Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Pediatri Pada
Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Pediatri Pada
DISUSUN OLEH :
1. ANDINI RAHMAH
2. ASTRID AYU NINGTYAS
3. JENNY KURNIA SAPUTRI
4. MUTIARA MUHARAM
5. PANGESTU PURJAWARDANI
6. SENTIA CLOURRESA
7. TARISA PUTRI SOLIHIN
8. TARIZA AGUSTINI
9. YOLANDA NUR FADILA
A. Latar Belakang
B. Tujuan Penulisan
1) Tujuan Umum
Untuk memberikan gambaran pelaksanaan asuhan
keperawatan terhadap anak yang mengalami kejang demam
di Unit Gawat Darurat
2) Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian asuhan keperawatan
gawat darutat pada pasien anak dengan Kejang Demam.
Membran sel ada pada sel saraf dan sel hidup lainnya.
Potensial membran adalah perbedaan potensial intrasel dan
ekstrasel. Potensial intrasel lebih rendah daripada ekstrasel.
Selama sel tidak distimulasi, perbedaan potensial membran
akan tetap sama dalam keadaan istirahat potensial membran
yang berkisar antara 30 dan 100 mV. Potensial membran ini
disebabkan oleh perbedaan letak dan jumlah ion, terutama
ion Na+, K+, dan Ca+. Saat sel saraf distimulasi, seperti
stimulasi listrik, potensial membran akan menurun. Dengan
penurunan potensial ini, permeabilitas membran terhadap
ion Na+ akan meningkat, sehingga Na+ dapat masuk lebih
banyak ke dalam sel. Selama serangan ini lemah, perubahan
potensial membran dapat dikompensasi oleh transport aktif
ion, sehingga perbedaan mungkin kembali ke posisi istirahat.
Respon lokal mengacu pada perubahan potensial yang tidak
menjalar. Jika rangsangan perubahan potensial yang cukup
kuat dapat mencapai ambang tetap, atau tingkat firing,
permeabilitas membran terhadap Na+ akan meningkat
secara signifikan. Akibatnya, spike potensial atau potensial
aksi akan muncul. Potensial aksi ini akan dibawa ke sel saraf
berikutnya melalui sinaps melalui zat kimia yang disebut
neurotransmiter. Setelah perangsangan selesai,
permeabilitas membran kembali ke keadaan normal.
Kemudian, K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme
pompa Na-K, yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa
dan oksigen.
Neurotransmitter adalah bahan kimia yang dibuat
dalam neuron dan disimpan dalam gelembung sinaptik di
ujung akson. Chemical ini dilepaskan dari ujung akson
terminal dan juga direabsorpsi untuk daur ulang. Neuron
berkomunikasi melalui neurotransmitter. Setiap neuron
mengeluarkan satu pengirim. Zat—Zat kimia ini mengubah
permeabilitas sel neuron, yang membuat neuron lebih sedikit
mampu menyalurkan impuls. Norephinephrin, Acetylcholin,
Dopamin, Serotonin, Asam Gama- Aminobutirat (GABA), dan
Glisin adalah beberapa dari sekitar tiga puluh jenis
neurotransmitter yang diketahui atau diduga.
Predisposisi Presipitasi
Merangsang hipotalamus
anterior untuk
meningkatkan suhu
Hipertermi
Circulation
a. Suhu > 38 0C
b. SPO2 <95%,
c. Nadi >100 kali/menit,
d. sianosis atau tampak pucat,
e. CRT >3 detik,
f. nyeri pada kepala,
g. WBC 12.300/µL
Kejang
Parsial Umum
Cemas
kurang dari 15 Lebih dari 15
Peningkatan menit menit
produksi asam
lambung
Tidak Inkordinasi Disability Gangguan aliran
TG: Mual dan menimbulkan kontraksi darah ke otak
gejala sisa otot Kesadaran
Muntah menurun
Hipoksia
SDKI : Risiko cidera
SLKI : Kontrol kejang K: Refleks menelan
SDKI : Nausea menurun, lidah jatuh ke
SLKI : kontrol mual/muntah SIKI : Manajemen Kejang Permeabilitas
belakang dan menutupi kapiler
SIKI : Manajemen mual/muntah jalan napas, penumpukan
Tidak dapat menopang berat meningkat
tubuh/kehilangan saliva dalam rongga mulut
keseimbangan Kerusakan sel
Exposure Airway
neuron
terjatuh
Ada luka atau jejas Adanya sumbatan pada
jalan napas
SDKI : Risiko aspirasi
Aktivitas otot SLKI : Kontrol Risiko
meningkat SIKI : Manajemen Kejang
Kebutuhan oksigen
meningkat SDKI : Perfusi perifer tidak efektif
SLKI : Status Sirkulasi SIKI
Metabolisme ATP : Manajemen Kejang
meningkat
Breathing
Asfiksia
Penangangan
yang dilakukan
kurang tepat
KEMATIAN
†
5. Klasifikasi kejang demam
Menurut Dewanto (2009) kejang demam dapat diklasifiskasikan
sebagai berikut:
a. Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion),
biasanya terjadi pada anak umur 6 bulan sampai 5 tahun,
yang disertai dengan kenaikan suhu tubuh yang mencapai
≥ 38°c. Kejang bersifat umum, biasanya berlangsung hanya
beberapa detik atau menit dan jarang sampai 15 menit.
