Anda di halaman 1dari 148

PERLINDUNGAN

PEKERJA RUMAHAN
DI SEKTOR INDUSTRI

Yuniarti Tri Suwadji


Ardhian Kurniawati
Malla Dewi Agisty
Ari Yuliastuti
PERLINDUNGAN PEKERJA
RUMAHAN DI SEKTOR
INDUSTRI

PT Sulaksana Watinsa Indonesia


2016

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri A


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta

Pasal 2
1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta
untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara
otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima Miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).

B Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


PERLINDUNGAN
PEKERJA RUMAHAN
DI SEKTOR INDUSTRI

Penulis :
Yuniarti Tri Suwadji, S.E, M.A, M.E
Ardhian Kurniawati, S.Si
Malla Dewi Agisty, S.E
Ari Yuliastuti, S.H

PT. Sulaksana Watinsa Indonesia


2016

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri C


ISBN : 978-602-6754-24-0

PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAHAN DI SEKTOR INDUSTRI

Copyright © 2016

Penulis : Yuniarti Tri Suwadji, S.E, M.A, M.E


Ardhian Kurniawati, S.Si
Malla Dewi Agisty, S.E
Ari Yuliastuti, S.H
Editor : Drs. Fadjri
Desain Layout : Indoyanu Muhamad

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin dari penulis

Cetakan Pertama diterbitkan dalam Bahasa Indonesia


Oleh PT. Sulaksana Watinsa Indonesia
Citylofts Sudirman Suites 2327-2329
Jl. KH Mas Mansyur 121. Jakarta 10220
Telp/Fax. (021) 86614125
Email : contact@swi-group.com

Anggota IKAPI No. 499/DKI/14

D Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola hubungan


kerja antara pemberi kerja dan pekerja rumahan, mengetahui profil
pekerja rumahan dan menganalisa langkah-langkah strategis yang
diperlukan bagi perlindungan pekerja rumahan di sektor industri
di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan
ini adalah metode kualitatif dengan mempergunakan kuesioner
untuk para informan yang dipilih berdasarkan metode pengambilan
sampel snowball sampling di beberapa provinsi di Indonesia, seperti:
Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta
dan Sumatera Utara. Selain itu, teknik pengumpulan data dengan
wawancara mendalam, diskusi, observasi lapangan dan dokumentasi
digunakan untuk memperkaya analisis data. Alasan mengapa penelitian
ini sangat penting yaitu adanya keharusan bagi pemerintah untuk
melindungi pekerja rumahan yang telah berkontribusi dalam proses
produksi dengan mempertimbangkan tidak hanya untuk penegakan
hukum dan aspek ekonomi, tetapi juga dengan mempertimbangkan
kondisi sosial dan budaya yang ada di Indonesia.

Kata Kunci: perlindungan, pekerja rumahan, sektor industri

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri i


Abstract

This study aims to identify the labor relation between employers


and home workers (HW), to highlight the profile of HBW and to produce
government strategic steps to protect HBW in the industrial sector in
Indonesia. The research methods used in this paper is qualitative method
by utilizing questionnaires for informants who were chosen by addressing
snowball sampling method in some selected provinces in Indonesia such
as Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, jawa Timur, DKI Jakarta and
Sumatera Utara. In addition, data collection techniques with in-depth
interview, discussion, observation and documentation are used to enrich
the data analysis. The reason why this research is very important is that
it is a must for government to protect HBW who have contributed to
production process by considering not only to the law enforcement and
economic aspects, but also to the social and cultural condition that exist
in Indonesia.

Keywords: protection, home workers, industrial sector

ii Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Kata Pengantar

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas perkenan-


Nya buku Studi Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri
ini dapat disusun, Penelitian ini diarahkan sebagai salah satu upaya
guna mendukung perumusan kebijakan ketenagakerjaan terutama di
bidang Pengawasan Ketenagakerjaan.

Studi Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri ini secara


umummenjabarkan Pola hubungan kerja antara pemberi kerja dan
pekerja rumahan, profil pekerja rumahan dan analisa langkah-langkah
strategis yang diperlukan bagi perlindungan hak-hak dasar pekerja
rumahan di sektor Industri.

Diharapkan buku ini dapat menjadi media bagi masyarakat


dan pemerhati ketenagakerjaan untuk dapat mengetahui gambaran
pekerja di sektor informal seperti Pekerja Rumahan.

Terbitnya buku ini diharapkan dapat membantu pengguna data


dan informasi ketenagakerjaan sebagai bahan perumusan, kebijakan,
programdan kegiatan baik dibidang Pengawasan Ketenagakerjaan
maupun bidang lain yang terkait dengan pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh pihak yang


telah membantu dalam penyusunan buku ini. Kami mengharapkan
masukan dan saran yang membangun dari pembaca untuk
penyempurnaan buku ini. Semoga buku Studi Perlindungan Pekerja
Rumahan di Sektor Industri ini bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Desember 2015

Tim Penulis

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri iii


Daftar Isi

ABSTRACT i
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR DIAGRAM vii
DAFTAR GAMBAR x

BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Permasalahan 5
C. Tujuan dan Kegunaan 6
D. Metodologi Penelitian 6
E. Aspek-aspek yang Diteliti 6
F. Definisi Operasional 7
G. Sistematika Penulisan 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13


A. Pengertian Perlindungan 13
B. Pengertian Pekerja Rumahan 18
C. Perlindungan Pekerja Rumahan 29
D. Penelitian Empiris Terdahulu 29
E. Pekerja Rumahan di Negara Lain 42

BAB III GAMBARAN UMUM DAN PROFIL RESPONDEN 54


A. Pemberi Kerja 67
B. Perantara 81
C. Pekerja Rumahan 81

iv Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Daftar Isi

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN 93


A. Fenomena Hubungan Kerja Rumahan 98
B. Karakteristik Pekerja Rumahan 109
C. Langkah-langkah Strategis Dalam Rangka 111
Perlindungan Pekerja Rumahan 115

BAB V PENUTUP 115


A. Kesimpulan 117
B. Rekomendasi 119

DAFTAR PUSTAKA 130

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri v


Daftar Tabel

Tabel 3.1 Pola Hubungan Kerja Pekerja Rumahan 56

vi Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Daftar Diagram

Diagram 3.1 Jumlah Pemberi Kerja Menurut Provinsi dan Status


Modal Usaha Di Daerah Sampel Tahun 2015 33
Diagram 3.2 Jumlah Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan
Jumlah Pekerja Tetap Di Daerah Sampel Tahun 2015 35
Diagram 3.3 Jumlah Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan
Jumlah Pekerja Harian Di Daerah Sampel Tahun 2015 36
Diagram 3.4 Jumlah Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan
Jumlah Pekerja Borongan Di Daerah Sampel Tahun
2015 37
Diagram 3.5 Jumlah Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan
Jumlah Pekerja di luar Pabrik Di Daerah Sampel
Tahun 2015 38
Diagram 3.6 Jumlah Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan
Jumlah Pekerja Kontrak Di Daerah Sampel Tahun 2015 38
Diagram 3.7 Jumlah Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan
Menurut Jenis Industri dan Lama Memberdayakan
Pekerja Rumahan Di Daerah Sampel Tahun 2015 39
Diagram 3.8 Jumlah Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan
Jumlah Penghasilan Di Daerah Sampel Tahun 2015 40
Diagram 3.9 Jumlah Pemberi kerja Menurut Jenis Industri dan
Bentuk Ikatan Perjanjian Di Daerah Sampel Tahun
2015 41
Diagram 3.10 Jumlah Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan
Penyediaan Bahan Produksi Di Daerah Sampel
Tahun 2015 42
Diagram 3.11 Jumlah Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan
Penyediaan Alat Produksi Di Daerah Sampel Tahun
2015 43

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri vii


Daftar Diagram

Diagram 3.12 Jumlah Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan


Area Pemasaran Hasil Di Daerah Sampel Tahun 2015 44
Diagram 3.13 Jenis Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan Cara
Penentuan Upah Di Daerah Sampel Tahun 2015 45
Diagram 3.14 Jenis Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan
Cara Penentuan Upah Di Daerah Sampel Tahun
2015 46
Diagram 3.15 Jumlah Pemberi Kerja yang Mengikutsertakan
Pekerja di Dalam Tempat Kerja pada Program
Jaminan Sosial Menurut Kategori Industri Di
Daerah Sampel Tahun 2015 47
Diagram 3.16 Jumlah Pemberi Kerja yang Mengikutsertakan
Pekerja di Luar Tempat Kerja pada Program
Jaminan Sosial Menurut Kategori Industri Di
Daerah Sampel Tahun 2015 48
Diagram 3.17 Jumlah Pemberi Kerja yang Menanggung Biaya
Pengobatan Menurut Kategori Industri Di Daerah
Sampel Tahun 2015 49
Diagram 3.18 Jumlah Pemberi Kerja yang Memberikan Bantuan
Sosial Menurut Kategori Industri Di Daerah
Sampel Tahun 2015 50
Diagram 3.19 Jumlah Perantara Menurut Usia dan Pendidikan
Terakhir Di Daerah Sampel Tahun 2015 51
Diagram 3.20 Jumlah Perantara Menurut Status Perkawinan
dan Jumlah Anak Di Daerah Sampel Tahun 2015 52
Diagram 3.21 Jumlah Perantara Menurut Status Pekerjaan
Utama dan Pengalaman Pernah Bekerja di Sektor
Formal Di Daerah Sampel Tahun 2015 53

viii Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Daftar Diagram

Diagram 3.22 Jumlah Perantara Berdasarkan Jenis Industri dan


Sumber Modal Usaha Di Daerah Sampel Tahun
2015 54
Diagram 3.23 Jumlah Perantara Berdasarkan Jenis Industri dan
Jumlah Penghasilan Di Daerah Sampel Tahun
2015 55
Diagram 3.24 Jumlah Perantara Menurut Jenis Industri dan
Bentuk Ikatan Kerja Di Daerah Sampel Tahun 2015 57
Diagram 3.25 Jumlah Perantara Menurut Jenis Industri dan
Penjelasan Pembuatan Produk dari Pemberi
Kerja Di Daerah Sampel Tahun 2015 58
Diagram 3.26 Jumlah Perantara Menurut Posisi Perantara dan
Pemberian Pelatihan Kepada Pekerja Rumahan
Di Daerah Sampel Tahun 2015 58
Diagram 3.27 Jumlah Perantara Menurut Posisi Perantara dan
Penyediaan Bahan Di Daerah Sampel Tahun
2015 59
Diagram 3.28 Jumlah Perantara Menurut Posisi Perantara dan
Penyediaan Peralatan Di Daerah Sampel Tahun
2015 60
Diagram 3.29 Jumlah Perantara Menurut Area Pemasaran
Produk dan Posisi Perantara Di Daerah Sampel
Tahun 2015 61
Diagram 3.30 Jumlah Perantara Menurut Cara Penentuan Upah
dan Sistem Pembayaran Di Daerah Sampel Tahun
2015 62
Diagram 3.31 Jumlah Perantara Menurut Posisi Perantara dan
Negosiasi Di Daerah Sampel Tahun 2015 63


Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri ix
Daftar Diagram

Diagram 3.32 Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Usia dan


Tingkat Pendidikan Di Daerah Sampel Tahun
2015 65
Diagram 3.33 Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Usia dan
Tingkat Pendidikan Di Daerah Sampel Tahun
2015 66
Diagram 3.34 Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Volume Kerja
dan Info Kerja Di Daerah Sampel Tahun 2015 67
Diagram 3.35 Jumlah Pekerja Rumahan Menurut
Pengetahuan Kerja Di Daerah Sampel Tahun
2015 68
Diagram 3.36 Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Pelatihan
Kerja Di Daerah Sampel Tahun 2015 69
Diagram 3.37 Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Cara
Mendapatkan Bahan Baku Di Daerah Sampel
Tahun 2015 70
Diagram 3.38 Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Pemberian
Peralatan Kerja Di Daerah Sampel Tahun 2015 71
Diagram 3.39 Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Pelatihan
Kerja Di Daerah Sampel Tahun 2015 72
Diagram 3.40 Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Pelatihan
Kerja Di Daerah Sampel Tahun 2015 73
Diagram 3.41 Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Waktu
Kerja Di Daerah Sampel Tahun 2015 74
Diagram 3.42 Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Pelatihan
Kerja Di Daerah Sampel Tahun 2015 75
Diagram 3.43 Jumlah Pekerja Rumahan Menurut yang
Pernah Bernegosiasi Di Daerah Sampel Tahun
2015 77

x Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Daftar Diagram

Diagram 3.44 Jumlah Pekerja Rumahan Menurut


Kepesertaan Program Jaminan Sosial Di
Daerah Sampel Tahun 2015 78
Diagram 3.45 Jumlah Pekerja Rumahan Menurut
Konsekuensi Kesalahan Produk Di Daerah
Sampel Tahun 2015 79
Diagram 3.46 Jumlah Pekerja Rumahan Menurut
Penggunaan Perlengkapan K3 Di Daerah
Sampel Tahun 2015 80
Diagram 4.1 Jawaban Pemberi Kerja Berdasarkan Jenis
Industri dan Pola Hubungan Kerja Di Daerah
Sampel Tahun 2015 83
Diagram 4.2 Jawaban Perantara Kerja Berdasarkan Pola
Hubungan Kerja dan Bentuk Ikatan Kerja Di
Daerah Sampel Tahun 2015 84
Diagram 4.3 Jawaban Pekerja Rumahan Berdasarkan Pola
Hubungan Kerja dan Bentuk Ikatan Kerja
Di Daerah Sampel Tahun 2015 85

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri xi


Daftar Gambar

Gambar 1.1 Pola Hubungan Kerja Pekerja Rumahan 4


Gambar 4.1 Pola Hubungan Kerja Rumahan Secara
Langsung 86
Gambar 4.2 Pola Hubungan Kerja Rumahan Secara Tidak
Langsung 86
Gambar 4.3 Bentuk Perjanjian Kerja Rumahan 88
Gambar 4.4 Isi Perjanjian Kerja Rumahan 89
Gambar 4.5 Tingkat Keterampilan Untuk Kerja Rumahan 90
Gambar 4.6 Status Permodalan Pemberi Kerja Rumahan 91
Gambar 4.7 Area Pemasaran Produk Kerja Rumahan 92

xii Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Pendahuluan

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sektor Industri saat ini semakin terus berkembang. Sifat pekerjaan


yang dilakukannya pun bermacam-macam. Ada pekerjaan yang hanya
dapat dilakukan di dalam pabrik, namun banyak juga varian produksi
yang dapat dikerjakan di luar pabrik mengingat adanya keterbatasan
tempat kerja maupun tidak diperlukannya peralatan khusus dalam
proses produksi. Adanya sifat pekerjaan yang dapat dilakukan di luar
pabrik ini kemudian menyebabkan munculnya fenomena pekerja
rumahan yang umumnya masuk pada sektor informal yang tergolong
dalam pekerjaan rentan karena tidak mendapatkan hak-hak pekerja
sebagaimana halnya pekerja formal.

Di Indonesia, sektor informal merupakan sektor yang paling banyak


menyerap tenaga kerja. Berdasarkan data Sakernas tahun 2014, sektor
informal masih menunjukan angka yang cukup besar dengan persentase
pekerja di sektor informal masih lebih besar dibandingkan dengan sektor
formal. Di tahun 2014, jumlah pekerja di sektor informal mencapai
70.677.449 orang. Jumlah tersebut mendekati satu setengah kali lipat
jumlah pekerja formal yang tercatat sebanyak 47.492.473 orang.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 1


Pendahuluan

Informalisasi tenaga kerja industri manufaktur dengan wujud


perluasan rantai produksi kepada pekerja-pekerja informal di luar
pabrik ini menjadi suatu pilihan untuk mengatasi kesulitan yang
terjadi dalam proses produksi. Menurut tinjauan ILO (2013), dengan
munculnya rantai pasokan global yang kompleks dan meningkatnya
persaingan untuk produksi murah, maka praktek mensubkontrakkan
produksi kepada pekerja rumahan menjadi tumbuh secara signifikan
di dalam industri manufaktur. Praktek informalisasi tenaga kerja
yang mempekerjakan pekerja rumahan bukanlah merupakan suatu
fenomena baru di Indonesia dan terus mengalami peningkatan
dari waktu ke waktu. Hal ini ditandai dengan adanya pemindahan
pabrik-pabrik padat karya dari wilayah perkotaan ke pedesaan dan
menyebabkan permintaan terhadap pekerja informal meningkat
(menurut De Ruyter, dkk, 2009 yang dikutip oleh Rahardhika, 2012).
Informalisasi ini pun terus berlanjut di era pasca krisis ekonomi pada
tahun 1997. Penelitian Wulandari (2008) di Surabaya menyatakan
bahwa informalisasi tenaga kerja telah memaksa pekerja tetap
pabrik berpindah kepada industri rumahan. Berdasarkan temuannya,
industri rumahan itu dirancang sebagai bagian integral dari industri
manufaktur sebelumnya, sehingga menguntungkan pengusaha
karena dengan memindahkan pabriknya ke wilayah pedesaan maka
pengusaha dapat membayar pekerja dengan lebih murah dan juga
tidak perlu menanggung hak-hak pekerja rumahan lainnya.

Informalisasi hubungan kerja yang telah terjadi selama ini,


di sisi lain dapat membawa dampak buruk bagi pekerja rumahan.
Berdasarkan pendapat beberapa para ahli, informalisasi disinyalir
bisa menjurus kepada terciptanya legalisasi perbudakan modern
(legalized modern slavery). Hal ini bisa saja terjadi diantaranya karena
adanya pembiaran oleh negara (ketidakhadiran negara) maupun

2 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Pendahuluan

karena adanya konsekuensi dari suatu kebijakan yang tidak dipikirkan


(unintended consequences). Selain itu, penerapan fleksibilitas pasar
kerja, oleh pekerja dianggap sebagai legitimasi dari praktek kekejaman
hukum pasar yang selama ini sudah dipraktekkan oleh banyak pemilik
modal; sementara itu, bagi para pemilik modal, kebijakan fleksibilitas
pasar kerja diyakini sebagai salah satu kebijakan publik yang akan
mendorong minat investor kembali menanamkan modal di Indonesia.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas) pada akhir tahun 2003 ini yang seyogyanya guna
memperluas pasar kerja, namun pada kenyataannya justru malah
mempersempit peran pemerintah utamanya terkait pengawasan
hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja.

“Fleksibiltas pasar kerja diartikan sebagai kemudahan upah riil dan


tingkat kesempatan kerja untuk menyesuaikan dengan perubahan
kondisi dan gejolak dalam perekonomian. Hal ini bergantung
pada kemampuan perusahaan untuk merekrut dan memecat
pekerja dengan biaya yang relatif rendah, dan pada kemampuan
untuk menyesuaikan upah. Dimensi lain dari fleksibilitas pasar
kerja adalah kemudahan yang memungkinkan bagi pekerja
untuk pindah dari satu perusahaan ke perusahaan yang lain,
dari satu industri ke industri yang lain, dan dari satu daerah ke
daerah yang lain. Hal tersebut ditentukan oleh akses terhadap
informasi mengenai alternatif-alternatif kesempatan kerja, biaya
perpindahan, fleksibilitas upah dan tingkat pendidikan pekerja”
(Bappenas, 2003).

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 3


Pendahuluan

Dengan demikian, secara filosofi dapat disimpulkan bahwa


dasar timbulnya penerapan fleksibilitas pasar tenaga kerja (Labour
Market Flexibility/LMF) adalah menyerahkan hubungan buruh
majikan pada mekanisme pasar, dengan sesedikit mungkin campur
tangan pemerintah (Hendrastomo, 2010). Mekanisme upah dan
kesejahteraan buruh yang kemudian diserahkan oleh negara kepada
korporasi mengakibatkan merekalah yang menentukan seberapa besar
kesejahteraan buruh. Kondisi dimana terdapat pola hubungan kerja
yang fleksibel dan tidak jelas karena mata rantai perintah kerja yang
panjang (ada yang langsung maupun tidak langsung) seperti tertera
pada gambar 1 di bawah ini menambah rumitnya persoalan pekerja
rumahan yang juga berkembang karena adanya penerapan LMF.

Gambar 1.1
Pola Hubungan Kerja Pekerja Rumahan

Sumber: ILO, 2013

4 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Pendahuluan

Keberadaan pekerja rumahan atau home worker (HW) selama


ini masih belum mendapatkan perhatian yang selayaknya baik dari
pemerintah maupun masyarakat. Keberadaan pekerja rumahan
yang tidak nampak perannya sebagai salah satu faktor yang juga
ikut berkontribusi dalam proses produksi menjadi terabaikan dan
bahkan tidak tercatat secara baik secara statistik maupun kuantitatif
sebagai pekerja yang perlu mendapatkan perhatian khususnya dari
segi perlindungan hukum dan sosial (Erwina, 2010). Negara sebagai
pelindung pekerja, dalam hal ini utamanya pekerja rumahan menjadi
kehilangan perannya dikarenakan mudahnya prosedur perekrutan dan
pemberhentian pekerja oleh pemberi kerjanya. Pola hubungan kerja
yang sangat fleksibel antara pekerja rumahan dengan pengusaha/
pemilik modal tersebut membuat pekerja dalam sektor ini tidak hanya
tidak mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai pekerja, namun juga
perlindungan yang memadai, seperti: perlindungan dari diskriminasi,
kebebasan berserikat dan berunding, keselamatan dan kesehatan
kerja, pengupahan, jaminan sosial, akses memperoleh pelatihan, usia
minimum dan perlindungan persalinan. Adanya pengalihan resiko
produksi dari pemberi kerja kepada pekerja rumahan juga menjadi
dilematika lainnya yang harus dihadapi para pekerja rumahan.

Disamping itu; Safaria, Riawanti dan Suhanda (2003) menyatakan


bahwa tidak adanya kesadaran dari para sub kontraktor yang
menghubungkan pemberi kerja kepada pekerja rumahan bahwa
unit usaha yang dijalankannya merupakan bagian dari usaha besar
menyebabkan tidak adanya kesadaran mereka untuk mengupayakan
perlindungan kerja dan jaminan sosial bagi pekerja rumahan kepada
para pengusaha/pemilik modal. Hubungan kerja subkontrak dalam
praktek kerja rumahan yang masih bersifat informal, menurut mereka
juga harus mempertimbangkan skala unit usaha para pengusaha/

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 5


Pendahuluan

pemilik modal, karena unit usaha yang kecil tidak memungkinkan


untuk memberikan perlindungan kerja dan jaminan sosial layaknya
yang yang diberikan oleh para unit usaha besar. Oleh karena itu,
dalam upaya untuk memberikan perlindungan kepada para pekerja
rumahan, maka pemerintah perlu memperhatikan dilematika seputar
kondisi pekerja rumahan.

