Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH GIZI OLAHRAGA

INTOLERANSI MAKANAN DAN ALERGI

DISUSUN OLEH KELOMPOK 2:

JEAIN KRISTIN MURADI – PO714231211054

MUH. ISNAN HIDAYAT TAUFIK – PO714231211057

YUSHAENI NUHLIN – PO714231211080

DOSEN PENGAMPU:

Hijrah Asikin, S. SiT, M.Biomed

PRAOGRAM STUDI SARJANA TERAPAN GIZI & DIETETIKA

POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR

JURUSAN GIZI

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik, dan Hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan Makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sederhana. Semoga Makalah ini dapat di pergunakan sebagai salah
satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Gizi Olahraga yang diberikan oleh Ibu Hijrah Asikin, S.SiT, M.Biomed tentang
Makalah “Intoleransi makanan dan alergi”.

Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam
penyusunan. Makalah ini, terutama kepada Ibu Hijrah Asikin, S.SiT, M.Biomed selaku dosen mata
kuliah Gizi Olahraga yang telah membimbing kami dalam membuat makalah ini. Sebelumnya saya
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan di hati pembaca. Harapan
kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat
lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki
sangat kurang. Oleh karena itu, kami harapkan kepada pembaca untuk memberi masukan-masukan
yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 15 November 2023


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. Intoleransi Makanan
B. Alergi

