuskan untuk makan lebih dulu bersama Papa. Namun,
sepeluh detik setelah aku membalik ke halaman selanjutnya, ada yang menarik lenganku
dengan lembut.
Makan Mbak Nimas. Aku ndak mau mbak sakit. Nanti aku diomelin Mama.
Ambar benar-benar memiliki tabiat seperti Mama.
Aku tertawa renyah, Baiklah, baiklah.
Ambar tersenyum.
***

Selepas makan, kita pergi menjemput anak teman Papa, katanya. Memulai pembicaraan
diantara suara denting sendok dan garpu.
Siapa, Pa?, Ambar bertanya. Ia nampak sangat antusias.
Belum genap Papa berkata, aku menyela. Papa, adab dalam makan salah satunya tidak boleh
berbicara.
Kembali aku berkutat dengan daging sapi di depanku.
Banyak omong, banyak aturan, Ambar bersuara.
Aku dan Ambar bersitatap. Siap beradu aksara.
Haha. Sudah anakku. Jangan membuat gaduh. Papa kembali menyendok sup jagungnya.
Anak itu, dia seorang bujang sayang, kata papa. Melanjutkan.
Apa dia tampan Papa?, tanya Ambar. Masih antusias.
Papa tersenyum. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ku lihat Ambar bersorak.
Hei Nimas. Mengapa kau tak banyak bertanya?
Tidak penting, Pa.
***
Kami tiba di Stasiun Tugu. Jam berdentang sembilan kali.
Kembali aku melirik jam besar itu.
Dua jam lagi. Masih lama.
Aku memilih mengenyakkan pantatku di kursi stasiun. Kembali membolak-balik buku
anatomi tubuh milikku. Tunggu dulu. Lihatlah Ambar. Ia nampak tak sabar menanti bujang
dari Kalimantan itu. Hah, biarlah.
Papa, mengapa kereta itu tak kunjung tiba?. Suara Ambar memecah keheningan.
Lima belas menit lagi sayang. Kau terlihat tak sabaran. Nampaknya kau benar-benar ingin
berjumpa dengan pujaan hatimu, balas Papa sembari tertawa.
Ambar tersipu.

Lengkingan suara kereta semakin mendekat. Kereta dari Jakarta telah tiba. Berpuluh-puluh
manusia yang telah lama menunggu, berdiri menyambut kedatangan kerabat.
Ayo Mbak Nimas, kita jemput Mas Maleo.
Yah, nama pria itu adalah Maleo. Nama yang sangat aneh.
Tidak. Aku tetap disini. Menunggu.
Ambar tak banyak berkomentar. Ia berlari mengikuti Papa.
Lima menit aku menunggu. Lima menit pula aku selesai bersenandung. Mengapa mereka tak
terlihat? Aku mulai mangkel1. Emosiku pecah. Dimana Papa? Ambar? Dan Bujang
Kalimantan itu?
Dari kejauhan, nampak papa sedang asyik bercengkrama dengan, ah mungkin dia Maleo.
Wajahku merah. Mataku mendelik. Darimana saja?
Papa malah tertawa. Selesai makan sayang. Maleo sangat lapar. Sudah ku bilang kepada
Ambar untuk mengajak kau. Namun dia memaksa. Katanya, jangan sampai Mas Maleoku
sakit.
Mas Maleoku?Aku mendengus. Tega nian mereka. Meninggalkanku sendiri yang sebenarnya
sudah kelaparan.
Sepertinya, Papa dapat menafsirkan mimik wajahku. Jangan marah anakku. Sepulang dari
Stasiun Tugu, kau akan ku ajak ke Warung Yu Djum. Makanlah gudeg sepuasmu. Haha.
Baiklah,baiklah.
Ah, Bujang Kalimantan yang tampan, perkenalkan ini putri sulungku. Nimas.
Hai Nimas, aku Maleo, kata pria itu sembari menngulurkan tangannya. Tersenyum manis
kepadaku.
Dia memang tampan. Papa tidak berbohong.
Aku tak perlu memperkenalkan namaku, kan?, kataku sembari membalas jabatannya.
Sedikit menggoda.
1 Mangkel = marah (dalam Bahasa Jawa)

Maleo tertawa renyah. Sungguh sangat mempesona.


