Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

1.1. Tinjauan Teoritis


1.1.1. Asimetri Informasi
Sebuah laporan keuangan dibuat dengan maksud dan tujuan untuk
digunakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan didalamnya, baik
pihak internal perusahaan maupun pihak eksternal perusahaan. Pihak
internal perusahaan antara lain adalah manajer, karyawan, serikat
pekerja, dan lain-lain. Sedangkan pihak eksternal perusahaan antara
lain adalah investor, kreditor, pemerintah dan masyarakat umum. Pihak
pihak tersebut memiliki kepentingan yang berbeda-beda mengenai
laporan keuangan, sebagai contoh untuk internal perusahaan adalah
manajer, yang menggunakan laporan keuangan sebagai bahan evaluasi
kinerja perusahaan dan sebagai alat untuk merencanakan langkah
perusahaan kedepannya, sedangkan bagi eksternal perusahaan
contohnya adalah bagi investor adalah sebagai bahan pertimbangan
mereka sebelum melakukan investasi pada perusahaan tersebut.
Kaitannya dengan laporan keuangan, pihak yang paling
mengetahui isi dari apa yang dilaporkan dalam laporan keuangan
adalah pihak internal perusahaan itu sendiri, dalam hal ini adalah pihak
manajemen. Mereka pasti mengetahui secara detil mengenai peristiwa-
peristiwa yang terjadi pada perusahaan dalam kurun waktu tertentu,
jika dibandingkan dengan pihak eksternal perusahaan yang tidak
terlibat secara langsung dalam aktivitas perusahaan, sehingga tingkat
ketergantungan pihak eksternal terhadap informasi akuntansi pasti tidak
sebesar tingkat ketergantungan pihak manajemen terhadap informasi
akuntansi. dari kejadian tersebut, maka kendala yang akan muncul
adalah munculnya asimetri informasi, antara pihak agent atau
manajemen dan principal atau pemegang saham.
Menurut Tri Handayani Amaliah (2013), Asimetri informasi adalah
suatu keadaan dimana agent mempunyai informasi yang lebih banyak
tentang perusahaan dan prospek dimasa yang akan datang
dibandingkan dengan principal. Kondisi ini memberikan kesempatan
kepada agent menggunakan informasi yang diketahuinya untuk
memanipulasi pelaporan keuangan sebagai usaha untuk
memaksimalkan kemakmurannya. Menurut Rahmawati, dkk. (2006),
Asimetri informasi ini mengakibatkan terjadinya moral hazard, berupa
usaha manajemen untuk melakukan earnings management. Menurut
Scott (2000), terdapat dua macam asimetri informasi yaitu:
1. Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang
dalam lainnya biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan
dan prospek perusahaan dibandingkan pihak luar, dan mungkin
terdapat fakta-fakta yang tidak disampaikan kepada principal.
2. Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang
manajer tidak seluruhnya diketahui oleh investor (pemegang
saham, kreditor), sehingga manajer dapat melakukan tindakan
diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan
sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.
Schift dan Lewin (1970) dalam Ujiyanto dan Bambang (2007),
menyatakan bahwa agent berada pada posisi yang memiliki lebih
banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan
perusahaan secara keseluruhan dibandingkan dengan principal. Dengan
asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan
kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi asimetri yang
dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa
informasi yang tidak diketahui principal. Sehingga dalam kondisi
semacam ini principal seringkali pada posisi yang tidak diuntungkan.
Kaitannya dengan Underpricing, Underpricing sendiri dikarenakan
adanya asimetri informasi. Menurut Eka Retnowati dalam Rosyati dan
Sebeni (2002) mengatakan dalam model Rock, asimetri informasi
antara investor yang sudah mendapatkan informasi (informed), dengan
investor yang belum mendapatkan informasi (uninformed). Model Rock
dalam (Rosyati dan Sebeni, 2002) menunjukkan informasi asimetri
terjadi pada kelompok investor yang memiliki informasi dan kelompok
investor yang tidak mempunyai informasi tentang prospek perusahaan
emiten. Kelompok investor yang mempunyai informasi yang lebih pasti
akan membeli saham-saham pada saat IPO, jikalau nantinya akan
memberikan return kepada mereka, sedangkan kelompok investor yang
memiliki sedikit informasi mengenai prospek emiten pasti akan
membeli saham tanpa memperhatikan saham yang underpriced maupun
overpriced. Akibatnya, kelompok yang memiliki sedikit informasi tadi
akan mendapatkan proporsi saham lebih besar pada saham yang
overpriced, dibandingkan dengan kelompok yang memiliki informasi.
Dampaknya, pastilah kelompok yang memiliki sedikit informasi ini
proporsinya lebih banyak mengalami kerugian dan kelompok ini akan
meninggalkan pasar perdana. Supaya semua kelompok ikut serta dalam
pasar perdana dan memperoleh return yang wajar, serta mereka dapat
menutup kerugian akibat pembelian saham overpriced, maka saham
IPO harus cukup underpriced. Oleh karenanya, lebih tinggi tingkat
ketidakpastian lebih banyak masalah dalam penentuan harga dan
menyebabkan Underpricing (McGuiness,1992) dalam (Rosyati dan
Sebeni, 2002).
1.1.2. Teori Signaling
Teori Signaling memberikan penegasan pada pentingnya sebuah
informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan terhadap keputusan
investasi pihak di luar perusahaan. Informasi adalah unsur penting bagi
investor dan pelaku bisnis, dikarenakan sebuah informasi pada
dasarnya adalah menyajikan keterangan, catatan atau gambaran baik
untuk keadaan masa lalu, saat ini maupun keadaan masa yang akan
datang bagi kelangsungan hidup suatu perusahaan dan bagaimana
pasaran efeknya. Informasi yang lengkap, relevan, akurat dan tepat
waktu sangat diperlukan oleh investor di pasar modal sebagai alat
analisis untuk mengambil sebuah keputusan investasi.
Menurut Jogiyanto (2000: 392), informasi yang dipublikasikan
sebagai suatu pengumuman akan memberikan signal bagi investor
dalam pengambilan keputusan investasi. Apabila pengumuman tersebut
mengandung nilai positif, maka diharapkan pasar akan bereaksi pada
waktu pengumuman tersebut diterima oleh pasar.
Pada saat sebuah informasi diumumkan ke publik, dan informasi
tersebut sampai pada semua pelaku pasar, maka informasi tersebut oleh
pelaku pasar dianalisis, apakah informasi tersebut merupakan sebuah
sinyal yang baik (good news), atau sebuah sinyal yang buruk (bad
news). Menurut Eka Retnowati (2013), apabila informasi yang
diumumkan merupakan informasi yang baik baik investor, maka yang
terjadi adalah perubahan dalam volume perdagangan saham.
Menurut Eka Retnowati (2013) Penggunaan signal positif secara
efektif oleh emiten dan underwriter dapat mengurangi tingkat
ketidakpastian yang dihadapi oleh investor, sehingga investor dapat
membedakan kualitas dari perusahaan yang baik dan buruk. Perusahaan
dengan tingkat ekspektasi keuntungan yang baik akan berusaha
menunjukkan kualitas perusahaannya yang lebih baik dengan
melakukan Underpricing dan memberikan informasi mengenai
besarnya jumlah saham yang ditahan oleh perusahaan. Harga
penawaran underprice dianggap oleh eksternal investor sebagai signal
yang dapat dipercaya mengenai kualitas perusahaan dikarenakan tidak
semua perusahaan sanggup untuk menanggung biaya Underpricing.
Perusahaan yang melakukan Underpricing sebagai signal untuk
menunjukkan kualitas perusahaan hanya akan menjual sebagian kecil
sahamnya pada saat IPO. Hal ini dilakukan untuk menghindari biaya
Underpricing yang terlalu tinggi.
1.1.3. Pasar Modal
Pasar modal apabila digambarkan secara sederhana, adalah sama
seperti halnya pasar-pasar yang telah ada pada umumnya, yaitu tempat
berlangsungnya kegiatan transaksi jual-beli. Menurut Undang-Undang
