Anda di halaman 1dari 7

Laporan Bacaan: Penelitian Lapangan dalam Disiplin Antropologi

Kelompok 10:
1. Carissa Rahma Dianti (2106637706)
2. Dio Aulia Akhmad (2106748321)
3. Helsi Sahira Filanti (2106748366)
4. Kanaya Hairunissa (2106748435)
5. Muhammad Althaf Nandiati Yusfid (2106715065)

Untuk memahami “masyarakat (lain)”, antropologi sebagai suatu disiplin selalu mengandalkan
“kerja turun lapangan” atau fieldwork. Fieldwork ini menandakan adanya suatu tensi: di satu sisi
ia ingin mendapatkan suatu pengetahuan ‘objektif’ mengenai masyarakat yang sedang diteliti,
tetapi di sisi lain, untuk mendapatkan pengetahuan tersebut, “pencelupan” diri secara subjektif
merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan. Alhasil, penelitian antropologi bertumpu pada
kontradiksi yang, dalam interaksinya, memberikan “warna” tersendiri bagi disiplin antropologi.
Oleh karena tensi tersebut, refleksi seorang antropolog dalam lapangan menjadi hal yang
penting—melihat siapa dan dalam konteks apa seorang antropolog melakukan penelitian dan
mengonstruksi penelitiannya (hal ini akan terlihat lebih jelas ketika dilihat sejarah dari metode
fieldwork itu sendiri).

Mengambil dari diskusi sebelumnya, ‘lapangan’ adalah hal yang luas di mana ia sekarang
bermakna “everywhere there are human beings, and every imaginable human group and context
has become an actual or potential research site” (Sluka & Robben, 2007; 2). Dengan demikian,
dalam konteks tersebutlah kita memahami fieldwork. Fieldwork sendiri merupakan bagian dari
paradigma sentral antropologi atau suatu model dalam suatu disiplin yang memberi “arahan”
bagaimana disiplin tersebut seharusnya berjalan. Seperti yang disebut sebelumnya, antropologi
memiliki karakteristik unik yang dihasilkan dari tensi antara objektivitas dan subjektivitas
sehingga fieldwork pun juga akan terpengaruh oleh tensi tersebut

Secara tradisional, antropologi merupakan ilmu yang paling humanistik dan ilmiah. Mereka tidak
melihat adanya kontradiksi yang diperlukan antara kedua pendekatan tersebut. Ada sebuah
pernyataan dari Eric Wolf yang paling terkenal, yaitu bahwa antropologi adalah disiplin ilmu
yang menjembatani antara sains, humaniora, dan pengamatannya.

Cara terbaik untuk memperkenalkan istilah kerja lapangan ini adalah dimulai dengan
mempertimbangkan bagaimana hal itu secara umum didefinisikan sebagai disiplin ilmu. Di
dalam bacaan terdapat definisi klasik tentang fieldwork dari Hortense Powdermaker “fieldwork
adalah studi tentang manusia dan budaya mereka di habitat alam mereka. Fieldwork dalam
antropologi telah ditandai dengan seberapa lama penyelidik berpartisipasi dalam melakukan
pengamatan di masyarakat dan upayanya untuk memahami pandangan dalam masyarakat asli
dan untuk mencapai pandangan holistik dari seorang ilmuwan sosial..”
Rosalie Wax memberikan sketsa kecil yang sangat bagus tentang sejarah kerja lapangan. Ia
mencatat bahwa di antara para filsuf abad ke-18 dan ke-19 diidentifikasi sebagai "pionir" atau
"bapak" antropologi, sosiologi, dan etnografi. Selama kuartal terakhir abad ke-19, pertumbuhan
pesat dan penyebaran kolonialisme dan imperialisme Eropa dan Amerika menghasilkan ledakan
"fieldwork" etnografi dan laporan deskriptif tentang orang-orang dan budaya baru yang ditemui
selama proses ini yang dihasilkan oleh banyak orang terpelajar dan cukup terpelajar. Banyak dari
mereka belajar berbicara bahasa asli dan menghasilkan deskripsi lapangan yang sangat baik.

Franz Boas terkenal sebagai “fieldworker”. Ia dan murid-muridnya biasanya tidak menghabiskan
banyak waktu mereka di lapangan untuk mempelajari bahasa asli dan mengamati serta
mengambil bagian dalam kehidupan asli. Mereka mencoba menemukan secepat mungkin
informan yang kompeten yang fasih berbahasa Inggris dan bahasa asli, mengetahui cerita dan
adat istiadat lama, dan bersedia mendikte dan menerjemahkan teks. Maka dari itu, terdapat
keluhan atas penemuannya: membuang-buang waktu yang berharga untuk mencari atau
mempertahankan informan atau juru bahasa yang baik dan kejang penulis. Ia mengeluh dalam
suratnya ke rumah tentang ketidaknyamanan kerja lapangan dan kerja sama yang enggan dari
orang India, namun terus kembali ke lapangan karena dia percaya akan pentingnya
mengumpulkan data langsung.

