Tahun sembilan puluh lima, seorang anak bernama Evan
mulai beranjak remaja. Usianya tepat dua belas tahun. Evan terlahir kurang beruntung, ayahnya wafat saat Evan berusia enam tahun dan ibunya merupakan tunawisma yang bekerja sebagai penari jalanan. Ia bersama sang ibu tinggal di kolong jembatan.
Sehari-hari ia jalankan dengan ikhlas mengikuti alur takdir
yang menerpanya. Setiap pagi ia selalu menyediakan obat untuk ibunya yang mengidap tuberkulosis. Sang ibu pula tak pernah lelah untuk mengais receh demi sesuap nasi untuk Evan dan dirinya walau paru-parunya sudah dilapisi darah TBC. Ketika siang, Evan pergi memancing ikan untuk mengganjal perutnya sampai sang ibu pulang membawa sebungkus nasi. Bila malam, Evan selalu mengaji di masjid yang tak jauh dari jembatan tempat ia tinggal.
Evan merupakan anak yang tak pernah merasakan dunia
sekolah. Ia buta huruf sampai usia dua belas tahun sebelum akhirnya datang seorang marbot masjid tempat dimana Evan sering mengaji yang bernama Kakek Jamal mengajari Evan mengeja dan akhirnya bisa membaca walau sedikit terbata- bata. Kakek Jamal begitu kagum dengan Evan yang tak bisa membaca alfabet namun begitu lancar melantunkan huruf hijaiyah dalam Al-Qur’an. Kakek Jamal selalu memberi semangat dan menanyakan cita-cita Evan, sontak Evan pun menjawab dengan penuh semangat “Aku ingin jadi pesepak bola macam Diego Maradona kek!” kakek Jamal pun bahagia mendengar semangat Evan, lantas kakek Jamal memberi nasihat “Wah mantap kui van, jadi pemain bola boleh, tapi ngaji karo solat kudu tetep kelakon ya”. Semangat Evan pun melejit setelah mendengar wejangan Kakek Jamal.
Keesokan harinya ia memantapkan diri untuk berlatih
menjadi pesepak bola hebat. Kepada sang ibu Evan berkata “Suatu hari nanti ada pesepak bola terhebat bernama Evan Sucipto, kita tidak akan berada di bawah jembatan ini lagi, Bu!”. Sang ibu pun berkaca-kaca mendengar ucapan Evan yang seperti sumpah serapah itu.
Evan mulai bergabung di tim anak-anak kampung, tim itu
bernama Jati Winangun FC. Di sana ia mengembangkan bakatnya mengolah si kulit bundar. Ia tumbuh menjadi gelandang muda yang bertalenta. Hingga akhirnya ia menjuarai turnamen sepak bola U-13 tingkat kecamatan. Bakatnya tercium ke sejumlah pelatih SSB. Ia mendapat beberapa tawaran untuk bergabung SSB, namun Evan sadar bahwa ia tak bisa bergabung SSB lantaran masalah biaya. Ia tak ingin membebani sang ibu yang bekerja sebagai penari jalanan. Sehari kisaran dua ribu perak tak dapat mencukupi biaya SSB yang satu bulannya mencapai seratus ribu perak.
Tiga tahun berselang, kalender menunjukkan tahun seribu
sembilan ratus sembilan puluh delapan. Desas-desus krisis moneter terngiang-ngiang dimana-mana. Semua orang terkena dampak tak terkecuali Saroh, ibu Evan. Bayangkan saja seorang penari jalanan hidup saat krisis dahsyat melanda, seorang direktur saja babak belur menghadapi krisis itu. Sementara itu Evan terpaksa berhenti bermain sepak bola karena Jatiwinangun FC berhenti sejak krisis moneter melanda.
Evan dan sang ibu sangat kebingungan dengan keadaan ini.
