Anda di halaman 1dari 4

MT.

Salak: The Never Ending Love

Pagi ini, 09 Mei 2012


Terbangun ku mendengar suara telepon, yang menggangu lelap tidurku.
Menejer : “Erza, kamu dimana?” teriak menejer saya kencang di balik telepon.”
Erza : “dikamar…kenapa? Teriak-teriak kayak kebakaran saja” tanyaku.
Menejer : “Buruan ke Papua kamu lupa ada syuting iklan, tim produksi udah di
bandara nungguin kamu…”
Erza : “Lah… emang jam berapa?” tanyaku melihat jam.
Menejer : “Jam 10.00… ini udah jam 08.30. Kamu belum juga boarding”.
Mampus! Aku kaget setengah mati, karena keasikan tidur sampai lupa kalau hari
ini harus ke Raja Ampat buat syuting. Akhirnya aku, dengan Langkah 1000
menembus macetnya Jakarta dengan penuh perjuangan menuju bandara.
Kenalin namaku Erza Argantara, umur 25 tahun. Pekerjaanku adalah kuli seni
atau nama kerennya disebut talent. Aku menjalani kehidupan sebagai talent untuk
nabung modal di masa depan untuk jadi wiraswasta, inginnya sih mengikuti jejak
ayahku yang cukup sukses sebagai penjahit baju. Jadi, demi masadepanku, aku
kerja tanpa kenal batas waktu. Sampai tidurpun terkadang suka lupa waktu.
Gara-gara lupa waktu ini, aku jadi mengenal seseorang yang memiliki senyum
terindah yang belum pernahku lihat sepanjang hidupku. Aku menyebutnya sebagai
takdir pertama. Pertemuan dimulai saat itu ketika suatu hari, aku nggak sadar
ketiduran dan membuatku terlambat untuk pergi ke bandara untuk bekerja.
Setibannya di bandara, aku sudah telat. Terburu-buru aku menuju ke pesawat,
untungnya namaku masih dipanggil-panggil walau sisa 10 menit lagi. Pesawat yang
ku gunakan saat itu Amor Air. Dengan kebingungan aku menuju kabin pesawat.
Seorang pramugari cantik menyapaku, di depan pintu kabin.
“ini mas Erza Argantara?” tanyanya
“iya iya… aku duduk mana ya? Hampir aja ditinggal pesawat”.
“buruan mas ikut aku, penumpang udah ngamuk-ngamuk nih nunggu mas…” kata
pramugari itu.
Akhirnya dia mengantarku kekursi dan sialnya karena terburu-buru kakiku
tersandung kursi dan menimpa tubuh pramugari itu, dia ikut terjatuh. Melihat
kejadian itu pramugari-pramugari dan penumpang, ngebantu dengan cepat. Tentu
aja kejadian itu membuatku malu setengah mati. Lebih nggak enak hati karena
membuat sang pramugari menjadi pusat perhatian. Aku mengucapkan kata maaf,
dia hanya tersenyum dan pergi. Padahalku tau, dia pasti marah banget karena
dibuat malu sama aku, akhirnya dia kebelakang kabin, dan ketua pramugari yang
bertugas mengatar aku ke kursi.
“aduk mbak sorry jadi nggak enak…, mata masih lima watt nih…”. Kataku.
“makanya lain kali kalau tidur pakai alarm, supaya nggak telat.” Kata pramugari itu
dengan sabar.
Akhirnya dia mengantar aku ke tempat kursi aku. Teman-teman tim produksi
bernafas lega menemukan aku di pesawat. Setelah menghela nafas. Aku tetap
merasa tak enak hati karena kejadian tadi, sepanjang perjalanan menuju bali aku
terus memperhatikan pramugari tadi dan memperhatikan nama di name tag miliknya
dengan sembunyi-sembunyi. Namanya Aiona Ilmawati. Setiap dia berjalan, aku
melempar senyum dan merasa tidak enak hati karena membuat dia malu, tapi dia