Pasar Modal No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, mendefinisikan
pasar modal sebagai kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran
Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan
dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang
berkaitan dengan Efek. Definisi lain dari pasar modal (capital market)
adalah pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang
bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk utang, ekuitas (saham),
instrumen derivatif, maupun instrumen lainnya.
Menurut Darmadji dan Fakhruddin (2006:1), Pasar modal
merupakan sarana pendanaan bagi perusahaan maupun institusi lain
(misalnya pemerintah) dan sarana bagi kegiatan berinvestasi. Dengan
demikian, pasar modal memfasilitasi berbagai sarana dan prasarana
kegiatan jual beli dan kegiatan terkait lainnya.
Pada hakekatnya, pasar modal memiliki beberapa fungsi pasar.
Menurut Tandelilin (2001:13), terdapat dua fungsi pasar modal, yaitu:
(1) Sebagai lembaga perantara yang memberikan peran penting dalam
menunjang perekonomian, karena pasar modal dapat menghubungkan
pihak yang membutuhkan dana dengan pihak yang mempunyai
kelebihan dana, (2) Mendorong terciptanya alokasi dana yang efisien,
karena dengan adanya pasar modal maka pihak yang kelebihan dana
(investor) dapat memilih alternatif investasi yang memberikan return
yang optimal. Bagi sebuah negara, pasar modal memberikan kontribusi
dalam pertumbuhan ekonominya.
Berbeda dengan Sunariyah (2006:7), yang mengatakan bahwa ada
lima fungsi pasar modal bagi suatu negara, antara lain: (1) Sebagai
fasilitas untuk melakukan hubungan interaksi antara pembeli dengan
penjual untuk menentukan harga saham atau surat berharga yang
diperjualbelikan belikan, (2) Memberikan kesempatan kepada para
pemodal untuk menentukan hasil (return) yang diharapkan , (3)
Memberikan kesempatan kepada investor untuk menjual kembali
saham yang dimilikinya atau surat berharga lainnya, (4) Memberikan
kesempatan para masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam
perkembangan suatu perekonomian, dan (5) Mengurangi biaya
informasi dan transaksi surat berharga. Pasar modal menjadi sarana
bagi para investor-investor, baik dalam negeri maupun dari luar negeri
dalam menemukan saham yang tepat untuk mereka beli, yang berasal
dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar di pasar modal.
Menurut Eka Retnowati (2013), pasar modal memiliki dua fungsi,
yaitu fungsi ekonomi dan fungsi keuangan. Dalam kaitannya dengan
fungsi ekonomi, pasar modal melaksanakannya dengan memberikan
fasilitas bagi pada lender dan borrower dalam melakukan pemindahan
dana. Dengan melakukan investasi atas kelebihan dana yang dimiliki
oleh para lenders, mereka mengharapkan adanya keuntungan yang
didapat dari investasi tersebut. Sedangkan dari adanya dana dari pihak
luar tersebut, bagi para borrowers merupakan sebuah peluang, dimana
mereka dapat melakukan investasi tanpa menunggu adanya dana dari
hasil kegiatan operasi perusahaan. Pasar modal di Indonesia, dana
diperdagangkan dengan jangka panjang, yang berbeda dengan
perbankan yang sama-sama melakukan fungsi ekonomi. Dalam
kaitannya dengan fungsi keuangan yang dijalankan pasar modal, adalah
dengan menyediakan dana yang diperlukan oleh borrowers, dan para
lenders menyediakan dana tanpa harus terlibat langsung dalam
kepemilikan aktiva riil untuk keperluan investasi tersebut.
Menurut Eka Retnowati (2013), hal-hal yang mempengaruhi
permintaan dan penawaran di pasar modal, secara rinci adalah sebagai
berikut:
1. Penawaran Sekuritas, yang memiliki arti bahwa untuk membentuk
pasar modal yang baik haruslah tersedia cukup penawaran ekuitas.
2. Permintaan Sekuritas, yang memiliki arti harus terdapat cukup
banyak masyarakat yang memiliki dana besar untuk membeli
sekuritas-sekuritas yang ditawarkan.
3. Kondisi Politik dan Ekonomi, dimana kondisi politik apabila stabil,
maka akan turut membantu pertumbuhan ekonomi, dan pada
akhirnya akan berdampak pada permintaan dan penawaran pada
pasar modal.
4. Masalah Hukum dan Peraturan, dimana pembeli sekuritas pada
dasarnya mengandalkan diri pada informasi yang disediakan oleh
perusahaan-perusahaan penerbit sekuritas, karena itu kebenaran
informasi menjadi sangat penting di samping kecepatan dan
kelengkapan informasi itu. Peraturan yang melindungi pemodal
dari informasi yang salah dan menyesatkan menjadi mutlak
diperlukan.
5. Lembaga lain, dimana keberadaan lembaga yang mengatur dan
mengawasi kegiatan pasar modal dan berbagai lembaga yang
memungkinkan dilakukannya transaksi secara efisien. Kegiatan
dari pasar modal pada dasarnya kegiatan yang dilakukan oleh
pemilik dana dan kepada pihak yang memerlukan dana secara
langsung, tanpa perantara keuangan yang mengambil alih resiko
investasi,sehingga peran informasi yang dapat diandalkan
kebenarannya dan cepat tersedia menjadi sangat penting. Di
samping itu transaksi harus dapat dilakukan secara efisien dan
dapat diandalkan. Oleh karena itu, diperlukan lembaga dan profesi
yang menjamin persyaratan tersebut dapat terpenuhi.
1.1.4. Saham
Dari berbagai macam efek atau surat berharga yang
diperjualbelikan dalam pasar modal, saham merupakan yang paling
diminati dan diperjualbelikan dalam pasar modal. Bahkan dalam era
sekarang ini, dengan semakin banyaknya perusahaan yang go public
dan mencatatkan sahamnya pada bursa efek, penawaran akan saham
dalam pasar modal semakin meningkat dan memberikan gairah bagi
para investor untuk melakukan transaksi jual beli saham dalam pasar
saham.
Saham merupakan salah satu dari instrumen pasar modal.
Menerbitkan suatu saham merupakan salah satu cara yang dilakukan
oleh perusahaan dalam kaitannya dengan pendanaan perusahaan.
Saham sendiri dari sisi investor merupakan instrumen investasi yang
paling diminati, karena mampu memberikan tingkat keuntungan (initial
return) yang menarik. Saham sendiri dapat diartikan sebagai tanda
penyertaan modal (baik itu perorangan maupun badan) dalam
perusahaan atau perseroan terbatas. Dengan penyertaan modal tersebut,
maka pihak tersebut memiliki hak klaim atas pendapatan yang
diperoleh perusahaan, aset perusahaan, dan berhak menghadiri Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS).
Saham sendiri pada umumnya digolongkan menjadi dua, yaitu
saham biasa dan saham preferen. Jenis saham yang paling sering
diperjualbelikan dalam pasar modal adalah saham biasa. Jogiyanto
(1998), mendefnisikan saham biasa sebagai jenis saham yang
dikeluarkan oleh perusahaan apabila perusahaan tersebut hanya
mengeluarkan satu macam saham. Para perusahaan yang melakukan go
public bisa disebut sebagai emiten,
Saham biasa adalah jenis saham yang paling banyak digunakan
untuk mengumpulkan dana dari publik. Menurut Eka Retnowati (2013),
saham biasa memiliki dua jenis, yaitu saham atas nama dan saham atas
unjuk. Saham atas nama merupakan saham yang nama pemilik
sahamnya tertera diatas saham tersebut, sedangkan saham atas unjuk
merupakan saham yang tidak tertera nama pemilik saham diatas saham,
namun pemilik saham adalah yang memegang saham tersebut, dan
seluruh hak-hak pemegang saham akan diberikan kepada pihak yang
menyimpan saham tersebut.
Menurut Eka Retnowati dalam Anoraga dan Pakarti (2001),
Manfaat yang dapat diperoleh jika memiliki saham suatu perusahaan
adalah:
1. Deviden, yaitu bagian dari keuntungan yang diperoleh dari
perusahaan, yang dibagikan kepada para pemilik saham.
2. Capital Gain, yaitu keuntungan yang diperoleh dari selisih atas
nilai jual saham dengan nilai beli saham.
3. Manfaat non finansial, berupa prestige, kebangggan, kekuasaan,
dan hak suara dalam mengatur dan menentukan jalannya
perusahaan.

