Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PRODUKASI TANAMAN HORTIKULTURA


PENGARUH LINGKUNGAN BERDAMPAK TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PADA KOMUDITAS
TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.)

Disusun Oleh :
Ardyla
(2012211004)
Agroteknologi 3A

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN, PERIKANAN, DAN BIOLOGI
UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang potensial dalam
memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan ekonomi dan memegang peranan
penting dalam sumber pendapatan petani, perdagangan, maupun penyerapan tenaga kerja.
Komoditas tanaman hortikultura di Indonesia dapat dibagi menjadi empat kelompok besar,
yaitu tanaman buahbuahan, tanaman sayuran, tanaman biofarmaka, dan tanaman hias
(Wahyudie, 2020).
Menurut Zulkarnain (2010) “Hortikultura berasal dari bahasa latin, hortus dan
colore. Hortus berarti kebun atau sebidang tanah yang berada di sekitar rumah yang masih
dibatasi oleh pagar dan colore yang berarti mengusahakan (terutama mikroorganisme pada
media tanam)”. Jadi secara harfiah, hortikultura adalah ilmu yang mempelajari
pembudidayaan tanaman kebun. Lebih luas, para ahli kemudian bersepakat bahwa
hortikultura adalah ilmu yang mempelajari budidaya tanaman sayuran, buah-buahan, bunga-
bungaan, dan tanaman hias. Pengertian tersebut didasarkan pada kecenderungan bahwa
tanaman yang ditumbuhkan di sekitar rumah adalah yang tergolong jenis yang sudah
disebutkan sebelumnya
Ditinjau dari fungsinya tanaman hortikultura dapat memenuhi kebutuhan jasmani
sebagai sumber vitamin, mineral dan protein (dari buah dan sayur), serta memenuhi
kebutuhan rohani karena dapat memberikan rasa tenteram, ketenangan hidup dan estetika
(tanaman hias/bunga). Ditinjau dari funsinya hortikultura mempunyai fungsi sebagai berikut:
a) memperbaiki gizi masyarakat, b) memperbesar devisa negara, c) memperluas kesempatan
kerja, d) meningkatkan pendapatan petani, dan e) pemenuhan kebutuhan keindahan dan
kelestarian lingkungan. Namun demikian di dalam kita membahas masalah hortikultura perlu
diperhatikan pula mengenai sifat khas dari hasil hortikultura, yaitu: a) tidak dapat disimpan
lama, b) perlu tempat lapang (voluminous), c) mudah rusak (perishable) dalam pengangkutan,
d) melimpah/meruah pada suatu musim dan langka pada musim yang lain, dan e) fluktuasi
harganya tajam. Dengan mengetahui manfaat serta sifat-sifatnya yang khas, maka dalam
pengembangan hortikultura agar dapat berhasil dengan baik diperlukan sstartegi dan
pengetahuan yang mendalam mengenai produk hortikultura (Pitaloka, 2017).
Kementerian Pertanian telah menetapkan sebanyak 323 jenis komoditas hortikultura
terdiri dari 60 jenis buahbuahan, 80 jenis sayuran, 66 jenis biofarmaka (tanaman obat) dan
117 jenis tanaman hias (florikultura) dan diperkirakan jenis komoditas hortikultura ini akan
bertambah banyak di masa mendatang. Kementerian Pertanian telah menetapkan beberapa
komoditas utama dan unggulan hortikultura yaitu cabai, bawang merah, kentang, jeruk,
mangga, manggis, salak, pisang, durian, jahe, anggrek dan krisan (Wahyudie, 2020).