Tak perlu. Memang tak perlu. Om Harmoko bercerita banyak tentang kau dan Ambar.
Apalagi kau.
Maleo tersenyum. Sangat manis. Cukup membuatku kikuk. Wajahku mulai memanas. Ku
rasa kedua pipiku telah berubah menjadi tomat yang sedang ranum. Ku lirik Ambar, terlihat
bibirnya menekuk.
Eh, tunggu dulu. Papa menipuku.
Warung Yu Djum baru buka nanti petang Papa, aku berteriak.
Lihat. Papa semakin terbahak-bahak. Wah, nampaknya gadis cerdasku menjadi dungu saat
bersanding dengan Maleo.
Ku perhatikan dari sudut mataku, Maleo melirikku. Cukup Maleo. Jangan buat jantungku
bertalu-talu.
***
Waktu melesat bagai anak panah. Tak terasa, sudah dua tahun Maleo tinggal di Jogjakarta.
Dan selama dua tahun itu pula lah, aku dan dia rutin keluar bersama. Setiap Minggu ia
menemaniku pergi ke Pasar Bringharjo. Tak lupa mampir ke Benteng Van Den Burg, walau
hanya di depan pagarnya saja, mengobrol santai. Pernah suatu ketika, saat kami bersuka ria di
Kebun Binatang Gembira Loka, ku tanyakan hal namanya.
Eh, maaf Maleo. Namamu aneh sekali.
Ku pikir dia marah, malah tertawa.
Memangnya, ada apa dengan namaku Nimas?. Maleo mencoba menggodaku.
Aku mendengus. Sudah ku bilang, namamu aneh.
Haha. Kau jangan marah lah. Lihat, kau terlihat sangat jelek. Tak jauh berbeda dengan
monyet yang ada didepan kita.
Aku melengos. Tawa Maleo semakin membahana.
Maleo. Karena aku lahir di bumi Sulawesi.

Lantas, mengapa Papa memanggilmu dengan sebutan Bujang Kalimantan?


Maleo terdiam. Ia menyeruput segelas wedang ronde buatanku.
Aku memang berasal dari Kalimantan. Orang tuaku pindah karena tuntutan pekerjaan. Saat
itu aku masih nyaman didalam rahim Ibuku. Lahirlah aku. Mereka memberikan nama Maleo
untukku.
Mengapa harus Maleo? Itu nama burung. Aku tertawa.
Maleo mengangkat pudak, ia tak tahu.
Aku manggut-manggut, lantas tersenyum. Maleo membalas senyumku.
Sempurna. Membuatku terpaku, tersipu malu-malu.
***
Dan sekali lagi, waktu melesat bagai anak panah.
Kedekatanku dengan Maleo semakin menjadi-jadi. Hari ini, aku berniat mengajaknya
mendaki Gunung Merapi. Kataku lusa. Ia mengiyakan. Aku berseru senang. Tak lupa ia
berbisik di telinga kananku, aku menyukai gunung Nimas.
***
Aku terhuyung.
Matahari tenggelam di ufuk barat. Menciptakan sunset yang begitu indah, membuat gemas
siapa saja yang memandangnya.
Aku terjatuh. Pelan menggapai ranting pohon, mencari pegangan untuk menopang tubuhku.
Batu besar membuatku tersandung. Aku terguling. Beruntung aku cekatan meraih batang
pohon yang berada disisiku. Ransel di pundak yang dipadati tenda dan logistik pendakian
terasa berat. Membuatku payah untuk bangkit.
Namun lebih berat lagi perasaan di hati.
Maleo, aku mencintaimu. Aku tidak pernah mengerti akan perasaan itu. Tetapi aku sungguh
mencintaimu. Sejak pertama kali aku memandangmu di Stasiun Tugu. Memperkenalkan
siapa dirimu. Berjalan beriringan disampingmu.

Aku tertawa getir, menyeka sudut mata yang mulai basah.


Pembicaraan itu tidak pernah terjadi.
Kembali aku berjalan dengan gontai. Berusaha menyeret kaki, menuruni jalur pendakian
Gunung Merapi. Kegelapan membuat kakiku tersangkut akar pohon. Tubuhku tak kuasa
untuk menahan. Kembali aku terjatuh. Berguling. Biarlah, biarlah sekali lagi aku tejatuh. Biar
sakit badanku menyempurnakan sakit hatiku. Badanku terhenti oleh batang pohon raksasa.
Meringkuk sambil tersengal. Tersengal sambil tersedu. Mengingat kembali, sungguh
menyakitkan.
Kau menyukai gunung bukan? Begitu pula denganku. Awalnya memang aku tak
menyukainya. Namun Mbak Nimas yang pertama kali mensugesti. Bilang kalau gunung itu
indah. Apalagi bila kau berada di puncaknya.
Maleo diam. Ia hanya tersenyum.
Emm, Mas Maleo. Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu.
Sekali lagi, Maleo tidak berbicara. Namun wajahnya menandakan dia bertanya, Apa?
Mungkin ini memang tak pantas Mas. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu sejak pertama
kali kau turun dari kereta. Ya, walaupun kau lebih sering menghabiskan waktu dengan Mbak
Nimas, namun aku tetap mencintaimu. Rasa itu terus menderu.
Maleo menatap lamat-lamat Ambar. Ia tertawa.
Ini tidak beres Tuhan. Sungguh tidak beres. Maleo-ku sempurna menatap wajah Ambar.
Aku mohon jangan, teriakku dalam hati.
Aku tidak mengharapkan apapun darimu. Kau boleh saja menolakku. Tapi aku
menginginkanmu. Benar-benar mengingkanmu. Menginginkanmu menjadi teman hidup.
Melalui hari demi hari bersama. Menjejak sudut-sudut kebahagiaan dan pahit getir
kehidupan. Ambar menelan ludah, kembali ia merangkai kata. Maukah kau menikah
denganku?
Tidak. Ambar melamar Maleo.
Maleo mengangguk. Ia mengiyakan.