1.1.5. Initial Public Offering (IPO)


Perusahaan yang memerlukan tambahan dana, dan memutuskan
untuk go public, dapat mengambil langkah dengan menjual sahamnya
pada pasar modal. Apabila perusahaan tersebut baru menjual sahamnya
pertama kali dalam pasar modal, maka saham tersebut dapat dijual pada
pasar saham perdana (primary market).
Menurut Eka Retnowati dalam Samsul (2006), Pasar perdana
merupakan tempat atau sarana bagi perusahaan yang untuk pertama kali
menawarkan saham atau obligasi ke masyarakat umum. hr atau bisa
disebut juga dengan penawaran perdana atau pertama kali yang bersifat
umum yang dilakukan oleh perusahaan, sedangkan perusahaan yang
melakukan Initial Public Offering bisa disebut perusahaan go public
atau bisa juga disebut sebagai emiten. Penawaran perdana ini secara
otomatis mengubah status perusahaan, dari yang sebelumnya perseroan
tertutup menjadi perseroan terbuka (Tbk.). Penentuan harga saham
pada pasar perdana ditentukan oleh penjamin emisi atau underwriter
dan perusahaan yang akan go public (emiten). Selanjutnya surat
berharga yang sudah beredar diperdagangkan di pasar sekunder
(secondary market).
Pasar perdana merupakan istilah untuk penawaran perdana yang
dilakukan oleh emiten, kepada para pelaku pasar modal atau investor,
dengan jangka waktu pasar perdana ditentukan oleh pihak penerbit
(issuer), sebelum saham tersebut diterbitkan dan diperdagangkan ke
dalam pasar sekunder. Jangka waktu pasar perdana bervariasi, sesuai
dengan kebutuhan dari emiten, sekurang-kurangnya 6 hari kerja dan
batas maksimalnya selama 90 hari sejak izin emisi diperoleh dari
Bapepam. Harga saham pada pasar perdana ditentukan oleh pihak yang
disebut sebagai penjamin emisi atau underwriter. Penetapan harga
saham dilakukan oleh penjamin emisi bertujuan agar nilai saham dapat
diterima secara wajar oleh para investor dan emiten.
Manfaat yang diterima oleh emiten dari adanya pasar perdana ini
adalah emiten menerima dana segar dari para investor yang membeli
sahamnya pada pasar perdana. Dana yang didapat dari para investor
oleh emiten dapat digunakan untuk mengembangkan usahanya,
memperluas pangsa pasarnya hingga memperbesar volume
produksinya. Selain itu, dana tersebut juga bisa digunakan oleh emiten
untuk melunasi hutang-hutangnya kepada kreditur, dan juga bisa untuk
restrukturisasi perusahaan.
Pasar sekunder merupakan pasar dimana dilangsungkannya
transaksi penjualan dan pembelian saham, setelah melebihi tenggat
waktu dari penawaran saham pada pasar perdana, selambat-lambatnya
90 hari setelah izin emisi diberikan, maka saham atau efek tersebut
harus dicatatkan ke dalam bursa. Dengan adanya pasar sekunder,
merupakan sebuah keuntungan bagi para investor dikarenakan mereka
dapat membeli dan menjual efek kapanpun mereka inginkan. Dari sisi
perusahaan, keuntungan dengan adanya pasar sekunder ini adalah
perusahaan tidak perlu susah susah mencari dan mengumpulkan
investor untuk membeli efek mereka, karena secara otomatis para
investor, baik dalam bentuk korporasi atau perseorangan, berkumpul
pada pasar sekunder ini. Pasar sekunder merupakan sarana yang
memberikan kesempatan bagi para investor untuk melakukan jual-beli
efek yang sudah tercatat dalam Bursa, pasca dilakukannya penawaran
perdana.
Perusahaan dapat memutuskan pilihannya untuk tetap menjadi
perusahaan privat, atau menjadi perusahaan yang go public. Keputusan
untuk menjadi perusahaan yang go public adalah keputusan yang
dipertimbangkan dengan matang oleh perusahaan. Go public sendiri
menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1995
Tentang Pasar Modal menerangkan bahwa go public adalah kegiatan
penawaran saham atau efek lainnya yang dilakukan oleh emiten
(perusahaan penerbit saham) kepada masyarakat berdasarkan tata cara
yang diatur oleh UU Pasar Modal dan Peraturan Pelaksanaanya.
Menurut Ang (1997), Istilah go public hanya digunakan pada saat
perusahaan pertama kalinya menjual saham atau obligasi. Sedangkan
Initial Public Offering merupakan kegiatan yang dilakukan perusahaan
dalam rangka penawaran umum penjualan saham perdana. Dapat
disimpulkan dengan sederhana bahwa makna Go public adalah
ditujukan kepada pelaku yang melakukan penawaran saham perdana,
atau dalam hal ini adalah perusahaan, sedangkan Initial Public Offering
adalah kegiatan dalam rangka menawarkan saham perdananya.
Perusahaan pasti ada maksud dan tujuan dalam memutuskan untuk
melakukan go public, dimana secara umumnya adalah untuk
memperoleh dana tambahan untuk pendanaan perusahaan, namun
spesifiknya pastilah perusahaan ada maksud dan tujuan dalam
melakukan go public di pasar modal.
Perusahaan dalam mengambil keputusan untuk melakukan go
public pasti didasari dengan berbagai pertimbangan dan alasan-
alasan..Menurut Suyatmin (2003), alasan-alasan perusahaan
menawarkan sahamnya pada pasar modal adalah sebagai berikut:
1. Kebutuhan akan dana untuk melunasi hutang baik jangka pendek
maupun jangka panjang sehingga mengurangi beban bunga,
2. Meningkatkan modal kerja perusahaan,
3. Membiayai perluasan perusahaan, seperti membangun pabrik baru
untuk meningkatkan kapasitas produksi,
4. Memperluas jaringan pemasaran dan distribusi produk perusahaan,
5. Meningkatkan teknologi perusahaan,
6. Membayar sarana penunjang seperti pabrik, kantor dll.
Dengan keputusan melakukan go pubic, perusahaan harus siap
menanggung segala konsekuensi-konsekuensi yang akan muncul, dan
harus mematuhi peraturan dan ketentuan yang berlaku dalam
perundang-undangan dan juga aturan pelaksanaan yang mengikutinya.
Konsekuensi lain yang muncul adalah bagi para pemilik lama
perusahaan atau bahkan pendiri perusahaan harus siap menerima
keterlibatan dari pihak-pihak lain dalam kaitannya untuk pengelolaan
perusahaan. Disamping konsekuensi tersebut, perusahaan go public
juga diwajibkan memenuhi kesanggupan-kesanggupan sesuai dengan
peraturan pemerintah yang tertuang dalam keputusan menteri keuangan
Nomor 1548/KMK.013/1990 (Sumariyah, 2006). Adapun
kesanggupan-kesanggupan tersebut antara lain:
1. Keharusan untuk keterbukaan (Full Disclosure)
Indikator suatu pasar modal dalam kondisi yang sehat adalah
dengan transparansi atau keterbukaan mengenai laporan
keuangannya. Keterbukaan ini diperlukan agar investor yang
notabene berasal dari luar perusahaan dapat mengetahui gambaran
dari kondisi perusahaan, sehingga mereka dapat membuat
keputusan yang tepat dalam menginvestasikan dananya pada
perusahaan. Sebagai perusahaan publik yang sahamnya telah
dimiliki oleh masyarakat, perusahaan harus menyadari bahwa
keterbukaan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan adalah
suatu keharusan mutlak. Dengan demikian, emiten harus
memenuhi persyaratan disclosure dalam berbagai aspek sesuai
dengan kebutuhan pemegang saham dan masyarakat serta perturan
yang berlaku.
2. Keharusan untuk mengikuti peraturan-peraturan pasar modal
mengenai kewajiban pelaporan.
Sesaat setelah perusahaan yang sudah go public mencatatkan
efeknya pada bursa efek, maka perusahaan memiliki kewajiban
untuk menyampaikan laporan keuangan dan laporan lain yang
berhubungan dengan kondisi perusahaan secara rutin kepada
BAPEPAM (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan) dan BEI (Bursa Efek Indonesia). Tujuannya agar oleh
pihak BAPEPAM dan BEI mempublikasikan laporan perusahaan
tersebut kepada publik dan masyarakat pemodal melalui
pengumuman pada platform pengumuman di lantai bursa, papan
informasi, atau melalui website informasi resmi mereka. Hal ini
sangat penting bagi para masyarakat pemodal yang tidak memiliki
akses informasi langsung kepada perusahaan. Informasi yang
dibutuhkan adalah berupa informasi kinerja perusahaan. Dengan
adanya informasi tersebut, keputusan dapat diambil dengan tepat,
dan oleh karenanya, perusahaan atau emiten wajib menyampaikan
informasi tepat waktu.
3. Gaya manajemen perusahaan dari informal menjadi formal
Pihak manajemen dari perusahaan sebelum melakukan go
public, tidak diwajibkan untuk membuat laporan apapun yang
kaitannya untuk kepentingan publik. Namun, setelah perusahaan
melakukan go public, yang mana perusahaan memiliki hubungan
kepada eksternal perusahaan, seperti kepada stakeholder
perusahaan, BAPEPAM (Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan), dan BEI (Bursa Efek Indonesia) yang mana
bermuara pada para calon investor, maka hubungan-hubungan
tersebut merupakan hubungan formal yang dilakukan perusahaan
kepada pihak luar, dan peraturan-peraturan yang ada dan yang
berlaku adalah peraturan yang dapat digunakan oleh semua pihak
