Anda di halaman 1dari 7

dr. Lahargo Kembaren, Sp.KJ - RS Jiwa dr.H.

Marzoeki Mahdi Bogor

Di Poliklinik Jiwa seringkali ditemukan pasien yang mengalami gangguan psikologis

ternyata memiliki pengalaman menjadi korban kekerasan seksual di masa sebelumnya.

Akhir-akhir ini kita juga mendengar dan membaca berita mengenai kasus kekerasan

seksual. Pengalaman traumatis sebagai korban kekerasan seksual dapat memberikan

dampak pada kondisi psikologis dan apabila tidak mendapatkan bantuan, pertolongan,

dan pendampingan psikologis dapat berujung pada munculnya gangguan jiwa seperti

cemas, depresi, bipolar, psikotik dan gangguan kepribadian. Beberapa berita tentang

kekerasan seksual lain yang terjadi di berbagai tempat menunjukkan bahwa saat ini

Indonesia darurat kekerasan seksual.

Mari kita kenali gejala-gejala masalah psikologis yang muncul pada korban kekerasan

seksual, yaitu :

1) Gejala fisik

Sakit kepala, jantung berdebar, napas sesak dan pendek, perut nyeri, dan otot tegang.

2) Gejala emosi

Cemas, marah, sedih, frustrasi, merasa sendiri, merasa dikucilkan dan sepi.

3) Gejala perilaku

Pola makan dan tidur terganggu, malas bergerak, agresif, sering menunda pekerjaan.
4) Gejala kognitif

Sulit fokus, kurang konsentrasi, mudah lupa, sulit membuat keputusan, pikiran

berulang.

Korban Kekerasan Seksual akan mengalami dua fase masalah psikologis, yaitu

1. Fase Akut

Fase ini terjadi segera setelah kejadian kekerasan seksual sampai 2-3 minggu. Pada

fase ini korban mengalami kekacauan perilaku dan pikiran. Gejala emosional yang kuat

dialami oleh korban yaitu menangis, senyum dan tertawa tanpa sebab yang jelas,

terlihat tenang dan terkontrol, seperti tidak terjadi apa-apa, afek datar, marah,

ketakutan, cemas/khawatir, shock, ekspresi emosi tumpul

Reaksi akut di atas muncul karena ketakutan akan cedera fisik, keamanan dan

kematian. Setelah ybs. merasa aman, maka akan muncul berbagai gejala lain

yaitu: mood swing (kadang senang, kadang sedih), merasa terhina, harga diri rendah,

malu, rasa bersalah, menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berdaya, merasa tidak

punya harapan, marah, ingin balas dendam, dan takut kejadian terulang.

2. Fase Jangka Panjang


Fase ini terjadi setelah 2-3 minggu kejadian. Pada fase ini, korban mulai melakukan

reorganisasi kehidupannya, bisa terjadi 2 hal :

1) Adaptif

Korban bisa kembali beradaptasi dengan keadaan, serta kembali berfungsi dan

produktif.

2) Maladaptif

Korban tidak bisa menyesuaikan dengan keadaan, gejala pada fase akut menetap,

muncul berbagai gejala psikologis yang dapat mengganggu fungsi dan aktivitas sehari-

hari.

Kemampuan korban kekerasan seksual melewati fase ini bergantung pada :

1) Umur korban, semakin muda semakin sulit beradaptasi untuk pulih

2) Support system dan dukungan yang diperoleh

3) Kepribadian dasar yang dimiliki sebelumnya

4) Situasi kehidupan yang dijalani

AKIBAT JANGKA PANJANG KORBAN KEKERASAN SEKSUAL


Apabila tidak teratasi dengan baik, maka korban kekerasan seksual dapat mengalami

berbagai gangguan kejiwaan seperti :

1) PSTD (Post Traumatic Stress Disorder/Gangguan Stres Pasca Trauma)

2) Depresi

3) Ansietas (kecemasan)

4) Psikotik (gangguan dalam menilai realitas, ditandai dengan adanya halusinasi dan

delusi/waham)

5) Gangguan seksualitas, dll.