Kondisi-kondisi ketidakadilan yang dialami oleh para pekerja


rumahan, namun demikian dianggap sebagai hal yang wajar bagi para
pekerja rumahan. Pekerja rumahan yang sebagian besarnya adalah
perempuan, mengingat peran ganda yang mereka miliki sebagai ibu
rumah tangga yang harus mengurus keluarga juga sebagai perempuan
yang ingin mengaktualisasikan dirinya, membuat mereka merasa
terbantukan melalui jaminan ekonomi dari adanya kerja rumahan ini.
Selain dapat membantu menambah penghasilan keluarga terutama
jika suami tidak bekerja, berdasarkan beberapa penelitian terdahulu,
motivasi perempuan bekerja di sektor informal meski mendapat
beragam ketidakadilan antara lain mereka dapat mengisi waktu luang,
memperoleh pengalaman dan masih dapat membagi waktu antara
pekerjaan dan keluarga terutama apabila pekerjaan tersebut dapat
dilakukan di rumah setelah mereka selesai melakukan urusan rumah
tangga.

Dengan memperhatikan kondisi-kondisi khusus pekerja rumahan


yang memiliki karakteristik khas sehingga menjadikan pekerja
rumahan itu lebih disukai, maka ILO menerbitkan Konvensi ILO No.
177 Tahun 1996 tentang Kerja Rumahan dan Rekomendasi ILO No.
184 Tahun 1996 tentang Kerja Rumahan. Konvensi dan rekomendasi
bagi pekerja rumahan ini ditetapkan guna membantu mereka dalam
memperoleh standar kerja yang layak dengan mempertimbangkan

6 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Pendahuluan

ciri khas pekerja rumahan. Sampai dengan saat ini, sudah ada 10
negara yang meratifikasi konvensi tersebut. Meski konvensi ini akan
mempromosikan kesetaraan perlakuan antara pekerja rumahan
dengan pekerja penerima upah lainnya dengan mempertimbangkan
ciri-ciri khusus kerja rumahan untuk pekerjaan yang sama atau serupa
yang dilakukan oleh sebuah unit usaha; namun, Indonesia masih belum
meratifikasi konvensi ini. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan
bahwasanya konvensi ILO ini bisa saja menjadi suatu target kebijakan
dalam upaya perlindungan pekerja rumahan ke depannya.

Walaupun Indonesia belum meratifikasi Konvensi ILO tentang


Kerja Rumahan dan juga belum ada undang-undang yang secara khusus
melindungi pekerja rumahan, banyak pendapat yang mengemukakan
bahwa para pekerja rumahan di Indonesia secara umum bisa saja
dimasukkan sebagai kategori pekerja menurut Undang-Undang No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, meski Undang-Undang ini
tidak menyebutkan kata pekerja rumahan secara eksplisit. Hal ini
termaktub dalam beberapa pasal sebagai berikut: Pasal 1 (2) Undang-
Undang No. 13 tahun 2003 menyatakan bahwa: “Tenaga kerja adalah
setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
masyarakat”; Pasal 1 (3) menyebutkan bahwa: “Pekerja/buruh adalah
setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain”; dan Pasal 1 (30): “Upah adalah hak pekerja/
buruh yang diterima dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi
kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan menurut perjanjian
kerja, kesepakatan atau peraturan perundangundangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/
atau jasa yang telah dilakukannya”. Mengacu pada Conditions of Work
and Employment Programme”, ILO, Geneva, 2012: negara yang belum

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 7


Pendahuluan

meratifikasi Konvensi ILO 189 dapat menyesuaikan, sebagai berikut:

“Konvensi tersebut bisa diterapkan dengan memperluas atau


menyesuaikan undang-undang dan peraturan atau langkah-
langkah lain yang telah, atau dengan mengembangkan
langkah-langkah baru dan khusus untuk pekerja rumah
tangga. Sebagian langkah langkah yang diperlukan di bawah
konvensi tersebut bisa dilakukan secara bertahap”.

Selain itu, pekerja rumahan juga dapat dikategorikan dalam


bagian dari praktek penempatan tenaga kerja di dalam negeri yang
aturan pelaksanaannya mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. PER.07/MEN/IV/2008
tentang Penenmpatan Tenaga Kerja Pasal 1 Ayat (1): Penempatan
Tenaga Kerja adalah proses pelayanan kepada pencari kerja untuk
memperoleh pekerjaan dan pemberi kerja dalam pengisian lowongan
kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan.

Kondisi khusus yang dialami oleh para pekerja rumahan baik


ditinjau dari segi karakteristik, proses produksi dan hasil produksinya
patut diduga/ diperkirakan membuat para pekerja rumahan belum
memperoleh hak-hak dasar yang sewajarnya diperoleh mereka
sebagai pekerja. Sehubungan dengan hal tersebut, guna mewujudkan
langkah-langkah strategis untuk melindungi mereka, maka penelitian
mengenai perlindungan pekerja rumahan di sektor industri ini menjadi
penting untuk dilakukan mengingat makin maraknya praktek pekerja
rumahan ini.

8 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Pendahuluan

B. PERMASALAHAN

Berdasarkan kondisi pekerja rumahan di sektor industri yang


terjadi di Indonesia sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya,
maka studi ini akan menjawab berbagai permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana fenomena hubungan kerja antara pemberi kerja dan
pekerja rumahan di sektor industri;
2. Bagaimana profil pekerja rumahan di sektor industri;
3. Langkah-langkah strategis apa saja yang dapat dilakukan oleh
pemerintah guna melindungi hak-hak dasar pekerja rumahan di
sektor industri.

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN

Tujuan yang ingin dicapai dari kajian ini diantaranya adalah:


1. Mengidentifikasi pola hubungan kerja antara pemberi kerja dan
pekerja rumahan di sektor industri;
2. Mengetahui profil pekerja rumahan di sektor industri;
3. Menganalisa Iangkah-langkah strategis yang diperlukan bagi
perlindungan hak-hak dasar pekerja rumahan di sektor industri.

Kegunaan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat


memberikan informasi kepada pihak pemerintah tentang kondisi
pekerja rumahan yang marak terjadi di masyarakat. Selanjutnya,
rekomendasi berupa bahan masukan hasil analisa langkah-Iangkah
strategis dalam upaya merumuskan kebijakan perlindungan
pekerja rumahan di sektor industri diharapkan dapat mewujudkan
kesejahteraan mereka.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 9


Pendahuluan

D. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian mengenai ”Studi Perlindungan Pekerja Rumahan di


Sektor Industri” ini ditempuh sesuai dengan beberapa kegiatan sebagai
berikut:

1. Ruang Lingkup
Penelitian ini dibatasi hanya pada sektor industri mengingat
praktek pekerja rumahan ini merupakan wujud perluasan rantai
produksi kepada pekerja-pekerja informal di luar pabrik atau
tempat pemberi kerjanya. Adapun fokus dari penelitian ini akan
dilakukan pada informan dengan kategori antara lain:
a. Perusahaan/pemilik modal yang mempekerjakan pekerja
informal di luar pabrik;
b. Perantara/sub kontraktor/perantara/middle man baik
yang hanya sekedar menyalurkan pekerjaan rumahan dari
pemberi kerja kepada pekerja rumahan, juga yang turut
serta dalam proses produksi;
c. Pekerja yang bekerja bukan di tempat pemberi kerja,
melakukan pekerjaan sebagaimana yang dipesan oleh
pemberi kerja dan tidak menjual sendiri barang yang
diproduksinya melainkan mengembalikan hasil produksi
tersebut kepada pemberi kerja/perantara;
d. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berkecimpung
dalam urusan terkait pekerja rumahan;
e. Hak-hak dasar pekerja yang harus dimiliki.

10 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Pendahuluan

2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Dalam ilmu sosial, Hancock, Ockleford, dan
Windridge (2009) menjelaskan bahwa pendekatan ini digunakan
peneliti sebagai upaya guna mempelajari kondisi alamiah
masyarakat, sehingga dapat menangkap dan menjelaskan
fenomena sosial yang bersumber dari pemahaman masyarakat
tersebut. Dengan pendekatan kualitatif ini maka peneliti akan
lebih terfokus pada bagaimana masyarakat atau komunitas
dapat memiliki pandangan yang berbeda mengenai realitas yang
ada di masyarakat dan menuliskan pengalaman atau data dari
masyarakat tersebut yang terkadang tidak dapat diekspresikan
secara numerik.

Dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif yang digunakan


adalah pendekatan eksploratif. Pendekatan ini dilakukan dengan
mengidentifikasi permasalahan-permasalahan seputar pekerja
rumahan yang terjadi di masyarakat, sehingga dapat menambah
pengetahuan serta pemahaman peneliti terkait dengan
perlindungan pekerja rumahan di sektor industri.

3. Subyek Penelitian
Mengingat belum adanya data tercatat seputar pekerja rumahan
yang mengakibatkan tidak dapat dibuatnya sampling frame
penelitian, maka pemilihan subyek penelitian ini ditentukan
dengan sistem bola salju (snowball sampling) dalam batas-batas
wilayah penelitian. Hancock, Ockleford, dan Windridge (2009)
menjelaskan bahwa dalam snowball sampling ini terdapat
keterikatan antara informan yang satu dengan yang lainnya. Dalam
penelitian ini istilah yang digunakan untuk subyek penelitian

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 11


Pendahuluan

adalah informan dan informan kunci. Pada dasarnya, kedua


istilah tersebut menurut Idrus (2002) memiliki makna yang sama
terkait dalam subyek penelitian. Dari kedua jenis informan sesuai
dengan snowball sampling yang memiliki keterkaitan antar satu
sama lainnya ini, peneliti akan memperoleh informasi mengenai
informan itu sendiri dan lingkungan sekitarnya yang menjadi
topik penelitian.

Informan kunci akan dapat menjadi jembatan untuk menemukan


informan selanjutnya. Dengan demikian informan kunci ini
akan dapat membantu peneliti guna menemukan informan
yang terdapat pada sektor informal yang terkadang sulit
untuk dijangkau. Pihak yang menjadi informan kunci sekaligus
narasumber dalam kegiatan penelitian ini adalah pemerintah
daerah setempat yang membidangi ketenagakerjaan (Dinas
Tenaga Kerja) serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai
mitra pekerja rumahan. Dari kedua lembaga inilah kemudian
akan digali informasi mengenai keberadaan informan lainnya
seperti pemberi kerja, perantara, dan pekerja rumahan di daerah
setempat.

4. Teknik Pengumpulan Data


Ada beberapa metode yang dilakukan guna mengumpulkan data
dalam penelitian kualitatif ini, diantaranya adalah wawancara,
diskusi, observasi, studi literatur dan menggunakan kuesioner
yang mengakomodir beragam pertanyaan terbuka dan tertutup
(Hancock, Ockleford, dan Windridge; 2009). Data yang digunakan
dalam penelitian ini dikumpulkan dengan mempergunakan
teknik wawancara mendalam terhadap informan yang terlibat
dalam praktek pekerja rumahan, diantaranya: pelaku pekerja

12 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Pendahuluan

rumahan, pemberi kerja rumahan, serta pihak pemerintah yang


terkait dengan praktek pekerja rumahan. Guna menyesuaikan
dengan tujuan penelitian ini, maka akan dibuatkan panduan
wawancara sehingga terdapat kesesuaian fokus bahasan yang
dipertanyakan kepada para informan di lapangan. Selain itu,
melalui diskusi yang akan dilakukan dengan para narasumber
dan informan kunci dalam penelitian ini. Dari situ akan dapat
ditentukan jenis industri unggulan di daerah setempat yang
mempekerjakan pekerja rumahan untuk mendapatkan informan
sesuai topik penelitian mengingat keterbatasan waktu penelitian
di setiap daerah penelitian yang hanya memakan waktu sebanyak
tujuh hari di setiap provinsinya.

Observasi langsung ke lapangan juga dilakukan dalam penelitian


ini guna meninjau kegiatan proses produksi yang dilakukan
dan berinteraksi langsung dengan para pemberi kerja, subkon/
perantara dan pekerja rumahan di rumah-rumah mereka ataupun
di tempat lainnya yang bukan merupakan tempat pemberi kerja.
Selain beragam teknik pengumpulan data yang tergolong dalam
teknik pengumpulan data primer tersebut, penelitian ini juga
akan menggunakan teknik pengumpulan data sekunder dari
beragam literatur yang dapat memperkaya analisa penelitian,
seperti berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan
pekerja rumahan, foto/gambar, tulisan atau pendapat para ahli
yang dimuat dalam buku, jurnal, surat kabar, serta bahan tertulis
lainnya baik cetak, maupun elektronik.

5. Analisis Data
Analisis data dari setiap kegiatan penelitian menyajikan
kesimpulan dari sejumlah data yang diperoleh selama di lapangan

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 13


Pendahuluan

dan kemudian hasil tersebut disajikan berdasarkan tujuan


utama penelitian. Adapun hasil data yang telah dikumpulkan
dalam penelitian ini selanjutnya akan dianalisis dengan
menggunakan metode analisis deskriptif dan naratif dengan
menyajikan gambaran spesifik dari suatu situasi, latar sosial serta
memaparkan hubungan-hubungan yang menjelaskan bagaimana
fenomena seputar pekerja rumahan dan perlindungannya terjadi
di Indonesia; juga dengan menggunakan metode content analysis
dengan menghubungkan hak-hak dasar pekerja yang semestinya
diperoleh dengan kemampuan pemberi kerja.

Seorang peneliti harus mengetahui apa yang mereka perlu


lakukan dan bagaimana menentukan alat yang akan digunakan
dalam penelitiannya mengingat terdapat beragam perangkat
lunak statistik yang dapat digunakan guna membantu proses
analisis penelitian kualitatif. Khusus untuk penelitian sosial
ini, maka peneliti akan menggunakan software SPSS. Adapun
keuntungan menggunakan bantuan software komputer tersebut
menurut Denzin dan Lincoln (2005) adalah karena adanya
beberapa kemampuan sebagai berikut:
a. Membuat catatan-catatan selama di lapangan;
b. Menerjemahkan hasil tinjauan di lapangan ke dalam form
kuesioner;
c. Mengedit, mengkoreksi atau merevisi temuan selama di
lapangan;
d. Mengkoding kuesioner juga merangkum beragam data,
rekaman audio, ataupun dokumentasi lainnya;
e. Menyimpan hasil temuan penelitian;
f. Mudah untuk dicari karena sudah tersegmentasi secara baik;

14 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Pendahuluan

g. Data dapat terkoneksi antar satu sama lain sesuai dengan


kebutuhan;
h. Merefleksikan beragam pendapat, teori ataupun metode
sebagai dasar guna menganalisa lebih dalam;
i. Menganalisa konten seperti menghitung frekuensi serta
mengalokasikan setiap kata maupun kalimat yang akan
ditabulasi;
j. Menyajikan data dengan melakukan pemilihan data yang
telah terorganisir;
k. Menggambarkan hasil kesimpulan data yang telah teruji dan
terverifikasi;
l. Memungkinkan membangun suatu teori dari hasil
pengembangan temuan;
m. Memetakan dalam bentuk grafik maupun diagram atas hasil
temuan;
n. Melaporkan hasil final temuan di lapangan.

6. Lokasi Penelitian
Studi ini akan dilakukan di tingkat pusat dan daerah. Di tingkat
pusat, yang akan menjadi informan adalah para pemangku
kebijakan di Kementerian Ketenagakerjaan di beberapa satuan
kerja, seperti: Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan
Jaminan Sosial, Ditjen Pengawasan Tenaga Kerja, dan Biro Hukum
Ketenagakerjaan. Adapun pada tingkat daerah, penelitian ini
akan dilakukan di Provinsi D.I. Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Sumatera Utara dengan
pertimbangan bahwa di enam provinsi tersebut terdapat
banyak pekerja informal yang disinyalir mempekerjakan pekerja
rumahan mengingat di daerah-daerah tersebut juga banyak
terdapat industri pengolahan yang biasanya dalam proses

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 15


Pendahuluan

produksinya melibatkan pekerja rumahan, sehingga diharapkan


dapat merepresentasikan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia
dalam hal pengaturan perlindungan pekerja rumahan.

E. ASPEK-ASPEK YANG DITELITI

Penelitian ini diutamakan tidak hanya pada penerapan unsur


normatif dalam perlindungan pekerja khususnya pekerja rumahan
saja, melainkan juga aspek sosial dan budaya yang turut serta mewarnai
karakteristik para pekerja rumahan di Indonesia. Adapun aspek-aspek
yang akan diteliti dalam studi ini diantaranya:

1. Instansi yang membidangi ketenagakerjaan di daerah dan


LSM/Mitra Pekerja Rumahan
a. Implementasi perlindungan pekerja rumahan
b. Pelatihan dan Pembinaan
c. Advokasi
d. Sosialisasi

2. Perusahaan/Pemberi Kerja
a. Identifikasi
1) Status Permodalan: PMA/PMDN atau joint venture;
2) Badan hukum/usaha;
3) Orientasi Bisnis: Dalam negeri atau luar negeri.
b. Aspek Bisnis
1) Permintaan dan persediaan;
2) Supply Chain and Value Chain.
c. Aspek Produksi
1) Bahan Baku;

16 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Pendahuluan

2) Proses Produksi: Mesin/manual;


3) Transportasi dan Pergudangan.
d. Hubungan Kerja
1) Perusahaan: melalui subkon/koordinator perorangan
atau langsung ke pekerja rumahan;
2) UKM;
3) Perseorangan.
e. Perjanjian Kerja

3. Pekerja Rumahan
a. Identifikasi;
b. Bahan, alat kerja dan metode kerja;
c. Cara mendapat bahan/alat kerja;
d. Penggunaan waktu kerja;
e. Kesejahteraan (upah dan lainnya seperti THR atau
sejenisnya, serta jaminan sosial, sosialisasi program),
jumlah upah yang diterima sebulan dibandingkan dengan
UMP setempat;
f. Resiko kerja;
g. Preferensi untuk bekerja di rumah;
h. Kesimpulan.

F. DEFINISI OPERASIONAL

Definisi kerja yang digunakan berdasarkan Undang-undang


No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:
1. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat;

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 17


Pendahuluan

2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan


menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain;
3. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja/buruh
yang ditetapkan menurut perjanjian kerja, kesepakatan atau
peraturan perundangundangan, termasuk tunjangan bagi pekerja
dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah
dilakukannya;
4. Pengusaha adalah orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada
di Indonesia mewakili perusahaan yang berkedudukan di luar
wilayah Indonesia;
5. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah dan perintah;
6. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syaratsyarat kerja,
hak, dan kewajiban para pihak.

Adapun definisi kerja yang bersumber dari Konvensi ILO No.


177 Tahun 1996 tentang Kerja Rumahan yaitu:
1. Kerja rumahan berarti pekerjaan yang dikerjakan seseorang, yang
kemudian disebut sebagai pekerja rumahan,
a. Di dalam rumahnya atau di tempat lain pilihannya, selain
tempat kerja pemberi kerja;
b. Untuk mendapatkan upah;

18 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Pendahuluan

c. Yang menghasilkan suatu produk atau jasa sebagaimana


yang ditetapkan oleh pemberi kerja, terlepas dari siapa
yang menyediakan peralatan, bahan atau input lain yang
digunakan, kecuali orang ini memiliki derajat otonomi dan
kemandirian ekonomi yang diperlukan untuk dianggap
sebagai pekerja mandiri menurut undang-undang, peraturan
atau putusan pengadilan nasional;
2. Orang-orang dengan status karyawan tidak menjadi pekerja
rumahan dalam pengertian Konvensi ini hanya dengan sesekali
melaksanakan pekerjaan mereka sebagai karyawan di rumah,
bukan di tempat kerja biasa mereka;
3. Pemberi kerja berarti seseorang, perorangan atau badan hukum,
yang, secara langsung atau melalui perantara, baik perantara
diatur di dalam perundang-undangan nasional ataupun tidak,
memberikan kerja rumahan dalam pelaksanaan kegiatan
usahanya.
4.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan studi ini disusun dengan sistematika sebagai berikut ini.


1. Bab Pertama, yang merupakan Bab Pendahuluan,
menguraikan latar belakang, permasalahan, tujuan studi,
definisi operasional, hasil yang diharapkan, serta sistematika
penyajian yang dipergunakan;
2. Bab Kedua yaitu Tinjauan Pustaka yang membahas mengenai
landasan hukum mengenai ketentuan hak dasar yang harus
diperoleh para pekerja rumahan dan peraturan perundang-
undangan yang dapat dijadikan dasar dalam pembuatan
peraturan mengenai pekerja rumahan. Selain itu juga

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 19


Pendahuluan

dalam bab ini akan ditelaah mengenai penelitian empiris


sebelumnya serta komparasi profil pekerja rumahan di
beberapa negara;
3. Bab Ketiga merupakan metodologi penelitian dan gambaran
daerah yang menjadi sampel penelitian;
4. Bab Keempat akan dipaparkan mengenai melakukan
deskripsi hasil kajian yang ditemukan dalam studi dan
analisanya guna pemecahan masalah yang berkaitan dengan
perlindungan pekerja rumahan;
5. Bab Kelima sebagai Bab Penutup memuat kesimpulan
seluruh hasil pembahasan dari studi yang dilakukan, berikut
rekomendasi yang diharapkan dapat bermanfaat bagi
keperluan praktis.

20 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Tinjauan Pustaka

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN PERLINDUNGAN

Ada beragam definisi mengenai perlindungan berdasarkan


beberapa perspektif. Menurut kamus besar Bahas Indonesia, kata
perlindungan berasal dari kata lindung yang artinya mengayomi,
mencegah, mempertahankan, dan membentengi. Sedangkan makna
perlindungan yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah No.2
Tahun 2002 adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan
oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan
rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang
diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau
pemeriksaan di sidang pengadilan.