hanya diam tak merespon. Sampai akhirnya, pesawat mendarat dan saat itulah
terakhir aku harus pergi. Rasanya ingin mengucapkan maaf untuk terakhir kali, tetapi
percuma juga karena dia pasti sibuk. Pikirku.
Ketika aku turun dari kabin pesawat dan bertemu dengan ketua pramugari yang
menyambut kepergian tamu. Aku mengucapkan salam dan tiba-tiba dia memberikan
aku sehelai tisu
Erza : “apaan ini” kataku.
Ketua pramugari : “kalau mau minta maaf, itu nomornya…”
Erza : “oh… makasih mbak…” kataku kepada ketua pramugari itu.
Sepertinya semua petugas dalam pesawat sudah tau rasa bersalah aku, dan
mereka memberikan kesempatanku untuk meminta maaf dengan cara yang lucu.
Setelah tiba di hotel di Bali aku kemudian mengirimkan whatsapp kepada pramugari
yang di kertas itu tertuliskan namanya, Iona.
Erza : “Iona ya? Maaf ya tadi di pesawat bikin kejadian memalukan…merepotkan.
Erza…”
Iona : “kok bisa tau nomor aku?”
Erza : “dari senior kamu, nggak papa kan?, dimaafin nggak?”
Iona : “dimaafkan kok, kan dalam ajaran agama memaafkan itu amal ibadah…”
mendengar kalimat itu aku merasa lega. Kamipun jadi sering whatsapp-an.
Beberapa hari sampai akhirnya dari perkenalan itu berakhir begitu saja, tanpa
pernah bertemu. Kesibukan dia sebagai pramugari dan aku sebagai kuli seni
membuat takdir kami berjalan. Tetapi tidak begitu lama sampai suatu Ketika. Tanpa
sengaja, aku menerima whatsapp dari Iona yang salah kirim pesan, bahwa dia
sedang di Bandung. Karena kebetulan aku juga menuju Bandung, whatsapp itu
akhirnya menjadi takdir kedua yang menjadi pertemuan kita.
Iona yang aku lihat saat menjadi pramugari terkesan dewasa dan serius, ternyata
saat bertemu bisa juga terlihat lucu. Iona bercerita kalau dia sudah tidak lagi bekerja
karena maskapai tempat dia lagi kerja mengalami kebangkrutan dan sedang
melamar pekerjaan. Akhirnya dari pertemuan itu kita menjadi saling dekat dan
berjanji untuk sering bertemu lagi.
Sampai suatu hari, saat kita lagi jalan dan duduk di pantai Ancol sambil
menikmati matahari sore. Iona yangku pikir selalu bahagia dengan senyum indahnya
ternyata tidak sebahagia senyumnya. Semakin kita mengenal, semakin aku tahu
betapa rapuh diantara senyum itu. Saat itu dia bertanya sama aku, kenapa aku mau
jadi kuli seni? Lalu aku menjawab
Erza : “habis aku gak suka kerja kantoran… kalau mau cari duit gampang ya coba
disini dulu. Kebetulan muka aku katanya lumayan buat iklan… lagian aku males
kuliah, jadi ayah cuma kasih dua pilihan fokus kerja atau kuliah… ya aku fokus kerja
dong…”
Iona : “kamu enak ya, gak usah pusing harus bagaimana dalam hidup kamu…
dibandingin aku… mau kuliah aja gak bisa. Syukur-syukur bisa lulus SMA tapi
sekarang nasib cari kerja aja susah…”
Erza : “memangnya kenapa?”
Iona : “aku gak seperti kamu, punya keluarga yang bisa bantu selalu untuk
bertahaan hidup. Sebaliknya, aku harus bekerja untuk bertahan hidup buat aku dan
keluargaku…”
Aku jadi bingung mengapa dia berkata demikian dan ia pun bercerita tentang
masalalunya. Iona kecil lahir dari Lima bersaudara. Ia paling kecil diantara keempat