Pada akhir kejang diakhiri dengan suatu keadaan singkat
seperti mengantuk (drowsiness), dan bangkitan kejang
terjadi hanya sekali dalam 24 jam, anak tidak mempunyai
kelainan neurologic pada pemeriksaan fisik serta riwayat
perkembangan normal, demam bukan hanya karena
disebabkan oleh adanya meningitis atau penyakit lain dari
otak.
b. Kejang demam kompleks (complex or complicated febrile
convulsion), biasanya kejang terjadi selama ≥ 15 menit atau
kejang berulang dalam 24 jam dan terdapat kejang fokal
atau temuan fokal dalam masa pasca bangkitan kejang.
Umur pasien, status neurologic dan sifat demam adalah
sama dengan kejang demam sederhana.
c. Kejang demam simtomatik (symptomatic febrile seizure),
biasanya demam dan umur pada anak sama pada kejang
demam sederhana dan sebelumnya anak mempunyai
kelainan neurologi atau penyakit akut. Faktor resiko untuk
dapat timbulnya epilepsi merupakan gambaran kompleks
waktu bangkitan. Kejang bermula pada umur ≤ 6 bulan dan
berlanjut di umur 6 tahun dengan kejang kompleks
terutama bila kesadaran iktal meragukan maka
pemeriksaan CSS sangat diperlukan untuk memastikan
kemungkinan adanya meningitis.
6. Manifestasi Klinik
Menurut Dewanto (2009) gejala klinis yang paling sering dijumpai
pada kejang demam diantaranya:
a. Suhu tubuh mencapai > 38 °C
b. Anak sering hilang kesadaran saat kejang
c. kejang umumnya diawali kejang tonik kemudian klonik
berlangsung ≥ 15 menit
d. Mata mendelik, tungkai dan lengan mulai kaku, bagian
tubuh anak berguncang (gejala kejang bergantung pada
jenis kejang)
e. Kulit pucat dan membiru (sianosis)
7. Tes Diagnostik
Dalam Arief (2015) menyebutkan tes diagnostik yang dilakukan pada
pasien kejang demam yaitu:
a. Pemeriksaan Laboratorium
8. Penatalaksanaan Medis
9. Komplikasi
1. Pengkajian
a. Data Umum
Berisi mengenai tentang identitas pasien yang meliputi nama,
umur, No.RM, jenis kelamin, agama, alamat, pendidikan,
pekerjaan, status perkawinan, jam datang, jam diperiksa, tipe
kedatangan dan informasi data.
b. Keadaan Umum
4) Disability
Mengkaji kondisi neuromuskular pasien, respon
pupil, reflex cahaya, serta status kesadaran kesadaran
(GCS) (Kandarini, 2016 dan Nursalam, 2006).
Masalah disability yang dapat menimbulkan
pasien dengan kejang demam biasanya hanya
terganggu pada tingkat kesadaran. Pada saat kejang
berlangsung pasien akan mengalami penurunan
kesadaran (Chairunnisa, 2015).
5) Exposure
Pemaparan dan kontrol lingkungan tentang
kondisi pasien secara umum (Chairunnisa, 2015)
2. Diagnosis Keperawatan
Pada tinjauan teoritis yang ada, terdapat beberapa diagnosis
keperawatan menurut SDKI (2017) yang dapat di angkat pada pasien
dengan kejang demam, seperti:
a. Risiko cidera dibuktikan dengan faktor risiko kegagalan
mekanisme pertahanan tubuh
b. Hipertermi dibuktikan dengan proses penyakit.
c. Nausea dibuktikan dengan faktor psikologis.
d. Risiko aspirasi dibuktikan dengan faktor risiko penurunan tingkat
kesadaran.
e. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan
konsentrasi hemoglobin.