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Alergi makanan adalah gangguan kesehatan yang timbul akibat respon imun spesifik
terhadap makanan. Alergi makanan bisa mengenai semua kelompok usia dengan prevalensi
pada anak lebih besar daripada dewasa. Alergi makanan pada dewasa bisa timbul akibat
alergi pada masa kanak-kanak yang persisten atau muncul pertama kali pada saat dewasa.
Alergi makanan adalah gangguan kesehatan yang timbul akibat respon imun spesifik yang
muncul akibat paparan dari makanan. Penting untuk membedakan alergi makanan dengan
reaksi simpang terhadap makanan yang tidak dimediasi oleh imun. Reaksi simpang yang
tidak diklasifikasikan sebagai alergi makanan termasuk intoleransi makanan yang sekunder
terhadap gangguan metabolik (contoh: intoleransi laktosa), reaksi terhadap kontaminasi
yang toksik (contoh: histamin yang dihasilkan oleh ikan scromboid yang dikontaminasi
oleh Salmonella) atau komponen makanan yang aktif secara farmakologis (contoh: kafein
pada kopi yang membuat berdebar-debar).
Prevalensi alergi makanan pada anak adalah 6%, sementara pada dewasa 3 – 4%. Pada
anak, makanan yang paling sering menyebabkan alergi adalah susu sapi, telur ayam, susu
kedelai, kacang, gandum, ikan, dan shellfish. Alergi terhadap kacang, ikan, dan shellfish
bertahan hingga dewasa. Lebih lanjut, prevalensi alergi makanan tampak berlipat ganda
atau bahkan meningkat 4 kali lipat sejak 15 tahun terakhir di Amerika Serikat, Inggris, dan
Cina.
Makanan yang paling sering menyebabkan anafilaksis adalah kacang dan tree nut. Strategi
pencegahan alergi makanan yang belum optimal bisa menjadi salah satu penyebab insiden
yang terus meningkat. Penelitian-penelitian dilakukan untuk menemukan pilihan alat
diagnostik yang tepat untuk menentukan alergen yang mencetuskan alergi tersebut. Sampai
saat ini, oral food challenge (OFC) masih menjadi baku emas diagnostik alergi makanan,
walaupun memiliki risiko memicu terjadinya anafilaksis pada pasien. Perkembangan
modalitas terapi juga menjadi hal yang terus disempurnakan.
Edukasi mengenai penatalaksanaan awal terhadap alergi makanan, seperti epinefrin
autoinjeksi, menjadi salah satu cara untuk menurunkan angka mortalitas yang disebabkan
oleh alergi makanan. Hingga saat ini, terapi yang sedang dikembangkan adalah terapi
spesifik dan nonspesifik terhadap alergen. Melalui tinjauan kepustakaan ini, Penulis
mencoba mengulas tentang imunopatogenesis alergi makanan pada dewasa dan implikasi
klinis yang terjadi berdasarkan organ yang dikenainya. Dengan memahami hal tesebut,
diagnosis alergi makanan dapat segera ditegakkan dan diharapkan bisa ditatalaksana
dengan baik sehingga dapat membantu menurunkan morbiditas dan mortalitas dari alergi
makanan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan intoleransi makanan dan alergi?
2. Apa yang menjadi epidemiologi dan etiologi terjadinya intoleransi makanan dan alergi?
3. Bagaimana patofisiologi intoleransi makanan dan alergi?
4. Apa saja yang menjadi klasifikasi intoleransi makanan?
5. Bagaimana diagnosis alergi makanan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian intoleransi makanan dan alergi.
2. Untuk mengetahui epidemiologi dan etiologi terjadinya intoleransi makanan dan alergi.
3. Untuk mengetahui patofisiologi intoleransi makanan dan alergi.
4. Untuk mengetahui klasifikasi intoleransi makanan.
5. Untuk mengetahui diagnosis alergi makanan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Intoleransi Makanan
a. Pengertian
Food-related adverse reactions merupakan reaksi abnormal terhadap konsumsi
makanan yang dapat memengaruhi banyak sistem organ. Istilah ini mencakup alergi
makanan dengan latar belakang imunologi dan alergi semu yang dimediasi oleh non-
imun (intoleransi makanan, keengganan, dan reaksi terkait makanan lainnya). Reaksi
intoleransi makanan adalah food-related adverse reactions non- imunologis yang
ditimbulkan oleh makanan atau bahan makanan yang dikonsumsi dalam jumlah yang
umumnya tertelan tanpa keluhan oleh individu nonintoleran. Reaksi ini sering kali
meniru manifestasi alergi makanan. (Sheldy Prawibowo, 2020)
Intoleransi makanan merupakan reaksi yang merugikan terhadap makanan, terjadi
karena cara tubuh memproses makanan atau komponen yang ada dalam makanan.
Intoleransi disebabkan oleh racun, farmakologis, metabolisme, reaksi pencernaan,
psikologis, idiosinkrasi, atau idiopatik terhadap suatu makanan atau zat kimia dalam
makanan itu. Gejala umum intoleransi makanan termasuk masalah lambung atau usus
(seperti refluks, kolik, muntah, diare, kembung, dan iritabilitas), tidur terganggu, mulas,
ruam kulit, eksim dan gatal-gatal. (Nurizah, 2019)

b. Epidemiologi
Data epidemiologi menunjukkan bahwa intoleransi makanan terjadi pada sekitar 15-
20% populasi dunia. Meski demikian, angka ini sulit dipastikan karena kebanyakan
bukti ilmiah intoleransi makanan menggunakan laporan mandiri dari pasien, bukan
diagnosis objektif. Data epidemiologi intoleransi makanan secara umum di Indonesia
belum ada. Meski demikian, data mengenai intoleransi laktosa pada anak Indonesia
menunjukkan bahwa prevalensi malabsorbsi laktosa pada anak usia 3-5 tahun sebesar
21,3%; sedangkan kelompok usia 6-11 tahun sebanyak 57,8%. Dibandingkan alergi
makanan, intoleransi makanan lebih tidak bersifat fatal. Meski demikian, intoleransi
makanan dapat menyebabkan komplikasi berupa malnutrisi akibat penghindaran
berlebihan dari bahan makanan yang menyebabkan intoleransi. Intoleransi makanan
juga bisa menyebabkan penurunan produktivitas dan kualitas hidup karena gejala yang
sering rekuren.