Khusus bagi perlindungan pekerja rumahan sendiri, di Indonesia,


masih belum ada peraturan perundang-undangan yang dapat
dijadikan dasarnya. Namun demikian, apabila mengacu pada Pasal
1 angka 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri
menyebutkan bahwa Perlindungan TKI yaitu segala upaya untuk

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 21


Tinjauan Pustaka

melindungi kepentingan calon TKI dalam mewujudkan terjaminnya


pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja. Dengan
demikian, sama halnya dengan para TKI yang bekerja di Iuar negeri
yang wajib mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah, maka
para pekerja rumahan pun berhak mendapatkan perlindungan hukum
dari pemerintah. Akan tetapi, karena perlindungan pekerja rumahan
ini masih belum ada dasar hukumnya, serta praktek kerja rumahan
yang dilakukan oleh para pekerja rumahan ini pelaksanaannya
biasanya masih berdasarkan atas asas kekeluargaan dan semata untuk
mengisi kekosongan waktu saja sembari melaksanakan tanggung
jawab dalam keluarga, maka terkait perlindungan pekerja rumahan ini
perlu memperhatikan unsur sosial dan budaya masyarakat Indonesia.

B. PENGERTIAN PEKERJA RUMAHAN

Menurut Konvensi ILO No. 177 Tahun 1996 tentang Kerja Rumahan
definisi kerja rumahan dapat diartikan sebagai pekerjaan yang
dikerjakan seseorang, yang kemudian disebut sebagai pekerja rumahan,
a. Di dalam rumahnya atau di tempat lain pilihannya, selain tempat
kerja pemberi kerja;
b. Untuk mendapatkan upah;
c. Yang menghasilkan suatu produk atau jasa sebagaimana
yang ditetapkan oleh pemberi kerja, terlepas dari siapa yang
menyediakan peralatan, bahan atau input lain yang digunakan.
Sedangkan, pemberi kerja adalah seseorang yang memberikan
pekerjaan rumahan, baik secara langsung maupun melalui perantara.

Pada awalnya, pemberi kerja untuk menyerahkan sebagian


pekerjaannya kepada pihak lain untuk dikerjakan di luar tempat

22 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Tinjauan Pustaka

kerja milik pemberi kerja dengan alasan minimnya ruang untuk


melakukan proses produksi. Atas dasar pertimbangan efisiensi biaya
produksi serta dalam rangka pemberdayaan masyarakat khususnya
di sekitar tempat kerja pemberi kerja, maka kemudian mereka pun
memutuskan untuk menyerahkannya kepada pekerja rumahan yang
notabene sebagian besar adalah ibu rumah tangga yang umumnya
bersedia dibayar meski tidak sesuai dengan UMR setempat.

C. PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAHAN

1. Perlindungan Sosial
Dalam konteks perlindungan sosial tenaga kerja khususnya
perlindungan terhadap pekerja rumahan, ada beberapa jenis
perlindungan yang dibahas dalam studi ini, seperti:

a. Perlindungan Upah
Berdasarkan Pasal 1 Angka (30) Undang-Undang No.
13 Tahun 2003 menyatakan bahwa upah adalah hak pekerja/
buruh yang diterima dalam bentuk uang sebagai imbalan
dari pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan
menurut perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan
perundangundangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah
dilakukannya. Perlindungan upah diberikan kepada pekerja
rumahan supaya apa yang mereka kerjakan dalam praktek
kerja rumahan ini tidak hanya dapat membawa manfaat bagi
dirinya sendiri, melainkan juga untuk keluarganya. Dengan
adanya pemberian upah yang cukup layak bagi pekerja
rumahan pada gilirannya diharapkan dapat mensejahterakan
mereka beserta para keluarganya.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 23


Tinjauan Pustaka

Setiap pekerja, termasuk pekerja rumahan, berhak


memperoleh upah atas kerja yang dilakukannya. Pengupahan
ini harus cukup untuk menyokong dirinya dan keluarganya,
dan tidak boleh dihitung di bawah upah minimum. Pekerja
rumahan berhak untuk mendapatkan informasi tentang
upahnya dan aturan tentang pemotongan upah sebelum
melakukan pekerjaan. Pekerja rumahan berhak untuk
menerima upah tersebut secara penuh pada waktu yang
telah ditentukan.

b. Jaminan Sosial
Jaminan sosial merupakan salah satu bentuk
perlindungan sosial guna memberikan jaminan bagi seluruh
rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya
secara layak. Jaminan sosial bagi diberikan tidak hanya
kepada pekerja rumahannya sendiri, tetapi juga untuk
anggota keluarganya. Tujuan dari pemberian jaminan sosial
ini adalah untuk memberikan kepastian berlangsungnya
arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti
sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang. Dengan
demikian, melalui kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja
yang saat ini dikelola oleh dua badan yaitu BPJS Kesehatan dan
BPJS Ketenagakerjaan, maka diharapkan pekerja rumahan
ke depannya bisa lebih mandiri dan tidak bergantung kepada
pihak lain apabila sewaktu-waktu terjadi kecelakaan kerja,
sakit, dan lainnya selama mereka melakukan kerja rumahan.

Pentahapan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan untuk


pekerja termasuk juga pekerja rumahan yang bekerja
pada pemberi kerja selain penyelenggara negara, maka

24 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Tinjauan Pustaka

berdasarkan Pasal 6 Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2013


tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial
dikelompokkan berdasarkan skala usaha yang terdiri dari:
1) Usaha besar;
2) Usaha menengah;
3) Usaha kecil;
4) Usaha mikro.

Untuk usaha yang berskala besar dan usaha menengah


wajib mengikuti program jaminan kecelakaan kerja,
program jaminan hari tua, program jaminan pensiun, dan
program jaminan kematian; usaha kecil wajib mengikuti
program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan hari
tua, dan program jaminan kematian; serta usaha mikro wajib
mengikuti program jaminan kecelakaan kerja dan program
jaminan kematian.

Setiap pekerja, terlepas dari statusnya yang sementara,


harian lepas atau musiman harus diikutsertakan dalam
program jaminan sosial dan menerima kontribusi dari
majikan.

2. Perlindungan Teknis
Selain pelindungan sosial sebagaimana dijelaskan di atas, ada
juga perlindungan teknis terhadap pekerja rumahan, seperti:

a. Jam kerja di standarkan/fleksibel


Ketentuan umum tentang jam kerja adalah 40 jam
seminggu. Pasal 10 s/d Pasal 15 Undang-undang No. 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pekerja

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 25


Tinjauan Pustaka

tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari


dan 40 jam seminggu. Bagi pekerja rumahan, ini berarti
bahwa pesanan kerja yang diterima tidak boleh melebihi
masa kerja 40 jam seminggu, kecuali telah disepakati oleh
pekerja dan upah lembur berlaku bagi jam kerja tambahan
diluar 40 jam kerja tersebut. Pekerja rumahan berhak
menolak pesanan kerja jika itu membuat mereka bekerja
untuk waktu kerja yang berlebihan.

b. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)


Setiap pekerja harus diperlengkapi dengan peralatan
untuk melindungi mereka dari kecelakaan kerja. Ini berarti
pemberi kerja/perantara berkewajiban untuk melakukan
penilaian terhadap keselamatan dan kesehatan kerja
terhadap pekerja rumahan dan menyediakan perlengkapan
perlindungan yang dibutuhkan dan pelatihan untuk
mengurangi resiko kecelakaan kerja.

Keamanan kerja dapat diartikan sebagai penjagaan


umum terhadap bahaya kecelakaan di tempat kerja, yang
melibatkan buruh yang bekerja pada majikan dan terjadi
karena adanya sumber-sumber bahaya di tempat kerja.
Sumakmur mengatakan bahwa keselamatan kerja adalah
keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat alat
kerja, bahan dan proses pengelolaannya, landasan tempat
kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan
pekerjaan (Sumakmur, 1976: 1).

Pada awalnya keselamatan kerja ini diatur dalam


Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Pasal 1602Bw)

26 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Tinjauan Pustaka

dengan ketentuan mewajibkan majikan untuk mengatur


dan memelihara ruangan, alat dan perkakas, di tempat ia
menyuruh melakukan pekerjaan sedemikian rupa demikian
pula mengenai petunjuk petunjuk sedemikian rupa sehingga
buruh terlindung dari bahaya yang mengancam badan,
kehormatan dan harta bendanya, sepanjang mengingat sifat
pekerjaan selayaknya diperlukan (Imam Soepomo, 1972:
167).

Ruang lingkup keselamatan kerja adalah meliputi


setiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka,
bergerak atau tetap di mana tenaga kerja bekerja, atau yang
sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha
dan di mana terdapat dumber atau sumber-sumber bahaya.
Dalam penerapannya, ada tiga unsur yang terkait dengan
keselamatan kerja, yaitu:
(a) tempat di mana dilakukan pekerjaan bagi sesuatu usaha;
(b) adanya tenaga kerja yang bekerja di sana; dan
(c) adanya bahaya kerja di tempat itu.

D. PENELITIAN EMPIRIS TERDAHULU

Di Indonesia, ada beberapa peneliti yang sebelumnya telah


membuat studi mengenai Putting Out System (POS) yang mana
memberdayakan pekerja rumahan. Hasil penelitian Dimitra Liani
(2011) mengenai Marjinalisasi Perempuan dalam Putting Out system
(POS) dan dampaknya terhadap kesejahteraan keluarga (Kasus
Putting Out System (POS) di Desa Jabon Mekar, Kecamatan Parung,
Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) menemukan bahwa responden

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 27


Tinjauan Pustaka

mendapatkan jaminan kerja yang rendah atau kurang baik, sementara


pemberi kerja tidak bertanggung jawab atas kecelakaan ataupun
penyakit yang timbul pada saat bekerja. Selain itu, Cut Aya Sofia , pada
tahun 2008, menganalisa kondisi dan dampak Putting Out System
(POS) terhadap rumah tangga pekerja perempuan (Kasus:Usaha Kecil
Menengah Industri Tas, Desa Bojongrangkas, Kecamatan Ciampea,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Para peneliti dari Pusat Litbang
Ketenagakerjaan, Tianggur Sinaga dkk (2009) melakukan penelitian
tentang Perlindungan Tenaga Kerja Wanita yang Bekerja dengan
Putting Out System (POS). Adapun temuan dari penelitian tersebut
adalah tenaga kerja tersebut melakukan pekerjaan melebihi jam kerja
normal (40 jam seminggu). responden pekerja menyatakan sering
bekerja pada malam hari dan bekerja tanpa diselingi dengan waktu
istirahat yang cukup.

Mengusung penelitian mengenai manifestasi perlindungan


hukum berkeadilan gender berbasis pemahaman hak dan kewajiban
hukum dalam hubungan kerja, Triana Tiani (2013) menemukan bahwa
Pekerja rentan dengan berbagai macam penyakit misalnya punggung
sakit karena terlalu lama duduk, pegal di badan dan tangan, mata cepat
lelah bukan hanya karena asap kompor tetapi juga karena melihat objek
terlalu lama, rabun dan bahkan ISPA yang berasal dari asap kompor.

E. PEKERJA RUMAHAN DI NEGARA LAIN

Pekerja Rumahan juga terdapat di berbagai negara yang


menerapkan praktek kerja rumahan seperti apa yang terjadi di
Indonesia. Ada banyak penelitian yang memaparkan mengenai praktek
POS dan dampaknya bagi kesejahteraan pekerja, seperti terlihat pada
paparan berikut ini.

28 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Tinjauan Pustaka

1. Pekerja Rumahan di Filipina dan Thailand


Dalam bukunya yang dibuat bekerjasama dengan World Bank
mengenai Organitational Characteristic of Rural Textile Industries in
East Asia, Hayami (1998) melakukan penelitian terhadap industri
garmen pedesaan yang menggunakan model Putting Out System
di dua negara, yaitu Filipina dan Thailand. Hasil penelitiannya
tersebut menemukan bahwa alasan utama perusahaan garmen
di pusat kota mengadopsi model Putting Out System, meskipun
kelemahan yang melekat di dalamnya terkait pemeliharaan
standar kualitas adalah hal itu dapat mengurangi biaya tenaga
kerja, baik dengan menggunakan tenaga kerja pedesaan yang
memiliki opportunity cost rendah (rural labor of low opportunity
cost) atau dengan menghindari peraturan tenaga kerja yang ketat
yang diberlakukan di sektor formal atau keduanya.

2. Pekerja Rumahan di Pakistan


Kasus yang terjadi di Pakistan, Pekerja rumahan perempuan
tidak terlihat dan belum diakui, terikat oleh hambatan sosial
budaya dan kurang kesadaran akan akses fasilitas ke perlindungan
sosial. Permasalahan pekerja rumahan diantaranya adalah upah
rendah, kemiskinan permanen, perantara (peran yang sangat
substansial karena merupakan penghubung dengan pemberi
kerja) mengurangi margin pendapatan, masalah kesehatan, status
yang tidak terlihat (tidak diakui sebagai pekerja), dari perspektif
gender: bukan sebagai ibu rumah tangga yang hanya bekerja
untuk waktu luang tetapi full time, waktu kerja yang panjang serta
Hak Asasi Manusia.

Kebijakan yang relevan harus dibuat untuk mengenali pekerja


rumahan perempuan, termasuk kebutuhan untuk adanya

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 29


Tinjauan Pustaka

kebijakan upah minimum, social security, pelatihan keterampilan


yang tepat, pekerjaan yang lebih permanen, upah yang tepat
waktu, fasilitas perumahan, serta akses ke pinjaman dan kredit.
Para pekerja rumahan harus diberikan kesempatan untuk
memiliki hubungan langsung dengan pasar sehingga mereka
dapat menghindari manipulasi dan eksploitasi perantara sehinga
dapat meningkatkan margin keuntungan dan pendapatan
mereka. Pengusaha dan perantara harus bertanggung jawab dan
akuntabel untuk pemeliharaan catatan kerja pekerja rumahan.
Selain itu, peran pengusaha dan perantara untuk memastikan
perlindungan hukum dan hak asasi manusia, yang mencakup
kondisi kerja, upah, tunjangan dan K3.

3. Pekerja Rumahan di Australia


Di Australia di tahun 1880-an dan 1890-an, ada ekspansi yang
cepat dalam industri manufaktur, terlihat dengan peningkatan
jumlah perempuan yang bekerja di industri pakaian. Banyak
wanita yang bekerja dari rumah dan menjadi target perantara,
didekati pemilik pabrik dengan menjanjikan hasil yang cepat
dengan biaya yang murah.

Ada masalah kesehatan dan keselamatan kerja yang signifikan


terkait dengan pekerjaan rumahan. Syarat dan kondisi kerja
(misalnya tingkat upah, jam kerja, tingkat pekerja kontrol
atas proses kerja, cakupan legislatif dll) akan berpengaruh
secara signifikan terhadap kesehatan dan keselamatan
pekerja. Makalah ini membahas isu-isu yang lebih umum serta
merinci bahaya tertentu dan kecelakaan di tempat kerja, dan
dampak kesehatan lainnya yang timbul dari bekerja.

30 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Tinjauan Pustaka

Sebuah proyek yang dilakukan oleh The South Australian


Working Women’s Centre tahun 1989 menemukan bahwa 31
jenis pekerjaan rumah yang terjadi di Australia Selatan antara
lain adalah mengetik, pengolahan kata, menjual dan promosi
bekerja dari rumah, mendistribusikan selebaran, penjaga anak,
permesinan, seluruh pakaian atau bagian dari pakaian, merajut
tangan, pembuatan boneka seperti panda dan beruang, membuat
kap lampu, mengolah sayuran misalnya memotong bawang dll.

Hasil survei menunjukkan bahwa pekerjaan yang dilakukan


oleh pekerja diluar tempat kerja sangat luas, dan tidak hanya
terbatas pada industri pakaian. Literatur menjelaskan berbagai
dampak dari pekerjaan rumah pada kesehatan dan keselamatan
pekerja. Ada bahaya tertentu terkait dengan proses kerja,
Misalnya, Bisinosis (coklat paru) dan asma kronis umumnya oleh
pekerja perempuan yang selalu terkena debu kapas. (Pusat Kerja
Perempuan, 1986: Schneider De Villegas, 1990).

Sebanyak 71% dari perempuan yang disurvei dalam survei


Australia Selatan mengatakan mereka telah mengalami masalah
kesehatan dan keselamatan kerja, mulai dari zat-zat beracun,
kerja berlebihan, cedera, stres dan kelelahan. Pekerja rumahan
sama seperti dengan pekerja lain, membutuhkan perlindungan,
penghargaan dan kompensasi kerja, kebutuhan keselamatan dan
kesehatan kerja dan hukum hubungan industrial. Pekerjaan rumah
sebagai praktek kerja harus dibiarkan lebih terlihat dan tunduk
pada pengawasan publik sama seperti praktek kerja lainnya.
Pekerja rumahan harus diberikan jaminan untuk mendapatkan
perlindungan yang memadai agar membantu dalam pengurangan
penyakit dan kecelakaan kerja.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 31


Tinjauan Pustaka

4. Pekerja Rumahan di India


Pekerja rumahan di India berada dalam kelompok umur 18-
50 tahun. Mereka dibantu oleh anak-anak dan anggota yang lebih
tua dari keluarga selama waktu luang mereka. Sebagian besar
wanita yang sudah menikah melakukan pembuatan layang-
layang. Pendapatan keluarga bulanan rata-rata berada di kisaran
Rs.1200-5000 per bulan dan jumlah anggota keluarga rata-rata
adalah 4 anggota sehingga pendapatan per kapita rata-rata
bulanan dari Rs. 250-1200.

Mereka yang bekerja atas dasar sub-kontraktor untuk agen atau


dealer menghadapi masalah yang berkaitan dengan pembayaran
upah dan tarif mereka. Ditemukan bahwa mayoritas dari mereka
menerima pembayaran setahun sekali. Di antara mereka jika
meminta pembayaran mereka maka perintah mereka dibatalkan.
Jadi mereka dipaksa untuk bekerja pada tingkat rendah dengan
pembayaran yang tidak tentu.

Upah sangat rendah. tarif yang berbeda untuk setiap ukuran


layang-layang. Berkisar antara Rs.25 - Rs.50 per 1000 layang-
layang. Ini tidak termasuk biaya karet yang digunakan untuk
pembuatan layang-layang. Rata-rata seorang wanita dapat
membuat 1000-1500 layang-layang dalam satu hari dengan
bantuan dari anggota keluarga lainnya.

32 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

BAB III
GAMBARAN UMUM
DAN PROFIL RESPONDEN

A. PEMBERI KERJA

1. Status Permodalan

Diagram 3.1
Jumlah Pemberi Kerja Menurut Provinsi dan Status Modal Usaha
Di Daerah Sampel Tahun 2015

PMDN

PMA
Persentase

Perorangan
h

at

ur

ta

ra

ta
ga

ta
ar

ar

ar
im
en

aB

ak

aU

ak
aT

Simpanan pokok,
IJ

gy
aT

er
w

DK
Ja

Yo

Simpanan Wajib,
at
w

Ja
Ja

DI
Su

Simpanan Sukarela dan


Pinjaman Bank
Provinsi

Sumber: Data primer, diolah

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 33


Gambaran Umum dan Profil Responden

Sebesar 15.8% pengusaha di Provinsi Jawa Tengah memiliki status


modal PMA, Sebesar 21.1% Perusahaan di Jawa Barat merupakan
PMDN, di Provinsi Jawa Timur 10.5% merupakan perorangan dan
5.3% merupakan simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan
sukarela dan pinjaman bank. Sebesar 15.8% PMDN dan Komanditer
5.3%, sedangkan di Provinsi D.I Yogyakarta sebesar 21.1% merupakan
PMDN.

Menurut asal sumber modalnya maka pemberi kerja bisa


dikategorikan kepada beberapa jenis. Sebesar 57.9% diantaranya
merupakan PMDN, jumlah ini lebih besar dibandingkan PMA dan
perorangaan yang hanya mencapai masing-masing 15.8%. simpanan
pokok, simpanan wajib, simpanan sukarela dan pinjaman bank sebesar
5.3% dan komanditer sebesar 5.3%.

Apabila dikelompokkan menurut jenis industri, maka jenis


industri makanan dan minuman sebesar 5.3% merupakan PMDN,
Industri pakaian jadi sebesar 15.8% merupakan PMDN, 5.3%
merupakan PMA. Kulit, BarangdariKulitdan Alas kaki sebesar 10.5%
merupakan PMA, dan 10.5% merupakan PMDN dan 5.3% merupakan
simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan sukarela dan pinjaman
bank, Industri kayu, barang dari kayu dan gabus rotan dan bambu
10.5% merupakan PMDN dan 5.3% merupakan komanditer, Industri
pengolahan produksi lainnya sebesar 15.8% merupakan PMDN, 15.8%
merupakan perorangan.

Jenis industri makanan dan minuman yaitu 5.3%, Industri


pakaian jadi sebesar 21.1%, industri Kulit, Barang dariKulitdan Alas
kaki sebesar 26.3%, industri kayu, barang dari kayu dan gabus rotan

34 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

dan bambu sebesar 15.8%, industri pengolahan produksi lainnya


sebesar 31.6%.

2. Jenis Industri

Diagram 3.2
Jumlah Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan
Jumlah Pekerja Tetap
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Makanan dan Minuman

Pakaian Jadi

Kulit, Barang dari Kulit dan Alas


Kaki

Kayu, Barang dari Kayu dan


Gabus, Rotan dan Bambu

Pengolahan Produksi Lainnya

Sumber: Data primer, diolah

Jenis industri makanan dan minuman total 8.3% memilik pekerja


tetap 10-19 orang, industri pakaian jadi sebesar 16.7% memiliki
pekerja tetap 10-19 orang dan 8.3% memiliki pekerja lebih dari 100
orang, industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki sebesar 8.3%
terdiri dari 0-9 orang dan 8.3% terdiri dari 50-59 orang, industri kayu,
barang dari kayu dan gabus rotan dan bambu sebesar 8.3% terdiri
dari 10-19 orang, 8.3% sebanyak 60-69 orang, industri pengolahan
produksi lainnya sebesar 8.3% kurang dari 9 orang, 8.3% 10-19 orang
dan 8.3% 80-89 orang.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 35


Gambaran Umum dan Profil Responden

Diagram 3.3
Jumlah Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan
Jumlah Pekerja Harian Di Daerah Sampel Tahun 2015

Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki

Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus,


Rotan dan Bambu

Pengolahan Produksi Lainnya

Sumber: Data primer, diolah

Pemberi kerja pada industri kulit, barang dan kulit dan alas
kaki hanya memiliki pekerja harian sebanyak 40-49 orang sebesar
12.5%, industri kayu, barang dari kayu dan Gabus rotan dan bambu
memiiki pekerja harian sebesar 12.5% masing di rentang umur 20-
29 orang, 50-59 orang dan lebih dari 100 orang, industri pengolahan
produksi lainnya lebih banyak memiliki pekerja 0-9 orang sebesar
25%, sisanya 12,5% masing-masing di dalam rentang umur 30-39
tahun dan lebih dari 100 orang.