meningkat. 4) Longgarkan
pakaian, terutama
3) Kemampuan di bagian leher
melaporkan
efek samping 5) Damping selama
obat meningkat periode kejang
2) Kemampuan 3) Identifikasi
mengenali dampak mual
penyebab terhadap kualitas
pemicu hidup (mis. nafsu
meningkat makan, aktivitas,
kinerja, tanggung
3) Kemampuan
jawab peran, dan
melakukan
tidur)
tindakan untuk
4) Identifikasi faktor
mengontrol
penyebab mual
mual/muntah
(mis. pengobatan
meningkat
dan prosedur)
4) Melaporkan 5) Identifikasi
mual dan antiemetic untuk
muntah mencegah mual
terkontrol (kecuali mual
meningkat pada kehamilan)
5) Menghindari 6) Monitor mual
faktor (mis. frekuensi,
penyebab/pemic durasi, dan tingkat
u meningkatkan keparahan)
Edukasi
1) Anjurkan istirahat
dan tidur yang
cukup
2) Anjurkan sering
membersihkan
mulut, kecuali jika
merangsang mual
3) Anjurkan
makanan tinggi
karbohidrat dan
rendah lemak
4) Ajarkan
penggunaan
teknik
nonfarmakologis
untuk mengatasi
mual
(mis.biofeedback,
hypnosis,
relaksasi, terapi
music,
akupresure)
Kolaborasi
1) Kolaborasi
pemberian
antiemetic, jika
perlu
4. Risiko Setelah dilakukan Manajemen Kejang
aspirasi tindakan Manajemen Kejang
dibuktikan
dengan keperawatan Observasi
faktor risiko 5) Monitor terjadinya
selama 5 menit,
penurunan kejang berulang
tingkat diharapkan kontrol
6) Monitor karakt
kesadaran. risiko meningkat
ristik kejang (mis.
dengan kriteria
Aktivitas motorik
hasil:
dan progresi
1) Kemampuan
kejang)
mencari
7) Monitor status
informasi neurologis
tentang faktor 8) Monitor tanda –
tanda vital
risiko meningkat
Terapeutik
2) Kemampuan
12)Baringkan pasien
mengidentifikasi
agar tidak jatuh
faktor risiko
13)Berikan alas
meningkat empuk di bawah
kepala, jika
3) Kemampuan
memungkinkan
melakukan
14)Pertahankan
strategi kontrol kepatenan jalan
napas
risiko meningkat
15)Longgarkan
4) Kemampuan
pakaian, terutama
mengubah di bagian leher
perilaku 16)Damping selama
periode kejang
meningkat
17)Jauhkan benda –
5) Komiten
benda berbahaya
terhadap terutama benda
tajam
stragtegi
18)Catat durasi
meningkat
kejang
6) Kemampuan
19)Reorientasikan
memodifikasi setelah periode
terjadinya kejang
gaya hidup
20)Dokumentasikan
meningkat
periode terjadinya
7) Kemampuan kejang
menghindari 21)Pasang akses IV,
faktor risiko
jika perlu
meningkat
22)Berikan oksigen,
8) Kemampuan jika perlu
mengenali Edukasi
perubahan 3) Anjurkan keluarga
menghindari
status
memasukkan
kesehatan apapun ke dalam
mulut pasien saat
meningkat
periode kejang
9) Kemampuan
4) Anjurkan keluarga
berpartisipasi tidak
menggunakan
dalam skrining
kekerasan untuk
risiko meningkat menahan gerakan
pasien.
10)Penggunaan
Kolaborasi
fasilitasi
1) Kolaborasi
meningkat pemberian
11)Penggunaan antikonvulsan, jika
perlu
sistem
pendukung
meningkat
12)Pemantauan
perubahan
status
kesehatan
meningkat
Edukasi
1)Anjurkan berhenti
merokok
2)Anjurkan
berolahraga rutin
Daftar Pustaka
Erdina Yunita, V., Afdal, A., & Syarif, I. (2016). Gambaran faktor yang
berhubungan dengan timbulnya kejang demam berulang pada pasien
yang berobat di poliklinik anak rs. dr. m. djamil padang periode januari
2010 – Desember 2012. Jurnal Kesehatan Andalas, 5(3), 705–709.
https://doi.org/10.25077/jka.v5i3.605
Fitzgerald, B. J., Okos, A. J., & Miller, J. W. (2003). Treatment of out-of-
hospital status epilepticus with diazepam rectal gel. 1311(02), 52–55.
https://doi.org/10.1016/S1059
Haan, G. De, Geest, P. Van Der, Doelman, G., Bertram, E., & Edelbroek,
P. (2010). Brief communication a comparison of midazolam nasal
spray and diazepam rectal solution for the residential treatment of
seizure exacerbations. 51(3), 478–482. https://doi.org/10.1111/j.1528-
1167.2009.02333.x
Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2016). Penatalaksanaan kejang demam.
Osborne, A., Taylor, L., Reuber, M., Gru, R. A., Parkinson, M., & Dickson,
J. M. (2015). Pre-hospital care after a seizure : Evidence base and united
kingdom management guidelines. 24, 82–87.
https://doi.org/10.1016/j.seizure.2014.09.002