c. Etiologi
Etiologi intoleransi makanan yang umum ditemukan adalah intoleransi makanan
terhadap FODMAP (fermentable oligosaccharides, disaccharides, monosaccharides,
and polyols), gandum, histamin, serta aditif makanan dan bahan kimia. Intoleransi
Makanan FODMAP, kelompok makanan FODMAP ini tidak banyak diabsorbsi oleh
tubuh sehingga akan menumpuk di kolon dan difermentasi oleh bakteri usus,
menghasilkan gas dan menyebabkan gejala-gejala intoleransi makanan.

d. Patofisiologi
Intoleransi makanan dapat terjadi karena adanya efek farmakologis zat vasoaktif yang
ada dalam makanan seperti FODMAPs (fermentable oligo-di-monosaccharides and
polyols), gandum, dan histamin atau dari defek sistemik enzim atau transporter jalur
metabolisme spesifik (inborn errors of metabolism).

e. Klasifikasi Intoleransi Makanan


Intoleransi makanan terdiri dari kelainan proses penyerapan pada saluran cerna
(kekurangan enzim), contoh: intoleransi laktosa; reaksi farmakologi atau keracunan,
contoh intoleransi histamin dan teobromin; atau reaksi idiosinkratik, contoh:
intoleransi zat aditif dan pewarna makanan. Jenis makanan yang paling sering
menyebabkan intoleransi makanan adalah FODMAP (fermentable oligo- di-
monosaccharides and polyols), gandum, makanan mengandung histamin (anggur,
minuman beralkohol, kopi), zat aditif, dan pewarna makanan
- FODMAP
FODMAP (fermentable oligo- di- monosaccharides and polyols) adalah
sekumpulan karbohidrat rantai pendek yang kurang baik diserap oleh usus kecil,
yang kemudian difermentasikan oleh bakteri usus. Makanan yang paling sering
menimbulkan intoleransi adalah makanan mengandung tinggi laktosa, sukrosa,
atau fruktosa, seperti susu, cookies, kue, minuman bersoda, roti, crackers, pisang,
dan sereal.
 Mekanisme Intoleransi FODMAP
Intoleransi FODMAP terjadi akibat karbohidrat rantai pendek tidak
diabsorpsi dengan baik karena kurangnya enzim untuk mengurai FODMAP,
menyebabkan efek osmotik, meningkatkan cairan masuk ke dalam lumen
usus. Diet tinggi FODMAP (112 gram/hari) meningkatkan kadar air di usus
pasien dengan ileostomi.
Mekanisme kedua adalah karbohidrat yang tidak dicerna akan masuk ke
dalam kolon, selanjutnya difermentasi oleh bakteri kolon yang menyebabkan
peningkatan produksi gas seperti hidrogen, methan, dan karbondioksida.
Mekanisme ini terbukti pada studi MRI dan breath test. Kombinasi dua
mekanisme menyebabkan distensi, sehingga akan timbul gejala nyeri dan rasa
perut tidak nyaman.
Mekanisme ketiga adalah kelebihan produksi short-chain fatty acids (SCFAs).
SCFAs (propionat, butirat, dan asetat) merupakan produk metabolisme serat
oleh bakteri yang bermanfaat. Butirat berguna untuk menjaga kesehatan epitel
usus, sedangkan propionat dan asetat memiliki efek imunomodulasi sistemik.
Namun, kadar tinggi SCFAs dapat berefek negatif dengan menstimulasi
pelepasan 5-hidroksitriptamin (5HT) dari mukosa usus yang menyebabkan
kontraksi kolon; dan butirat menyebabkan hipersensitivitas viseral.
 Diagnosis dan Tata Laksana Intoleransi FODMAP
Breath test merupakan pemeriksaan yang dapat dilakukan sebelum
melakukan diet rendah FODMAP. Breath test dapat mendeteksi intoleransi
fruktosa, laktosa, dan sorbitol. Untuk dugaan intoleransi fruktan dan GOS
tidak dilakukan breath test karena kedua karbohidrat ini selalu diserap secara
buruk. Untuk intoleransi manitol juga jarang dilakukan breath test karena
tidak banyak ditemukan pada diet. Diet rendah FODMAP dapat dilakukan