36 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

Diagram 3.4
Jumlah Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan
Jumlah Pekerja Harian
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Kayu, Barang dari Kayu dan


Gabus, Rotan dan Bambu

Pengolahan Produksi
Lainnya

Sumber: Data primer, diolah

Pada industri kayu, barang dari kayu dan gabus, rotan dan bambu
pemberi kerja mempekerjakan pekerja borongan antara 10-19 orang
dan 20-49 orang, sedangkan industri pengolahan produksi lainnya
mempekerjakan pekerja borongan hanya 0-9 orang dan 20-29 orang.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 37


Gambaran Umum dan Profil Responden

Diagram 3.5
Jumlah Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan Jumlah Pekerja di
Luar Pabrik Di Daerah Sampel Tahun 2015

Makanan dan Minuman

Pakaian Jadi

Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki

Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus,


Rotan dan Bambu

Pengolahan Produksi Lainnya

Sumber: Data primer, diolah

Pemberi kerja lebih banyak mempekerjakan pekerja di luar tempat


kerja. Berdasarkan data pada diagram di atas, lebih dari sebanyak
100 orang atau mencapai 57.1% pemberi kerja yang mempekerjakan
pekerja di luar tempat kerjanya, dan yang terbanyak terdapat pada
Industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki sebesar 28.6%.
Diagram 3.6
Jumlah Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan
Jumlah Pekerja Kontrak Di Daerah Sampel Tahun 2015

Pakaian Jadi

Kulit, Barang dari Kulit dan Alas


Kaki
Pengolahan Produksi Lainnya

Sumber: Data primer, diolah

38 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

Industri pakaian jadi mempekerjakan pekerja kontrak lebih dari


100 orang, industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki mempekerjakan
pekerja kontrak berkisar antara 50-59 orang, sedangkan indutri
pengolahan produksi lainnya mempekerjakan pekerja kontrak
berkisar antara 70-79 orang.

Diagram 3.7
Jumlah Pemberi kerja
Menurut Jenis Industri dan Lama Memberdayakan Pekerja Rumahan
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Pakaian Jadi

Pengolahan Produksi
Lainnya

Sumber: Data primer, diolah

Rata-rata pengusaha telah mempekerjakan pekerja rumahan


lebih dari 10 tahun sebesar 40%. Begitu pula dengan industri pakaian
jadi 20% nya lebih dari 10 tahun telah mempekerjakan pekerja
rumahan.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 39


Gambaran Umum dan Profil Responden

3. Jumlah Penghasilan

Diagram 3.8
Jumlah Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan
Jumlah Penghasilan
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Makanan dan Minuman

Pakaian Jadi

Kulit, Barang dari Kulit dan


Alas Kaki
Kayu, Barang dari Kayu dan
Gabus, Rotan dan Bambu
Pengolahan Produksi Lainnya

Maksimal > 300 juta - > 2,5 M -


> 50 M
300 juta 2,5 M 50 M

Sumber: Data primer, diolah

Industri yang mempekerjakan pekerja rumahan lebih banyak


mendapatkan penghasilan antara 2.5-50 M pertahun (36.8%). Jumlah
penghasilan industri pengolahan lainya lebih banyak maksimal 300
juta dengan porsi 15.8%.

4. Ikatan Kerja dengan Perantara

Cara Pemberi Kerja mendistribusikan pekerjaan kepada


pekerja di luar tempat kerja ada yang dilakukan secara langsung
dan tidak langsung. Pemberi kerja yang memberikan kerja rumahan
secara langsung lebih banyak dibandingakan melalui perantara/sub
kontraktor. Dengan perbandingan 73.7% : 26.3%. Hal ini terutama
terjadi di Industri Pengolahan produksi lainnya sebesar 31.6%
mendistribusikan pekerjaan secara langsung.

40 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

Untuk pemberi kerja yang mendistribusikan pekerjaannya secara


tidak langsung, lebih banyak memilih sub kontraktor/perantara
dengan cara sistem lelang (40%) yaitu industri kayu, barang dari
kayu dan Gabus, rotan dan bambu, sisanya masing-masing sebesar
20% dengan cara langsung ditunjuk oleh pengusaha dan merupakan
mantan karyawan pabrik yang berada dalam industri pakaian
jadi,serta dengan cara memilih ketua kelompok dalam indutri kulit
barang dari kulit dan alas kaki. Diagram di bawah ini menggambarkan
bentuk ikatan pekerjaan antara pemberi kerja dan pekerja rumahan.

Diagram 3.9
Jumlah Pemberi kerja Menurut Jenis Industri dan
Bentuk Ikatan Perjanjian
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Perjanjian Tertulis
Perjanjian Lisan
Tidak Ada
m s,
ki

Ba bu
an

di

a
bu
Ka

ny
Ja

n Ga
um

in
as
ian

da n

La
in

Al

n a
ka

ta u d
M

si
n
da
Pa

uk
n

Ro ay
da

od
it

K
ul
an

ri

Pr
K

da
an

an
ri
da

g
ak

ah
an
M

ol
ar
an

ng
,B
ar

Pe
yu
,B

Ka
lit
Ku

Sumber: Data primer, diolah

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 41


Gambaran Umum dan Profil Responden

Bentuk ikatan perjanjian antara pemberi kerja dengan pekerja


rumahan kebanyakan berbentuk lisan yaitu 42.1%, lalu tidak ada
perjanjian tertulis sebesar 31.6%. hanya 26.3% yang tidak memiliki
perjanjian tertulis/lisan.

5. Bahan dan Peralatan Produksi

Diagram 3.10
Jumlah Pemberi Kerja
Menurut Jenis Industri dan Penyediaan Bahan Produksi
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Makanan dan Minuman

Pakaian Jadi

Kulit, Barang dari Kulit dan


Alas Kaki

Kayu, Barang dari Kayu dan


Gabus, Rotan dan Bambu

Pengolahan Produksi Lainnya

Sumber: Data primer, diolah

Rata-rata pemberi kerja menyediakan seluruh bahan untuk


pekerja rumahan (63.2%). Terutama industri kulit, barang dari kulit
dan alas kaki, 26.3% diantaranya menyediakan seluruh bahan untuk
pekerja rumahan. Adapun untuk penyediaan alat kerja, hampir
kebanyakan tidak diberikan oleh pemberi kerja seperti terdapat pada
diagram berikut ini:

42 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

Diagram 3.11
Jumlah Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan
Penyediaan Alat Produksi
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Ya, seluruh peralatan

Ya, sebagian peralatan

Tidak
an

di

a
m s,
ki

ny
Ba bu
Ja
um

Ka

bu

in
n Ga
ian

as
in

La
M

Al
ka

da n

si
n a
n

Pa

uk
n

ta u d
da

da

od
Ro ay
an

Pr
li

K
u
an

ri
iK

an
da
ak

ar

ah
M

ol
an
g

ng
an

ar

Pe
ar

,B
,B

yu
lit

Ka
Ku

Sumber: Data primer, diolah

Pemberi kerja lebih banyak tidak menyediakan peralatan


produksi untuk pekerja rumahan (57.9%), untuk pemberi kerja yang
menyediakan seluruh peralatan sebesar 31.6%. 10.5% lainnya hanya
sebagian perlatan saja. Sebagian besar industri pengolah produksi
lainnya tidak menyediakan peralatan produksi (21.1%).

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 43


Gambaran Umum dan Profil Responden

6. Area Pemasaran Hasil Produksi

Diagram 3.12
Jumlah Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan
Area Pemasaran Hasil
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Pemasaran Produk lebih banyak dilakukan di dalam pasar


internasional/ekspor (31.6%). Terutama industri Kayu, Barang dari
Kayu dan Gabus, rotan dan bambu 15.8% nya melakukan pemasaran
di pasar internasional

44 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

7. Cara Penentuan Upah

Diagram 3.13
Jenis Pemberi Kerja Menurut Jenis Industri dan Cara Penentuan Upah
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Sebagian besar penentuan upah berdasarkan tarif satuan waktu


yaitu 94.7%, hanya sedikit yang menentukan upah berdasarkan satuan
waktu. Salah satunya adalah Industri Kulit, Barang dan Kulit dan Alas
Kaki sebesar 5.3%.

Sistem pembayaran yang dilakukan oleh pemberi kerja lebih


banyak pada saat produk diserahkan yaitu sebesar 31.6%. Fleksibilitas
dalam sistem pembayaran sering terjadi dalam pekerja rumahan.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 45


Gambaran Umum dan Profil Responden

8. Negosiasi

Diagram 3.14
Jumlah Pemberi Kerja Menurut Kategori Industri dan Negosiasi
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Pemberi kerja lebih banyak tidak pernah melakukan negoisasi


dengan perantara/pekerja rumahan (52.6%) namun pada kategori
industri informal pemberi kerja lebih banyak pernah merundingkan
langsung dengan pekerja diluar tempat kerja sebesar 21,1%.

46 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

9. Jaminan Sosial

Diagram 3.15
Jumlah Pemberi Kerja yang Mengikutsertakan Pekerja
di Dalam Tempat Kerja pada Program Jaminan Sosial
Menurut Kategori Industri
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Pemberi kerja yang mengikutsertakan pekerja di dalam tempat


kerjanya pada program jaminan sosial sebanyak 73.7%, sedangkan
sisanya sebanyak 26.3% pemberi kerja tidak tidak mengikutsertakan
pekerjanya dalam program jaminan sosial. Industri formal lebih
banyak mengikusertakan pekerjanya ke dalam jaminan sosial yaitu
sebesar 63.2%, sedangkan industri informal hanya 21.1% tidak
mengikutsertakan pekerjanya kedalam jaminan sosial, sedangkan
sebesar 10.5% ikut serta dalam jaminan sosial.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 47


Gambaran Umum dan Profil Responden

Diagram 3.16
Jumlah Pemberi Kerja yang Mengikutsertakan Pekerja di Luar
Tempat Kerja pada Program Jaminan Sosial
Menurut Kategori Industri
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Pekerja di luar tempat kerja diikutsertakan dalam program


jaminan sosial sebesar 5.3% yang hanya berada dalam kategori
industri informal.. sebagian besar industri formal dan informal
yang mempekerjakan pekerja di luar tempat kerja tetapi tidak
mengikutsertakan pekerja tersebut dalam program jaminan sosial,
untuk industri formal sebesar 68.4% dan informal sebesar 26.3%.

48 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

Diagram 3.17
Jumlah Pemberi Kerja yang Menanggung Biaya Pengobatan
Menurut Kategori Industri
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Rata-rata pekerja rumahan menanggung sendiri biaya


pengobatan jika terjadi kecelakaan kerja/sakit dengan porsi 78.9%.
Sebesar 15.8% ditanggung oleh pemberi kerja, sebesar 5.3% sebagian
ditanggung pemberi kerja. Baik industri formal maupun informal
biaya pengobatan kebanyakan ditanggung sendiri oleh pekerja
rumahan sebesar 78.9%, untuk industri formal sebesar 5.3% sebagian
ditanggung pemberi kerja. Biaya pengobatan ditanggung oleh pemberi
kerja untuk industri formal sebesar 10.5% sedangkan untuk industri
informal sebesar 5.3%.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 49


Gambaran Umum dan Profil Responden

Diagram 3.18
Jumlah Pemberi Kerja yang Memberikan Bantuan Sosial
Menurut Kategori Industri
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Untuk kategori industri formal sebesar 47.4% tidak satu pun


pekerja rumahan menerima bantuan sosial lainnya di luar jaminan
sosial, sebesar 21.1% mendapatkan THR. Sedangkan, untuk kategori
industri informal sebesar 10.5% pekerja rumahan tidak menerima
bantuan sosial lainnya diluar jaminan sosial, 10.5% mendapatkan
THR dan 5.3% masing-masing untuk THR dan Bonus serta uang
untuk melahirkan. Pekerja rumahan tidak menerima satupun bantuan
sosial lainnya di luar jaminan sosial, sebesar 31.6% mendapatkan
THR, sebesar 5.3% mendapatkan uang THR dan Bonus serta uang
melahirkan

B. PERANTARA

Alasan utama menjadi perantara pekerja rumahan sebesar 60%


karena merupakan tanggung jawab keluarga dan rumah tangga, tidak
dapat mendapatkan pekerjaan lain sebesar 33.3% dan lainnya sebesar

50 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

6.7%. Keuntungan utama menjadi perantara pekerja rumahan paling


banyak karena pengaturan kerja lebih fleksibel, sebesar 33.3% karena
bisa sambil merawat keluarga, perantara pekerja rumahan yang
mengaku tidak mendapatkan keuntungan sebesar 13.3% dan sebesar
6.7% menjadi independen dan mandiri. Kerugian utama menjadi
perantara sebagian besar menyebabkan rumah menjadi berantakan
(33.3%), lebih melelahkan 20%, lainnya sebesar 13.3% masing masing
karena penghasilan rendah dan jam kerja yang panjang. Sedangkan
alasan lainnya adalah masalah kesehatan, tidak ada kerugian dan
lainnya masing-masing mendapatkan porsi 6.7%

1. Usia

Diagram 3.19
Jumlah Perantara Menurut Usia dan Pendidikan Terakhir
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Pendidikan terakhir perantara untuk kelompok umur 30-34


tahun yaitu SD 6.7%, SLTP 13.3%, SLTA/SMK 13.3%, Perantara
dengan kelompok umur 35-39 tahun masing-masing memiliki porsi
6.7% untuk pendidikan SD, SLTP dan SLTA/SMK, kelompok umur 40-
44 tahun untuk pendidikan SD 6.7%, SLTP 13.3%, SLTA/SMK 13.3%,

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 51


Gambaran Umum dan Profil Responden

Pendidikan perantara untuk kelompok umur 45-49 tahun


didominasi SLTA 6.7%, begitu juga dengan pendidikan perantara
untuk kelompok 50-54 tahun didominasi SLTA sebesar 6.7%.

2. Status Perkawinan

Diagram 3.20
Jumlah Perantara Menurut Status Perkawinan dan Jumlah Anak
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Jumlah anak perantara terbanyak adalah 2 anak sebesar 33.3%,


perantara yang memiliki 1 anak 26.7% dan yang memiliki 3 anak
20%, tidak memiliki anak, memiliki 5 anak dan 7 anak masing-masing
sebesar 6.7%.

52 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

3. Status Pekerjaan Utama


Diagram 3.21
Jumlah Perantara Menurut Status Pekerjaan Utama dan
Pengalaman Pernah Bekerja di Sektor Formal
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Sebesar 66.7% perantara tidak memiliki pekerjaan tambahan, dan


sebesar 33.3% memiliki pekerjaan tambahan. Perantara yang bekerja
sebagai karyawan pabrik tidak memiliki pekerjaan tambahan sebanyak
6.7%, sebesar 13.3% perantara yang hanya bekerja sebagai perantara
pekerja rumahan memiliki pekerjaan tambahan dan 60%, tidak
memiliki pekerjaan tambahan. 20% Perantara yang memiliki pekerjaan
utama sebagai wiraswasta memiliki pekerjaan tambahan.

Adapun perantara yang memiliki pekerjaan utama sebagai


perantara pekerja rumahan sebanyak 40% pernah bekerja di sektor
formal sebelumnya, sedangkan 33.3% sisanya tidak pernah bekerja di
sektor formal. Jumlah perantara yang pernah bekerja di sektor formal
lebih besar dari pada yang belum pernah bekerja di sektor formal yaitu
53.3%.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 53


Gambaran Umum dan Profil Responden

4. Jenis Industri
Diagram 3.22
Jumlah Perantara Berdasarkan Jenis Industri dan
Sumber Modal Usaha
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Sumber modal usaha perantara pekerja rumahan sebanyak


80% merupakan modal sendiri, modal dibantu pemberi kerja 13.3%.
sisanya 6.7% merupakan lainnya; dengan rata-rata modal usaha
perantara sebesar Rp. 15.558.125 dimana berkisar antara Rp. 112.500
sampai Rp. 50.000.000.

54 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

Diagram 3.23
Jumlah Perantara Berdasarkan Jenis Industri dan Jumlah Penghasilan
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Diagram di atas memunjukkan bahwa berdasarkan jumlah


penghasilan yang dimiliki oleh perantara setiap tahunnya, maka
hampir seluruh perantara termasuk ke dalan perantara dengan skala
unit usaha mikro karena berpenghasilan di bawah Rp. 300.000.000
per tahun. Perantara yang memiliki jumlah penghasilan maksimal Rp.
300.000.000 yaitu sebanyak 92.9%. Dengan demikian, sisanya hanya
sedikit yang mencapai penghasilan lebih dari 2.5 – 50 M yaitu 7.1%.
Industri Pengolahan Produksi lainnya mendominasi mencapai 35.7%
penghasilan maksimal Rp. 300.000.000. Hanya industri makanan dan
minuman yang mendapat penghasilan lebih dari 2,5 – 50 M sebesar
7.1%.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 55


Gambaran Umum dan Profil Responden

5. Posisi Perantara

Perantara yang menjadi perantara pertama 80%, perantara


dalam posisi perantara kedua hanya 20%, seperti terlihat pada
diagram di bawah ini:

Tabel 3.1
Jumlah Perantara Menurut Posisi Perantara dan Sosialisasi
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Sebagian besar baik perantara pertama maupun kedua tidak


pernah mengikuti sosialisasi. Sebanyak 73.7% tidak pernah mengikuti
sosialisasi. Hanya 26.7% saja yang pernah mengikuti sosialisasi.

Sebesar 78.6% merupakan perantara pertama didominasi yang


memiliki penghasilan maksimal Rp. 300 juta (71.4%) sisanya yang
mempunyai penghasilan lebih dari 2.5 – 50 M (7.1%). Perantara kedua
hanya memiliki penghasilan maksimal Rp. 300 juta sebesar 21.4%. Hal
ini membuktikan bahwa pendapatan akan semakin menurun apabila
rantai pasokan semakin panjang.

56 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

6. Bentuk Ikatan Kerja


Diagram 3.24
Jumlah Perantara Menurut Jenis Industri dan Bentuk Ikatan Kerja
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Untuk industri pakaian jadi sebesar 20% adanya perjanjian lisan


antar pemberi kerja dan perantara. Rata rata disemua industri tidak
adanya perjanjian dan hanya berbentuk perjanjian lisan dengan porsi
46.7%.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 57


Gambaran Umum dan Profil Responden

7. Pelatihan atau Penjelasan Membuat Produk


Diagram 3.25
Jumlah Perantara Menurut Jenis Industri dan
Penjelasan Pembuatan Produk dari Pemberi Kerja
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Sebanyak 53.3% pemberi kerja tidak memberikan penjelasan


bagaimana cara membuat poduk, dan 46.7% memberikan penjelasan
bagaimana cara membuat produk kepada perantara.
Diagram 3.26
Jumlah Perantara Menurut Posisi Perantara dan
Pemberian Pelatihan Kepada Pekerja Rumahan
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

58 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

Sebesar 80% perantara memberikan pelatihan atau penjelasan


kepada pekerja rumahan, 20% sisanya perantara tidak memberikan
pelatihan atau penjelasan.

8. Penyediaan Bahan Produksi

Diagram 3.27
Jumlah Perantara Menurut Posisi Perantara dan Penyediaan Bahan
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Sebesar 40% perantara tidak menyediakan bahan untuk pekerja


rumahan sedangkan sisanya 33.3% disediakan oleh perantara dan
26.7% hanya sebagian bahan saja.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 59


Gambaran Umum dan Profil Responden

9. Penyediaan Peralatan Produksi

Diagram 3.28
Jumlah Perantara Menurut Posisi Perantara
dan Penyediaan Peralatan
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Sebagian besar atau sebanyak 86.7% perantara tidak


menyediakan peralatan produksi, hanya 6.7% yang menyediakan
peralatan produksi dan 6.7% sebagian peralatan.

60 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

10. Area Pemasaran Produk

Diagram 3.29
Jumlah Perantara
Menurut Area Pemasaran Produk dan Posisi Perantara
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Sebagian besar produk dipasarkan di pasar dalam negeri dan


pasar internasional/ekspor sebesar 46.7%.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 61


Gambaran Umum dan Profil Responden

11. Upah

Diagram 3.30
Jumlah Perantara
Menurut Cara Penentuan Upah dan Sistem Pembayaran
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Sebagian besar upah yang diterima berdasarkan tarif satuan yaitu


93.3%, lainnya hanya berkisar 6.7% , Sistem pembayaran dilakukan
lebih banyak pada saat kapanpun produk diserahkan dengan porsi
40%, pembayaran upah dilakukan setiap minggu 33.3% dan sebulan
sekali sebesar 26.7%. Adapun yang menentukan besaran upah sebesar
53.3% merupakan pemberi kerja dan 26,7% merupakan perantara.

62 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

12. Negosiasi
Diagram 3.31
Jumlah Perantara Menurut Posisi Perantara dan Negosiasi
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Kebanyakan Perantara pertama pernah merundingkan/negoisasi


mengenai upah dengan pemberi kerja (53.3%), sebesar 20% perantara
tidak melakukan negoisasi upah, sebesar 6.7% pernah merundingkan
langsung dengan pekerja rumahan. Tidak ada yang melakukan
negoisasi dengan perantara lainnya. Untuk perantara kedua, sebesar
13.3% pernah merundingkan dengan subkon/perantara lainnya dan
sebesar 6.7% tidak pernah melakukan negoisasi

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 63


Gambaran Umum dan Profil Responden

C. PEKERJA RUMAHAN

1. Usia dan Tingkat Pendidikan


Pekerja rumahan yang pernah bekerja di sektor formal kebanyakan
memutuskan untuk bekerja di rumah karena tanggung jawab keluarga
dan rumah tangga (41.8%), sedangkan kebanyakan pekerja rumahan
yang tidak pernah bekerja di sektor formal memutuskan untuk bekerja
di rumah karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan lain (22.8%).