yang memerlukan.
4. Kewajiban untuk membayarakan deviden
Seorang investor yang membeli saham suatu perusahaan pasti
memiliki maksud dan tujuan, yang salah satunya adalah
mengharapkan adanya keuntungan atas laba yang diperoleh
perusahaan yang dibagikan secara proporsional berdasarkan jumlah
kepemilikan saham masing-masing pemegang saham, atau biasa
dikenal dengan istilah deviden. Deviden sendiri biasanya dibagikan
tiap periode tertentu, dan perusahaan harus melakukannya secara
konstan dan teratur. Apabila perusahaan tidak melakukannya,
maka berdampak pada kepercayaan dan kredibilitas perusahaan di
mata publik.
5. Senantiasa berusaha untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan
perusahaan.
Sebuah perusahaan yang sudah melakukan go public harus
menunjukkan hasil kinerja yang positif, dan memiliki strategi yang
baik untuk dapat bertahan dalam dunia persaingan bisnis. hasil
kinerja yang positif ditunjukkan dengan laba perusahaan yang
berangsur naik dan nilai deviden yang dibagikan kepada pemegang
saham semakin naik. Kewajiban berusahaa meningkatkan
pertumbuhan ini merupakan salah satu kewajiban perusahaan
kepada para pemegang sahamnya.
Dalam proses initial public offering, perusahaan setidaknya harus
melalui beberapa tahapan-tahapan. Menurut Ang (1997), dalam
kaitannya dengan proses initial public offering, perusahaan setidaknya
harus melalui beberapa tahapan-tahapan, antara lain:
1. Tahap Persiapan
Di tahapan ini, perusahaan harus melakukan persiapan awal
sebelum melakukan registrasi ke BAPEPAM (Badan Pengawas
Pasar Modal). Pada tahapan ini, penyelenggaraan RUPS (Rapat
Umum Pemegang Saham) merupakan langkah perdana bagi
perusahaan untuk mendapatkan persetujuan pemegang saham
perusahaan untuk melakukan go public.
Segala hal yang berkaitan kegiatan operasional perusahaan
diubah menjadi sesuai dengan standar perusahaan go public,
misalnya untuk anggaran dasar perusahaan yang sebelumnya
mengikuti standar masing-masing perusahaan, dengan dipilihnya
keputusan untuk go public, maka anggaran dasar perusahaan
disesuaikan menjadi anggaran dasar publik. Selain hal tersebut,
dalam tahapan ini, adalah penunjukan penjamin pelaksana emisi
(lead underwriter) serta lembaga dan profesi pasar modal, yaitu
akuntan publik, konsultan hukum, penilai, Biro Administrasi Efek
(BAE), notaries, security printer serta prospectus printer.
2. Tahap Pemasaran
Tahapan selanjutnya adalah tahapan pemasaran, dimana pihak
yang lebih dominan disini adalah BAPEPAM (Badan Pengawas
Pasar Modal). Di dalam tahapan ini, BAPEPAM akan melakukan
verifikasi dan meneliti legalitas dokumen-dokumen yang
diserahkan oleh perusahaan, yang meliputi beberapa aspek, yaitu
aspek legal, aspek akuntansi, aspek keuangan dan aspek
manajemen. Setelahnya, adalah mengajukan dokumen pernyataan
pendaftaran yang efektif yang ditujukan ke BAPEPAM sampai
pernyataan pendaftaran yang efektif. Selain itu, ada beberapa
langkah lainnya yang harus dilakukan perusahaan dalam tahapan
ini, antara lain:
a. Due diligence meeting
Definisi dari due diligence meeting ini adalah pertemuan
dengar pendapat antara calon emiten dengan underwriter, baik
lead underwriter maupun underwriter. Dalam tahap ini juga
terdapat unsur pendidikan berupa pelatihan, yaitu melatih
emiten untuk dapat menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang
nantinya diajukan oleh calon investor terkait dengan kondisi
perusahaan. Dalam tahapan ini dapat dikatakan bahwa terdapat
proses training yang diberikan kepada emiten untuk lebih siap
terjun ke lantai bursa, tentang menghadapi segala
kemungkinan-kemungkinan yang akan emiten hadapi.
b. Public expose dan roadshow
Public expose dalam tahapan ini adalah sebuah tindakan
marketing kepada masyarakat yang dilakukan oleh calon
emiten. Marketing disini spesifiknya adalah mempresentasikan
perusahaan kepada calon investor. Calon emiten melakukan
pertemuan dengan para calon investor dilanjutkan dengan
mempresentasikan kinerja perusahaan, prospek usaha, resiko,
dan sebagainya sehingga muncul daya tarik dari para investor
untuk membeli saham yang ditawarkan oleh emiten. Public
expose tidak dilakukan sekali, melainkan berkali-kali dan di
lokasi yang berbeda-beda, sehingga menimbulkan suatu
rangkaian disebut roadshow, khususnya penawaran saham
kepada investor asing. didalam public expose dan roadshow
ini, calon emiten dapat menyebarkan informasi memo dan
prospectus awal.
c. Book building
Tahapan ini merupakan tindak lanjut dari tahapan public
expose dan roadshow, dimana dalam tahapan public expose
dan roadshow, setelah diadakannya presentasi yang isinya
salah satunya adalah mengenai besaran harga saham
perusahaan, para calon investor menyatakan ketertarikannya
untuk membeli saham perusahaan yang ditawarkan,
selanjutnya, jumlah saham-saham yang dibeli tersebut
dihimpun. Proses penghimpunan jumlah saham-saham
tersebutlah yang dinamakan book building.
d. Penentuan saham perdana
Tahapan terakhir yang harus dilakukan adalah menentukan
harga final untuk saham yang akan dilepas ke publik, atau bisa
disebut penentuan saham perdana, yang dilakukan antara lead
unterwriter dan calon emiten.
3. Tahap Penawaran umum
Pada tahapan ini, calon emiten menerbitkan prospectus secara
ringkas pada dua media cetak berbahasa Indonesia, yang kemudian
dilanjutkan dengan penyebaran prospectus lengkap final,
melakukan penjatahan saham, refund dan pada akhirnya
penyerahan Surat Kolektif Saham (SKS) bagi yang mendapat jatah
sahamnya.
4. Tahap Perdagangan Sekunder
Tahapan ini berupa tahapan untuk melakukan pendaftaran ke
bursa efek guna untuk mencatatkan sahamnya sesuai dengan tindak
lanjut perjanjian pendahuluan pencatatan yang telah disetujui.
Setelah tercatat, maka saham dapat diperdagangkan dilantai bursa.
1.1.6. Underpricing
Ketika sebuah perusahaan yang pertama kali melakukan penawaran
sahamnya ke bursa saham, pasti masalah yang dihadapi adalah
penentuan harga di pasar perdana tersebut. Di satu sisi, pihak
pemegang saham yang lama tidak ingin menawarkan saham baru
dengan harga yang terlalu murah kepada investor baru, tetapi disisi lain
investor menginginkan untuk memperoleh capital gains dari pembelian
saham di pasar perdana tersebut (Allen dan Faulhaber: 1989).
Menurut Yolana dan Martani (2005), Underpricing adalah adanya
selisih positif antara harga saham di pasar sekunder dengan harga
saham di pasar perdana atau saat IPO. Underpricing disebabkan oleh
perbedaan kepentingan dari pihak-pihak yang terkait dalam penawaran
saham perdana. Harga saham yang dijual di pasar perdana ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara penjamin emisi (underwriter) dan
emiten (issuers), sedangkan harga di pasar sekunder ditentukan oleh
mekanisme permintaan dan penawaran. Menurut Sumarso: 2003 dalam
(Syahputra: 2008), Underpricing saham adalah suatu keadaan dimana
harga saham yang diperdagangkan di pasar perdana lebih rendah
dibandingkan ketika di pasar sekunder. Menurut Ang (1997),
Underpricing saham didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana efek
yang dijual di bawah nilai likuidasinya atau nilai pasar yang seharusnya
diterima oleh pemegang saham. Menurut Brigham (2001),
Underpricing dapat dikatakan sebagai keadaan dimana saham
memberikan return positif pada transaksi pasar sekunder setelah
penawaran perdana.
Kondisi dimana saham memberikan keuntungan kepada pemegang
saham karena perbedaan harga saham yang dibeli di pasar perdana
dengan harga jual saham yang bersangkutan di pasar sekunder
dinamakan sebagai Initial Return (IR).
Menurut Jogiyanto (2007), Initial Return merupakan positif return
bagi investor yang diperoleh dari penawaran perdana mulai dari saat
dibeli di pasar primer sampai pertama kali didaftarkan di pasar
sekunder.
Harga penawaran saham di pasar perdana merupakan hasil dari
kesepakatan yang telah disetujui antara emiten dengan underwriter atau
penjamin emisi. Setelah melakukan penawaran perdana, saham yang
diperjualbelikan di pasar sekunder harganya ditentukan oleh kuat
lemahnya penawaran dan permintaan akan saham. Setelahnya, nilai
prosentase dari selisih harga saham pada pasar sekunder dibandingkan
dengan harga saham pada penawaran perdana menjadi tolak ukur
besarnya initial return. Menurut Sulistyo (2005), Apabila harga saham
pada pasar sekunder pada hari pertama perdagangan saham lebih tinggi
dibandingkan dengan harga penawaran di pasar perdana, maka saham
mengalami Underpricing.
Initial (Harga akhir saham – harga awal saham)
=
Return Harga awal saham