setelah breath test, diagnosis IBS ditegakkan berdasarkan kriteria ROME IV,
dan penyebab organik sudah disingkirkan. Diet rendah FODMAP diterapkan
di bawah pengawasan ahli gizi dan dirancang untuk tiga fase, yaitu
pengurangan asupan FODMAP jangka pendek (2-8 minggu), diikuti fase
rechallenge untuk menilai toleransi, dan terakhir diet jangka panjang dengan
makan makanan yang telah diidentifikasi selama fase rechallenge.
- Gandum
Komponen gandum yang menyebabkan intoleransi adalah protein dan karbohidrat.
Gluten merupakan kandungan protein utama dari gandum yang memiliki struktur
protein yang kompleks, unsur utamanya adalah gliadin dan glutenin. Gluten juga
terdapat pada gandum hitam, barley, dan oat. Gliadin kaya akan glutamin dan residu
prolin yang tidak bisa dicerna sempurna di saluran cerna sehat; sehingga gliadin
akan tersisa di lumen dan sebagian dapat melewati barrier usus yang dapat
menyebabkan dampak negatif seperti kerusakan epitel usus.
 Mekanisme Intoleransi Gandum
Beberapa mekanisme yang diduga menyebabkan intoleransi adalah
peningkatan lipopolysaccharide-binding protein, peningkatan eosinofil,
aktivasi imunitas innate dan adaptif, peningkatan permeabilitas usus, dan
perubahan mikrobiota usus. Peningkatan permeabilitas usus disebabkan oleh
gliadin, respons imun adaptif diduga disebabkan oleh tingginya kadar antibodi
antigliadin tubuh, dan respons imun innate disebabkan oleh ATI
 Diagnosis Dan Tata Laksana Intoleransi Gluten
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan manifestasi klinis. Manifestasi
NCGS yang sering adalah nyeri perut, kembung, diare, dan gejala sistemik
berupa gejala neuropsikiatri seperti ‘foggy mind’, nyeri kepala, fatigue, dan
gejala muskuloskeletal (hipesthesia pada kaki atau lengan, dan artralgia).
Manifestasi klinis bisa timbul dalam hitungan jam atau hari setelah memakan
makanan mengandung gandum. Pemeriksaan yang saat ini diusulkan adalah
dengan uji eliminasi dan provokasi (double blind placebo controlled food
challenge). Lakukan diet bebas gluten selama 4-6 minggu, lakukan penilaian
gejala dan derajat beratnya gejala secara simultan selama melakukan diet bebas
gluten, setelah 4-6 minggu dilanjutkan dengan pengenalan kembali makanan
yang mengandung gluten selama 1 minggu, lakukan penilaian gejala dan derajat
beratnya gejala yang timbul setelah pengenalan kembali makanan yang
mengandung gluten, uji provokasi dinyatakan positif jika gejala intoleransi
muncul kembali.
Tata laksana yang dianjurkan adalah diet bebas gluten atau diet rendah
FODMAP. Diet rendah FODMAP terbukti dapat mengurangi keluhan pada
orang dengan intoleransi gandum.
- Histamin
Histamin adalah amin biogenik yang tidak hanya terdapat dalam tubuh secara alami,
namun juga terdapat pada makanan. Histamin endogen disimpan pada sel mast dan
basofil dalam jumlah besar, juga di sel enterokromafin, nodus limfe, dan timus.
Metabolisme histamin melalui dua jalur, jalur metilasi oleh histamine-N-
methyltransferase. (HNMT) dan jalur degradasi oksidasi oleh diamine oxidase
(DAO). HNMT bertanggungjawab untuk mendegradasi histamin intrasel. DAO
bertanggungjawab untuk mendegradasi histamin eksogen dari makanan atau
mikrobiota usus. Makanan yang berpotensi mengandung histamin kadar tinggi
adalah makanan dalam kaleng, makanan siap saji, semi-finished products, atau
produk yang disimpan dalam jangka lama. Konsumsi histamin lebih dari 100