Pekerja rumahan yang pernah bekerja di sektor formal jumlahnya


lebih besar dibandingkan pekerja yang tidak pernah bekerja di sektor
informal, yaitu 57% : 43%. Kebanyakan pekerja rumahan lebih senang
bekerja di rumah kerena dapat sambil merawat keluarga (53.2%),
Pekerja rumahan juga mengaku keuntungan bekerja di rumah
karena pengaturan kerja yang fleksibel sebesar 40.5%. sisanya yaitu
independen, mandiri dan tidak ada keuntungan.

Penghasilan yang rendah merupakan kerugian terbesar menjadi


pekerja rumahan sebesar 45.6%. Tanggung jawab keluarga dan
rumah tangga menjadi alasan utama kebanyakan pekerja untuk
berkerja di rumah saja sebesar 57%, sisanya 32.9% karena tidak
bisa mendapatkan pekerjaan lain. 3.8% karena tidak diizinkan keluar
rumah oleh suami dan lainnya sebesar 6.3%.

Pekerja rumahan di Indonesia didominasi oleh perempuan


berusia 35 – 44 tahun. Pendidikan terakhir Pekerja rumahan rata-
rata adalah SMP dan SMA dengan porsi masing-masing 32.9%, Hanya
sebagian kecil yang tidak tamat SD dan berpendidikan Sarjana.
Kebanyakan pekerja rumahan berumur antara 40-44 tahun (24.1%),
terdapat juga pekerja rumahan yang masih berusia muda yaitu 15-

64 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

19 orang (1.3%), yang karena alasan sebagai ibu rumah tangga yang
ingin membantu suaminya memenuhi kebutuhan hidup keluarga,
maka mereka memilih menjadi pekerja rumahan ketimbang bekerja
di sektor formal yang lebih terikat waktunya sehingga sulit untuk
memenuhi tanggung jawab merawat keluarga.

Diagram 3.32
Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Usia dan Tingkat Pendidikan
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Rata-rata pekerja rumahan merupakan ibu rumah tangga, hal ini


terbukti dengan status perkawinan yaitu kawin yang lebih besar dari
pada status belum kawin dan janda. 93.7% kawin, 3.8% single, dan
2.5% merupakan janda. Jumlah tanggungan pekerja rumahan paling
banyak berjumlah 2 orang yaitu 27.8%.

Kegiatan yang dilakukan pekerja rumahan seminggu yang lalu


sebesar 98.7% adalah bekerja, sedangkan sisanya adalah menganggur.
Hampir dari seluruh pekerja rumahan menjadikan pekerjaan rumahan

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 65


Gambaran Umum dan Profil Responden

menjadi pekerjaan utama mereka yaitu 94.9%. lainnya pekerjaan


utama pekerja rumahan adalah karyawan pabrik, berdagang dan
menjadi perangkat desa.

2. Tempat Kerja

Diagram 3.33
Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Usia dan Tingkat Pendidikan
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Hampir seluruhnya pekerja rumahan bekerja di rumahnya


sendiri, hanya sedikit pekerja rumahan yang bekerja di rumah
perantara, di rumah sendiri 97.8% dan di rumah perantara 2.2%. Hal
ini dikarenakan pekerja rumahan dapat sambil merawat keluarganya
di rumahnya sendiri. Sebagian besar pekerjaan rumahan ini dibantu
oleh suami/istrinya (46.7%) lalu 31.1% di bantu oleh suami/istri
dan anaknya. Pekerja rumahan melibatkan suami/istri dan anaknya
karena target yang banyak dan tidak mungkin diselesaikan dalam
waktu yang cepat.

66 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

Rata-rata produk merupakan bagian dari produk tertentu,


jumlahnya mencapai 64.6%, sedangkan sisanya 35.4% merupakan
seluruh produk tersebut. Industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki
22.8% nya merupakan bagian dari produk barang. Dan untuk industri
furniture seluruhnya merupakan seluruh produk barang.

3. Informasi Kerja Rumahan

Diagram di bawah menjelaskan bahwa sebagian besar pekerja


rumahan menjadikan pekerjaan ini menjadi pekerjaan tetap yaitu
84.8%. Info tentang pekerjaan rumahan ini seringkali didapatkan dari
teman 45.6%, lalu tetangga sebesar 31.6%, sisanya diperoleh dari
keluarga, perantara, pengusaha dan lain-lain.

Diagram 3.34
Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Volume Kerja dan Info Kerja
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 67


Gambaran Umum dan Profil Responden

Diagram 3.35
Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Pengetahuan Kerja
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Perusahaan/pemberi kerja
langsung

Perantara/Sub Kontraktor

Lainnya

Ya, Tahu Tidak Tahu

Sumber: Data primer, diolah

Sebagian besar pekerja rumahan mengetahui nama perusahaan/


pemberi kerja yaitu 60.8%, namun tidak sedikit juga pekerja
rumahan yang tidak mengetahui nama pemberi kerjanya yaitu 39.2%.
Kebanyakan yang memberikan pekerjaan kepada pekerja rumahan
adalah perantara/sub kontraktor yaitu 65.8%, yang secara langsung
oleh perusahaan/pemberi kerja sebesar 30.4%.

68 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

4. Pelatihan Kerja

Diagram 3.36
Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Pelatihan Kerja
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Perusahaan/pemberi kerja
langsung

Perantara/Sub Kontraktor

Lainnya

Ya, Tahu Tidak Tahu

Sumber: Data primer, diolah

Sebagian besar pemberi kerja tidak memberikan pelatihan


kepada pekerja rumahan yaitu 52%, sedangkan sebesar 65.8%
pemberi kerja menjelaskan tentang bagaimana membuat produk.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 69


Gambaran Umum dan Profil Responden

5. Bahan Baku
Diagram 3.37
Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Cara Mendapatkan Bahan Baku
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Dikirim oleh pemberi kerja

Mengambil sendiri dari pemberi kerja

Membelinya

DIkirim oleh perantara

Mengambil sendiri dari perantara

Lainnya

Ya, seluruh Ya, sebagian Tidak


bahan bahan

Sumber: Data primer, diolah

Jumlah Pekerja rumahan lebih banyak mendapatkan bahan baku


dengan cara dikirim oleh pemberi kerja dengan porsi 35.4%, sebagian
besar pemberi kerja menyediakan bahan untuk produksi untuk
pekerja rumahan (77.2%).

70 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

6. Peralatan Kerja

Diagram 3.38
Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Pemberian Peralatan Kerja
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Ya, Seluruh peralatan


Ya. Sebagian peralatan
Tidak

Sumber: Data primer, diolah

Sebagian besar pemberi kerja menjelaskan tentang bagaimana


membuat produk yaitu 65.8%, hanya 34.2% pemberi kerja yang tidak
menjelaskan tentang bagaimana membuat produk. Rata-rata pemberi
kerja tidak menyediakan peralatan produksi untuk pekerja rumahan
(50.6%), hanya sebesar 25.3% yang menyediakan peralatan produksi
dan 24.1% yang menyediakan sebagian peralatan produksi untuk
pekerja rumahan

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 71


Gambaran Umum dan Profil Responden

7. Ikatan Kerja
Diagram 3.39
Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Pelatihan Kerja
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Upah

Waktu Penyelesaian

Upah dan Waktu Penyelesaian

Jumlah Pesanan

Upah dan Jumlah Pesanan

Waktu Penyelesaian dan Jumlah


Pesanan
Upah, Waktu Penyelesaian dan
Jumlah Pesanan

Sumber: Data primer, diolah

Sebagian perjanjian kerja berbentuk lisan (78.6%), yang


disepakati dalam perjanjian kerja kebanyakan mengenai upah
(31.4%), lainnya adalah jumlah pesanan (21.4%), waktu penyelesaian
(17.1%) dll.

72 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

8. Area Pemasaran Produk

Diagram 3.40
Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Pelatihan Kerja
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Daerah Setempat

Dalam Satu Provinsi

Daerah Setempat dan Satu Provinsi

Pasar Dalam Negeri

Dalam Satu Provinsi & Pasar Dalam Negeri

Pasar Internasional/Ekspor

Pasar Dalam Negeri dan Pasar Internasional/Ekspor

Daerah Setempat, Satu Provinsi, Pasar Dalam Negeri dan Pasar


Internasional/Ekspor
Tidak Tahu

Sumber: Data primer, diolah

Kebanyakan produk dipasarkan di pasar dalam negeri (41.8%),


kebanyakan pekerja rumahan menyerahkan produk yang sudah jadi
ke perantara yaitu 30.4%, tidak sedikit juga pemberi kerja mengambil
langsung ke pekerja rumahan yaitu 29.1%, atau pekerja rumahan yang
mengirimkan langsung ke pemberi kerja yaitu 20.3%.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 73


Gambaran Umum dan Profil Responden

9. Waktu Kerja

Diagram 3.41
Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Waktu Kerja
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Rata-rata pekerja rumahan bekerja di atas waktu jam kerja


yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.

74 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

10. Upah
Diagram 3.42
Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Pelatihan Kerja
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Tarif Satuan

Lainnya

Sumber: Data primer, diolah

Hampir seluruh pemberi kerja menentukan upah berdasarkan


tarif satuan yaitu 97.5%. Rata-rata pekerja rumahan mau bekerja
lebih lama jika jam tambahan dibayar yaitu 74.7%.

Besaran upah lebih banyak ditentukan oleh pemberi kerja


(50.6%), Perantara/sub kontraktor juga menentukan besaran upah
(45.6%), sisanya dirundingkan bersama. Sistem pembayaran yang
dilakukan lebih banyak dilakukan setiap minggu yaitu 38%,.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 75


Gambaran Umum dan Profil Responden

Sebagian besar pekerja rumahan mengetahui besaran upah


sebelum memulai pekerjaan yaitu 89.9%, dan pekerja rumahan lebih
banyak tidak pernah melakukan perundingan/negoisasi mengenai
upah dengan perantara/pemberi kerja sebesar 41.8%.

Rata-rata pekerjaan rumahan ini merupakan penghasilan utama


pekerja rumahan. 60.8%, sisa lainnya sebagai penghasilan tambahan
yaitu 35.4%, hanya sedikit yang bertujuan untuk mengisi waktu luang
(3.8%), Total penghasilan yang diterima kebanyakan kurang dari Rp.
500.000,-sebulan (41.8%) dan berkisar antara Rp. 500.001,- sampai
Rp. 1.000.000,- sebulan (30.4%) , sisanya berkisar dari Rp. 1.000.001,-
sampai Rp. 3.000,000,-.

Berdasarkan data, sebesar 22.8% pekerja yang menjadikan


pekerjaan rumahan menjadi penghasilan utama mereka mendapatkan
upah kurang dari Rp. 500.000,- .

76 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

11. Negosiasi

Diagram 3.43
Jumlah Pekerja Rumahan Menurut yang Pernah Bernegosiasi
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Kebanyakan pekerja rumahan tidak pernah melakukan negosiasi


dengan pemberi kerja maupun perantara.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 77


Gambaran Umum dan Profil Responden

12. Jaminan Sosial

Diagram 3.44
Jumlah Pekerja Rumahan
Menurut Kepesertaan Program Jaminan Sosial
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Sebagian besar pekerja di dalam tempat kerja tidak diikutsertakan


dalam program jaminan sosial (97.5%) dan 97.3% diantaranya apabila
terjadi kecelakaan biaya ditanggung sendiri oleh pekerja rumahan.

78 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Gambaran Umum dan Profil Responden

13. Biaya Produksi

Seluruh biaya terkait pekerjaan rumahan seperti listrik dll tidak


diganti oleh pemberi kerja, namun kebanyakan jika terjadi kesalahan,
produk akan diperbaiki dan biaya ditanggung pemberi kerja (30.4%),
tidak sedikit juga produk akan ditolak dan biaya di tanggung pekerja
rumahan sebesar 25.3%, produk akan diperbaiki dan biaya ditanggung
pekerja rumahan juga mendapatkan porsi 20.3%. Diagram di bawah ini
menggambarkan kondisi apabila pekerja rumahan melakukan kesalahan.

Diagram 3.45
Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Konsekuensi Kesalahan Produk
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 79


Gambaran Umum dan Profil Responden

14. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Diagram 3.46
Jumlah Pekerja Rumahan Menurut Penggunaan Perlengkapan K3
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Rata-rata pekerja rumahan tidak menggunakan pelindung


diri selama bekerja yaitu sebesar 86.1%, Berdasarkan data banyak
pekerja rumahan yang tidak menggunakan alat pelindung diri namun
tidak pernah mengalami kecelakaan kerja sebesar 51.9%. Hampir
seluruh pekerja rumahan pernah mengalami kecelakaan kerja dan
menanggung sendiri biaya pengobatan nya sebesar 97.1%.

80 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Analisa dan Pembahasan

BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN

A. Fenomena Hubungan Kerja Rumahan

Pengertian hubungan kerja diatur dalam pasal 1 angka 15 Undang-


undang Nomor 13 Tahun 2003 tentng Ketenagakerjaan berbunyi :

“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan


pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah dan perintah.”

Berdasarkan ketentuan dari Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor


13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maka dapat disimpulkan
bahwa unsur-unsur dari hubungan kerja adalah :

1. Adanya Pekerjaan
Pekerjaan adalah sebuah pekerjaan yang bebas sesuai dengan
dengan kesepakatan antara tenaga kerja dan pengusaha, asalkan
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kesusilaan, dan ketertiban umum. Pengusaha secara teknis
jelas tidak mungkin akan merekrut pekerja/tenaga kerja jika
tidak tersedia pekerjaan sesuai dengan kapasitas kebutuhan
perusahaannya, unsur ini merupakan salah satu syarat sahnya

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 81


Analisa dan Pembahasan

perjanjian kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1)


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
yang mengadopsi Pasal 1320 KUHPerdata. Unsur adanya
pekerjaan sebagai syarat obyektif dari perjanjian kerja sehingga
obyek perjanjian kerja harus jelas, jika syarat obyektif tidak
terpenuhi perjanjian kerja harus jelas, jika syarat obyektif tidak
terpenuhi perjanjian kerja batal demi hukum.

2. Adanya Upah
Upah dalam ketentuan ketenagakerjaan minimal adalah Upah
Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minum Sektoral Provinsi
(UMPS) yang ditetapkan oleh Gubernur pada Pasal 90 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyebutkan bahwa :
“Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah
minimum sebagaimana dimaksud pada Pasal 89.”

3. Adanya Perintah
Perintah adalah satu pihak berhak memberikan perintah dan
pihak yang lain berkewajiban melaksanakan perintah. Letak
strategisnya posisi pengusaha ada disini, perusahaan memiliki
bargaining position cukup kuat di banding pekerja atau tenaga
kerja. Pengusaha memiliki hak prerogratif pengusaha artinya
pengusaha biasanya berhak dalam membentuk peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama Perusahaan, maka
perusahaan berhak memberi perintah kepada pekerja atau tenaga
kerja sesuai dengan kebutuhan operasional perusahaan sehingga
pekerja atau tenaga kerja mengikatkan diri pada pengusaha
untuk bekerja di bawah perintah pengusaha. Menurut istilah para

82 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Analisa dan Pembahasan

ahli hukum, hal ini disebut sebagai hubungan diperantas, artinya


pekerja/tenaga kerja harus bersedia bekerja di bawah perintah
orang lain.

Dengan demikian, Hubungan kerja merupakan suatu ikatan


pekerjaan antara seseorang (pekerja atau tenaga kerja) yang
melakukan pekerjaan tertentu, dengan seseorang (pengusaha)
yang menyediakan pekerjaan atau memberikan perintah untuk
suatu pekerjaan yang harus dikerjakan dengan baik dan benar
dan pada akhirnya pekerjaan/ tenaga kerja mendapat imbalan
berupa upah atas kerja dan prestasi yang diberikan.

1. Pola Hubungan Kerja

Diagram 4.1
Jawaban Pemberi Kerja
Berdasarkan Jenis Industri dan Pola Hubungan Kerja
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Pemberi Kerja --> Pekerja


Rumahan
Pemberi Kerja --> Perantara -->
Pekerja Rumahan

Sumber: Data primer, diolah

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 83


Analisa dan Pembahasan

Pola hubungan kerja kebanyakan bersifat langsung antara


pemberi kerja dengan pekerja rumahan dengan presentase 73.7%,
sedangkan yang bersifat tidak langsung sebesar 26.3%,

Diagram 4.2
Jawaban Perantara Kerja
Berdasarkan Pola Hubungan Kerja dan Bentuk Ikatan Kerja
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Sumber: Data primer, diolah

Perjanjian kerja antara pemberi kerja, perantara dan pekerja


rumahan didominasi dengan perjanjian lisan dan tidak ada perjanjian
dengan masing-masing porsi 46.7%, Perjanjian tertulis hanya
dilakukan antara pemberi kerja, perantara dan pekerja rumahan
dengan porsi 6.7%.

84 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Analisa dan Pembahasan

Diagram 4.3
Jawaban Pekerja Rumahan
Berdasarkan Pola Hubungan Kerja dan Bentuk Ikatan Kerja
Di Daerah Sampel Tahun 2015

Perjanjian Tertulis
Perjanjian Lisan
Tidak Ada Perjanjian

Pemberi Kerja -> Pekerja Pemberi Kerja --> Pemberi Kerja -->
Rumahan Perantara -> Pekerja Perantara -> Perantara ->
Rumahan Pekerja Rumahan

Sumber: Data primer, diolah

Ikatan/perjanjian kerja antara pekerja rumahan dengan pemberi


kerja lebih banyak berbentuk perjanjian lisan (69.6%). Pola hubungan
kerja tidak langsung dengan 1 perantara lebih banyak dibandingkan
pola hubungan kerja langsung dan pola hubungan kerja langsung
dengan 2 perantara. 62% diantaranya merupakan pola hubungan
kerja tidak langsung dengan 1 perantara. Perjanjian kerja dalam Pola
hubngan ini rata-rata berbentuk perjanjian lisan. Sama halnya dengan
pola hubungan kerja langsung. Namun pola hubungan kerja tidak
langsung dengan 1 perantara lebih banyak tidak adanya perjanjian
kerja.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 85


Analisa dan Pembahasan

1) Langsung dari Pemberi Kerja ke Pekerja Rumahan


Gambar 4.1

Sumber: Data Primer diolah, 2015

Biasanya pekerja rumahan yang memperoleh kerja


rumahan langsung dari pemberi kerjanya adalah mereka yang
mendapatkan kerja rumahan yang bersifat tradisional yang tidak
membutuhkan keterampilan tingkat tinggi, seperti menjahit,
mengupas udang, dan masih banyak lainnya lagi. Di sisi lain,
karena kerja rumahan ini terdapat di industri dari yang paling
sederhana dan berkembang sampai pada ekonomi modern, maka
ada pula sistem kerja rumahan yang melibatkan peran perantara/
subkon di dalamnya.

2) Tidak langsung (melalui Perantara)


Gambar 4.2
Pola Hubungan Kerja Rumahan secara Tidak Langsung

Sumber: Data Primer diolah, 2015

86 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Analisa dan Pembahasan

Perantara dalam kerja rumahan yang menjadi penghubung


antara pemberi kerja ke perantara lain ataupun langsung ke
pekerja rumahan biasanya ada yang disebut sebagai subkon/
makloon/ketua kelompok. Dalam praktek kerja rumahan yang
melibatkan unsur perantara di dalamnya, ada dari perantara
tersebut yang merangkap sebagai pekerja rumahan juga selain
menjadi perantara. Hal ini mengindikasikan bahwa perantara
dalam praktek kerja rumahan pun masih belum memperoleh
pendapatan yang cukup baik, karena untuk mememnuhi
kebutuhan hidupnya dan keluarganya masih perlu menyambi
menjadi pekerja rumahan, atau bahkan ada pula yang memiliki
kegiatan ekonomi lainnya seperti berdagang.

Perantara yang dirasa lebih ideal adalah perantara yang


berbadan hukum, seperti koperasi. Karena berlandaskan atas
azas kekeluargaan, maka pekerja rumahan yang merupakan
anggota koperasi dan diperantarai oleh koperasi ini merasa dapat
hidup lebih sejahtera karena mendapatkan pembayaran atas
kerja rumahannya dengan lebih layak, dan memperoleh beberapa
kemudahan lainnya, seperti kemudahan akses memperoleh
bahan baku dan bantuan modal. Orderan kerja rumahan yang
diberikan oleh perantara berbadan hukum melalui perjanjian
tertulis seperti yang disebut dengan Surat Perintah Kerja (SPK),
menjadikan adanya kejelasan hubungan kerja di antara para
pihak yang pada akhirnya dapat menjamin pemenuhan hak
dan kewajiban para pihak tersebut. Mengingat masih belum
adanya lembaga yang memberikan perlindungan kepada pekerja
rumahan di Indonesia, maka selanjutnya penting kiranya untuk
dicari bentuk kelembagaan perantara kerja rumahan.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 87


Analisa dan Pembahasan

2. Ikatan/Perjanjian dalam Kerja Rumahan

Sebagian besar pekerja rumahan melakukan kerja rumahan


hanya berdasarkan perjanjian kerja lisan, atau bahkan tidak ada
perjanjian mengikat lainnya sama sekali. Inilah yang menjadi
salah satu permasalahan fundamental mengapa mereka tidak
dapat memperoleh hak-hak dasar sebagaimana mestinya pekerja
lainnya di sektor formal. Gambar 4.3 berikut menggambarkan
berapa banyak pemberi kerja/perusahaan yang memiliki
keterikatan dengan para pekerja rumahan baik secara tertulis,
maupun lisan, serta yang sama sekali tidak memiliki perjanjian
kerja rumahan. Berdasarkan data pada gambar 4.3 tersebut,
sebagian besar (42%) pemberi kerja membuat perjanjian kerja
lisan dengan pekerja rumahan, 26% perjanjian kerja secara
tertulis dan sisanya sebanyak 32% pemberi kerja tidak membuat
perjanjian kerja baik secara tertulis, maupun lisan dengan para
pekerja rumahan.