Tanaman kentang di Indonesia termasuk tanaman hortikultura yang memiliki
kandungan karbohidrat dan dijadikan sebagai bahan pangan. Tanaman kentang (Solanum
tuberosum L.) merupakan komoditas hortikultura yang cukup strategis dalam penyediaan
bahan pangan untuk mendukung ketahanan pangan (Karjadi, 2016). Kentang merupakan
tanaman pangan utama ke-4 di dunia setelah gandum, padi, dan jagung. Tanaman kentang
mempunyai potensi besar sebagai salah satu sumber karbohidrat untuk menunjang program
diversifikasi pangan di tanah air (Mulyono et al. 2017). Kentang memiliki kandungan nutrisi
lain selain karbohidrat yang cukup tinggi, diantaranya protein, mineral, asam amino, dan
beberapa vitamin seperti vitamin A, vitamin B komplek serta vitamin C (Kurniawan dan
Suganda 2014). Kandungan Nutrisi pada umbi kentang juga memiliki sumber vitamin C atau
asam askorbat, beberapa vitamin B seperti tiamin, niasin, vitamin B6 dan mineral meliputi P,
Mg, K.
Pengembangan potensi tanaman hortikultura selain menghadapi kendala interen
dalam pengembangan kedepan juga tidak lepas dari berbagai tantangan dilapangan, antara
lain adanya daya saing produk baik kualitas maupun kuantitas, agroekologi, harga serta
kestabilan pasokan, pemuliaan dan perlindungan varietas, penyediaan lahan, infrastruktur
yang mendukung produk pasca panen, permodalan, memelihara keterkaitan strategis lokal,
baik regional dan Internasional. Adanya krisis global bias berakibat menurunya permintaan
serta menurunya pengembangan ekspor (Pitaloka, 2017).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana dampak pengaruh perubahan iklim yang ektrem terhadap pertumbuhan
dan perkembangan tanaman kentang?
2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari peningkatan suhu yang tinggi terhadap
pertumbuhan dan perkembangan tanaman kentang?
3. Bagaimana dampak perubahan curah hujan terhadap pertumbuhan umbi kentang?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa saja dampak perubahan iklim yang ektrem pada pertumbuhan
dan perkembangan tanaman kentang.
2. Untuk mengetahui apa saja dampak peningkatan suhu terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tanaman kentang.
3. Untuk mengetahui dampak morfologis umbi kentang akibat perubahan intentitas
curah hujan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dampak Perubahan Iklim Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Kentang


Produksi kentang di Indonesia telah meningkat dengan pesat selama dekade
terakhir data tahun 2011 produksi 955 488 ton dan tahun 2015 mencapai 1 219 558 ton
(Direktorat Jenderal Hortikultura, 2015) dan menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil
kentang terbesar di Asia Tenggara. Di Indonesia pengembangan kentang banyak dilakukan di
dataran tinggi (> 1000 m di atas permukaan laut). Pengembangan kentang di dataran tinggi
tersebut menghadapi banyak tantangan antara lain bersaing dengan komoditas hortikultura
lainnya serta konversi lahan untuk peruntukan lainnya. Hal Ini mengakibatkan luas lahan
untuk pengembangan kentang di dataran tinggi terus mengalami penyusutan dari tahun ke
tahun (Rogi, et al, 2016).
Salah satu faktor pembatas budidaya kentang yaitu perubahan iklim dan suhu yang
ekstrem. Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1998), perubahan iklim yang ekstrem, akan
mempengaruhi terhadap perkembangan cuaca, curah hujan. Hasil penelitian Mailangkay
(2012) menunjukkan bahwa produksi umbi kentang tidak dipengaruhi oleh varietas tetapi
oleh ketinggian tempat, yang berhubungan erat dengan keadaan iklim setempat seperti suhu,
kelembaban tanah, curah hujan dan radiasi matahari.
Perubahan iklim menyebabkan berubahnya kondisi lingkungan yang berdampak
terhadap kurang optimalnya pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada kondisi yang
kurang optimum, pertumbuhan tanaman kentang akan terganggu yang pada akhirnya
menurunkan produksi dan kualitas hasil. Pliska (2008) mendapatkan bahwa gangguan iklim
dapat mengakibatkan luas daun tanaman kentang yang lebih kecil sehingga terjadi penurunan
produksi kentang hingga mencapai 20-30%. Laju fotosintesis kentang mengalami
kemunduran apabila luas daun tanaman kentang menjadi lebih kecil, perubahan iklim yang
ekstrem juga berpengaruh pada kadar air tanah habis, karena kentang merupakan tanaman
yang peka terhadap cekaman kekurangan air. Mengatasi permasalahan budidaya kentang
akibat ketersediaan air yang tidak menentu, perlu adanya varietas unggul kentang yang
toleran terhadap kekeringan (Firdawati et al, 2019).