milligram (mg) dapat menyebabkan gejala ringan, sedangkan lebih dari 1.000 mg
dapat menyebabkan gejala berat.
 Mekanisme Intoleransi Histamin
Intoleransi histamin terjadi akibat ketidakseimbangan kemampuan mereduksi
atau mendegradasi histamin dengan jumlah histamin yang masuk ke dalam
tubuh. Pada individu sehat, DAO bisa secara cepat mendetoksifikasi histamin
pada makanan. Aktivitas DAO pada usus yang berkurang menyebabkan
histamin tidak mengalami degradasi, sehingga histamin plasma meningkat dan
akan menyebabkan gejala klinis. Defisiensi DAO dapat disebabkan oleh
genetik, penyakit lain, atau farmakologis. Histamin yang berasal dari tubuh
sendiri, bukan dari makanan, hampir tidak memiliki peran pada intoleransi
histamin, kecuali pada mastositosis, yaitu keadaan peningkatan jumlah sel mast
yang dikenal sebagai mast cell activation syndrome (MCAS), menyebabkan
pelepasan histamin dalam jumlah banyak oleh sel mast.
 Diagnosis dan Tata Laksana Intoleransi Histamin
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan gejala klinis. Kriteria diagnosis
intoleransi histamin, yaitu adanya kombinasi ≥2 gejala intoleransi histamin.
Perbaikan klinis terjadi setelah diet bebas histamin, dan dengan medikasi
antihistaminergic. Manifestasi klinis intoleransi histamin mulai dari gangguan
saluran pencernaan hingga ekstraintestinal, karena distribusi empat reseptor
histamin di berbagai organ dan jaringan tubuh. Diagnosis intoleransi bisa
ditegakkan setelah intoleransi makanan lain, penyakit saluran pencernaan,
alergi makanan dimediasi IgE (skin prick test), dan mastositosis (pemeriksaan
triptase) telah disingkirkan. Diet rendah histamin merupakan tata laksana utama
dugaan intoleransi histamin.
- Zat Aditif dan Pewarna Makanan
Zat aditif dan pewarna makanan dikelompokkan berdasarkan fungsi dan khasiatnya,
yaitu pengawet, perasa, pengemulsi, pengental, dan penambah rasa. Sejumlah kecil
zat aditif dan pewarna makanan diduga menjadi penyebab reaksi makanan yang
merugikan, baik yang dimediasi Ig-E, atau imunologis, maupun non-imunologis.
Zat aditif dan pewarna makanan yang paling sering menyebabkan intoleransi adalah
sulfit, benzoat, monosodium glutamat (MSG), dan pewarna makanan (tartrazine).
 Mekanisme Intoleransi Zat Aditif dan Pewarna Makanan
Mekanisme intoleransi zat aditif dan pewarna makanan masih belum dipahami
secara jelas karena kurangnya studi, diduga disebabkan aktivasi langsung sel
mast oleh zat aditif dan pewarna makanan. Aktivasi sel mast menyebabkan
pelepasan mediator, seperti histamin, leukotrien, dan lain-lain. Hal ini yang
menyebabkan gejala intoleransi zat aditif dan pewarna makanan mirip gejala
intoleransi histamin seperti kemerahan pada kulit, urtikaria, dan angioedema,
serta gejala pada organ lainnya seperti dispnea, hipotensi, dan dizziness.
 Diagnosis dan Tata Laksana Intoleransi Zat Aditif dan Pewarna Makanan
Diagnosis berdasarkan anamnesis dan manifestasi klinis. Manifestasi klinis
yang sering timbul adalah gejala saluran pencernaan mirip IBS ditambah
urtikaria, nyeri kepala, eksim, rinitis, kongesti nasal, atau post nasal drip. Tata
laksana mirip dengan intoleransi makanan lain, yaitu diet restriksi menghindari
dan mengurangi zat aditif dan pewarna makanan. Restriksi dilakukan dalam
jangka pendek (2-6 minggu), diikuti dengan rechallenge untuk memeriksa
secara spesifik zat yang menyebabkan intoleransi; tahap terakhir dengan
restriksi jangka Panjang. (Sumadi Jap et al., 2022)