Sumber data: Natali Yustisia, Jurnal Program Akuntansi: Faktor-


Faktor Yang Memengaruhi Tingkat Underpricing Saham Perdana
Pada Perusahaan Non-Keuangan Go Public

Underpricing sendiri terbentuk karena adanya kondisi dimana


secara rata-rata harga saham perusahaan yang baru saja go public,
biasanya harga pada penawaran perdana lebih rendah, jika
dibandingkan dengan harga saham di pasar sekunder. Underpriced
yang tinggi, akan menyebabkan kerugian jika dipandang dari sisi
emiten, ini dikarenakan perusahaan tidak dapat mendapatkann dana
secara maksimal. Hal ini dikarenakan underwiter atau penjamin emisi
mengurangi tingkat resiko yang harus ditanggung olehnya, dikarenakan
fungsi penjaminannya, sehingga perusahaan dinilai lebih rendah dari
kondisi yang sebenarnya.
Di Indonesia, fungsi penjaminan hanya ada satu, yaitu tipe full
commitment, sehingga pihak underwriter berusaha untuk mengurangi
resiko dengan jalan menekan harga di pasar perdana, agar terhindar dari
kerugian (Ghozali dan Mudrik Al Mansur, 2002). Fenomena
Underpricing tidaklah menguntungkan bagi pihak perusahaan yang
melakukan go public, ini dikarenakan dana yang diperoleh perusahaan
tidak maksimal atau tidak sesuai ekspektasi, namun dari satu sisi, pihak
investor mengalami keuntungan dari adanya fenomena Underpricing
ini (Pratiwi dan Kusuma, 2001).
Menurut Beatty (1989), para pemilik perusahaan menginginkan
supaya fenomena underpricing ini diminimalisir, karena fenomena ini
mengakibatkan ternjadinya fenomena transfer kemakmuran (wealth)
dari pemilik perusahaan kepada investor.
Fenomena underpricing ini dapat dihitung dengan menggunakan
rumus:

Underpricin Closing Price (P1) – Offering Price (P0)


= X 100 %
g Offering Price(P0)
Sumber data: Natali Yustisia, Jurnal Program Akuntansi: Faktor-Faktor Yang
Memengaruhi Tingkat Underpricing Saham Perdana Pada Perusahaan Non-
Keuangan Go Public

1.1.7. Faktor-faktor yang mempengaruhi adanya Underpricing


Ketika suatu perusahaan melakukan penawaran saham perdana
atau biasa disebut sebagai Initial Public Offering (IPO), maka pada
umumnya, harga saham perdana perusahaan tersebut yang
diperdagangkan secara sekunder, cenderung mengalami underpriced.
Fenomena saham yang mengalami underpriced ini hampir ditemui
pada pasar saham yang ada di seluruh dunia, dan fenomena ini pasti
dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi adanya Underpricing antara lain:
1. Debt Equity Ratio (DER)
Debt Equity Ratio atau yang biasa disingkat dengan DER
adalah salah satu alat ukur yang termasuk dalam rasio leverage.
DER alat ukur yang menggambarkan kemampuan perusahaan
dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh
beberapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar
hutang-hutangnya. DER menunjukkan keseimbangan antara tingkat
leverage (penggunaan hutang) dengan modal perusahaan sendiri.
DER juga memberikan sebuah jaminan tentang seberapa besar
hutang-hutang perusahaan yang dapat dijamin oleh modal
perusahaan yang digunakan sebagai pendanaan usaha. (Ang, 1997
dalam Kurniawan).
Semakin besar nilai dari DER, maka menandakan bahwa
struktur permodalan usaha lebih banyak memanfaatkan hutang-
hutang relatif terhadap ekuitas. Semakin besar nilai DER
mencerminkan resiko perusahaan yang relatif tinggi, hal ini dapat
mengurangi minat dari investor untuk membeli saham tersebut.
Nilai DER yang tinggi menunjukkan resiko finansial atau resiko
kegagalan perusahaan untuk mengembalikan pinjaman akan
semakin tinggi, dan sebaliknya, semakin kecil nilai DER maka
mencerminkan resiko perusahaan yang relatif rendah, dikarenakan
nilai DER yang rendah menunjukkanr resiko finansial atau resiko
kegagalan perusahaan untuk mengembalikan pinjaman akan
semakin rendah. Dengan kata lain, perusahaan dapat
mengembalikan pinjaman-pinjamannya kepada kreditur, dan ini
menunjukkan hal yang positif kepada investor, mengenai
kredibilitas perusahaan. Salah satu pertimbangan para investor
dalam rangka mengambil keputusan berinvestasi pasti akan
mempertimbangkan nilai DER dari perusahaan. Pengaruh dari
tingginya nilai DER ini akan menimbulkan tingginya tingkat
ketidakpastian perusahaan dalam kaitannya dengan kemampuannya
dalam membayar pinjaman-pinjamannya, sehingga berpengaruh
pada nilai Underpricing saham perusahaan pada pasar sekunder
semakin tinggi.
Untuk mengukur nilai DER, indikator yang digunakan adalah
total hutang atau total debt dan total kepemilikan dari para
pemegang saham atau shareholder equity. Sehingga DER dapat
diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

TD
DER =
TSE

Keterangan :
DER: : Debt to Equity Ratio
TD : Total Debt
TSE : Total Shareholder's Equity

Sumber data: Eka Retnowati, Analisis Faktor - Faktor Yang


Mempengaruhi Underpricing Saham Pada Penawaran Umum
Perdana ( IPO ) Di Bursa Efek Indonesia (BEI)

