Anda di halaman 1dari 4

STUDI KASUS 2

MARTABAT MANUSIA

Disusun Oleh;

Agnesia Oktavera 2311144011337

Faustina Peni Lein 231148201273

Hermina Astria Paku 231148201275

Rosaliana Embu Mete 231148201309

Waltrudis Sisilia Kelen 231148201318

Windriana Tima Kolin 231148201319

Dosen Pembimbing

Vinsensius Hanyang S. Pd., B.Th

PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK


STIKES DIRGAHAYU SAMARINDA
Menurut alkitab bahwa esensi manusia tercakup dalam hal bahwa manusia adalah
gambar dan rupa Allah, yang berarti manusia memiliki kesamaan dengan Allah, yaitu
kesamaan rohani, kesamaan moral, dan kesamaan sosial. Dengan demikian, manusia berbeda
dengan semua makhluk ciptaan yang lain dan menjadi yang tertinggi dimana manusia sebagai
mahkota ciptaan Allah atas seluruh ciptaan. Alkitab mengakui bahwa manusia diciptakan
menurut gambar dan rupa Allah atau segambar dan serupa dengan Allah, dan alkitab juga
berkata bahwa manusia adalah pembawa gambar Allah. Sebagaimana telah dijelaskan di atas
bahwa kedua kata, “gambar” dan “rupa” menunjuk pada pengertian yang sama. Pengertian
yang diungkapkan oleh kedua kata itu menunjukkan bahwa manusia sungguh-sungguh
memiliki kesamaan dengan Allah. Doktrin tentang gambar dan rupa Allah dalam diri manusia
sangat penting dalam teologi, sebab gambar dan rupa Allah ini adalah suatu kualitas yang
menjadikan manusia istimewa dalam hubungannya dengan Allah. Kenyataan. bahwa manusia
adalah gambar dan rupa Allah menjadikan manusia berbeda. dengan binatang dan dengan
semua makhluk yang lain. Sejauh kita dapat belajar dari Alkitab bahwa malaikat pun tidak
mendapat kemuliaan ini, walaupun kadang-kadang malaikat dikatakan seolah-olah memiliki
kemuliaan se- demikian. Alkitab menegaskan pula bahwa manusia satu-satunya makhluk
ciptaan yang segambar dan serupa dengan Allah yang memiliki kualitas untuk menguasai
segala ciptaan-Nya yang lain (Kejadian 1:28), untuk menghakimi dunia, bahkan untuk
menghakimi malaikat-malaikat (I Korintus 6:2-3). Dengan mengetahui bahwa manusia
adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia, karena ia diciptakan menurut gambar dan rupa
Tuhan, maka manusia harus menghargai dirinya sendiri dan sesamanya sebagai ciptaan yang
mulia serta mau mengungkapkan gambar dan rupa Tuhan dalam kehidupan sehari-hari
melalui spiritualitas, akhlak yang baik, dan kehidupan sosial dengan mencintai sesama
manusia.

Martabat manusia sebagai citra Allah merupakan landasan penghargaan terhadap hak
asasi manusia. Semua hak asasi berakar dalam kodrat kemanusiaan yang lahir bersamaan
dengan manusia. Nilai-nilai kemanusiaan itu berasal dari Tuhan, pencipta alam semesta.
Setiap manusia memperkembangkan kepribadiannya dalam hubungannya dengan sesama atas
dasar nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Setiap diskriminasi, dan paksaan dalam
hal agama, misalnya, selalu bertentangan dengan kemanusiaan dan ketuhanan. Oleh karena
itu, para pemeluk agama harus menjadi pelopor dalam menegakkan hak-hak asasi manusia.
Hak asasi manusia merupakan syarat mutlak untuk perkembangan demokrasi yang sehat.
Setiap penganut agama harus menjunjung tinggi hak-hak asasi karena itu berasal dari Tuhan
sendiri (Jacobus Tarigan, 2013). Manusia sebagai makhluk ciptaan yang mempunyai citra dan
rupa Allah mempunyai tujuan yang diberikan oleh Allah sendiri. Tujuan hidup manusia
sangat mempengaruhi martabat manusia. Tujuan hidup manusia itu pada dasarnya di luar
segala daya pemikiran manusia, di luar segala perhitungan manusia bahkan di luar pengertian
manusia itu sendiri. Tujuan hidup manusia pada dasarnya bersifat transendental (bersifat ilahi
dan mengatasi segala-galanya), yaitu memenuhi kerinduan manusia mencapai kesempurnaan
dalam segala-galanya, yaitu suatu kebahagiaan abadi berupa kehidupan kekal, hidup
berbahagia bersama Allah Bapa di surga (Lihat Yoh. 17:1-3; 1Yoh. 3:2; 1Kor. 2:9). Dalam
teks tersebut dilukiskan bahwa tujuan hidup manusia masing-masing adalah persatuan dengan
hidup Allah Tritunggal untuk selama-lamanya. Sebagai anak Allah, manusia terpanggil untuk
hidup bersatu dengan Bapa-Nya sesuai dengan rencana Allah. Martabat manusia sebagai anak
Allah merupakan kunci untuk memahami sebenarnya siapa manusia.