B. Alergi
a. Pengertian
Reaksi alergi adalah reaksi imunologik suatu reaksi yang terjadi melalui
terbentuknya Ig E. Pada orang yang tidak mempunyai alergi protein makanan di
angga tidak menjadi masalah, namun bagi penderita alergi protein dianggap
merugikan tubuh sehingga membuat reaksi alergi bagi tubuh. Reaksi alergi
terhadap makanan biasanya terjadi dalam beberapa menit sampai 2 jam setelah
terpapar dengan makanan bahkan bisa mencapai 24 jam. Reaksi yang timbul
terlambat dapat menimbulkan kesulitan pada saat akan mengidentifikasi penyebab
alerginya. Paparan dapat terjadi secara inhalasi, dikontak kulit dan makan atau
amasuk ke saluran cerna, dikatakan terjadi sensitifitas bila pada pemeriksaan darah
terhadap Ig E terhadap alergen yaitu protein pada bahan makanan. (idawati
karjadidjaja, 2007)
Alergi makanan adalah respons imun spesifik yang dapat direproduksi terhadap
bahanmakanan (alergen) yang biasanya protein, kecuali pada alergi terhadap
oligosakarida galactose-α-1,3-galactose (αGal). (Sheldy Prawibowo, 2020)

b. Epidemiologi dan Etiologi


Prevalensi alergi makanan di Indonesia adalah 5 sampai 11%. Dalam beberapa
tahun terakhir, angka kejadian alergi terus meningkat tajam baik di dalam negeri
maupun luar negeri. World Allergy Organization (WAO) menyebutkan 22%
penduduk dunia menderita alergi dan terus meningkat setiap tahun. Dalam studi
tahun 2014, diperkirakan kasus alergi makanan terjadi pada 5% usia dewasa dan
8% pada anak-anak. Pada negara barat, kasus alergi makanan berkisar 10% dan
prevalensi tertinggi pada anak-anak.
Alergen makanan yang cukup sering mengakibatkan alergi pada makanan adalah
glikoprotein yang larut dalam air yang berasal dari hewan dan tumbuhan,
glikoprotein ini tetap stabil dengan terapi menggunakan panas, asam dan protease.
Penyebab yang cukup sering pada kasus alergi pada dewasa adalah susu, kacang,
kedelai, tree nuts, udang, kepiting, dan wijen.

c. Patofisiologi
Alergi makanan merupakan bagian dari reaksi hipersensitivitas, yakni
hiperesponsivitas imunologik terhadap antigen spesifik, yang dapat berasal dari
makanan atau mikroorganisme patogen maupun produknya, atau terhadap antigen
milik sendiri yang dipresentasikan secara tidak tepat. Pada alergi makanan, terjadi
penetrasi molekul antigen ke dalam tubuh, yang menstimulasi reaksi imunologik.
Reaksi ini tidak timbul saat kontak pertama dengan antigen, tetapi gejala akan
timbul pada pajanan yang kedua dengan alergen yang sama. Umumnya, pajanan
ulang oleh alergen akan meningkatkan respon imun sekunder yang bersifat spesifik.
Pada kasus hipersensitivitas/alergi, terjadi reaksi imun berlebihan kemudian
menimbulkan kerusakan jaringan. Sekali sensitisasi alergen terjadi, antigen yang
kembali terpapar akan mengakibatkan manifesitasi lokal ataupun sistemik dari
alergi makanan. (Aceh & kue tradisional khas
Acehfile:///C:/Users/INE/Desktop/MESAC/TERCER SEMESTRE/EDUCACION
PARA LA SALUD/Using education theory to design a patient e-health
education.pdf, 2020)