Bronislaw Malinowski adalah antropolog profesional pertama yang menggambarkan seperti apa
sebenarnya kerja lapangan intensif itu, dan bagaimana dia memperoleh datanya dengan tinggal di
antara orang-orang Trobriand dan mengamati kehidupan sehari-hari mereka. Ia terkenal karena
mengidentifikasi apa yang disebutnya "the proper conditions" atau "secrets" kerja lapangan
etnografi yang efektif.Selain itu, ia menekankan bahwa seorang pekerja lapangan harus ikut
campur dalam semua urusan yang sedang berlangsung, bahkan dengan risiko menyinggung
etiket lokal, untuk mengetahui bagaimana orang berpikir, berperilaku, dan melihat dunia.
Malinowski berharap demikian untuk "memahami sudut pandang penduduk asli" sebagai
pelengkap perspektif pengamat yang lebih objektif

Selama tahun 1920-an dan 1930-an, sosiolog di University of Chicago mendorong siswa mereka
untuk melakukan kerja lapangan, dan merekonseptualisasikan metodologi mereka di sekitar
"participant observation." Dengan berfokus pada observasi partisipan, sosiolog Chicago
"menekankan hubungan mereka dengan tradisi kerja lapangan etnografi dari Malinowski dan
seterusnya. Mereka menghasilkan monograf etnografis tentang hal-hal seperti ghetto Yahudi,
ruang taxidance, pencuri profesional, gelandangan, geng anak laki-laki, dan sejenisnya.

Terdapat dua pokok bahasan yang luas tentang fieldwork dalam antropologi. Dalam konsepsinya
yang lebih luas, pekerja fieldwork memiliki sejumlah pengalaman subyektif atau pribadi yang
khas. Namun, saat diubah menjadi teks formal, hal itu dieskplorasi lebih lengkap dalam banyak
catatan refleksif kerja lapangan, dan sering muncul sebagai topik diskusi dalam kursus metode
antropologi.

Pokok bahasan pertama yaitu “Going Native.” Menurut Ewing, itu adalah salah satu dari sedikit
tabu yang tersisa dalam antropologi. Dianggap bertentangan dengan sikap objektivitas ilmuwan
sosial dan berdiri sebagai seorang profesional, menjadi native secara tradisional menjadi istilah
cemoohan di kalangan antropolog. Powdermaker (1966) menyatakan Pengetahuan tentang
"going native", yang pada dasarnya merupakan bahaya pekerjaan antropologis (walaupun hampir
apokrif), menggambarkan keuntungan dan bahaya kerja lapangan. Kaysen (1990) memasukkan
gagasan “Going Native” ke dalam novelnya tentang seorang mahasiswa pascasarjana antropologi
yang melakukan kerja lapangan PhD di Kepulauan Faroe. Good (1991) memiliki “kisah cinta
yang fantasis” dalam melakukan fieldwork di hutan Amazon karena ia saat penelitian selama
lebih dari 6 tahun suku Yanomama, ia dijodohkan dengan wanita suku tersebut yang bernama
Yarima. Kemudian, Good dan Yarima tinggal di kota dan memiliki anak, tetapi Yarima
memutuskan untuk kembali pada suku aslinya. Hal tersebut membawa kita pada penjelasan
Tedlock (1991) Apa yang tampaknya berada di balik keyakinan bahwa “going native”
menimbulkan bahaya serius bagi pekerja lapangan adalah konstruksi logis dari hubungan antara
objektivitas dan subjektivitas, antara ilmuwan dan pribumi, antara Self dan Other, sebagai
oposisi yang tidak dapat dijembatani. Edie Turner (1999) telah menceritakan pengalamannya
yang luar biasa saat mengamati ritual yang dilakukan oleh Ndembu di Zambia. Dia melaporkan
bahwa seorang "dukun" bernama Singleton dan para pendukungnya melakukan upaya kolektif
untuk mengeluarkan roh yang mengganggu atau ihamba dari seorang wanita bernama Meru. Para
antropolog yang saya ceritakan tidak benar-benar "going native" karena mereka tidak pernah
meninggalkan identitas antropologi mereka. Namun mereka bersiap untuk mendobrak tabu
tradisional melawan "going native", dan dengan demikian mendorong batas-batas dikotomi
diri/orang lain dalam kerja lapangan antropologis.