Manusia sebagai makhluk ciptaan yang mempunyai citra dan rupa Allah mempunyai
tujuan yang diberikan oleh Allah sendiri. Tujuan hidup manusia sangat mempengaruhi
martabat manusia. Tujuan hidup manusia itu pada dasarnya di luar segala daya pemikiran
manusia, di luar segala perhitungan manusia bahkan di luar pengertian manusia itu sendiri.
Tujuan hidup manusia pada dasarnya bersifat transendental (bersifat ilahi dan mengatasi
segala-galanya), yaitu memenuhi kerinduan manusia mencapai kesempurnaan dalam segala-
galanya, yaitu suatu kebahagiaan abadi berupa kehidupan kekal, hidup berbahagia bersama
Allah Bapa di surga (Lihat Yoh. 17:1-3; 1Yoh. 3:2; 1Kor. 2:9). Dalam teks tersebut dilukiskan
bahwa tujuan hidup manusia masing-masing adalah persatuan dengan hidup Allah Tritunggal
untuk selama-lamanya. Sebagai anak Allah, manusia terpanggil untuk hidup bersatu dengan
Bapa-Nya sesuai dengan rencana Allah. Martabat manusia sebagai anak Allah merupakan
kunci untuk memahami sebenarnya siapa manusia.

Makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling sempurna dan paling tinggi
derajatnya adalah manusia. Di dunia ini tidak ada satu pun manusia yang sama dan tidak ada
satu pun manusia yang mampu hidup sendiri. Sehingga dipastikan setiap manusia selalu
melekat di dalam dirinya status yang tidak dapat dipisahkan, yaitu makhluk individu dan
makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial artinya manusia sebagai warga masyarakat.
Manusia sebagai makhluk sosial artinya manusia sebagai warga masyarakat. Dalam
kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat hidup sendiri atau mencukupi kebutuhan sendiri.
Meskipun dia mempunyai kedudukan dan kekayaan, dia selalu membutuhkan manusia lain.
Setiap manusia cenderung untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan bersosialisasi dengan
manusia lainnya. Kesadaran manusia sebagai makhluk sosial, akan memberikan rasa
tanggung jawab untuk mengayomi individu yang jauh lebih ”lemah” dari pada wujud sosial
yang ”besar” dan ”kuat”. Kehidupan sosial, kebersamaan, baik itu non formal (masyarakat)
maupun dalam bentuk-bentuk formal (institusi, negara) dengan wibawanya wajib mengayomi
individu.

Berdasarkan studi kasus, tindakan yang benar/proporsional menurut kami dalam


upaya menyelamatkan sebanyak mungkin yang ada pada kasus tersebut adalah dari segi
kemanusiaan tentu hal pertama yang kami lakukan adalah menolong nyawa anak kecil yang
berada di lantai 2 karena, dalam situasi tersebut tangga sudah dalam keadaan sebagian
terbakar. Jadi tentu kita hanya mempunyai waktu yang sedikit untuk menyelamatkan anak
tersebut sampai keluar rumah. Setelah membawa anak keluar rumah selanjutnya meminta
bantuan tetangga untuk membantu nenek yang sedang terbaring lumpuh dikamar untuk
digotong keluar rumah sekaligus membawa kitab suci favoritnya. Bantuan dari tetangga tentu
sangat diperlukan karena, kita adalah makhluk sosial. Kemudian, jika masih ada kesempatan
hal yang dilakukan selanjutnya adalah menyelamatkan dokumen penting dan uang. Mobil dan
sepeda tidak dapat diselamatkan karena kunci garasi berada di bawah tangga lantai 2 yang
sudah habis terbakar.

Dengan diskusi yang kami lakukan kami mengambil kesimpulan bahwa sebagai
martabat manusia, tentu dalam keadaan genting seperti dalam kasus ini, yang perlu
diselamatkan terlebih dahulu adalah manusia. Kami memandang bahwa manusia lebih
berharga dibandingkan materialisme yang ada. Kita harus hidup agar bisa membantu orang
lain mempertahankan hidup mereka. Kita perlu memiliki sesuatu yang bernilai kalau kita
ingin memberikan sesuatu yang bernilai.

Anda mungkin juga menyukai