d. Diagnosis Alergi Makanan


Pendekatan diagnosis dimulai dengan riwayat kesehatan pasien, yang dapat
mengidentifikasi alergi makanan sebagai kemungkinan penyebab gejala,
memberikan rincian yang menunjukkan apakah reaksi tersebut dimediasi oleh IgE
dan menentukan kemungkinan penyebab alergen (s). Setelah alergen makanan
yang dicurigai telah diidentifikasi, pengujian diagnostik lini pertama terdiri dari
pengujian kulit atau pengukuran kadar IgE spesifik makanan dalam serum, atau
keduanya.
Pengukuran serum IgE spesifik makanan mengidentifikasi antibodi IgE terhadap
makanan (yaitu sensitisasi). Untuk pengujian kulit, alergen dimasukkan ke dalam
epidermis menggunakan ekstrak dan alat untuk menggaruk atau menusuk
kulit. Adanya bintil-bintil dan flare menunjukkan sensitisasi. Kedua bentuk tes ini
sangat sensitif dalam diagnosis alergi makanan yang diperantarai
IgE. Sensitivitasnya lebih besar dari 90% untuk pengujian kulit dan 70%–90%
untuk pengukuran IgE spesifik makanan serum. Ukuran wheal dan kadar IgE
berhubungan dengan kemungkinan alergi, namun tidak berkorelasi baik dengan
tingkat keparahan reaksi.
Tes kulit memiliki keuntungan berupa biaya yang lebih rendah dan hasil yang cepat.
Pengukuran IgE spesifik makanan dalam serum tersedia lebih luas di layanan
kesehatan primer dan dapat memberikan peningkatan kemampuan untuk mengatasi
perubahan hasil seiring berjalannya waktu. Tergantung pada alergen dan aspek
pengembangan tes (misalnya, proses ekstraksi, pembuatan reagen), satu tes atau
lainnya mungkin menawarkan sensitivitas yang lebih tinggi.
Pengujian diagnostik harus dilakukan hanya dalam konteks riwayat klinis yang
meyakinkan. Spesifisitas kedua tes tersebut kurang dari 50%. Sensitisasi seringkali
tidak sama dengan alergi klinis dan dapat menyebabkan penghindaran makanan
yang tidak perlu. Dalam tinjauan grafik retrospektif baru-baru ini terhadap 125
anak, 80%–100% makanan dihindari karena tes kulit positif atau hasil tes IgE
spesifik makanan serum dihindari jika tidak diperlukan dan dapat dimasukkan
kembali ke dalam makanan pasien. Menguji “panel” yang telah ditentukan
sebelumnya tanpa memperhatikan riwayat kesehatan dan pemahaman tentang
epidemiologi serta karakteristik pengujian dapat mengakibatkan kesalahan
pengelolaan.
Tantangan makanan oral adalah prosedur standar yang diterima dan dianggap aman
bila dilakukan oleh personel berpengalaman. Namun, hal ini memakan waktu dan
reaksi alergi, termasuk anafilaksis, dapat terjadi. Dalam tinjauan grafik retrospektif
terhadap lebih dari 700 tantangan makanan di satu klinik, 19% pasien bereaksi,
termasuk 2% yang memerlukan pengobatan epinefrin.
Diagnostik penyelesaian komponen adalah alat baru dalam diagnosis alergi
makanan. Ini mengukur kadar IgE serum terhadap protein alergen individu dalam
makanan, bukan campuran alergen. Reaktivitas IgE terhadap komponen tertentu
mungkin berhubungan dengan kemungkinan alergi klinis. Misalnya, pasien dengan
alergi kacang tanah yang disensitisasi terhadap protein kacang tanah yang stabil
(misalnya, Arah 2) mempunyai kemungkinan reaktivitas yang lebih tinggi
dibandingkan mereka yang hanya peka terhadap protein yang labil (misalnya, Arah
8). Dalam sebuah penelitian yang melibatkan 144 anak yang hanya peka terhadap
Arah, hanya 1 anak yang mengalami reaksi setelah tertelan.
Pengujian imunoglobulin G (IgG) spesifik makanan semakin banyak digunakan
untuk mengidentifikasi “sensitivitas” makanan. Faktanya, IgG spesifik makanan
memang diharapkan, menandai adanya paparan dan toleransi terhadap suatu
makanan. Perkumpulan Alergi dan Imunologi klinis Kanada mengeluarkan
pernyataan yang sangat tidak menyarankan penggunaan pengujian IgG untuk
mengidentifikasi reaksi makanan yang merugikan, hal serupa juga diungkapkan
oleh American Academy of Allergy, Asthma and Immunology. Tes tambahan yang
tidak direkomendasikan meliputi tes kinesiologi terapan dan elektrodermal.
Tidak ada pendekatan bertahap yang terstandarisasi dalam pengujian. Tes kulit, tes
IgE spesifik makanan serum atau keduanya dapat digunakan untuk mengevaluasi
alergi makanan yang dimediasi IgE. Namun, hal ini tidak boleh diandalkan sebagai
satu-satunya alat diagnosis, karena riwayat klinis, dan kemungkinan kinerja
tantangan makanan oral yang diawasi secara medis, merupakan komponen
tambahan utama dari rejimen diagnostik. (Oriel & Wang, 2021)
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Adverse food reaction adalah reaksi tidak normal setelah seseorang menelan makanan tertentu,
bisa berbentuk alergi makanan dan intoleransi makanan. Perbedaan keduanya adalah melalui
keterlibatan respons imun. Intoleransi makanan merupakan suatu respons non-imun, dan
biasanya terjadi pada seseorang yang memiliki defisiensi enzim pencernaan tertentu.
Diagnosis intoleransi makanan memerlukan anamnesis yang lengkap, terutama riwayat diet.
Terapi restriksi memerlukan pemantauan oleh dokter spesialis gizi dan ahli gizi.
Alergi makanan adalah gangguan kesehatan yang timbul akibat respon imun spesifik yang
muncul akibat paparan dari makanan. Variasi gejala pada alergi makanan sangat luas dan
tergantung dengan mekanisme dan organ yang dikenai. Contoh gejala tersebut dimulai dari
reaksi alergi ringan seperti gatal, hingga reaksi alergi sistemik berupa anafilaksis. Alergi
makanan merupakan penyebab anafilaksis yang paling sering, yaitu sebesar 30%.

