Anda di halaman 1dari 1

Nama : Kevin Anastasius Purnama

NRP : 08988898853

Jisatsu di Jepang
Menurut pandangan saya, tingkat bunuh diri di Jepang tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh ateisme.
Saya berpendapat bahwa agama di Jepang lebih cenderung menjadi sekadar aturan tidak tertulis bagi sebagian
orang dan kurang mendapat perhatian serius dari masyarakat. Agama dianggap sebagai norma yang tidak
pasti. Faktor yang mungkin lebih dominan dalam meningkatnya tingkat bunuh diri di Jepang adalah tekanan
sosial.
Jepang, sebagai negara maju, memang memiliki tekanan mental yang tinggi, yang dapat dianggap
sebagai beban hidup yang berat bagi banyak individu. Kebanyakan orang tidak menyukai tekanan ini dan
mungkin merasa sulit untuk menghadapinya. Dalam situasi tekanan mental yang tinggi, orang-orang
cenderung mencari jalan keluar, dan sayangnya, bunuh diri bisa menjadi pilihan bagi sebagian individu.
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah stigma terkait masalah kesehatan mental di Jepang.
Masyarakat Jepang seringkali enggan untuk membicarakan atau mencari pertolongan terkait masalah
psikologis. Hal ini dapat menyebabkan individu merasa terisolasi dan kesulitan mendapatkan dukungan yang
diperlukan.
Di samping itu, perubahan sosial dan ekonomi di Jepang juga dapat menjadi penyebab meningkatnya
tingkat bunuh diri. Perubahan dalam struktur pekerjaan, kurangnya dukungan sosial, dan ketidakpastian
ekonomi dapat memberikan tekanan tambahan pada individu.
Sayangnya, masyarakat Jepang cenderung bersikap toleran terhadap kegiatan bunuh diri di negaranya,
sehingga kegiatan ini malah semakin marak di Jepang sendiri. Hal ini dapat mengindikasikan kurangnya
pemahaman dan upaya pencegahan yang memadai terhadap permasalahan bunuh diri dalam masyarakat
Jepang. Diperlukan langkah-langkah konkret untuk mengatasi tekanan mental, mengurangi stigma terkait
kesehatan mental, serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya dukungan sosial dan psikologis.

Anda mungkin juga menyukai