Jangan Maleo. Mengapa kau mengiyakan? Selama lima tahun di Jogja, aku setia disisimu.
Mengapa, mengapa kau dengan mudah menerima lamaran dari adikku? Tak ada artinya kah
kebersamaan kita?
Aku menatap mereka dengan sendu. Akulah yang merencanakan perjalanan ini. Aku pulalah
yang merencanakan untuk menyatakan kalimat-kalimat itu kepada Maleo. Saat aku bersiap,
detik itu juga, Ambar menghabisi semuanya.
***
Dua minggu menjelang pernikahan.
Ambar nampak sumringah. Ia tak sabar menanti hari pernikahannya. Bagaimana denganku?
Ah, jangan kau usik tentang diriku. Aku sempurna telah berdamai dengan perasaanku.
Membakar habis pohon perasaan yang mulai berbuah lebat. Ikut serta menskenario
pernikahan yang indah.
Namun ada satu hal yang mengusik batinku. Maleo memutuskan ke Bandung bersama Ambar
sebelum pernikahannya. Bersua ke rumah salah satu sahabatnya, mendengungkan kabar
bahagia itu. Aku berteriak menolak. Namun Ambar tetap ngotot agar aku mengiyakan.
Katanya sudah lazim seorang sahabat ingin sahabat terbaiknya datang ke pernikahannya. Ah
sudahlah.
Dua hari berikutnya, kami melepas kepergian Ambar dan Maleo. VW Golf Mark I itu
meluncur mulus di aspal. Melihat mobil itu menjauh, ketahuilah, aku semakin resah.
***
20 Juli 1980
Kabut mengambang di perkuburan kota, membuat kamboja menjadi bayang-bayang syahdu,
berpadu dengan pusara-pusara berwarna putih. Matahari hampir tenggelam di kaki langit,
melukiskan semburat merah. Hari ini Ambar dan Maleo dikebumikan.Ya, mereka berdua
telah tiada. Sungguh pasangan yang malang.
Disampingku, Mama dan Papa masih menangis tersedu-sedu. Ya, sebenarnya hari ini hari
yang menggembirakan buatku. Menatap Ambar dan Maleo tersenyum sumringah di altar
pernikahan. Merajut janji-janji pernikahan, menyusun rumah tangga dengan intensitas
kebahagiaan yang luar biasa. Sayang, firasatku benar. Gundah gulanaku tidak berdusta.

Sekali lagi, aku menatap gundukan tanah merah di depanku dengan sendu.
Jika kau berpikir akulah pembunuhnya, maka aku berteriak tidak. Bukan aku yang membuat
mereka celaka. Tetapi dia, yang kini berdiri tepat di gerbang pemakaman kota.
Memandangku dari kejauhan.
Aku membalas menatapnya. Dia terkekeh.
Dasar, gadis gila.
Dialah yang membuatku resah. Dialah alasan mengapa aku mencegah Ambar dan Maleo
meninggalkan Jogjakarta. Dia, dia teman dekat Maleo semasa kuliah.
Maleo membuatnya jatuh cinta. Namun Maleo acuh dengan perasaanya. Gadis itu murka.
Bersumpah membunuh siapa saja yang akan bersanding bersama pujaan hatinya. Itulah yang
dia katakan di telepon.
Ia merencanakan semuanya. Menskenario kecelakaan besar yang merenggut nyawa adik dan
belahan jiwaku. Dengan perhitungan yang tepat, VW Golf Mark I milik Maleo meluncur tak
terkira dijalanan landai kota Tasikmalaya. Menabrak tebing. Berputar, lantas terseok jatuh ke
jurang.
Mengerikan bukan? Setidaknya aku lebih baik dari dia.
Kembali aku menatapnya. Kembali ia terkekeh.
Tuhan, ia benar-benar gadis gila.
Sungguh aku akan membuatnya duduk manis didalam sel penjara.

Biodata
Cerpen Elegi ditulis oleh Andini Tri Indah Sari alias kupingkopong. Ketertarikannya dalam
dunia penulisan tumbuh sejak SD. Kini, ia masih melanjutkan studi S1-nya di Universitas
Negeri Surabaya. Apabila ingin mengenali penulis lebih jauh, silahkan menambahkan akun
Facebook Andini Tri Indahsari dalam daftar pertemanan anda atau memfollow akun twitter
@donatrotipisang.

Anda mungkin juga menyukai