B. Saran
Saran kami agar selanjutnya, dapat menambahkan faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya intoleransi makanan dan alergi serta harapannya agar makalah ini dapat membantu
penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Aceh, kue tradisional khas, & kue tradisional khas


Acehfile:///C:/Users/INE/Desktop/MESAC/TERCER SEMESTRE/EDUCACION PARA
LA SALUD/Using education theory to design a patient e-health education.pdf. (2020). No

主観的健康感を中心とした在宅高齢者における 健康関連指標に関する共分散構造分析

Title. 2507(February), 1–9.

idawati karjadidjaja. (2007). 1826-4080-1-SM_npskqo (pp. 185–191).

Nurizah. (2019). 10,11 46. Journal of Nutrition and Health, 7(1), 46–56.

Oriel, R. C., & Wang, J. (2021). Diagnosis and Management of Food Allergy. Immunology and
Allergy Clinics of North America, 41(4), 571–585. https://doi.org/10.1016/j.iac.2021.07.012

Sheldy Prawibowo. (2020). Food Related Adverse Reactions. Jurnal Medika Hutama, 02(01),
402–406.

Sumadi Jap, A. L., Adipurnama, A., & Farah Diba, S. (2022). Diagnosis dan Tata Laksana
Intoleransi Makanan. Cermin Dunia Kedokteran, 49(7), 367–371.
https://doi.org/10.55175/cdk.v49i7.250

Anda mungkin juga menyukai