Mereka tak punya rumah juga tak punya uang sepeser pun. Suatu pagi, Evan beranjak dari kolong jembatan untuk mencari receh bagaimana pun caranya. “Bu aku ijin keluar, nanti Evan pulang bawa makanan,” izin Evan kepada ibunya. “Kau seminggu hanya minum air sungai nak, kau pasti lemas, biar ibu saja yang keluar nanti siang kalau paru-paru ibu sudah mendingan,” larang ibu kepada Evan. Tak peduli dengan ucapan sang ibu, Evan tetap bersikeras. Ia berpikir bagaimana cara mendapat uang di tengah krisis dahsyat ini “Nyopet?...njambret?... ah nggak, itu haram... gak berkah. Mulung?... ah mending aku mulung aja, biarin kotor-kotoran yang penting halal... Bismillah,” gumam Evan. Ia pun langsung memungut sampah, tanpa karung, tanpa alat, Evan memulung bermodal tangan kosong dan sampah yang ia dapat dimasukkan ke dalam baju dan kantong celana. Dirasa sudah cukup sampah yang dipungut, Evan pun datang ke pengepul sampah. Di sana ia mendapat upah lima ribu perak “Alhamdulillah, walau pas-pasan yang penting bisa beli nasi bungkus dua ribuan.” Sekitar enam minggu berjalan Evan menjadi pemulung kecil, suatu ketika ia melihat poster seleksi anggota SSB Jogorogo “Ayo ikuti seleksi SSB Jogorogo GRATIS!!, siapa yang terhebat itulah yang diembat. Kuota terbatas!” isi poster itu. Evan sangat tertarik untuk mengikuti seleksi itu. Ia tak tahan untuk mengeluarkan kelihaiannya menari di atas lapangan layaknya Tarian Samba yang selama ini tertahan. Evan selalu mengingat-ingat tanggal dan tempat seleksi itu berlangsung setiap saat “Jam satu siang... jam satu... jam satu... Sabtu... Sabtu... tujuh November...” ingat Evan.
Sabtu, tujuh November tahun sembilan lapan. Ini adalah
hari pembuktian Evan kepada sang Ibu bahwa ia mantap menjadi pesepakbola “Aku bakal cetak tiga gol Bu!!” ucap Evan kepada Ibunya. “Iya nak, jangan lupa berdoa. Ibu selalu berdoa yang terbaik.” jawab sang ibu. Evan bermain sebagai gelandang penyerang pada pertandingan seleksi itu. Ia bermain sangat apik. Cepat, lincah, seperti kutu kecil “La Pulga”. Permainannya sering kali disamakan dengan legenda timnas, Ronny Pattinasarany. Di hari itu, Evan lolos seleksi dengan menyandang gelar pemain terbaik. Ia mencetak empat gol dalam tujuh puluh menit bermain. Nama Evan Sucipto melambung ke seluruh penjuru kota. Evan resmi menjadi bagian dari SSB Jogorogo. Ia bagaikan emas di sana. Sampai suatu ketika bakatnya dilirik oleh pencari bakat Timnas U-16. Evan diberi kartu nama oleh pencari bakat itu. Ibu Evan pun sangat antusias mendukung sang anak untuk menuju ke jenjang profesional per-kulit bundaran. Sang ibu pun langsung bergegas ke wartel untuk menelepon pencari bakat itu. “Dia bisa dipoles jadi pemain hebat, saya melihat aura bintang di dalam diri Evan, Bu.” ucap pencari bakat itu. “Iya Pak, saya sangat mengizinkan Evan untuk bergabung dengan bapak.” jawab sang ibu.
Dua puluh tahun kemudian. Evan Sucipto, kini merupakan
legenda Nusantara. Siapa pun yang berbicara tentang sepak bola di Bumi Pertiwi ini, nama Evan Sucipto selalu menjadi yang pertama dalam ingatan. Dari tetesan darah tuberkulosis, dari paru-paru yang robek, dari gumpalan darah, terlahir pawang bola sepak. Dulu ia minum air sungai selama seminggu penuh, kini ia bisa memakan ikan apa saja yang ada di sungai. Dulu ia memulung untuk mencari makan, kini ia membeli makan untuk membuat sampah. Hidup memang berputar. Seperti roda, seperti bola. Dan Evan Sucipto memutar nasib hidupnya dengan menendang bola. Selo Gayuh Nadi
Assalamualaikum warrahmatullah wabarakatuh. Hai kawan-
kawan! Perkenalkan namaku Selo Gayuh Nadi. Biasa dipanggil Gayuh kadang Selo... Aku lahir di Batang, 20 September 2007. Saat ini aku bersekolah di SMP Negeri 3 Batang.
Hobiku membaca, menggambar, dan bermain angka (hitung-
hitungan). Aku punya cita-cita ingin menjadi ilmuwan dan fisikawan. Nicola Tesla adalah idolaku. Aku merupakan anak introvert, cenderung kaku. Aku lebih menyukai menggunakan kata “saya” daripada “aku” hahaha...