Kemudian, kita masuk ke pokok bahasan kedua, yaitu “Culture Shock.” Pengalaman umum
culture shock sebagai konsekuensi kerja lapangan dalam budaya atau konteks asing adalah salah
satu tema tertua dalam antropologi budaya. Hampir semua pekerja lapangan pernah mengalami
culture shock dalam berbagai tingkatan. Powdermaker (1969) mengatakan antropolog
menghilangkan culture shock saat memasuki lapangan tetapi memperingatkannya saat kembali
ke rumah dari lapangan. Sama halnya dengan Seymour-Smith yang mengatakan Keadaan
disorientasi ini (culture shock) mungkin diperlukan, dan dalam jangka panjang merupakan salah
satu yang produktif, karena seperti ritus peralihan, ia mempersiapkan etnografer untuk lompatan
imajinatif yang terlibat dalam berdamai dengan budaya atau cara hidup asing. Gagasan “Culture
Shock” juga diperkuat oleh pernyataan Kalerbo Oberg (1960) saat mendefinisikan culture shock
sebagai kecemasan yang diakibatkan oleh hilangnya tanda dan simbol hubungan sosial yang
sudah dikenal. culture shock adalah bagian alami dari proses penyesuaian terhadap budaya baru
yang pada akhirnya mengarah pada kesadaran budaya.
Etnografi mengalami beberapa perubahan pada era postmodernisme. Hal ini karena pada sekitar
tahun 1970 dan 1980, pandangan antropologi menjadi diperdebatkan. Adanya peningkatan dalam
hubungan kekuatan dengan konstruksi pengetahuan mempengaruhi sebuah perhatian baru
terhadap kenaikan refleksitas serta bentuk baru dari penelitian lapangan dan penulisan etnografi.

Kenaikan refleksitas ini memunculkan pula perdebatan antara penganut relativis dengan
protagonis, objektivis dengan subjektivis, saintifis dengan humanistis serta menjadi dasar dari
perkembangan dari kritik teoritis serta kritik politis. Perkembangan ini termasuk proses-proses
dari dekolonisasi dan penemuan kembali dari antropologi.

Namun, perubahan postmodernisme pada antropologi menuai banyak kritik, terutama dalam
penelitian lapangan. Dikatakan bahwa dalam penelitian lapangan, peserta seperti di dalam
penjara. Cara wawancaranya juga dikritik mirip dengan pengakuan inkuisisi abad pertengahan di
mana para pemeriksa gereja mengekstraksi "kebenaran" dari penduduk asli dan umat paroki
petani "sesat". Selain itu, mereka mengkritik pengamatan antropologis bahwa kita hanya melihat
subjek kita menjadi sekadar "objek" pandangan ilmiah kita.

Kritik-kritik tersebut membuat para antropolog mulai meninggalkan penelitian lapangan yang
lama. Mereka mengembangkan metode etnografi baru yang masih dipakai hingga sekarang.
Metode etnografi ini memperhatikan beberapa isu diantaranya yang pertama, yaitu meningkatnya
kesadaran akan “multivocality” (memuat banyak pendapat yang mewakili banyak kepentingan
atau “realitas”). Kedua, semakin banyak karya yang menggunakan metode etnografi, dengan
komunikasi lintas budaya, dan dengan memperjelas cara kerja lapangan dilakukan dan peserta
penelitian dimasukkan ke dalam proses penelitian. Selain itu, penulisan konteks dan praksis serta
pembacaan teks etnografi juga menjadi perhatian.

Etnografer masa kini juga terdorong untuk melakukan produksi bersama dengan partisipan demi
memasukkan pendapat dari partisipan-partisipannya. Hal tersebut dilakukan dengan banyak
mengutip langsung, menulis bersama, dan kolaborasi dengan partisipan. Sejak tahun 1970an,
cara ini sudah dilakukan, mempersatukan pandangan etnografer dengan partisipan dalam sebuah
etnografi naratif. Pada etnografi naratif, pandangan orang yang mengalami maupun melakukan
suatu situasi, khususnya pada situasi dari sebuah tindakan kekerasan dan semacamnya, menjadi
penting, atau dalam bahasa latin disebut dengan testimonio. Testimonio dapat dimuat dalam
bentuk buku atau pamplet.