BUNUH DIRI PADA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL

Apabila masalah/gangguan jiwa yang dialami oleh korban kekerasan seksual tidak

mendapatkan penanganan yang baik, maka dapat berujung pada tindakan/perilaku

bunuh diri. Seorang yang melakukan bunuh diri/mencoba bunuh diri sebenarnya tidak

sungguh-sungguh ingin mengakhiri hidupnya, mereka sebenarnya ingin

penderitaan/konflik yang dialaminya cepat berakhir. Hanya sayangnya bunuh diri yang

menjadi pilihan karena seolah tidak ada bantuan lain yang bisa diharapkan. Ada

beberapa tanda dan gejala bunuh diri yang perlu diketahui agar bisa melakukan

pencegahan, antara lain :

• Berbicara tentang keinginan untuk mati atau ingin bunuh diri


• Berbicara tentang perasaan kosong, hampa dan tidak punya alasan untuk hidup

• Membuat rencana untuk bunuh diri seperti melihat website mengenai cara bunuh diri,

membeli senjata/alat untuk melakukannya, membeli obat-obatan dalam jumlah banyak

• Berbicara tentang perasaan bersalah dan malu yang sangat berat

• Berbicara tentang perasaan terjebak, tidak memiliki jalan keluar

• Merasa ‘sakit’ yang berkepanjangan dan tidak ada perbaikan, fisik/psikis

• Merasa menjadi beban yang berat bagi orang lain

• Menggunakan minuman keras atau narkoba dan semakin sering

• Berprilaku cemas dan agitasi

• Menarik diri dari keluarga dan teman teman

• Perubahan pada pola tidur dan pola makan

• Menunjukkan perilaku marah atau keinginan balas dendam

• Melakukan perilaku berisiko seperti menyupir mobil kencang dan ugal-ugalan

• Berbicara dan berpikir tentang kematian semakin sering

• Perubahan mood yang ekstrim, dari sangat sedih menjadi sangat tenang dan sangat

gembira
• Melepaskan posisi yang penting dalam pekerjaan, berhenti kuliah/bekerja

• Mengucapkan selamat tinggal pada teman teman dan keluarga

• Membuat surat wasiat

• Menuliskan di media sosial mengenai bunuh diri dan kematian

Penanganan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan oleh orang yang mengalami

kekerasan seksual agar bisa cepat pulih. Harapan untuk pulih cukup besar apabila

segera diberikan penanganan oleh profesional yg memiliki kompetensi seperti psikiater,

perawat jiwa, psikolog, konselor dan pekerja sosial.

Kesehatan jiwa korban kekerasan seksual menjadi prioritas penanganan kasus ini.

Setiap laporan kejadian kekerasan seksual perlu direspons segera agar kesehatan jiwa

korban bisa terjaga baik.

TERAPI UNTUK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL

1) Psikoterapi suportif, reedukatif, rekonstruktif

2) Psikofarmaka, yaitu obat anti depresan, anti ansietas, anti psikotik, mood stabilizer

3) Rehabilitasi psikososial
4) Transcranial Magnetic Stimulation, Neurofeedback

5) 'Support system', dukungan dari keluarga, masyarakat, dan lingkungan sekitar

Referensi :

1. American Psychiatric Association (2014). Manual Diagnóstico y Estadístico de los

Trastornos Mentales (DSM-5) [Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders

(DSM−5)]. Madrid: Médica Panamericana.

2. Angold, A., and Costello, E. J. (1995). A test-retest reliability study of child-reported

psychiatric symptoms and diagnoses using the Child and Adolescent Psychiatric

Assessment (CAPA-C). Psychol. Med. 25, 755–762.

Anda mungkin juga menyukai