2. Return on Asset (ROA)


Return on Asset atau ROA merupakan salah satu alat ukur
dalam rasio profitabilitas. Rasio profitabilitas sendiri didefinisikan
sebagai rasio yang menunjukan seberapa efektifnya kegiatan
operasional perusahaan dalam menghasilkan keuntungan atau laba.
Menurut Ang (1997), ROA digunakan untuk mengukur efektifitas
perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan cara
memanfaatkan aktiva yang dimilikinya.
Para Investor yang akan menanamkan modalnya pada
perusahaan biasanya menggunakan rasio ini, kaitannya dengan
pertimbangan apakah perusahaan dalam kegiatan operasionalnya
dapat menghasilkan laba. Dengan kemampuan perusahaan yang
tinggi untuk menghasilkan laba atas asetnya, maka akan terlihat
bahwa resiko yang akan dihadapi oleh investor akan kecil. Ini
menunjukkan tanda bahwa perusahaan dapat memanfaatkan
seluruh asetnya secara maksimal untuk menghasilkan laba,
sehingga tingkat Underpricing yang diharapkan rendah.
Nilai ROA yang semakin tinggi menandakan bahwa
perusahaan mampu dalam menghasilkan laba di masa yang akan
datang, dan laba sendiri merupakan informasi yang penting bagi
investor sebagai pertimbangan dalam menanamkan modalnya.
Semakin baik kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba,
dan laba yang dihasilkanya semakin baik, maka investor pun tidak
segan untuk menanamkan modalnya pada perusahaan. Profitabilitas
yang tinggi dari suatu perusahaan akan berpengaruh pada gambaran
mengenai tingkat Underpricing sahamnya. Tingkat profitabilitas
yang tinggi akan mengurangi ketidakpastian bagi investor,
sehinnga akan menurunkan tingkat Underpricing. Dengan ini
berarti kemungkinan investor untuk mendapatkan return awal
semakin rendah.
Untuk mengukur nilai ROA, indikator yang digunakan adalah
Net Income (After Tax) dan Total Assets. ROA dapat diukur dengan
rumus sebagai berikut:

NIAT
ROA =
TA

Keterangan :
ROA : Return on Asset
NIAT : Nett Income (After Tax)
TA : Total Assets

Sumber data: Eka Retnowati, Analisis Faktor - Faktor Yang


Mempengaruhi Underpricing Saham Pada Penawaran Umum
Perdana ( IPO ) Di Bursa Efek Indonesia (BEI)

3. Earning per Share (EPS)


Menurut Ang (1997), Earning Per Share (EPS) merupakan
perbandingan antara laba bersih setelah pajak pada satu tahun buku
dengan jumlah saham yang diterbitkan (Outstanding Shares).
Berdasar pada teori signaling (Kim, 1999) yakni untuk mengatasi
masalah penilaian yang rendah terhadap harga saham, maka
perusahaan yang berkualitas dapat memberikan signal bagi investor
untuk menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kualitas
yang baik.
Variabel Earning Per Share merupakan proxy laba per lembar
saham perusahaan yang diharapkan dapat memberi gambaran pada
investor terkait jatah keuntungan yang diperoleh para investor
dalam periode tertentu dengan memiliki suatu saham. Earning Per
Share (laba per saham) yang dibagikan perusahaan merupakan
salah satu informasi yang penting bagi para investor di pasar modal
yang digunakan sebagai pengambilan keputusan untuk berinvestasi.
Earning Per Share merupakan pendapatan bersih yang tersedia
bagi saham biasa yang beredar. Jadi Earning Per Share
menggambarkan jumlah rupiah yang didapatkan atas setiap lembar
saham biasa atau laba bersih per lembar saham biasa. Jumlah dari
keuntungan yang tersedia bagi pemegang saham adalah keuntungan
setelah dikurangi pajak pendapatan. Pertumbuhan Earning Per
Share yang positif memperoleh bagian laba yang lebih besar
dimasa yang akan datang atas setiap lembar saham yang
dimilikinya.
Semakin tinggi nilai Earning Per Share tentu saja
menyebabkan semakin besar laba dan kemungkinan peningkatan
jumlah dividen yang diterima oleh pemegang saham. Apabila
Earning Per Share perusahaan tinggi, akan semakin banyak
investor yang ingin membeli saham tersebut sehingga
menyebabkan harga saham tinggi.
Indikator yang digunakan untuk mengukur Earning Per Share
adalah Net Income After Tax dan Jumlah lembar saham yang
diterbitkan. EPS dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Nett Income (After Tax)


EPS =
Outstanding Shares
Sumber data: Eka Retnowati, Analisis Faktor - Faktor Yang
Mempengaruhi Underpricing Saham Pada Penawaran Umum
Perdana ( IPO ) Di Bursa Efek Indonesia (BEI)
4. Umur Perusahaan
Menurut Daljono (2000) dalam Puspita (2011), umur
perusahaan memberikan petunjuk bahwa seberapa lama perusahaan
dapat bertahan. Kemampuan bertahan yang dimaksud adalah
kemampuan dari perusahaan untuk going concern atau
mempertahankan eksistensinya dalam persaingan bisnisnya.
Semakin lama umur dari perusahaan, maka semakin banyak pula
informasi yang bisa didapatkan masyarakat mengenai perusahaan
tersebut. Dengan demikian,dengan semakin banyaknya informasi
yang daoat didapatkan, maka akan mampu meminimalisir adanya
asimetri informasi dan memperkecil adanya ketidakpastian di masa
yang akan datang.
Umur perusahaan memberikan informasi mengenai seberapa
lama eksistensi perusahaan dalam menjalankan bidang usahanya,
dan umur perusahaan ini mempengaruhi tingkat pengalaman yang
dimiliki perusahaan dalam menghadapi segala persaingan yang
muncul. Perusahaan yang beroperasi lebih lama memiliki
kemungkinan yang lebih besar untuk memberikan informasi
perusahaan lebih banyak dan luas, dibandingkan dengan
perusahaan yang baru saja berdiri atau baru merintis bisnisnya.
Dari sini dapat disimpulkan, semakin banyak dan semakin
mudahnya informasi mengenai perusahaan dapat diperoleh, maka
dapat meminimalisir kemungkinan adanya asimetri informasi, dan
pada akhirnya dapat memperkecil ketidakpastian pasar yang
berpengaruh pada nilai Underpricing saham.
Umur perusahaan yang semakin tua dipersepsikan bahwa
perusahaan tersebut tahan uji dan memiliki kapabilitas dalam
bertahan dalam kondisi persaingan bisnis, dan memiliki tingkat
resiko yang rendah, dibandingkan dengan perusahaan yang baru
merintis atau masih tergolong muda. Adapun cara mengetahui
berapa umur perusahaan dapat diukur dari akte pendirian
perusahaan sampai dengan perusahaan melakukan penawaran
saham perdana atau Initial Public Offering (IPO).

Umur Perusahaan = Tahun IPO - Tahun berdirinya perusahaan

Sumber Data: Citra Aulia Widyanti, Pengaruh Variabel Keuangan


Dan Non Keuangan Terhadap Underpricing Saham Pada Saat
IPO di Bursa Efek Indonesia

5. Ukuran Perusahaan
Menurut Ardiansyah (2004), Ukuran perusahaan dapat
dijadikan sebagai proxy tingkat ketidakpastian dari suatu saham.
Perusahaan berskala besar cenderung lebih dikenal masyarakat,
sehingga informasi mengenai prospek perusahaan tersebut lebih
mudah diperoleh investor jika dibandingkan dengan perusahaan
yang berskala kecil. Tingkat ketidakpastian yang akan dihadapi
oleh para calon investor mengenai masa depan perusahaan emiten,
dapat diminimalisir apabila informasi yang didapatkan oleh para
calon investor banyak.
Tingkat ketidakpastian perusahaan berskala besar cenderung rendah
disebabkan skala yang tinggi dari perusahaan cenderung tidak dipengaruhi oleh
pasar, sebaliknya dapat memberi keragaman dan mempengaruhi keadaan pasar
secara keseluruhan. Keadaan ini dapat dinyatakan sebagai kecilnya tingkat resiko
investasi perusahaan berskala besar dalam jangka panjang. Sedangkan pada
perusahaan berskala kecil, tingkat ketidakpastian di masa yang akan datang
cenderung lebih besar, sehingga tingkat resiko investasinya lebih besar dalam
jangka panjang. Ukuran perusahaan dapat diukur dengan total aktiva, jumlah
karyawan, jumlah nasabah, modal, dan penjualan perusahaan. Untuk menghitung

Ukuran Perusahaan = Total Aktiva Perusahaan


ukuran perusahaan menggunakan total aktiva perusahaan dari laporan keuangan
perusahaan tahun terakhir sebelum perusahaan tersebut melakukan IPO.