Perkembangan etnografi baru juga menekankan pada komitmen untuk timbal balik serta
penelitian yang kolaboratif. Komitmen timbal-balik ini berarti peneliti melakukan penelitian
untuk dapat dimanfaatkan oleh partisipan di lapangan sebagai peraturan etika dalam melakukan
penelitian lapangan. Hal ini juga dapat berpengaruh kepada keinginan partisipan serta hasil
penelitian yang bagus. Sehingga, hal ini juga membuat antropologi mengembangkan pendekatan
etnografi baru, seperti penelitian kolaboratif dan kerja sama penelitian. Dalam penelitian
kolaboratif, para partisipan berusaha untuk bekerja sama secara setara dan ikut melakukan
perencanaan, implementasi, pemecahan masalah, dan evaluasi. Sedangkan dalam kerja sama
penelitian, antropolog dan orang-orang dengan siapa mereka bekerja telah mengambil berbagai
bentuk, tetapi umumnya melibatkan kerja sama antara peneliti terlatih dan anggota masyarakat
yang tidak terlatih dalam penelitian sosial tetapi tertarik untuk melakukan penelitian untuk
komunitasnya. Penting juga untuk bekerja sama dengan partisipan, termasuk mengupayakan
keterlibatan aktif mereka dalam perencanaan, penelitian, dan analisis.

Pada awal abad kedua puluh satu, Setelah lebih dari tiga dekade kritik postmodern yaitu
mengenai melantunkan penelitian lapangan untuk ditinggalkan karena dianggap bersifat
imperialis dan menindas, namun hal ini ditolak oleh antropolog. Kebalikannya, terdapat
pengakuan yang terhadap dimensi moral dan etis-politis dari penelitian lapangan yang mengarah
kepada “compassionate turn” hal ini membuat para antropolog mempelajari kekerasan, genosida,
penderitaan, trauma dsb, Hal ini membuat adanya pergeseran mengenai studi penderitaan
orang-orang yang membawa konsekuensi untuk penelitian lapangan.

Kritik “postmodern” terhadap penelitian lapangan dalam antropologi menantang dualitas


tradisional antara “home” dan “the field”. Kritik ini juga menimbulkan pemahaman baru
mengenai “the field” dan etnografi itu sendiri. James Fernandez memiliki anggapan bahwa
“fieldwork” merupakan jantung dari antropologi, Adapun karakteristik yang melekat dari
penelitian lapangan yaitu “being there”. Dalam artikel ini dituliskan bahwa definisi “the field”
telah berganti dan muncul konsepsi bahwa lapangan itu ada dimanapun dan tidak ada perbedaan
mengenai rumah dan lapangan karena kedua hal tersebut berada dalam satu lingkaran holistic
yang sama dari hubungan kekuasaan yang luas.

Munculnya pemahaman-pemahaman baru mengenai pengertian “the field” dan etnogafi dalam
kritik postmodern membuat para peneliti melakukan penelitian jangka Panjang selama
bertahun-tahun dengan melakukan banyak kunjungan lapangan. Banyak sekali antropolog
menganggap bahwa, dalam pengertian tertentu, para peneliti tidak meninggalkan lapangan
sehingga penelitian mereka tidak benar-benar berakhi. Karena itu, mencuat gagasan mengenai
“the field-postmodern”.

Umumnya, para antropolog saat ini melakukan satu tahun kerja lapangan untuk meraih gelar
PhD yang diikuti dengan berbagai rangkaian perjalanan yang singkat dari pada sebelumnya.
Dalam segi ekonomi memiliki kecenderungan terhadap pengembangan alternatif karena lebih
efisien dan hemat biaya untuk penelitian jangka Panjang. Sehingga beberapa penelitian lapangan
mirip seperti yang penelitian yang dilakukan oleh Boas di amerika mengenai penelitian dalam
jangka pendek dengan beberapa informan.

Nilai kompleksitas penelitian lapangan ini menggambarkan adanya penjelasan mengenai


pengalaman penelitian lapangan dapat menghasilkan peneliti lapangan yang lebih baik dan
etnografi yang lebih mendalam. Pada halaman ini juga penulis menyampaikan petuah yang
diberikan oleh para pekerja lapangan yang memiliki pengalaman sebelumnya contohnya seperti
berperilaku baik, tidak berbicara dengan informan lebih dari dua puluh menit dan nasihat-nasihat
lainnya mengenai kompleksitas hubungan kerja lapangan, konflik, budaya, etika, bahasa.
Adapun dibahas mengenai hubungan antara etnografi dan partisipan penelitian sehingga penulis
memiliki anggapan bahwa pemahaman yang baik mengenai pengalaman melakukan penelitian
lapangan akan meningkatkan akses terhadap data yang bermanfaat daripada hanya
mengandalkan jalur yang sudah dilalui dan hanya mementingkan metode saja Artikel ini juga
membahas adanya tujuan dalam melakukan pemilihan teks antologi yaitu untuk memberikan
pembaca pemahaman yang baik tentang kompleksitas pengalaman penelitian lapangan.
Referensi
Robben, A.C.G., dan J. A. Sluka. (2007). Ethnographic fieldwork: an anthropological reader.
Blackwell Publishing.

Anda mungkin juga menyukai