Informasi unsur iklim lain yang sangat penting bagi pertanian ialah kebutuhan
proyeksi iklim esktrem. Iklim ekstrim telah menyebabkan kehilangan hasil pertanian yang
sangat signifikan (Surmaini and Faqih 2016). Perubahan iklim memicu perubahan lingkungan
yang menyebabkan berubahnya respon tanaman. Iklim ekstrim yang paling besar
pengaruhnya terhadap pertanian di Indonesia ialah kejadian El-Niño dan La-Niña (Sarvina
and Sari 2017). Produksi sayuran turun 2025% dari kondisi iklim normal. Akibatnya, terjadi
kelangkaan kedua produk penting tersebut yang memicu kenaikan harganya di pasar.

2.2 Dampak Peningkatan Suhu Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Kentang


Indonesia Climate Change Sectoral roadmap (ICCSR) (2010) melaporkan suhu di
Indonesia pada periode 2020-2050 diproyeksikan akan meningkat rata-rata 0,8-1,0 oC. dan
pada tahun 2041 sekitar 1,6-1,8oC. (Faqih et al. 2016). Beberapa penelitian menyebutkan
telah terjadi perubahan fenologi tanaman sayuran akibat peningkatan suhu udara seperti pada
kentang (Pulatov et al. 2015). Di samping perubahan fenologi, peningkatan suhu juga
menyebabkan perubahan morfologi tanaman. Handayani et al. (2013) melaporkan
peningkatan suhu udara menyebabkan tanaman kentang tumbuh lebih tegak, batang
memanjang, ukuran daun mengecil, dan permukaan umbi tidak teratur. Hasil penelitian
Rykaczewka (2015) mendapatkan bahwa selain produksi mengalami hambatan, suhu yang
tinggi menyebabkan tuberisasi sekunder dan cacat fisiologis umbi.
Pada tanaman kentang, suhu merupakan salah satu faktor penting dalam
pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan tanaman kentang budidaya memerlukan
kisaran suhu optimum 17 – 20°C (Burton 1989). Peningkatan suhu permukaan bumi terjadi
termasuk di dataran tinggi yang saat ini merupakan sentra produksi kentang Indonesia.
Perluasan area tanam kentang ke dataran medium juga berhadapan dengan masalah suhu
tinggi. Pada kondisi seperti itu, tanaman kentang akan mengalami stres akibat cekaman suhu
tinggi. Kentang merupakan tanaman yang membutuhkan suhu rendah (± 18°C) untuk
berproduksi optimal, dan untuk wilayah tropis persyaratan tersebut dapat dipenuhi di dataran
tinggi. Penurunan ketinggian tempat akan berpengaruh terhadap kenaikan suhu (Djuriyah, et
al, 2016).
Suhu tinggi dapat menurunkan hasil umbi melalui dua hal, pertama rendahnya laju
fotosintetis dalam penyediaan asimilat untuk seluruh pertumbuhan tanaman dan kedua
mengurangi distribusi karbohidrat ke umbi sehingga hasilnya rendah. Suhu tinggi dan stres
air mengurangi kualitas tanaman kentang yang mana penggunaan air meningkat dengan suhu
yang lebih tinggi, sehingga mempercepat pengurangan kelembaban tanah (Johnstone, 2012).
Dalam usaha untuk meningkatkan hasil produksi tanaman kentang di dataran
medium, dilakukan dengan menggunakan naungan yang berupa paranet yang bertujuan untuk
mengurangi atau menurunkan suhu agar tanaman dapat beradaptasi dengan lingkungannya,
dengan menurunkan suhu akan mengurangi resiko terjadinya respirasi tinggi dan
mengarahkan agar hasil fotosintesis berfokus pada pertumbuhan dan pembentukan umbi
kentang. Selain itu, pemakaian mulsa menurunkan jumlah radiasi matahari yang diabsopsi
tanah. Infiltrasi air, dan kehilangan air oleh evaporasi dapat ditekan sehingga air tanah lebih
efisien pemanfataannya (Untung et al., 2009). Suharjo et al. (2010) mengatakan bahwa salah
satu pendekatan untuk mengatasi masalah cekaman terhadap suhu tinggi adalah merakit
teknologi budidaya tanaman kentang di dataran medium yang difokuskan kepada upaya
menekan efek negatif cekaman kekeringan.