kakaknya. Ibu dan ayahnya bercerai, keduanya sudah menikah lagi. Queen
kemudian diasuh oleh kakak perempuan tertuanya dibantu oleh neneknya. masa
kecilnya dihabiskan dengan didikan nenek dan kakaknya. Kakaknya sendiri bukan
orang yang mampu tapi dengan sekuat tenaga ia membantu Queen sampai lulus
sekolah. Karena Queen sudah dewasa akhirnya ia memutuskan mencari pekerjaan.
Apapun pernah ia lakukan sampai menjadi SPG sampai menjadi penjual tiket di XXI.
Impianya hanya satu yaitu mengubah kehidupannya lebih baik dan membalas
kebaikan mereka yang merawatnya.
Dia bercerita dengan tangis bagaimana kehidupan keluarganya… Aku merasa
tidak enak hati membuat dia menangis. Tapi akhirnya aku membuat satu pertanyaan
terakhir…
Erza : “kok kamu mau jadi pramugari?”
Iona : “sejak kecil, aku tuh gak pernah naik pesawat. Mimpi naik pun gak berani…
itu kan hanya untuk orang mampu… sedangkan aku orang miskin. Jadi impian
kecilku ya pengen naik pesawat. Kebetulan suatu ketika aku dengar dari teman
kalau ada buka lowongan jadi pramugari… akhirnya aku coba ngelamar… dan yang
paling membuatku optimis, perusahaan itu membuka lowongan untuk lulusan SMA.
Akhirnya aku ngelamar dan diterima…”
Erza : “kamu emang gak takut diatas ketinggian…?” tanyaku.
Iona : “takut sih, tapi mau gimana lagi… kalau aku kerja jadi kasir penjual tiket
seumur hidup juga gak akan bisa mengubah kehidupan aku. Yaudah aku hilangin
rasa takut aku jadi pramugari, gajinya kan lumayan besar…”
Erza : “begitu ya?”
Iona : “kenapa kamu takut ya naik pesawat? Dengan nada mengejek”
Erza : “hehehe… lumayan sih. Habis serem banget kalau naik pesawat apalagi pas
goyang-goyang, jantung kayak mau copot”
Iona : “kalau gitu jantungnya direm aja pakai lakban supaya ngga hilang…”
katanya yang membuat kami tertawa.
Akhirnya lelucon tadi bisa membuat dia yang tadi menangis bercerita tentang
kehidupan masa lalunya tersenyum kembali. aku jadi paham satu hal tentang dia.
Kalau dia bekerja bukan hanya untuk dia sendiri, makanya selama masa
pengangguran gini dia sedikit sedih karena banyak orang yang harus dia bantu
dalam kehidupan. Dia harus bantu orang tuanya, dia harus bantu keponakannya
agar tetap bisa sekolah, dia harus membalas jasa kakaknya dan hal yang paling
menyedihkan dia melakukan segalanya tanpa pernah berpikir tentang dirinya sendiri.
Bukannya itu semua tugas orang tua Iona? Keduanya telah memiliki keluarga
dan anak-anak yang harus dibiayai… hal yang paling disesali ia tidak pernah melihat
yang Namanya keluarga utuh seperti di sinetron-sinetron walaupun dia sendiri
bermimpi kelak semua keluarganya berkumpul bersama dalam sebuah kebahagiaan
dan menghapus semua jarak serta hal yang memisahkan mereka.
Kemandirian dan dedikasinya dalam keluarga membuatku jatuh cinta dan
akhirnya menyatakan cinta kepadanya. Dia menerimaku dan akhirnya kami jadian
setelah hari itu sebagai pasangan kekasih.
Dan aku menyebutnya sebagai takdir ketiga.
Setelah Erza dan Iona jadian, Iona mendapat kabar gembira bahwa dia diterima di
Maskapai Surabaya Airlines dengan gaji yang memuaskan walau harus di luar kota.
Erza

Anda mungkin juga menyukai