Gambar 4.3
Bentuk Perjanjian Kerja Rumahan

Sumber: Data Primer diolah, 2015

88 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Analisa dan Pembahasan

Adapun hal-hal yang disepakati dalam isi perjanjian baik secara


tertulis maupun lisan yang terbanyak adalah mengenai besaran
pembayaran imbalan kerja rumahan dan jumlah pesanan barang yang
harus dibuat oleh pekerja rumahan. Karena menggunakan mekanisme
pembayaran upah berdasarkan satuan hasil/borongan, maka biasanya
untuk memenuhi target pesanan dan juga mendapatkan hasil yang lebih
banyak, pekerja rumahan bekerja pada jam kerja yang cukup panjang
dan ada yang melibatkan keluarga termasuk anaknya. Hal inilah yang
pada akhirnya dapat menimbulkan berbagai polemik apabila tidak ada
perjanjian secara tertulis dan lebih jelas. Lebih rinci mengenai hal-hal
apa saja yang disepakati dalam perjanjian kerja rumahan dapat dilihat
pada gambar 4.4.

Gambar 4.4
Isi Perjanjian Kerja Rumahan

Apa yang disepakati dalam ikatan perjanjian


Persen

Upah dan Waktu Upah dan Jumlah Upah, Waktu


Upah Waktu Penyelesaian Waktu Penyelesaian dan
Penyelesaian Pesanan Penyelesaian dan
Jumlah Pesanan Jumlah Pesanan

Sumber: Data Primer diolah, 2015

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 89


Analisa dan Pembahasan

3. Tingkat Keterampilan Pekerja Rumahan

Para pekerja Rumahan tidak menyadari bahwa mereka sedang


bekerja, karena pekerjaan tersebut dilakukan di rumah dan lebih
banyak mengandalkan keterampilan yang tidak terlalu tinggi.
Hal tersebutlah juga yang terkadang menyebabkan mereka
mendapatkan imbalan yang tidak begitu besar, mengingat kerja
rumahan yang dilakukan juga tidak menuntut skill tinggi. Tetapi
untuk beberapa sub sektor industri, dibutuhkan kualifikasi
keterampilan yang cukup tinggi, seperti apa yang terjadi pada sub
sektor industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki, sebagaimana
terlihat pada gambar 4.5 di bawah ini.

Gambar 4.5
Tingkat Keterampilan untuk Kerja Rumahan

Sumber: Data Primer diolah, 2015

90 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Analisa dan Pembahasan

Yang menjadi dirasa tidak adil adalah manakala pekerja


rumahan mengerjakan pekerjaan yang membutuhkan
keterampilan tingkat tinggi, tetapi mereka memperoleh imbalan
yang tidak sesuai atau bahkan jauh dari kata layak.

4. Karakter Industri yang Mempekerjakan Pekerja Rumahan

Industri yang mempekerjakan pekerja rumahan didominasi


oleh industri yang berstatus modal Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) yang tersebar di semua sub sektor industri, meski
tidak sedikit juga pemberi kerja/perusahaan yang mempekerjakan
pekerja rumahan yang berstatus modal Penanaman Modal Asing
(PMA). Pemberi kerja yang berstatus PMA tersebar di sub sektor
industri pakaian jadi, dan yang terbanyak di sub sektor industri
kulit, barang dari kulit dan alas kaki. Data lebih rinci dapat dilihat
pada Gambar 4.6 berikut.
Gambar 4.6
Status Permodalan Pemberi Kerja Rumahan

Sumber: Data Primer diolah, 2015

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 91


Analisa dan Pembahasan

5. Area Pemasaran Produk Kerja Rumahan


Gambar 4.7
Area Pemasaran Produk Kerja Rumahan

Sumber: Data Primer diolah, 2015

Berdasarkan data diagram lingkaran di atas menunjukkan


bahwa cakupan wilayah pemasaran produk hasil kerja
rumahan yang cukup luas, yang bahkan merambah hingga ke
pasar internasional mengindikasikan bahwa pekerja rumahan
merupakan bagian kecil dari bangunan besar lintas area (daerah,
nasional, internasional).

B. KARAKTERISTIK PEKERJA RUMAHAN

1. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta


Sebagian besar pekerjaan yang dilakukan sebelum menjadi
pekerja rumahan adalah bekerja pada perusahaan formal. Namun

92 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Analisa dan Pembahasan

kemudian, dikarenakan adanya rasa jenuh dan keinginan untuk


memiliki fleksibilitas waktu kerja mengingat fungsinya yang
sebagai ibu rumah tangga, menjadikan mereka untuk mencari
pendapatan namun dapat dilakukan di rumah sembari mereka
mengurus keluarga. Oleh karena itu, maka pada akhirnya mereka
memilih untuk bekerja sebagai pekerja rumahan. Pekerjaan yang
mereka lakukan di rumah berdasarkan pesanan dari pemberi
kerja (ataupun dari subkon/perantara), dengan bahan baku
diperoleh dari pemberi kerja (ataupun dari subkon/perantara);
namun, alat produksi yang digunakan untuk bekerja di rumah
harus dibeli sendiri karena tidak disediakan oleh pemberi kerja
(ataupun dari subkon/perantara). Karena sub sektor unggulan di
Provinsi D.I Yogyakarta ini merupakan industri kerajinan tangan,
maka sebagian besar pekerja rumahannya bekerja membuat
kerajinan tangan, seperti keranjang dari eceng gondok, tas dari
kain perca dan wayang kulit. Bentuk perjanjian yang dilakukan
antara pemberi kerja, subkon/perantara dan pekerja rumahan
adalah perjanjian kerja dalam bentuk lisan disertai dengan
adanya kesepakatan dalam hal spesifikasi/model produk, waktu
penyelesaian produk, dan besaran upah yang dibayarkan atas
produk yang dihasilkan. Untuk perusahaan yang berskala besar,
pemberi kerjanya membuat perjanjian kerja dengan subkon/
perantara melalui lembar “purchasing order”.

a. Pengupahan Pekerja Rumahan


Upah yang diterima pekerja rumahan berdasarkan
capaian hasil/target sesuai dengan yang dipesan oleh pemberi
kerja. Upah pekerja rumahan yang didapatkan cukup bervariasi,
namun sebagian besar dari mereka memperoleh upah/
bayaran di atas Upah Minimum Regional (UMR) di Provinsi

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 93


Analisa dan Pembahasan

tersebut. Masing-masing pihak baik pemberi kerja (ataupun


subkon/perantara) dan pekerja rumahan mempunyai
kesempatan untuk menetapkan upah yang dibayarkan atas
setiap produk yang dihasilkan. Namun demikian, ada juga
pekerja rumahan yang tidak dapat melakukan negosiasi
dengan pemberi kerjanya dan menetapkan harga jual produk
dikarenakan ketidakmampuannya bernegosiasi.

Alasan keterbatasan modal menjadi kendala utama para


pemberi kerja, sehingga mereka hanya mampu membayar para
pekerjanya sesuai dengan kemampuannya. Oleh karenanya,
terkadang penghasilan yang didapatkan oleh para pekerja
rumahan hanya dihabiskan untuk membayar biaya operasional
seperti membayar listrik, memperbaiki dinamo mesih jahit
yang rusak dan sebagainya. Apabila produk yang dihasilkan
melebihi order atau target baru harga produk bisa ikut naik.

b. Resiko dalam Pekerjaan


Apabila kualitas barang tidak sesuai, barang tidak
diterima sehingga subkon harus mengganti kerugian karena
ada charge 2.5% dari harga produk apabila penyerahan
produk tersebut mengalami keterlambatan. Sedangkan pada
usaha kecil, subkon/pemberi kerja tidak dapat menuntut
kerugian karena masih didasari dengan asas kekeluargaan.

c. Jaminan Sosial
Pekerja rumahan belum mendapatkan jaminan
sosial sebagaimana mestinya. Tidak ada kompensasi apapun
yang diberikan oleh pemberi kerja ataupun perantaranya
apabila mereka sakit. Di sisi lain, untuk meningkatkan

94 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Analisa dan Pembahasan

kualitas pekerjanya, ada perusahaan yang memanggil


sendiri puskesmas, pemadam kebakaran untuk mengadakan
pelatihan. Sayangnya, kebijakan ini hanya diberikan kepada
pekerja yang di dalam pabrik saja, dan bukan untuk pekerja
yang di luar pabrik, seperti pekerja rumahan. Para pekerja
rumahan yang merupakan pengrajin tas dari kain perca
batik mendapatkan THR berupa uang dan barang. Lagi-lagi,
pemberian insentif di luar pembayaran imbalan kerja para
pekerja rumahan bergantung pada kebijakan masing-masing
pemberi kerjanya, karena tidak semua pekerja rumahan
memperoleh insentif lebih tersebut.

Sub sektor industri kerajinan yang menjadi unggulan


di Provinsi D.I Yogyakarta ini meski tidak terlalu memiliki
resiko kerja yang tinggi, namun masih belum mendapatkan
sosialisasi mengenai BPJS Ketenagakerjaan. Sementara dari
hasil wawancara dengan responden para pekerja rumahan
pengrajin eceng gondok, pengrajin tas kain perca, pengrajin
wayang kulit dan pembolong kancing, mereka menyatakan
mau mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan tetapi belum
mampu membayar iuran program tersebut karena rendahnya
pendapatan yang mereka peroleh.

d. Preferensi untuk bekerja di rumah


Pekerja memilih untuk menjadi pekerja rumahan
karena izin lebih mudah dan tidak terikat dengan perusahaan.
Selain itu, waktu kerja rumahan dapat lebih fleksibel
dibandingkan kerja di pabrik atau kantor misalnya, sehingga
mereka masih tetap dapat mengurus keluarga sembari bekerja
di rumah dan menambah pemasukan keluarga.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 95


Analisa dan Pembahasan

2. Provinsi Jawa Tengah


Kerja rumahan yang mereka lakukan adalah memayet baju,
memotong sisa benang baju, menjahit sepatu, mempacking
batu bara, menjahit sarung tangan, melipat stopmap, sticker,
dan membuat gendongan bayi. Pekerja rumahan dijadikan
sebagai pekerjaan sampingan dengan jam kerja yang panjang.
Namun, sebagian pekerja menjadikan pekerjaan rumahan
sebagai pekerjaan utama mereka. Pekerjaan yang dilakukan
sebelum mereka menjadi pekerja rumahan adalah bekerja pada
perusahaan formal. Namun kemudian, karena adanya keinginan
untuk memiliki fleksibilitas waktu kerja dan mengurus rumah
tangga, menjadikan mereka memilih menjadi pekerja rumahan.

Pekerjaan yang mereka lakukan di rumah berdasarkan


pesanan dari pemberi kerja (ataupun dari perantara/staf quality
control pabrik), dengan bahan baku diperoleh dari pemberi
kerja (ataupun dari perantaranya). Namun alat produksi yang
digunakan sebagian besar harus dibeli sendiri karena tidak
disediakan oleh pemberi kerja (ataupun dari perantaranya).
Kalaupun ada perjanjian yang dilakukan antara pemberi kerja,
perantara dan pekerja rumahan pada umumnya adalah perjanjian
kerja dalam bentuk lisan. Dalam upaya mendapatkan informasi
mengenai kerja rumahan, mereka memperolehnya dari teman
dan tetangga.

a. Pengupahan Pekerja Rumahan


Pekerja rumahan yang juga merupakan ibu rumah
tangga di Provinsi Jawa Tengah mengeluhkan upah yang
sangat rendah dan jauh di bawah UMR. Terkadang penghasilan
yang didapatkan oleh para pekerja rumahan hanya dihabiskan

96 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Analisa dan Pembahasan

untuk membayar biaya transportasi dan membeli alat


produksi. Pekerja rumahan kurang akan perlindungan sosial.
Tidak ada biaya kompensasi akan kecelakaan kerja dan sakit
akibat kerja. Pekerja Rumahan menggunakan waktu kerja
yang panjang karena harus memenuhi target perusahaan.

Upah yang diterima pekerja rumahan berdasarkan


capaian hasil/target sesuai dengan yang dipesan oleh
pemberi kerja. Upah pekerja rumahan yang didapatkan cukup
bervariasi, namun sebagian besar dari mereka memperoleh
upah/bayaran di bawah Upah Minimum Regional (UMR)
di Provinsi tersebut. Pekerja rumahan yang sebagian besar
adalah ibu rumah tangga melakukan pekerjaan rumahan untuk
menambah penghasilan keluarga. Namun upah yang diperoleh
jauh dibawah UMR. Hal penting yang harus diperhatikan adalah
perlindungan advokasi dengan melakukan pendampingan
guna melakukan negosiasi penentuan besarnya upah yang
akan disepakati para pihak.

b. Resiko dalam Pekerjaan


Apabila kualitas barang tidak sesuai, ada beberapa
perusahaan yang tidak mempermasalahkannya, namun ada
juga yang meminta ganti rugi kepada pekerja. Resiko pekerjaan
yang diterima berupa tangan tertusuk jarum dan sakit akibat
kerja karena duduk terlalu lama. Kecelakaan kerja ini bisa
terjadi karena pada saat bekerja mereka tidak memakai alat
pelindung diri.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 97


Analisa dan Pembahasan

c. Jaminan Sosial
Pekerja rumahan tidak menerima kompensasi
apabila sakit atau mengalami kecelakaan kerja. Rata-rata
pekerja rumahan belum memiliki kartu BPJS Kesehatan dan
Ketenagakerjaan, dengan demikian mereka tidak terdaftar
dalam skema jaminan sosial apapun. Tetapi ada juga yang
termasuk penerima bantuan sosial berupa PNPM dan hanya
sebagian kecil yang menerima Tunjangan Hari Raya dari para
pemberi kerjanya.

d. Preferensi untuk bekerja di rumah


Mayoritas ibu rumah tangga ini lebih memilih bekerja
sebagai pekerja rumahan karena fleksibilitas waktu, mengisi
waktu luang, menjaga anak dan menambah penghasilan
keluarga.

3. Provinsi Jawa Timur


Berdasarkan data yang dihimpun dari Disnakertransduk
Provinsi Jawa Timur tahun 2015, sesuai hasil pendataan Sakernas
pada Agustus 2014 lebih dari separuh penduduk perempuan pada
usia kerja (15 tahun ke atas) di Jawa Timur ikut terlibat dalam
pasar tenaga kerja, dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK) sebesar 53,17%. Khusus untuk pekerja rumahan sendiri,
belum ada data resmi yang dilansir baik dari pihak BPS maupun
Disnakertransduk Provinsi Jawa Timur karena data pekerja
rumahan tidak terdaftar dalam wajib lapor ketenagakerjaan,
sehingga tidak ada data mengenai jumlah pekerja rumahan dari
perusahaan yang mempekerjakan pekerja rumahan. Namun
demikian, berdasarkan survey yang dilakukan oleh sebuah
lembaga bernama Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia

98 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Analisa dan Pembahasan

(MWPRI), sebanyak 92% dari pekerja rumahan khususnya di 9


Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur adalah perempuan dan
termasuk dalam kategori penduduk miskin. Pekerja rumahan yang
ditemui di Provinsi Jawa Timur dengan sub sektor unggulannya
berupa sub sektor industri pengolahan diantaranya bekerja
pada industri: pembuatan rambut palsu (wig), penjahit sepatu,
pelipat kertas Surat Yasin. Selain itu, ada pula pekerja rumahan
pada pekerjaan yang bersifat tradisional seperti pembuatan
kue, penganyaman tikar, serta pengrajin bordir untuk pakaian
dan kerudung. Tidak banyak pekerja rumahan yang memiliki
perjanjian kerja, kalaupun ada hanya sebatas perjanjian secara
lisan.

a. Pengupahan Pekerja Rumahan


Skema pengupahan bagi para pekerja rumahan
haruslah berdasarkan pada upah adil yang mana besaran
upah sebaiknya disesuaikan pada skala industri dengan juga
mempertimbangkan volume dan harga end product dari
industri tersebut. Selain itu, segala hal terkait pembayaran
untuk proses produksi yang dilakukan dalam praktek kerja
rumahan ini akan menjadi lebih baik jika bisa dilakukan
melalui transfer payment antar bank, sehingga akan ada rekam
jejak aliran dana pembiayaan kepada para pekerja rumahan
yang kemudian juga dapat dijadikan sebagai referensi untuk
penentuan besaran upah layak bagi mereka.

b. Resiko dalam Pekerjaan


Mengingat adanya keinginan untuk mengisi
kekosongan waktu selama di rumah para pekerja rumahan
yang sebagian besar adalah perempuan khususnya, serta

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 99


Analisa dan Pembahasan

masih rendahnya kesadaran bahwa mereka sebenarnya


sedang bekerja tetapi dilakukan di rumah, menyebabkan
masih rendahnya kesadaran dari para pekerja rumahan
mengenai pentingnya perlindungan pada saat melakukan
kerja rumahan. Sehingga, apabila terjadi kecelakaan kerja
ataupun sakit akibat kerja, maka pekerja rumahan harus
menanggung biaya kesehatan diri dan keluarganya sendiri.
Sementara, jika pekerja rumahan melakukan kesalahan kerja,
maka produk tersebut kemudian diperbaiki dan biaya yang
timbul akibat kesalahan kerja tersebut menjadi tanggung
jawab pemberi kerja. Selain itu, pekerja rumahan juga tidak
dilengkapi dengan alat pelindung diri yang memadai selama
bekerja, meskipun ada pekerjaan yang melibatkan bahan
kimia dalam proses pengerjaannya.

c. Jaminan Sosial
Terkait perlindungan jaminan sosial, perlu dibangun
link antara pekerja rumahan dengan pemerintah melalui
kepesertaan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Dengan demikian negara bisa hadir dalam lingkup praktek
kerja rumahan. Karena selama ini pekerja rumahan belum
terdaftar dalam kedua program BPJS tersebut. Namun
demikian, mengingat masih rendahnya kemampuan pemberi
kerja dan pekerja rumahan khususnya pada kerja rumahan
yang bersifat tradisional untuk mengiur program BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, maka perlu adanya
pemberian keringanan iuran kepesertaan program tersebut,
baik berupa subsidi iuran dari pemerintah maupun dalam
bentuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) khusus bagi pekerja
rumahan.

100 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Analisa dan Pembahasan

d. Preferensi untuk bekerja di rumah


Pekerja rumahan yang sebagian besar perempuan
lebih memilih bekerja sebagai pekerja rumahan karena
fleksibilitas waktu kerja. Namun demikian, mereka sebenarnya
masih berharap untuk bisa membuat usaha sendiri jika
memungkinkan.

4. Provinsi Jawa Barat


Pekerja Rumahan di Jawa Barat kebanyakan berada di sub
sektor pakaian jadi yang dihasilkan oleh pabrik garmen dan tekstil
yang menjadi sub sektor unggulan provinsi tersebut. Pekerja
rumahan ada yang bekerja di rumahnya sendiri maupun di rumah
perantara. Praktek pekerja rumahan ini telah berlangsung lama di
Provinsi Jawa Barat. Produk dari hasil kerja rumahan kebanyakan
merupakan bagian dari seluruh produk barang, seperti sepatu,
tas dan rajut, sedangkan untuk dasi, bola dan kaos hanya bagian
dari produk barang. Kerja rumahan ini rata-rata dijadikan oleh
para pekerja rumahan sebagai sumber pendapatan utama. Info
mengenai pekerjaan ini berasal dari teman dan tetangga atau
mungkin karena pekerja tersebut sebelumnya pernah bekerja
di pabrik tersebut lalu memutuskan bekerja di rumah saja.
Pola Hubungan Kerja Pekerja Rumahan Rata-rata merupakan
hubungan kerja tidak langsung. melalui perantara/makloon.

Perjanjian yang dilakukan antara pekerja dan perantara


berbentuk perjanjian tertulis, sedangkan perjanjian yang
dilakukan perantara dan pekerja rumahan hanya berbentuk
perjanjian lisan. Perjanjian tersebut biasanya berisi jumlah, harga
dan target yang harus dipenuhi. Pekerja rumahan karena sudah
memiliki keahlian ketika bekerja di pabrik sebelumnya sehingga

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 101


Analisa dan Pembahasan

sudah mahir melakukan pekerjaannya, dengan demikian pemberi


kerja tidak menjelaskan dan memberikan pelatihan lagi kepada
mereka mengenai bagaimana cara membuat produk.

a. Pengupahan Pekerja Rumahan


Sistem pengupahan berdasarkan satuan hasil yang
dikerjakan oleh para pekerja rumahan. Rata-rata pekerja
rumahan tidak dapat meminta kenaikan upah, karena
kebanyakan dari mereka sudah memperoleh imbalan lebih
dari UMR. Namun demikian, hal tersebut terjadi karena
pekerja rumahan harus memenuhi target perusahaan yang
cukup tinggi, sehingga pendapatan yang diperoleh pun bisa
lebih besar dari UMR. Sebagai konsekuensinya, mereka harus
bekerja lebih panjang daripada mereka yang bekerja di pabrik
yaitu jika diakumulasikan mereka bekerja lebih dari 8 jam
sehari. Produk-produk yang dihasilkan dari kerja rumahan
ini merupakan produk branded yang diekspor ke luar negeri
selain juga dipasarkan di dalam negeri dan pasar domestik.

Perantara kerja rumahan yang berada di Cibaduyut


tidak memiliki bargaining power karena khawatir pekerjaan
akan pindah ke makloon/perantara lainnya, sehingga mereka
tidak berani untuk meminta kenaikan harga. Sistem kerja
yang dilakukan di Cibaduyut antara pekerja/perantara
dengan pemberi kerja yaitu sistem purchasing order (PO),
sedangkan untuk daerah lainnya sistem kerjanya layaknya
pekerja rumahan lainnya, yaitu secara lisan atau bahkan tanpa
adanya perjanjian apa pun. Ke depannya, rata-rata makloon/
perantara juga pekerja rumahan yang berada di Cibaduyut
ingin dapat membuka usaha sendiri.

102 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Analisa dan Pembahasan

b. Resiko dalam Pekerjaan


Pekerja rumahan belum memiki BPJS Kesehatan
dan Ketenagakerjaan. Tidak ada biaya kompensasi apabila
terjadi kecelakaan kerja dan sakit akibat kerja. Disamping itu,
jika terjadi kesalahan kerja, maka biasanya produk tersebut
diperbaiki, dan biaya yang timbul dari perbaikan tersebut
menjadi tanggung jawab pemberi kerja. Pekerja rumahan di
Provinsi Jawa Barat seperti yang di daerah lainnya pun tidak
memakai alat pelindung diri selama bekerja.

c. Jaminan Sosial
Pekerja memilih menjadi pekerja rumahan
karena waktu yang fleksibel dan dapat merawat keluarga.
Kebanyakan pekerja rumahan pernah bekerja sebelumnya
di perusahaan tersebut. Lalu memutuskan untuk bekerja di
rumah.Harapan yang dinginkan oleh pekerja rumahan adalah
dapat membuka usaha sendiri namun karena modal dan
keterampilan pemasaran yang terbatas menjadi penghambat
harapan tersebut. Belum adanya sosialisasi oleh pemerintah
daerah terkait hal tersebut.

d. Preferensi untuk bekerja di rumah


Menjadi pekerja rumahan adalah pilihan yang dirasa
lebih baik bagi para ibu rumah tangga di provinsi ini, karena
mereka bisa sambil merawat keluarga sementara melakukan
kerja rumahan. Dengan demikian, mereka dapat mempeoleh
tambahan pemasukan selagi mereka merawat keluarganya.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 103


Analisa dan Pembahasan

5. Provinsi DKI Jakarta


Pekerjaan Rumahan yang mereka lakukan adalah menjahit
baju dewasa dan anak-anak, mengobras baju, membuat boneka,
membersihkan sisa-sisa benang pada celana jeans, membuat
kertas kantong makanan, dan membuat alas (tapak) sandal.
Pekerja rumahan ini sebenarnya dijadikan sebagai pekerjaan
sampingan, namun pada kenyataannya dilakukan dengan jumlah
jam kerja yang lumayan panjang. Di sisi lain, ada juga yang
menjadikan kerja rumahan sebagai pekerjaan utama mereka.

Sebagian besar pekerjaan yang dilakukan sebelum menjadi


pekerja rumahan adalah bekerja pada perusahaan formal. Ada
beberapa alasan yang menyebabkan mereka harus keluar dari
perusahaan formal, yaitu karena terkena PHK, keluar dai pekerjaan
(resign) karena harus merawat keluarga dan anak-anak mereka,
juga karena keinginan untuk memiliki fleksibilitas waktu kerja
dan mengurus rumah tangga. Pekerjaan yang mereka lakukan
di rumah berdasarkan pesanan dari pemberi kerja ataupun dari
perantara/subkontraktor, dengan bahan baku yang diperoleh
dari pemberi kerja (ataupun dari perantara/subkontraktor).

Untuk alat produksi yang dipergunakan, sebagian besar mereka


harus membelinya sendiri karena tidak disediakan oleh pemberi
kerja (ataupun dari perantara/subkontraktor). Bentuk perjanjian
yang dilakukan antara pemberi kerja perantara/subkontraktor
dan pekerja rumahan adalah perjanjian kerja dalam bentuk lisan.
Pekerja rumahan mendapatkan informasi mengenai pekerjaan
tersebut dari teman, tetangga ataupun keluarga. Jam kerja yang

104 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Analisa dan Pembahasan

dilalui oleh pekerja rumahan untuk menylesaikan pekerjaan


biasanya sangat panjang atau pasti melebihi waktu 8 jam dalam
sehari dan 40 jam dalam waktu seminggu sebagaimana diatur
dalam hukum ketenagakerjaan, tetapi imbalan yang mereka
terima sangatlah kecil, jauh di bawah ketetuan UMR yang berlaku.

a. Pengupahan Pekerja Rumahan


Upah yang diterima pekerja rumahan relatif rendah
berdasarkan capaian hasil/target sesuai dengan yang dipesan
oleh pemberi kerja. Upah pekerja rumahan yang didapatkan
cukup bervariasi, namun sebagian besar dari mereka
memperoleh upah/bayaran di bawah Upah Minimum Regional
(UMR) di Provinsi tersebut. Pekerja tidak bisa menuntut jika
diberi upah lebih rendah meskipun mereka telah bekerja lebih
panjang karena harus memenuhi target perusahaan. Pekerja
rumahan yang juga merupakan ibu rumah tangga tersebut
mengeluhkan jumlah imbalan yang mereka terima karena
jauh di bawah UMR serta baru bisa mereka ketahui jumlah
besarannya setelah pekerjaan tersebut selesai dilakukan.
Oleh karena itu, hal inilah yang menyebabkan terkadang
penghasilan yang mereka dapatkan hanya cukup dihabiskan
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan membayar
biaya anak sekolah, juga membeli alat produksi, dan tidak
tersisa untuk disimpan sebagai tabungan.

b. Resiko dalam Pekerjaan


Apabila kualitas barang tidak sesuai dan terjadi
kesalahan kerja, ada beberapa perusahaan yang tidak
mempermasalahkan namun ada juga yang meminta produk

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 105


Analisa dan Pembahasan

ditolak dan biaya ditanggung sendiri atau ganti rugi kepada


pekerja. Resiko pekerjaan yang diterima berupa tangan tertusuk
jarum, badan ataupun kaki pegal-pegal akibat kerja terlalu lama.
Sebagian pekerja mengalami kecelakaan kerja karena pekerja
tidak memakai alat pelindung diri selama bekerja.

c. Jaminan Sosial
Pekerja rumahan kurang mendapatkan perlindungan
sosial. Tidak ada biaya kompensasi atas kecelakaan kerja dan
sakit yang mungkin timbul akibat mereka bekerja. Rata-rata
pekerja rumahan belum memiliki BPJS. Namun ada beberapa
sebagian pekerja menerima bantuan sosial dari luar Trisula,
MMK dan LDD yaitu berupa pengobatan. Hanya sebagian kecil
yang menerima Tunjangan Hari Raya.

d. Preferensi untuk bekerja di rumah


Mayoritas ibu rumah tangga ini lebih memilih bekerja
sebagai pekerja rumahan karena fleksibilitas waktu, mengisi
waktu luang, menjaga anak dan menambah penghasilan
keluarga.

6. Provinsi Sumatera Utara


Pekerja rumahan melakukan kegiatan kerja rumahan untuk
menghasilka beragam produk, seperti kain lap, tali sandal, kertas
untuk ibadah agama Budha, menggunting cabai kering (bumbu
mie instan), mengupas bawang, mengupas udang, pemutih
pakaian (blau) dan jok bayi (baby walker). Alat yang digunakan
pekerja rumahan tidak disediakan oleh pemberi kerja. Bahkan,
benang dan lem untuk menjahit jok bayi misalnya juga harus
disediakan sendiri oleh pekerja rumahan.

106 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Analisa dan Pembahasan

Hubungan kerja pekerja rumahan rata-rata bersifat tidak


langsung karena melalui perantara. Rata-rata dari mereka bekerja
lebih dari 10 jam. Target yang sangat tinggi mengakibatkan anak-
anak dilibatkan dalam pekerjaan ini. Tidak ada perjanjian kerja
antara pemberi kerja dengan pekerja rumahan ataupun antara
pekerja rumahan dengan perantara. Meskipun ada, perjanjian
tersebut hanya berbentuk lisan yang sifatnya tidak mengikat.

a. Pengupahan Pekerja Rumahan


Rata-rata upah yang diterima pekerja rumahan
masih sangat jauh di bawah UMR. Dalam sebulan ada pekerja
rumahan yang hanya mendapatkan penghasilan sekitar Rp.
60.000 – 500.000, meski rata-rata pekerjaan ini dilakukan
sebagai pekerjaan utama selain menjadi ibu rumah tangga.
Dengan pendapatan yang sangat minim tersebut, pekerja
rumahan masih harus menanggung sendiri biaya-biaya
operasional seperti biaya listrik dan alat produksi.

b. Resiko dalam Pekerjaan


Pekerja mengalami kecelakaan kerja terkena duri
udang, tertusuk jarum ketika menjahit, dan terkena gunting.
Adapun sakit yang ditimbulkan karena melakukan pekerjaan
ini adalah pegal-pegal dan badan gatal. Biaya yang ditimbulkan
karena kecelakaan kerja dan sakit akibat kerja ditanggung
oleh pekerja rumahan sendiri. Kesulitan yang dialami pekerja
rumahan adalah upah yang terlalu rendah.

c. Jaminan Sosial
Pekerja rumahan belum mendapatkan jaminan sosial
apa pun, baik dari sisi kesehatan maupun ketenagakerjaan,

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 107


Analisa dan Pembahasan

karena mereka belum terdaftar dalam kepesertaan program


BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

d. Preferensi untuk bekerja di rumah


Pekerja rumahan yang kebanyakan berjenis kelamin
wanita lebih memilih bekerja di rumah karena tanggung
jawab keluarga, sehingga keuntungannya mereka bisa sambil
merawat anak dan keluarga, sedangkan kerugian menjadi
pekerja rumahan adalah rumah menjadi berantakan. Ke
depannya, pekerja rumahan di Provinsi Sumatera Utara juga
mengaharapkan agar dapat membuka usaha sendiri dan
mendapatkan upah yang lebih layak.

C. LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS DALAM RANGKA


PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAHAN

1. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta


Dalam rangka penciptaan perlindungan pekerja rumahan di
sektor industri khususnya di Provinsi D.I Yogyakarta, keberhasilan
utama pelaksanaannya sangat ditentukan dengan koordinasi
lintas lembaga yang terkait dengan pekerja rumahan. Kebanyakan
aparatur pemerintah yang membidangi ketenagakerjaan di
wilayah ini masih belum memahami mengenai definisi pekerja
rumahan dan pola hubungan kerja antara pekerja rumahan,
subkon/perantara dan pemberi kerjanya. Hal ini disebabkan
karena para pegawai tersebut belum mendapatkan sosialisasi
tentang pekerja rumahan. Sementara, peraturan perundang-
undangan tentang pekerjaan ini juga belum dibuat, karena
berdasarkan narasumber setempat masih dirasa juga belum

108 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Analisa dan Pembahasan

dibutuhkan, mengingat kondisi kerja rumahan yang ada sekarang


sudah cukup kondusif.

Belum berperannya dinas-dinas terkait yang berkewajiban


memberikan sosialisasi mengenai keberlangsungan pekerjaan
rumahan ini menjadi kendala lainnya dalam rangka menjalankan
usaha. Pemberi kerja, subkon/perantara dan pekerjaan rumahan
beroperasional mengandalkan keterampilan sendiri karena tidak
adanya pembinaan dan pelatihan dari dinas-dinas tersebut. Salah
satu perusahaan sampel di Kabupaten Bantul bahkan memberikan
pelatihan kepada para pekerjanya dengan mengadakan
pelatihannya itu sendiri, namun sayangnya pelatihan semacam
ini hanya diberikan kepada para pekerja yang di dalam pabrik,
tidak kepada para pekerja rumahan. Kondisi yang demikian,
mengakibatkan pentingnya peningkatan kualitas keterampilan
para pihak terkait pekerja rumahan guna meningkatkan
kesejahteraan mereka karena para pekerja tersebut dibayar
berdasarkan produk yang dapat mereka hasilkan.

Belum ada data yang tercatat mengenai jumlah pekerjaan di


Provinsi D.I Yogyakarta yang dilakukan oleh pihak pemerintah
daerah ini terjadi juga sebagai akibat belum dipahami, bahkan
diketahuinya mengenai istilah pekerja rumahan yang juga
merupakan bagian dari beragam jenis pekerja yang perlu
dilindungi oleh negara. Belum adanya payung hukum bagi
para pegawai pengawas ketenagakerjaan untuk melakukan
pembinaan dan perlindungan terhadap pekerja rumahan menjadi
alasan belum diterapkannya perlindungan pekerja rumahan di
sektor industri. Keterbatasan jumlah pengawas ketenagakerjaan
juga selalu menjadi alasan klasik mengapa mereka belum bisa

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 109


Analisa dan Pembahasan

melindungi para pekerja di sektor informal, mengingat banyaknya


pula pekerja pada perusahaan formal yang harus dibina.

Meski masih ada pekerja rumahan yang masih menerima


upah di bawah UMR, namun penting untuk dicatat bahwa
mereka merasa senang melakukan pekerjaan tersebut yang
dapat menambah pendapatan keluarga. Kondisi yang demikian
menjadikan para pegawai pengawas ketenagakerjaan merasa
agak ringkih untuk melakukan pembinaan di lingkup pekerja
rumahan, karena dikhawatirkan justru dengan turut campurnya
mereka justru akan mengganggu keberlangsungan proses
kegiatan pekerjaan di rumahan ini. Terkait pekerja rumahan,
pengawas ketenagakerjaan hanya melakukan inspeksi dalam
rangka penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di
perusahaan pemberi kerja pekerjaan rumahan saja, tidak sampai
dengan ke setiap rumah-rumah tempat para pekerja rumahan
bekerja.

Pegawai di instansi pemerintah terkait pekerja rumahan


(pengawas ketenagakerjaan) dan pekerja rumahan sendiri belum
mendapatkan sosialisasi mengenai konvensi ILO No 177 tentang
Pekerja Rumahan dan Rekomendasi ILO No. 186 tentang Pekerja
Rumahan, sehingga mereka belum mengetahui akan adanya
konvensi ini. Lembaga yang justru telah lebih dahulu peduli atas
keberadaan pekerja rumahan di Provinsi D.I Yogyakarta ini adalah
LSM Yasanti. LSM ini juga berada di Provinsi Jawa Tengah, fokus
mereka adalah pada pemberian pembinaan kepada para pekerja
rumahan, karena Yasanti ini merupakan LSM yang lebih mengarah

110 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Analisa dan Pembahasan

pada pengarustamaan gender, maka pembinaan yang mereka


lakukan lebih terkait pada upaya perlindungan upah pekerja
rumahan perempuan agar lebih setara dengan pekerja laki-laki
pada umumnya di sektor formal sehingga dapat memperoleh
total upah di atas UMR tiap bulannya. Namun demikian, belum
dibangun suatu hubungan kerjasama kelembagaan antara pihak
Pemda dan LSM yang peduli pada pekerja rumahan di Provinsi
D.I Yogyakarta.

2. Provinsi Jawa Tengah


Belum ada kebijakan terkait dengan pekerja rumahan karena
pekerja rumahan belum diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Namun demikian, pekerja rumahan tidak bisa
diatur semata-mata dengan undang-undang melainkan harus
ada pendekatan sosial dan budaya. Instansi yang membidangi
ketenagakerjaan setempat berpendapat bahwa sektor formal
yang, terlebih pekerja rumahan yang berada di sektor informal.

Meskipun belum ada perhatian khusus dari pemerintah


daerah setempat terkait pekerja rumahan, namun ada beberapa
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang juga dengan
dukungan dari ILO MAMPU memberikan perhatian khususnya
kepada pekerja rumahan. Yasanti sebagai LSM yang berperan
memberikan advokasi dan sosialisasi melalui pendekatan
gender, mampu menyadarkan pekerja rumahan akan hak dan
kewajibannya. Di Jawa Tengah, terutama kota Semarang dan
Kabupaten Semarang serta sekitarnya, Yasanti telah melakukan
pendataan perusahaan/ pemberi kerja dan pekerja rumahan
yang mendapatkan kerja rumahan langsung dari pemberi kerja

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 111


Analisa dan Pembahasan

maupun melalui perantara. Adapun CSO merupakan organisasi


yang berperan mengkordinasikan kegiatan antar organisasi
buruh se-Jawa Tengah terutama yang berada dalam hubungan
kerja formal. Forum koordinasi menampung ide perjuangan
untuk memberi advokasi yang dibutuhkan kaum buruh. Meskipun
belum secara khusus masuk akan tetapi secara informatif
mulai memberi perhatian terhadap pekerja rumahan, seperti
Konfederasi Serikat Pekerja Nasional. Melihat praktek baik dari
para pemerhati pekerja rumahan di lembaga-lembaga tersebut,
maka sudah selayaknya pemerintah menjalin sinergitas baik juga
dengan lembaga non pemerintah

3. Provinsi Jawa Timur


Ketidakhadiran negara dalam praktek kerja rumahan diakui
oleh aparat yang membidangi ketenagakerjaan setempat,
sebagai akibat belum adanya payung hukum yang secara spesifik
mengatur mengenai perlindungan pekerja rumahan. Salah satu
langkah strategis yang dilakukan oleh mereka adalah dengan
bersama-sama pihak DPRD Kota Surabaya mencoba menyusun
peraturan perundang-undangan terkait perlindungan tenaga
kerja dalam rangka menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) yang di dalamnya juga melingkupi perlindungan pekerja
rumahan.

Namun demikian, sebelum merumuskan kebijakan terkait


perlindungan pekerja rumahan, perlu kiranya dilakukan suatu
identifikasi mengenai hubungan kerja antara pemberi kerja,
perantara dan para pekerja rumahan itu sendiri. Perintah untuk
melakukan kerja rumahan diberikan secara lisan dari pemberi
kerja kepada pekerja rumahan ataupun melalui perantara kerja

112 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Analisa dan Pembahasan

rumahan. Selain itu, ada pula pemberi kerja yang memesan


produk kepada perantara melalui Purchase Order (P.O), yang
kemudian oleh perantara yang kebetulan dalam hal ini berbentuk
koperasi disalurkan kepada para pekerja rumahan yang menjadi
anggota koperasi tersebut melalui nota pesanan yang berlaku
sebagai Surat Perintah Kerja (SPK). SPK tersebut berisi mengenai
spesifikasi produk yang harus diproduksi, harga dan jumlah
produk, tanggal penyelesai produk, serta kewajiban pekerja
rumahan untuk memperbaiki/mengganti produk yang rusak.
Dengan kata lain, SPK ini dapat dijadikan sebagai dasar adanya
hubungan kerja secara tertulis antara pekerja rumahan dengan
pemberi kerjanya (yang merupakan perantara kerja rumahan).
Oleh karena itu, praktek kerja rumahan yang diperantarai oleh
lembaga formal seperti koperasi ini dapat dijadikan sebagai
contoh praktek baik dari kegiatan kerja rumahan, karena skema
hubungan kerja seperti ini dapat mendukung upaya formalisasi
para pekerja di sektor informal.

Dalam rangka proses formalisasi para pekerja rumahan, maka


sebaiknya praktek kerja rumahan ini dilakukan oleh pemberi
kerja (ataupun perantara) yang berbentuk koperasi ataupun
yang berbadan hukum lainnya. Diharapkan melalui koperasi,
hak dan kewajiban para pihak juga menjadi lebih jelas, karena
adanya perjanjian kerja secara tertulis, sehingga manakala terjadi
perselisihan antar para pihak dapat segera ditangani karena
telah ada dasar acuannya. Selain itu, melalui koperasi juga dapat
membudayakan para pekerja rumahan untuk berorganisasi dalam
wadah yang bukan semata bertujuan untuk mencari keuntungan
semata, melainkan pula untuk meningkatkan kesejahteraan para
anggotanya.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 113


Analisa dan Pembahasan

Hubungan kerja dalam praktek kerja rumahan melalui skema


seperti ini pun menjadi lebih jelas karena pihak koperasi sebagai
perantara yang sebenarnya merupakan pemberi kerja yang
telah memberikan SPK kepada pekerja rumahan inilah yang
selanjutnya berkewajiban untuk memberikan perlindungan
kepada para pekerja rumahan karena antara pihak industri/
perusahaan pemesan dan pekerja rumahan tidak ada ikatan/
hubungan kerja secara langsung.

Adapun salah satu bentuk perlindungan yang dapat diberikan


kepada para pekerja rumahan dan pihak terkait lainnya sebagai
salah satu upaya untuk menghadirkan negara dalam praktek
ini adalah dengan mengikutsertakan mereka dalam program
BPJS Ketenagakerjaan yang pelaksanaannya dapat dilakukan
secara bertahap. Akan tetapi, rendahnya pemahaman pekerja
rumahan mengenai program jaminan sosial yang dikelola
oleh BPJS Ketenagakerjaan di wilayah Provinsi Jawa Timur ini
mengakibatkan masih belum adanya pekerja rumahan yang ikut
serta dalam program BPJS Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, maka
penting kiranya untuk melakukan sosialisasi mengenai program
BPJS Ketenagakerjaan di wilayah tersebut, yang bisa dilakukan
dengan mengundang perwakilan kelompok pekerja rumahan
maupun tokoh-tokoh masyarakat setempat seperti kepala desa.

Mengingat masih rendahnya pemahaman mengenai


karakteristik khusus pekerja rumahan serta masih belum
dipahaminya program BPJS Ketenagakerjaan, maka sebaiknya
pemerintah perlu melakukan sosialisasi lebih lanjut atas
pelaksanaan kerja rumahan di Provinsi Jawa Timur dengan
memperkokoh koordiinasi antara dinas yang membidangi

114 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Analisa dan Pembahasan

ketenagakerjaan di daerah dengan dinas terkait lainnya dalam


rangka memberikan perlindungan kepada pekerja rumahan,
seperti: BPJS Ketenagakerjaan dan dinas lainnya yang membidangi
perindustrian, koperasi dan UKM

4. Provinsi Jawa Barat


Kurangnya SDM pengawas menjadi masalah mendasar bagi
kondisi ketenagakerjaan di Provinsi Jawa Barat. Karena hal
tersebut pula diantaranya, maka pekerja rumahan yang berada
di sektor informal masih belum terjamah. Di Bandung perantara
pekerja rumahan yang biasa disebut makloon pada industri
sepatu dewasa ini semakin tumbuh marak. Pada zaman dahulu
banyak terdapat makloon dalam industri tekstil, namun sekarang
eksistensi mereka sudah semakin meredup.

Perantara kerja rumahan yang masih ada sampai dengan


sekarang mengharapkan agar pemerintah memberikan pelatihan-
pelatihan yang dapat meningkatkan kualitas pekerja rumahan
ataupun pengrajin. Pemerintah seharusnya memiliki keberpihakan
terhadap pekerja rumahan melalui pengaturan kebijakan
terkait perlindungan upah dan kesejahteraan pekerja rumahan.
Pemerintah juga perlu mempertimbangakan perusahaan terkait
investasi dan stabilitas usaha para pemberi kerja.