Dampak lain peningkatan suhu udara ialah meningkatnya serangan organisme
penggangu tanaman (OPT). Kenaikan suhu udara juga mempengaruhi siklus hidup OPT, suhu
yang tinggi akan mempercepat siklus hidupnya sehingga siklus regenerasinya sangat cepat
(Nopsa et al. 2014). Hal ini sejalan dengan pendapat (Soesanto et al, 2016) yang mengatakan
bahwa kepadatan patogen tular tanah seperti Ralstonia solana cearum yang menyebabkan
serangan penyakit layu bakteri pada tanaman kentang, akan meningkat seiring dengan
meningkatnya suhu udara serta penurunan ketinggian tempat. Lebih lanjut Setiawati et al.
(2002) juga melaporkan bahwa adanya peningkatan serangan hama Liriomyza huidobrensis
tanaman kentang pada musim kemarau. Sedangkan tingkat serangan penyakit yang cukup
tinggi akan menyebabkan terjadinya penurunan jumlah umbi pertanaman.
2.3 Dampak Perubahan Curah Hujan Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan
Kentang
Variabilitas curah hujan Indonesia sangat tinggi, baik secara spasial maupun
temporal. Secara ekonomi, perubahan intensitas dan frekuensi curah hujan sangat
berpengaruh terhadap pertanian Indonesia. Sunarjono (2007), menyatakan bahwa keadaan
iklim yang ideal untuk tanaman kentang kelembaban udara 80- 90% cukup mendapat sinar
matahari (moderat) dan curah hujan antara 200- 300 mm per bulan atau rata-rata 1000 mm
selama pertumbuhan. Curah hujan sebagian wilayah Indonesia diproyeksikan akan
mengalami peningkatan dan sebagian lagi menurun yang akan menyebabkan cekaman
kekeringan dan stress pada tanaman kentang. Wilayah yang diproyeksi mengalami
peningkatan curah hujan adalah Sumatera dan Kalimantan bagian utara, Sulawesi dan
sebagian besar Papua (Faqih et al. 2016). Awal musim hujan dan musim kemarau juga
diproyeksikan berubah. Pulau Jawa diproyeksikan mengalami musim kemarau yang lebih
panjang dan musim hujan yang lebih pendek dibandingkan kondisi saat ini (Setyawardhana
and Susandi 2015).
Penurunan dan peningkatan curah hujan di Indonesia berkaitan erat dengan
kejadian El-Niño dan La-Niña. El-Niño menyebabkan penurunan curah hujan yang
menyebabkan kekeringan dan pada tahun La-Niña terjadi peningkatan curah hujan yang
memicu terjadinya banjir. El-Niño memberikan dampak yang lebih signifikan terhadap
produksi tanaman pangan (Surmani dan Faqih 2016). Sebaliknya, pada tanaman hortikultura
dampak La-Niña lebih signifikan (Sarvina and Sari 2017).
Jumlah umbi yang di panen produksinya relatif rendah karena curah hujan yang
tinggi. Menurut Mailangkay (2012), curah hujan yang tinggi dapat menggangu pembungaan,
penyerbukan dan pembentukan umbi. Zulkarnain (2010) menambahkan bahwa kentang
memerlukan penyinaran panjang (Long Day Plant) yang sangat penting untuk proses
fisiologis tanaman dalam menghasilkan umbi yang optimal. Jumlah daun dan tunas dipacu
oleh panjang hari penyinaran. Jumlah umbi akan mencapai kemasakan apabila kelembaban
dan nutrisinya sesuai atau tersedia.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman hortikultura yang
memiliki kandungan karbohidrat dan dijadikan sebagai bahan pangan. Pertumbuhan dan
perkembangan tanaman kentang dihadapkan pada berbagai tantangan dari kondisi perubahan
lingkungan ekstrim yang saling memengaruhi satu sama lain seperti perubahan iklim
menyebabkan peningkatan suhu udara curah hujan, san peningkatan serangan OPT yang
berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan fisiologis serta morfologis tanaman
kentang yang dapat menurunkan produktivitas tanaman tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bande, S., Hadisutrisno, B. and Somowiyarjo, S. (2015). Peran Unsur Cuaca Terhadap
Peningkatan Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada di Sentra Produksi Lada Daerah Sulawesi
Tenggara. Jurnal Manusia dan Lingkungan 22(2):187–193.