Sumber Data: Citra Aulia Widyanti, Pengaruh Variabel Keuangan


Dan Non Keuangan Terhadap Underpricing Saham Pada Saat
IPO di Bursa Efek Indonesia

6. Prosentase Penawaran Saham


Besarnya presentase saham menunjukkan presentase saham
yang ditawarkan kepada masyarakat oleh perusahaan. Kepemilikan
saham diduga mempengaruhi tingkat Underpricing, karena
semakin besar saham yang ditawarkan kepada masyarakat, maka
semakin rendah ketidakpastian dimasa yang akan dating dan berarti
semakin tinggi harga saham (Suyatmin dan Sujadi (2006).
Prosentase penawaran saham dapat diukur dengan prosentase
penawaran saham yang ditawarkan ke publik ketika perusahaan
melakukan penawaran saham perdana. Menurut penelitian
terdahulu yaitu Suyatmin dan Sujadi (2006), variabel OFFER
berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing. Dengan
demikan semakin besar prosentase penawaran saham yang
ditawarkan kapada publik, maka tingkat ketidakpastiannya akan
semakin kecil, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap turunnya
tingkat underpricing saham.
Prosentase penawaran saham dapat dihitung menggunakan
rumus sebagai berikut:

TSB – JSYDP
PPS =
TSB

Keterangan :
PPS : Prosentase Penawaran Saham
TSB : Total Saham yang Beredar
JSYDP : Jumlah Saham yang Ditahan Pemilik

Sumber data: Eka Retnowati, Analisis Faktor - Faktor


Yang Mempengaruhi Underpricing Saham Pada Penawaran
Umum Perdana ( IPO ) Di Bursa Efek Indonesia (BEI)

1.2. Penelitian Terdahulu


Underpricing merupakan salah satu fenomena yang sering terjadi pada
sebagian besar pasar modal, baik Indonesia maupun di dunia. Underpricing
menimbulkan dampak yang berbeda bagi perusahaan atau emiten, dan bagi
investor. Fenomena Underpricing bagi perusahaan akan menimbulkan
kondisi yang tidak menguntungkan, ini disebabkan karena dana yang
didapatkan dari proses go public tidak maksimal. Sedangkan fenomena
Underpricing bagi investor akan menguntungkan, karena menerima
keuntungan atas selisih harga saham, atau lebih dikenal dengan initial
return.
Menurut Yolana dan Martani (2005) menjelaskan bahwa Underpricing
merupakan kondisi dimana terdapat selisih positif antara harga saham di
pasar sekunder, dengan harga saham di pasar perdana atau saat IPO.
Underpricing disebabkan oleh perbedaan kepentingan dari pihak-pihak yang
terkait dalam penawaran saham perdana. Harga saham yang dijual di pasar
perdana ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penjamin emisi
(underwriter) dan emiten (issuers), sedangkan harga di pasar sekunder
ditentukan oleh mekanisme permintaan dan penawaran.
Penelitian mengenai Underpricing sebenarnya sudah banyak dilakukan
oleh peneliti sebelumnya, Reza Widhar Pahlevi (2014) dalam jurnal
ilmiahnya telah melakukan penelitian mengenai pengaruh Underpricing
terhadap penawaran saham perdana: Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Underpricing Saham Pada Penawaran Saham Perdana Di
Bursa Efek Indonesia. Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang
mempengaruhi Underpricing diproksikan oleh beberapa variabel, yang
mana variabel-variabel tersebut digolongkan dalam dua faktor, yakni
keuangan dan non keuangan. Faktor keuangan yang mempengaruhi adanya
Underpricing adalah financial leverage, tingkat profitabilitas perusahaan,
dan tingkat current ratio perusahaan. Sedangkan faktor non keuangan yang
mempengaruhi Underpricing adalah reputasi underwriter, reputasi auditor,
presentase penawaran saham, ukuran perusahaan, umur perusahaan dan
jenis industri. Teknik analisis data yang digunakan adalah dengan
menggunakan teknik regresi linier berganda. Hasil dari penelitiannya
menunjukkan bahwa variabel Reputasi underwriter, reputasi auditor,
persentase saham yang ditawarkan ke publik, dan jenis industri tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Underpricing, Sedangkan
variabel financial leverage berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Underpricing, variabel Profitabilitas (ROA), Profitabilitas (NPM), Current
Ratio, Ukuran Perusahaan, dan Umur Perusahaan berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap Underpricing saham pada penawaran saham perdana di
Bursa Efek Indonesia.
Eka Retnowati (2013) dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Penyebab
Underpricing Pada Penawaran Saham Perdana di Indonesia mengatakan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi Underpricing diproksikan oleh
beberapa variabel, antara lain Solvabilitas (DER), Profitabilitas (ROA),
Earning Per Share, Umur Perusahaan, Ukuran Perusahaan, dan Prosentase
Penawaran Saham. Teknik analisi data yang digunakan adalah dengan
menggunakan teknik regresi linier berganda. Hasil dari penelitiannya
menunjukkan simpulan dalam penelitian ini berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan yang telah dilakukan hipotesis pertama menunjukan tidak ada
pengaruh yang signifikan Debt to Equity Ratio terhadap Underpricing. Hasil
pengujian hipotesis kedua tidak ada pengaruh yang signifikan Return On
Asset terhadap Underpricing. Hasil pengujian hipotesis ketiga Terdapat
pengaruh yang signifikan Earning Per Share terhadap Underpricing. Hasil
pengujian hipotesis keempat tidak ada pengaruh yang signifikan Umur
terhadap Underpricing. Hasil pengujian hipotesis kelima terdapat pengaruh
yang signifikan ukuran terhadap Underpricing. Hasil pengujian hipotesis
keenam terdapat pengaruh yang signifikan prosentase saham yang
ditawarkan kepada publik terhadap Underpricing. Hasil pengujian hipotesis
ketujuh Terdapat pengaruh yang signifikan antara Debt to Equity Ratio,
Return On Asset, Earning Per Share , Umur Perusahaan , Ukuran
Perusahaan dan Prosentase Penawaran Saham secara bersamasama terhadap
Underpricing.
Himawan Budi Kuncoro dan Rossje V Suryaputri (2019) dalam jurnal
yang berjudul Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Underpricing
Saham Pada Penawaran Umum Perdana. Dalam penelitian ini, faktor-faktor
yang mempengaruhi Underpricing diproksikan oleh beberapa variabel,
antara lain Debt to Equity Ratio (DER), Return on Equity (ROE), Reputasi
Underwriter, Umur Perusahaan, Ukuran Perusahaan, Tingkat Inflasi dan
Jenis Industri. Teknik analisis data yang digunakan adalah dengan
menggunakan teknik regresi linier berganda. Hasil dari penelitiannya
menunjukkan bahwa: (1) Debt to Equity Ratio (DER) tidak berpengaruh
terhadap Underpricing. (2) Reputasi underwriter berpengaruh negatif
terhadap Underpricing. (3) Umur perusahaan (Age) tidak berpengaruh
terhadap Underpricing. (4) Jenis industri tidak berpengaruh terhadap
Underpricing. (5) Return on Equity (ROE) berpengaruh negatif terhadap
Underpricing. (6) Ukuran perusahaan (Size) berpengaruh negatif terhadap
Underpricing. (7) Tingkat inflasi tidak berpengaruh terhadap Underpricing.

Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
Peneliti
Teknis Hasil
No Sebelumny Judul Variabel
Analisis Penelitian
a
1. Reza Analisis Faktor- Variabel Regresi Variabel
dependen:
Widhar Faktor Yang linier Reputasi
Underpricing
Pahlevi Mempengaruhi berganda underwriter,
Variabel
(2014) Underpricing reputasi
independen:
Saham Pada Financial auditor,
leverage,
Penawaran persentase
tingkat
Saham Perdana profitabilitas saham yang
perusahaan,
Di Bursa Efek ditawarkan
tingkat
Indonesia current ratio ke publik,
perusahaan,
dan jenis
reputasi
underwriter, industri tidak
reputasi
mempunyai
auditor,
presentase pengaruh
penawaran
yang
saham,
ukuran signifikan
perusahaan,
terhadap
umur
perusahaan Underpricing
dan jenis
, Sedangkan
industri.
variabel
financial
leverage
berpengaruh
positif dan
signifikan
terhadap
Underpricing
, variabel
Profitabilitas
Peneliti
Teknis Hasil
No Sebelumny Judul Variabel
Analisis Penelitian
a
(ROA),
Profitabilitas
(NPM),
Current
Ratio,
Ukuran
Perusahaan,
dan Umur
Perusahaan
berpengaruh
negatif dan
signifikan
terhadap
Underpricing
saham pada
penawaran
saham
perdana di
Bursa Efek
Indonesia.

2 Eka Penyebab Variabel Regresi Tidak ada


dependen: pengaruh
Retnowati Underpricing linier
Underpricing yang
(2013) Pada berganda signifikan
Variabel Debt to
Penawaran
independen: Equity Ratio
Saham Perdana Solvabilitas terhadap
(DER), Underpricing
di Indonesia
Profitabilitas . Hasil
(ROA), pengujian
Peneliti
Teknis Hasil
No Sebelumny Judul Variabel
Analisis Penelitian
a
Earning Per hipotesis
Share, Umur kedua tidak
Perusahaan, ada pengaruh
Ukuran yang
Perusahaan, signifikan
dan Return On
Prosentase Asset
Penawaran terhadap
Saham Underpricing
. Hasil
pengujian
hipotesis
ketiga
Terdapat
pengaruh
yang
signifikan
Earning Per
Share
terhadap
Underpricing
. Hasil
pengujian
hipotesis
keempat
tidak ada
pengaruh
yang
signifikan
Umur
terhadap
Underpricing
. Hasil
pengujian
hipotesis
kelima
terdapat
pengaruh
yang
signifikan
ukuran
Peneliti
Teknis Hasil
No Sebelumny Judul Variabel
Analisis Penelitian
a
terhadap
Underpricing
. Hasil
pengujian
hipotesis
keenam
terdapat
pengaruh
yang
signifikan
prosentase
saham yang
ditawarkan
kepada
publik
terhadap
Underpricing
. Hasil
pengujian
hipotesis
ketujuh
Terdapat
pengaruh
yang
signifikan
antara Debt
to Equity
Ratio, Return
On Asset,
Earning Per
Share , Umur
Perusahaan ,
Ukuran
Perusahaan
dan
Prosentase
Penawaran
Saham secara
bersamasama
terhadap
Underpricing
Peneliti
Teknis Hasil
No Sebelumny Judul Variabel
Analisis Penelitian
a
.
3 Himawan Analisis Faktor- Variabel Regresi (1) Debt to
dependen: linier
Budi Faktor Yang Equity Ratio
Underpricing berganda
Kuncoro dan Mempengaruhi (DER) tidak
Rossje V Underpricing berpengaruh
Variabel
Suryaputri Saham Pada independen: terhadap
Debt to
(2019) Penawaran Underpricing
Equity Ratio
Umum Perdana (DER), .(2) Reputasi
Return on
underwriter
Equity
(ROE), berpengaruh
Reputasi
negatif
Underwriter,
Umur terhadap
Perusahaan,
Underpricing
Ukuran
Perusahaan, .(3) Umur
Tingkat
perusahaan
Inflasi dan
Jenis (Age) tidak
Industri.
berpengaruh
terhadap
Underpricing
.(4) Jenis
industri tidak
berpengaruh
terhadap
Underpricing
.(5) Return
on Equity
(ROE)
berpengaruh
Peneliti
Teknis Hasil
No Sebelumny Judul Variabel
Analisis Penelitian
a
negatif
terhadap
Underpricing
.(6) Ukuran
perusahaan
(Size)
berpengaruh
negatif
terhadap
Underpricing
.(7) Tingkat
inflasi tidak
berpengaruh
terhadap
Underpricing
.

Sumber : kumpulan berbagai jurnal yang diolah

1.3. Rerangka Pemikiran


Dengan semakin banyaknya penelitian yang membahas tentang faktor-
faktor penyebab terjadinya underpricing dalam penawaran saham perdana,
maka dapat katakan bahwa fenomena underpricing ini menarik untuk
diteliti. Penelitian mengenai fenomena underpricing di Indonesia dapat
ditemukan dalam bentuk jurnal ilmiah, yang peneliti himpun dari beberapa
sumber, diantaranya dari Reza Widhar Pahlevi (2014), Eka Retnowati
(2013) dan Himawan Budi Kuncoro dan Rossje V Suryaputri (2019).
Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Reza Widhar Pahlevi dengan
peneliti adalah terletak pada variabel independennya. Dimana Reza Widhar
Pahlevi mengambil variabel independen financial leverage, tingkat
profitabilitas perusahaan, tingkat current ratio perusahaan, reputasi
underwriter, reputasi auditor, presentase penawaran saham, ukuran
perusahaan, umur perusahaan dan jenis industri. Sedangkan peneliti
mengambil variabel independen berupa Debt Equity Ratio (DER), Return
on Asset (ROA), Earning per Share (EPS), Umur Perusahaan, Ukuran
Perusahaan dan Prosentase Penawaran Saham.
Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Eka Retnowati (2013) dengan
penulias adalah terletak pada tahun penelitiannya, dimana Eka Retnowati
mengambil tahun penelitian dari 2008-2011, sedangkan peneliti mengambil
tahun penelitian 2014-2019.
Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Himawan Budi Kuncoro dan
Rossje V Suryaputri (2019) dengan peneliti adalah terletak pada variabel
independennya. Dimana Himawan Budi Kuncoro dan Rossje V Suryaputri
mengambil variabel independen Debt to Equity Ratio (DER), Return on
Equity (ROE), Reputasi Underwriter, Umur Perusahaan, Ukuran
Perusahaan, Tingkat Inflasi dan Jenis Industri. Sedangkan peneliti
mengambil variabel independen berupa Debt Equity Ratio (DER), Return
on Asset (ROA), Earning per Share (EPS), Umur Perusahaan, Ukuran
Perusahaan dan Prosentase Penawaran Saham.
Informasi yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah berupa
informasi keuangan dan informasi non keuangan, dimana informasi
keuangan yang peneliti gunakan adalah Debt Equity Ratio (DER), Return
on Asset (ROA), Earning per Share (EPS). Sedangkan informasi non
keuangan yang peneliti gunakan adalah Umur Perusahaan, Ukuran
Perusahaan dan Prosentase Penawaran Saham. Informasi-informasi tersebut
diperkirakan dapat memberikan pengaruh terhadap underpricing pada
penawaran saham perdana perusahaan. Atas dasar itu, maka dapat
digambarkan sebuah kerangka pemikiran sebagai berikut:
Gambar 2.1 Rerangka Pemikiran

1.4. Pengembangan Hipotesis


Dari pengembangan rerangka pemikiran yang telah diuraikan diatas,
dapat dirumuskan hipotesis-hipotesis sebagai berikut:
H1 : Debt Equity Ratio (DER) berpengaruh signifikan terhadap besarnya
tingkat underpricing
H2 : Return on Asset (ROA) berpengaruh signifikan terhadap besarnya
tingkat underpricing
H3 : Earning per Share (EPS) berpengaruh signifikan terhadap besarnya
tingkat underpricing
H4 : Umur perusahaan berpengaruh signifikan terhadap besarnya
tingkat underpricing
H5 : Ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap besarnya
tingkat underpricing
H6 : Prosentase penawaran saham yang ditawarkan ke publik berpengaruh
signifikan terhadap besarnya tingkat underpricing
H7 : Debt Equity Ratio (DER), Return on Asset (ROA), Earning per Share
(EPS), Umur Perusahaan, Ukuran Perusahaan dan Prosentase Penawaran
Saham yang ditawarkan ke publik berpengaruh signifikan terhadap
besarnya tingkat underpricing.

Anda mungkin juga menyukai