Seiring dengan semakin beratnya tantangan yang akan dihadai


dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), serta
kurangnya personil pengawas ketenagakerjaan dan pekerja
rumahan yang berada di sektor informal, maka menyebabkan
masih belum terjamahnya perlindungan para pekerja rumahan.
Karena instansi yang membidangi ketenagakerjaan setempat

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 115


Analisa dan Pembahasan

masih beranggapan bahwa pekerja yang berada di sektor formal


saja belum tertangani secara keseluruhan, terlebih yang berada
di sektor informal.

Pekerja rumahan di Kabupaten Majalengka paling banyak


bergerak di industri Bola. Terdapat lebih dari 1000 pekerja
rumahan. Dinsosnakertrans Kab. Majalengka selalu mengadakan
pelatihan-pelatihan untuk pekerja rumahan. Sedangkan, pekerja
rumahan di Kabupaten Bogor dulu masih banyak, tetapi sekarang
industri-industri yang mempekerjakan pekerja rumahan tersebut
mulai redup. Banyak perusahaan yang tutup atau berpindah
ke daerah lain, sehingga keberadaan pekerja rumahan tidak
dapat teridentifikasi karena pekerja berada di sektor informal.
Pengawas ketenagakerjaan tidak masuk ke dalam sektor tersebut.

5. Provinsi DKI Jakarta


Instansi yang membidangi ketenagakerjaan di Provinsi DKI
Jakarta menyatakan sama sekali belum pernah mengadakan
sosialisasi kepada para pekerja rumahan. Berdasarkan
keterangan dari narasumber setempat, selama ini pengawas
ketenagakerjaan memang belum pernah menyentuh pada sisi
perlindungan pekerja rumahan. Hal ini dikarenakan mereka
termasuk ke dalam kategori pekerja informal yang belum ada
dasar hukumnya. Selain itu, rantai pasokan kerja rumahan yang
rumit dan panjang karena adanya pihak perantara yang berlapis
sehingga membuat hubungan kerja yang samar dan kondisi kerja
mereka sulit untuk dipantau dan diawasi.

Meskipun pemerintah belum melakukan pembinaan terhadap


pekerja rumahan, ada salah satu lembaga non pemerintah

116 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Analisa dan Pembahasan

bernama TURC yang juga dengan dukungan proyek ILO MAMPU


membantu melatih meningkatkan pendidikan para buruh
diantaranya pekerja rumahan. TURC dibentuk dan direncanakan
sebagai pusat informasi, pendidikan dan advokasi. Disamping itu,
TURC selama ini pula mengambil peran sebagai pusat advokasi
khusus untuk kasus-kasus pelanggaran kebebasan berserikat,
yang ironisnya semestinya dilakukan oleh pemerintah melalui
instansi yang membidangi ketenagakerjaan setempat. Melalui
lembaga ini, khususnya para pekerja rumahan menjadi sadar
akan hak dan kewajibannya setelah diberikan sosialisasi. Terkait
advokasi mengenai isu perburuhan misalnya, TURC juga bekerja
sama dengan pihak-pihak pemerhati lainnya seperti JRMK
(Jaringan Rakyat Miskin Kota). Dari segi pelatihan, ada beragam
pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada para buruh termasuk
pekerja rumahan.

6. Provinsi Sumatera Utara


Pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara sedang
berencana membuat Peraturan Daerah mengenai Perlindungan
Pekerja Rumahan yang di dalamnya mengatur tentang pekerja
rumahan. Namun, hal tersebut masih terhalang kendala belum
adanya peraturan terkait di tingkat pusat sebagai payung hukum.
berdasarkan masukan dari narasumber setempat, lahirnya
industri besar karena adanya industri kecil. Anggaran untuk desa
yang sebesar Rp. 1 Milyar bisa digunakan untuk industri/pekerja
rumahan. Mengingat belum adanya program/sosialisasi untuk
pekerja rumahan, maka program CSR untuk Pekerja Rumahan
mungkin dirasa lebih efektif.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 117


Analisa dan Pembahasan

Pekerja rumahan merupakan suatu fenomena dimana


terjadinya perbudakan modern. Pemerintah belum melihat
persoalan terkait kerja rumahan yang sesungguhnya. Pemerintah
seharusnya menjembatani dan duduk bersama dengan lembaga
non pemerintah guna mengkaji pekerja rumahan. Pekerja
rumahan di Kota Medan memiliki Serikat Pekerja Rumahan.
Serikat Pekerja Rumahan ini adalah satu-satunya pekerja
rumahan yang berada di Indonesia, yang diberi nama Serikat
Pekerja Rumahan Sejahtera. Yayasan Bitra Indonesia sebagai
LSM mitra pekerja rumahan melalui pembiayaan dari Proyek ILO
MAMPU berkenginan untuk mengadvokasi perlindungan pekerja
rumahan. Menurut mereka, langkah strategis utama yang dapat
ditempuh oleh pemerintah diantaranya adalah dengan membuat
Peraturan Daerah yang mengatur Perlindungan Pekerja Rumahan.
Dengan adanya peraturan terkait perlindungan pekerja rumahan
tersebut, diharapkan para pekerja rumahan akan mendapatkan
kelayakan upah dan jaminan sosial serta penggantian biaya atas
alat produksi.

118 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Kesimpulan dan Saran

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Merujuk pada Undang-Undang No 13 Tahun 2013 tentang


Ketenagakerjaan, maka definisi hubungan kerja dapat
terpenuhi apabila terdapat tiga unsur, yaitu adanya
pekerjaan, perintah dan upah. Dalam kasus kerja rumahan,
maka yang terjadi upah pekerja rumahan dibayar
berdasarkan pekerjaan yang telah selesai dikerjakan,
sehingga biasanya upah mereka dibayarkan per satuan tarif
atau juga biasa disebut sebagai upah borongan.

Meski telah memenuhi salah satu unsur hubungan kerja yang


mana adanya upah, namun demikian tidak serta merta dapat
dikatakan bahwa terdapat hubungan kerja antara pemberi
kerja dan pekerja rumahan, karena masih ada dua unsur lain
yang harus dipenuhi, yaitu adanya perintah dan pekerjaan.
Perintah kerja rumahan ada yang langsung diberikan
kepada pekerja rumahan, namun ada pula yang secara tidak
langsung. Karena hampir sebagian besar pekerja rumahan
tidak menerima perintah kerja rumahan dan pekerjaan kerja
rumahan dari pemberi kerja secara langsung; maka dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa mereka bukanlah pekerja
yang dipekerjakan oleh pemberi kerja rumahan.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 119


Kesimpulan dan Saran

Pekerja rumahan yang mendapatkan pekerjaan baik yang


melalui perantara maupun tidak, pada umumnya bekerja
berlandaskan hubungan kekeluargaan. Hal ini terjadi karena
antar para pihak yaitu pemberi kerja, perantara dan pekerja
rumahan itu sendiri sebenarnya saling membutuhkan
satu sama lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
kerja rumahan merupakan praktek hubungan timbal balik
yang saling menguntungkan. Dengan landasan hubungan
kekeluargaan ini, maka formalisasi praktek kerja rumahan di
Indonesia dikhawatirkan dapat berdampak sosial mengingat
akan adanya potensi perusahaanlah yang kemudian akan
mengambil alih kerja rumahan tersebut untuk dikerjakan
didalam perusahaan, dan sebagai konsekuensinya pekerja
rumahan menjadi tidak produktif dan kehilangan sumber
penghasilan.

2. Pada dasarnya para pekerja rumahan yang sebagian besar


adalah perempuan yang merupakan ibu rumah tangga
merasa terbantu dengan adanya tambahan penghasilan
saat mereka melakukan pekerjaan rumahan ketimbang
mereka berdiam diri saja di rumah, meski masih ada mereka
yang bekerja melebihi jumlah jam kerja sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan, tidak memperoleh
jaminan sosial apapun dan secara kumulatif per bulannya
mendapatkan upah di bawah UMR. Hal ini dianggap wajar
karena adanya jaminan ekonomi yang diperoleh para
pekerja rumahan apabila mereka melakukan kerja rumahan.
Namun demikian, tidak sedikit juga yang menerima total
upah lebih dari UMR setiap bulannya, tetapi bergantung pada
kuantitas, harga produk dan juga tingkat keterampilan yang

120 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Kesimpulan dan Saran

dibutuhkan atas produk yang dihasilkan. Oleh karena itu,


dalam upaya untuk memperjuangkan perlindungan pekerja
rumahan, maka perlu ada fasilitasi perlindungan pekerja
rumahan secara bertahap dengan mempertimbangkan
kelangsungan praktek kerja rumahan.

3. Masih belum dipahaminya mengenai istilah “pekerja


rumahan” oleh pihak terkait di instansi yang membidangi
ketenagakerjaan baik di tingkat pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah, mengakibatkan masih belum
diterapkannya perlindungan bagi para pekerja rumahan di
wilayah tersebut. Adapun strategi yang telah dilakukan oleh
pemerintah daerah di beberapa daerah sampel penelitian
ini dalam upaya melindungi para pihak yang terkait dalam
kerja rumahan adalah melalui pengusulan pembuatan
peraturan daerah yang di dalamnya mengatur mengenai
perlindungan pekerja rumahan. Inisiatif ini diambil juga atas
kerjasama pemerintah yang membidangi ketenagakerjaan
di daerah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
juga merupakan mitra pekerja rumahan di Indonesia,
dengan dukungan dari Lembaga Perburuhan Internasional
(ILO). Mengingat pemberi kerja pada praktek kerja
rumahan ini bukan hanya berasal dari usaha yang berskala
besar, sehingga setiap kebijakan yang akan diambil oleh
pemerintah harus pula mempertimbangkan skala unit
usaha tersebut, karena pada unit usaha yang berskala mikro
belum tentu dapat memberikan perlindungan sebagaimana
yang diberikan oleh unit usaha yang menengah maupun
besar. Dengan demikian, perlu ada pendekatan khusus
sampai dengan terbit aturan yang bisa dijadikan sebagai

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 121


Kesimpulan dan Saran

payung hukum Pemerintah Daerah yang akan mengantur


perlindungan pekerja rumahan melalui Peraturan Daerah/
Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.

B. SARAN

1. Mengingat masih rendahnya perlindungan pekerja rumahan


di sektor industri, maka perlu dilakukan awareness raising
akan pentingnya pekerja rumahan bagi para pemberi kerja/
perusahaan, karena pekerja rumahan merupakan bagian
kecil dari industri besar. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan oleh pemberi kerja khususnya perusahaan di
sektor formal yang mempekerjakan pekerja rumahan dalam
rangka pengakuan terhadap pekerja rumahannya antara lain
yaitu dengan memasukkan data jumlah pekerja rumahan
ke dalam Wajib Lapor Ketenagakerjaan Perusahaan. Oleh
karena itu, peran pengawas ketenagakerjaan terkait
pelaksaan pelaporan data pekerja rumahan ini juga menjadi
sangat penting agar ada kontrol ke perusahaan.

2. Belum adanya kerangka hukum yang secara spesifik


mengatur mengenai perlindungan pekerja rumahan; dalam
waktu dekat ini, dapat ditanggulangi oleh Kementerian
Ketenagakerjaan cq. Direktorat Jenderal (Dirjen)
Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dengan
menerbitkan Surat Edaran (S.E.) mengenai Perlindungan
Pekerja Rumahan. Adapun isi dari Surat Edaran ini adalah
utamanya secara bertahap memberikan perlindungan
kepada para pekerja rumahan dengan mempertimbankan
kondisi kaidah norma dan nilai universalitas, nasional,

122 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Kesimpulan dan Saran

kondisi sosial budaya, juga aspek ketenagkerjaan & HAM


lainnya. Hal ini diperlukan guna menjaga kondisi yang sudah
tercipta sampai dengan sekarang ini agar dapat berjalan
lebih kondusif lagi ke depannya.

Salah satu perlindungan awal yang dapat diakomodir


oleh pemerintah Indonesia melalui Surat Edaran (S.E.)
ini yaitu dengan adanya skema perlindungan upah yang
mampu meningkatkan kesejahteraan pekerja rumahan.
Skema ini diberikan dengan cara adanya penambahan nilai
nominal imbalan sebagai pekerja rumahan, sehingga dari
penambahan nominal imbalan tersebut mereka mereka
mampu membayar mandiri iuran kepesertaan Program BPJS
Kesehatan dan ketenagakerjaan mengingat masih rendahnya
kemampuan pekerja rumahan untuk mengiur program
BPJS tersebut. Ini dirasa tim peneliti menjadi salah satu
win win solution yang diambil dengan mempertimbangkan
pemenuhan hak dan kewajiban para pihak yang terlibat
dalam praktek kerja rumahan, serta negara pun bisa hadir
dalam lingkup praktek kerja rumahan dan memberikan
payung hukum bagi perlindungan pekerja rumahan yang
tersebar di berbagai daerah.

3. Ketiadaan ikatan tertulis tertulis di antara para pihak yang


terlibat dalam kerja rumahan yang pada akhirnya diduga
dapat menimbulkan polemik dalam pemenuhan hak dan
kewajiban para pihak dan juga menyebabkan sulitnya
penelusuran terhadap pemberi kerja, perantara dan pekerja
rumahan mengingat minimnya atau bisa dikatakan hampir
tidak tersedianya data tersebut di lembaga pemerintah,

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 123


Kesimpulan dan Saran

maka kalaupun mau dipaksakan untuk muncul perjanjian


kerja rumahan, perjanjian kerja dimaksud adalah antara
pemberi kerja dan koperasi yang kemudian akan bertindak
selaku perantara kerja rumahan. Dari contoh praktek baik
yang ditemukan di lapangan menunjukkan bahwa manakala
lembaga penempatan pekerja rumahan tersebut telah
berbadan hukum, maka para pekerja rumahan dapat bekerja
lebih layak. Lembaga koperasi dianggap sebagai salah satu
contoh lembaga perantara kerja rumahan yang cukup ideal,
mengingat koperasi ini didasarkan pada asas kekeluargaan
sehingga akan menaungi para anggota. Dengan demikian,
Direktorat Jenderal Pembinaan, Penempatan Tenaga
Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja, melalui program
perluasan kesempatan kerja, perlu mendorong para pekerja
rumahan agar dapat membentuk dan/atau mengarahkan
pekerja rumahan untuk menjadi anggota koperasi, sehingga
mereka dapat lebih mudah memperoleh akses berbagai
bantuan, dan juga mengembangkan program kewirausahaan
para pekerja rumahan agar mampu membuat usahanya
sendiri dan tidak terus menerus bergantung pada kerja
rumahan.

4. Guna meningkatkan keterampilan para pekerja rumahan


yang sebelumnya juga sudah memiliki usaha sendiri,
maka Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan
Produktivitas agar dapat melakukan pemberdayaan Balai
Latihan Kerja (BLK) baik yang se-tingkat pusat, provinsi
maupun kabupaten/kota supaya dapat meningkatkan
keterampilan para pekerja rumahan dan dapat
mengembangkan usaha yang telah mereka rintis.

124 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Kesimpulan dan Saran

5. Kedepannya, dalam rangka mendorong terciptanya


masyarakat madani di Indonesia, maka perlu adanya peran
aktif dari masyarakat guna memperjuangkan perlindungan
bagi para pekerja rumahan. Melalui pendampingan edukasi
dan advokasi dari lembaga-lembaga non pemerintah
yang merupakan mitra pekerja rumahan seperti berbagai
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang selama
ini telah terlibat, pekerja rumahan perlu lebih didorong
untuk memperkuat kelembagaannya guna meningkatkan
kesejahteraan mereka. Selanjutnya LSM ini bekerja
sama dengan Instansi pemerintahan yang membidangi
ketenagakerjaan di daerah juga sebaiknya melakukan
koordinasi dengan dinas atau lembaga terkait lainnya dalam
rangka penciptaan perlindungan pekerja rumahan.

Oleh karena itu, perlu adanya sinergitas program


pemberdayaan antara pemerintah dengan lembaga-
lembaga non pemerintah lainnya, sehingga koordinasi pun
tidak lagi hanya dilakukan pada tataran Pemerintah Pusat
dan Pemerintah daerah, melainkan juga pada tataran tingkat
pemerintah desa dan lembaga-lembaga non pemerintah
lainnya agar juga dapat mendorong peran aktif masyarakat
dalam rangka memberikan perlindungan kepada pekerja
rumahan.

6. Apa pun kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah


sedianya harus tersosialisasi dengan baik, sehingga setiap
kebijakan tidak akan menimbulkan kerancuan pada
penerapannya sampai dengan di tingkat daerah. Mengingat
masih rendahnya perlindungan pekerja rumahan, maka

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 125


Kesimpulan dan Saran

Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial


dan Jaminan Sosial perlu melakukan sosialisasi mengenai
pekerja rumahan, lembaga koperasi yang juga dapat
meningkatkan kesejahteraan pekerja, serta kepesertaan
Program BPJS Ketenagakerjaan di daerah. Selain itu,
pemerintah juga harus dapat memastikan bahwa pada saat
kebijakan dibuat, maka kemudian harus ditaati oleh para
pihak.

126 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA

Agusdinata, B. (2008). Exploratory Modeling and Analysis: a


Promising Method to Deal With Deep Uncertainty. TU Delft,
Delft University of Technology.

Arista Utama, Rahardhika. (2012). Lahirnya Sistem Mlipir Dalam


Hubungan Produksi Antar Sektor Industri dan Masyarakat
Pedesaan. FISIP UI.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), (2003),


Ringkasan Eksekutif mengenai Kebijakan Pasar Kerja untuk
Memperluas Pasar Kerja. Kebijakan Pasar Kerja Untuk
Memperluas Kesempatan Kerja.

Bijou, S. W., Peterson, R. F., & Ault, M. H. (1968). A Method to Integrate


Descriptive and Experimental Field Studies at the Level of Data
and Empirical Concepts. Journal of Applied Behavior Analysis.

Creswell, J. W. (2007). Qualitative inquiry & research design: Choosing


among Five Approaches (2nd ed.). Thousand Oaks, California:
Sage.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 127


Daftar Pustaka

Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (2005). Qualitative research (2nd ed).


Thousand Oaks, London: Sage.

Dewi, P. M. (2012). Partisipasi Tenaga Kerja Perempuan dalam


Meningkatkan Pendapatan Keluarga. Jurnal Ekonomi
Kuantitatif Terapan.

Dr. Sarita Agrawal, Dr. Jyoti Achanta. Dynamics of Market: A Case Study
of Putting Out System in Urban Informal Manufacturing Sector
of Baroda City.

Erwina, W. H. (2010). Pekerja Rumahan. Jurnal Hukum Kementerian


Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I.

Frank, O., & Snijders, T. (1994). Estimating the Size of Hidden


Populations using Snowball Sampling. Journal of Official
Statistics-Stockholm.

Goodman, L. A. (1961). Snowball sampling: The Annals of Mathematical


Statistics, 148-170.

Hancock, B., Ockleford, E., & Windridge, K. (2009). An Introduction to


Qualitative Research. The NIHR RDS EM/YH.

Hayami, Yujiro. (1998). Towards the Rural Based Development of


Commerce and Industry, Selected Experiences from East Asia.
The World Bank.

128 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


Daftar Pustaka

Hendrastomo, G. (2010). Menakar Kesejahteraan Buruh:


Memperjuangkan Kesejahteraan Buruh diantara Kepentingan
Negara dan Korporasi. Jurnal Informasi.

Home Based Workers At Risk: Outworkers And Occupational Health


And Safety Jane Tassie Da/E St Women’s Health Centre, Poti
Adelaide, South Australia.

Idrus, Muhammad. (2002). Metode Penelitian Ilmu-ilmu Sosial


(Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif). UII Press.

ILO. (1996). Konvensi Kerja Rumahan, 1996 (No. 177).

ILO. (1996). Rekomendasi Kerja Rumahan 1996 (No. 177).

ILO. (2013). Tinjauan Kerangka Peraturan Perundang-undangan


untuk Pekerja Rumahan di Indonesia.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. (2003). Undang-undang


Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Safaria, A. F., Riawanti, S., & Suhanda, D. (2003). Hubungan Perburuhan


di Sektor Informal: Permasalahan dan Prospek. Akatiga.

Visible Work, Invisible Workers: A Study of Women Home Based


Workers in Pakistan oleh Syeda Mahnaz Hassan, Azlinda
Azman.

Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri 129


Daftar Pustaka

Wulandari, Sri. (2008). Peran Organisasi Sosial Dalam Mempertahankan


Putting Out System Pada di Industri di Pedesaan.

Website:

http://homenet-indonesia.blogspot.com/2014/11/praktek-
perbudakan-pada-buruh-rumahan.html

http://homenet-indonesia.blogspot.com/2014/10/perempuan-
pekerja-rumahan-tak-ternampak.html

130 Perlindungan Pekerja Rumahan di Sektor Industri


P
enelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola hubungan
kerja antara pemberi kerja dan pekerja rumahan, mengetahui
profil pekerja rumahan dan menganalisa langkah-langkah
strategis yang diperlukan bagi perlindungan pekerja rumahan di
sektor industri di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam
penulisan ini adalah metode kualitatif dengan mempergunakan
kuesioner untuk para informan yang dipilih berdasarkan metode
pengambilan sampel snowball sampling di beberapa provinsi di
Indonesia, seperti: Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur,
DKI Jakarta dan Sumatera Utara. Selain itu, teknik pengumpulan data
dengan wawancara mendalam, diskusi, observasi lapangan dan
dokumentasi digunakan untuk memperkaya analisis data. Alasan
mengapa penelitian ini sangat penting yaitu adanya keharusan
bagi pemerintah untuk melindungi pekerja rumahan yang telah
berkontribusi dalam proses produksi dengan mempertimbangkan
tidak hanya untuk penegakan hukum dan aspek ekonomi, tetapi juga
dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan budaya yang ada di
Indonesia.

Penerbit:
PT Sulaksana Watinsa Indonesia
Citylofts Sudirman Suites 2327-2329
Jl. KH Mas Mansyur 121 Jakarta
Telp/Fax : (021) 86614125
Email: contact@swi-group.com

Anda mungkin juga menyukai