Burton, WG 1989, The potato, Ed 3, Longman Scientific & Technical, UK
Chang, J.H. 1968. Climate and Agriculture an Ecological Survey. Aldine Publ Comp.
Chicago
Direktorat Jenderal Hortikultura (2015). Rencana Strategis Direktorat Jenderal
Hortikultura 2015-2019. Direktorat Jenderal Hortikultura. p. 61 pp.
Direktorat Jenderal Hortikultura. 2015. Produksi sayuran di Indonesia 2011- 2015.
Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
Edmond, J.B., T.L. Senn, F.S. Andrew and R.G. Halfacre, 1975. Fundamentals of
Horticulture.Tata McGraw Hill Publ. Co. Ltd. New Delhi. 560 pp
Faqih, A.R., Hidayat, S.D., Jatmiko and Radini (2016). Climate Modeling and Analysis
for Indonesia 3rd National Communication (TNC): Historical And Climate And Future
Climate Scenarios In Indonesia. Final Report. Ministry of Environment and Forestry
(MoEF). United National Development Programme (UNDP) and Bog
Fidawati, etal. (2019). Respon Lima Kultivar Kentang (Solanum tuberosum L.) Terhadap
Perlakuan Manitol pada Kultur In Vitro. Jurnal Zuriat 30(1) : 14 – 20
Handayani, T., Basundan, P., Murti, R.H. and Sofiali, E. (2013). Perubahan Morfologi
dan Toleransi Tanaman Kentang Terhadap Suhu Tinggi. J. Hort. 23(4):318–328
Hutabarat, B., Setiyanto, A., Kustiari, R. and Sulser, T.B. (2012). Conjecturing Production ,
Imports And Consumption Of Horticulture In Indonesia In 2050/ :A Gams Simulation
Through Changes in Yields Induced by Climate Change. Jurnal Agro Ekonomi 30(1):1–23.
ICCSR[Indonesia Climate Change Sectoral roadmap] (2010). Synthesis Report. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional.
Johnstone, R. 2012. Managed Temperature in Potatoes to Improve Quality. Department
of Agriculture and Food. Western Australian Agriculture
Karjadi, A.K. 2016a . Produksi Benih Kentang (Solanum tuberosum, L.). Balai
Penelitian Tanaman Sayuran. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kementerian Pertanian.
Kurniawan, H., dan Suganda, T. (2014). UJI KUALITAS UBI BEBERAPA KLON
KENTANG HASIL PERSILANGAN UNTUK BAHAN BAKU KERIPIK. Jurnal Agro.
1(1) : 33-43.
Mailangkay, B.H., J.M Paulus dan J.X Rogi. 2012. Pertumbuhan dan Produksi Dua
Varietas Kentang (Solanum tuberosum L.) pada Dua Ketinggian Tempat. Balai
Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, Sulawesi Utara
2 (18): 167- 169.
Mailangkay, B.H., J.M. Paulus, J.E.X. Rogi. 2012. Pertumbuhan dan produksi dua
varietas kentang (Solanum tuberosum L.) pada dua ketinggian tempat. J. Eugenia. 8(2):
161-170.
Mulyono et al. (2017). Kelas Benih Kentang (Solanum tuberosum L.) Berdasarkan
Pertumbuhan, Produksi, dan Mutu Produk [Seed Class Potatoes Based on Growth,
Production, and Quality Products (Solanum tuberosum L.)]. JUrnal hortikultura. 27
(2):209-216.
Nopsa, J.F.H., Sharman, S.T. and Garret, K.A. (2014). ClimateChange and Plant
Disease. Encyclopedia of Agriculture and Food System(2):232–243.
Nurhayati and Situmorang, A. (2008). Pengaruh Pola Hari Hujan Terhadap Perkembangan
Penyakit Gugur Daun Corynespora pada Tanaman Karet Menghasilkan. J. HPT Tropika8
8(1):63– 70
Pitaloka, Dyah. 2017. HORTIKULTURA: POTENSI, PENGEMBANGAN DAN
TANTANGAN. Jurnal teknilogi terapan. 1 (1) : 1-4
Pulatov, B., Linderson, M., Hall, K. and Jönsson, A.M. (2015). Modeling Climate Change
Impact on Potato Crop Phenology, and Risk of Frost Damage and Heat Stress In Northern
Europe. Agricultural and Forest Meteorology:281–292
Rogi, et al. (2016). Laju Tumbuh Umbi Tanaman Kentang Varietas Granola dan
Supejohn di Dataran Medium dengan Pemulsaan. Jurnal hortikultura. 7(2);83-90.
Rykaczewska, K. 2015. The effect of high temperature occurring in subsequent stages of
plant development on potato yield and tuber physiological defects. American J. Potato
Research. 92(3): 339-349.
Sarvina, Y. and Sari, K. (2017). Dampak ENSO Terhadap Produksi dan Puncak Panen
Durian di Indonesia. Jurnal Tanah dan Iklim 41(2):149–158.
Setiapermas, M.N. and Sodiq, J. (2008). Pemanfaatan Sumber Air Pegunugan untuk
Mengantisipasi Kekeringan pada Musim Kemarau untuk Tanaman Kubis. Jurnal Agromet
22(2): 174– 181.
Setiawati, W., Somantri, A. and Purwati (2002). Dinamika Populasi dan Pola Infestasi
Liriomyza huidobrensis Blanchard pada Tanaman Kentang di Musim Kemarau dan
Musim Hujan. J. Hort. 12(4): 261–269.
Setyawardhana, H. and Susandi, A. (2015). Proyeksi Awal Musim di Jawa Berbasis
Hasil Downscaling Conformal Cubic Atmospheric Model (CCAM). Jurnal Sains
Dirgantara 13(1):1–14.
Soesanto, L., Mugiastuti, E., &Rahayuniati, R. F. (2016). Inventarisasi dan Identifikasi
Patogen Tular-tanah pada Pertanaman Kentang di Kabupaten Purbalingga. Jurnal
Hortikultura, 21(3), 254.
Suharjo, U.K.J., C. Herison., Fahrurrozi. 2010. Keragaman tanaman kentang varietas
Atlantik dan Granola di dataran medium (600 m dpl) Bengkulu pasca irradiasi sinar
gamma. Akta Agrosia. 13(1): 82-88.
Surmaini, E. and Faqih, A. (2016). Kejadian Iklim Ekstrem dan Dampaknya Terhadap
Pertanian Tanaman Pangan di Indonesia. Jurnal Sumber Daya Lahan 10(2):115–128.
Sunarjono, H. 2007. Petunjuk Praktis Budidaya Kentang. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Susanti, E., Surmaini, E. and Sarvina, Y. (2011). Dinamika Organisme Penggangu Tumbuhan
(OPT) Dominan Pada Pertanaman Bawang Merah. Prosiding Seminar Sumber Daya Lahan
Pertanian, Banjar Baru 13-14 Juli 2011.
Untung, S., V. Krestiani. 2009. Studi pemulsaan dan dosis NPK pada hasil buah melon
(Cucumis melo.L). J. Sains Teknol. 2(2): 1-7.
Wahyudi, T. 2022. Pengelolaan KOMODITAS HORTIKULTURA UNGGULAN
Berbasis Lingkungan. Nusa tenggara barat : Forum Pemuda Aswaja
Zulkarnain. 2010. Dasar-dasar Hortikultura. Bumi Aksara, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai