Anda di halaman 1dari 7

F.

Masalah Penyesuaian Diri Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)

Persoalan krusial yang dihadapi peserta didik usia sekolah menengah (remaja) dalam kehidupan
sehari-hari dan yang menghambat penyesualan diri adalah masalah hubungan remaja dengan
orang dewasa, terutama orang tua. Oleh karena itu, perkembangan penyesuaian diri remaja
sangat bergantung pada sikap penolakan orang tua dan suasana psikologi dan sosial dalam
kehidupan keluarga. Penolakan orang tua terhadap anaknya dapat dibagi menjadi dua macam.
Pertama, penolakan yang bersifat tetap sejak awal, yaitu orang tua merasa tidak sayang kepada
anaknya karena berbagai sebab, seperti tidak menghendaki kelahiran. Menurut Zakiah Darajat
(1983) yang dikutip dari Boldwyn "Bapak yang menolak anaknya akan berusaha menundukkan
anaknya dengan kaidah-kaidah kekerasan. Karena itu, ia mengambil ukuran kekerasan,
kekejaman tanpa alasan nyata." Kedua, akibat dari penolakan itu adalah pura-pura tidak tahu
keinginan anak atau masalah anak. Sebagai akibat dari kedua jenis penolakan, remaja tidak
dapat menyesuaikan diri secara sehat dan cenderung menghabiskan waktunya di luar rumah.
Sikap orang tua yang memberikan perlindungan yang berlebihan juga berakibat tidak baik.
Remaja yang mendapatkan perhatian dan kasih sayang secara berlebihan akan menyebabkan ia
tidak dapat hidup mandiri. la selalu mengharapkan bantuan dan perhatian orang lain dan ia
berusaha menarik perhatian mereka, serta beranggapan bahwa perhatian seperti itu adalah
haknya. Sikap orang tua yang otoriter, yang memaksakan otoritasnya kepada remaja juga akan
menghambat proses penyesualan diri mereka. Remaja akan berani melawan atau menentang
orangtuanya. Pada gilirannya, ia cenderung akan bersikap otoriter terhadap teman- temannya
dan bahkan menentang otoritas orang dewasa, baik di sekolah maupun di masyarakat. Jelaslah
bahwa masalah penyesuaian diri yang dihadapi remaja dapat berasal dari keretakan keluarga
atau akibat over proteksi. Hasil penelitian psikologis membuktikan bahwa remaja yang hidup
dalam rumah tangga yang tidak harmonis cenderung akan mengalami masalah emosional yang
terlihat dari adanya kecenderungan marah- marah, suka menyendiri, serta sering gelisah
dibandingkan dengan remaja yang hidup dalam lingkungan keluarga yang harmonis. Remaja
vang dikeluarkan dari sekolah karena tidak dapat menyesuaikan diri pada umumnya datang dari
lingkungan keluarga yang retak atau berantakan. Perbedaan perlakuan antara anak laki-laki dan
anak perempuan juga memengaruhi hubungan antarmereka sehingga memungkinkan
timbulnya rasa iri hati dalam jiwa anak perempuan terhadap saudaranya yang laki-laki. Keadaan
ini akan menghambat proses penyesuaian diri anak perempuan. Permasalahan penyesuaian
pun akan muncul bagi remaja yang sering pindah tempat tinggal. Remaja yang keluarganya
sering berpindah rumah sehingga ia terpaksa pindah dari satu sekolah ke sekolah lainnya sering
mengalami banyak kesukaran dalam penyesuaian dirinya. Bahkan, mungkin saja ia akan banyak
tertinggal dalam pelajaran karena gurunya berbeda-beda dalam cara mengajarnya. Selain itu,
ada pula masalah teman, yaitu kehilangan teman lama dan terpaksa mencari teman baru.
Banyak remaja yang mengalami kesulitan dalam menjalin persahabatan dari hubungan sosial
yang baru. Mungkin saja ia berhasil baik dalam hubungan sosial di sekolah lama, tetapi ketika
pindah ke sekolah baru la menjadi tidak dikenali dan tidak ada yang memerhatikan. Di sini,
remaja dituntut untuk dapat lebih mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah dan
masyarakat yang baru. Masalah penyesuaian diri di sekolah mungkin akan timbul ketika remaja
mulai memasuki jenjang sekolah lanjutan pertama maupun sekolah lanjutan atas. Mereka
mungkin akan mengalami masalah penyesuaian diri dengan guru, teman, dan mata pelajaran.
Sebagai akibatnya, prestasi belajar mereka menjadi menurun dibandingkan dengan prestasi di
sekolah sebelumnya. Persoalan umum yang sering dihadapi remaja antara lain memilih sekolah.
Apabila mengharapkan remaja mempunyai penyesualan diri yang baik, seyogianya orang tua
tidak mendikte mereka agar memilih jenis sekolah tertentu sesuai keinginannya. Orang tua dan
guru hendaknya mengarahkan pilihan sekolah yang sesuai dengan minat, bakat, dan
kemampuannya. Tidak jarang terjadi, anak tidak mau sekolah, tidak mau belajar, suka
membolos, dan sebagainya karena ia dipaksa orang tuanya untuk masuk sekolah yang tidak ia
sukai.

G. Karakteristik Masalah Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)

Bagi sebagian besar orang yang sudah beranjak dewasa bahkan melewati usia dewasa, remaja
adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup mereka. Kenangan saat remaja merupakan
kenangan yang tidak mudah dilupakan, sebaik atau seburuk apapun saat itu. Adapun bagi orang
tua yang memiliki anak berusia remaja, mereka merasakan bahwa usia remaja adalah waktu
yang sulit. Banyak konflik yang dihadapi oleh orang tua dan remaja itu sendiri. Banyak orang tua
yang tetap menganggap anak remajanya masih perlu dilindungi dengan ketat sebab di mata
mereka, ia masih belum siap menghadapi tantangan dunia orang dewasa. Sebaliknya, bagi para
remaja, tuntutan internal membawa mereka pada keinginan untuk mencari jati diri yang
mandiri dari pengaruh orang tua. Keduanya memiliki kesamaan yang jelas: remaja adalah waktu
yang kritis sebelum menghadapi hidup sebagai orang dewasa. Sebetulnya, apa yang terjadi
sehingga remaja memiliki dunia tersendiri? Mengapa para remaja sering merasa tidak
dimengerti dan tidak diterima oleh lingkungan sekitarnya? Mengapa remaja seolah- olah
memiliki masalah unik dan tidak mudah dipaharni? Masa remaja merupakan sebuah periode
dalam kehidupan manusia yang batasan usia maupun peranannya sering tidak terlalu jelas.
Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai
patokan atau batasan untuk pengategorian remaja. Hal ini karena usia pubertas yang dahulu
terjadi pada akhir usia belasan (15-18), kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11
tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami pubertas,
tetapi tidak berarti la sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia
orang dewasa. la belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa meskipun di saat yang
sama, ia juga bukan anak-anak lagi. Berbeda dengan balita yang perkembangannya dengan jelas
dapat diukur, remaja hampir tidak memiliki pola perkembangan yang pasti. Dalam
perkernbangannya, sering mereka menjadi bingung karena kadang- kadang diperlakukan
sebagai anak-anak, tetapi di lain waktu mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa.
Memang banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan, tetapi sering
perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai pengesahan akan
keremajaan seseorang. Namun, satu hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin
kompleks seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri mereka.
Untuk memahami remaja, perlu dilihat berdasarkan perubahan pada dimensi-dimensi tersebut.
1. Dimensi Biologis Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas, yang ditandai dengan
menstruasi pertama pada remaja perempuan ataupun perubahan suara pada remaja laki-laki,
secara biologis, dia mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan seorang
anak memiliki kemampuan untuk bereproduksi. Pada masa pubertas, hormon seseorang
menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic
hormones) yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle- Samulating Hormone
(FSH); dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada perempuan, kedua hormon tersebut merangsang
pertumbuhan anak strogen dan progesteron: dua jenis hormon kewanitaan. Pada anak laki-laki,
Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating Hormone (ICSH)
merangsang pertumbuhan testosteron. Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon
tersebut mengubah sistem biologis seorang anak. Anak perempuan akan mendapat menstruasi
sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu, terjadi juga perubahan
fisik seperti payudara mulai berkembang, dan lain-lain. Anak laki-laki mulai memperlihatkan
perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormone
testosteron. Bentuk fisik mereka akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan
membawa mereka pada dunia remaja. 2. Dimensi Kognitif Arti sederhana dari kata kognitif ialah
berpikir atau kemampuan berpikir, sedangkan dimensi adalah sebagai sudut pandang atau
perspektif. Dari dua arti kata tersebut dapat dipahami bahwa dimensi kognitif adalah sebagai
sebuah penilaian terhadap sesuatu berdasarkan sudut pandang kemampuan berpikir.
Perkembangan kognitif setiap individu tentu sangat berbeda. Namun dari sejumlah perbedaan
tersebut, ada beberapa hal menunjuk- kan bahwa adanya kesamaan pola yang dapat dijadikan
sebagai ciri-ciri umum. Ciri umum dari karakter masalah peserta didik remaja dari sudut
pandang kognitif ialah bahwa secara intelektualitasnya, anak remaja cenderung sudah mampu
menerjemahkan realita yang ada dengan menggunakan pikirannya. Artinya remaja relatif sudah
bisa memilih dan mengambil keputusan melalui sebuah pemahaman, penalaran, dan
pengetahuannya. Selain itu, remaja juga sudah memiliki kompetensi dasar dalam berpikir
praktis untuk memecahkan masalah yang ia hadapi dan terkadang seorang remaja dapat
menjawab dan mempersiapkan solusi dari sebuah persoalan dengan banyak alternatif termasuk
sebuah konsekuensi logis yang akan diterimanya sebagai akibat dari sebuah pilihan yang telah
diambil. Dalam hal informasi, para remaja biasanya diliputi rasa penasaran yang tinggi sehingga
terkadang remaja dalam menerima informasi tidak langsung mereka terima begitu saja tanpa
konfirmasi dan validasi, tetapi mereka biasanya akan memproses informasi tersebut dan
kemudian diolahnya dengan kemampuan pemikiran mereka sendiri, Dengan kemampuan
prosedural ini, para remaja mempunyai kemampuan untuk mengadaptasikan dirinya terhadap
lingkungan di sekitarnya dengan sangat mudah dan cepat. Remaja dengan tingkat kemampuan
berpikir yang tinggi memungkinkan dia akan cepat meralh semua keinginannya. Namun
demikian, jika berbicara dari sudut pandang fakta dan ta di lapangan, masih sangat banyak
remaja yang belum mampu anenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif ini. Sebagian
masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu nola pikir yang masih sangat
sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini bisa saja
diakibatkan karena pola pendidikan, atau mungkin pola asuh orang tua yang cenderung masih
memperlakukan remaja sebagai anak-anak. Akibatnya, anak tidak memiliki keleluasaan dalam
memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang
remaja harus mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat lulus sekolah menengah,
mereka sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari
solusi terbaik. 3. Dimensi Moral Banyak orang mengatakan bahwa masa remaja dipenuhi
perasaan yang sangat spontan dan meletup-letup dalam merespons sesuatu yang ia terima dan
ia hadapi. Sikap penerimaan ini kadang direspons dengan positif, tetapi terkadang juga
direspons dengan sikap yang negatif. Kompetensi seorang remaja dalam merespons persoalan
yang dihadapinya dipengaruhi oleh kemampuan dan pengetahuan dalam menganalisis
permasalahannya. Dari sudut pandang psikis, proses merespons realitas kehidupan khususnya
kenyataan yang ia alami tidak hanya dapat lihat secara matematis semata, tetapi ada hal yang
lebih penting dari semuanya yaitu sikap baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, patut dan
tidak patut. Perilaku remaja yang mencerminkan kebaikan, kepantasan dan kepatutan
terkadang dijadikan ukuran dalam menilai kapasitas moral seorang remaja, bahkan subjektivitas
seseorang dapat memberikan "stigma" pada seorang remaja walau hanya dengan melihat
perilaku seorang remaja. Hal ini tentu tidak terlepas dari masih adanya anggapan banyak orang
yang masih percaya bahwa sikap moral menjadi salah satu aturan tidak tertulis yang berfungsi
sebagai indikator penilaian moral sekaligus sebagai kendali dalam menilai perilaku, seperti sikap
jujur, hormati, sopan, tanggung jawab, dan lain sebagainya. Pendidikan moral bagi remaja
menjadi sebuah keharusan. Hal Ini sebagai bekal dan antisipatif terhadap perkembangan zaman
dan perubahan sosial yang terjadi di tengah masyarakat dalam proses penyesuaian diri mereka.
Hal ini dimaksudkan agar remaja dalam kehidupan sosialnya tidak memerankan perilaku yang
antagonis tetapi menjadikan dirinya tahu dan sadar akan pentingnya sebuah perilaku baik dan
benar dengan mengedepankan sikap dan moral yang baik. Jika dalam masa remaja sudah
dibekali dan mempunyai kekuatan sikap moral yang baik, maka diharapkan masa dewasanya
nanti akan tetap terjaga dari degradasi moral dan sekaligus dapat memberikan contoh bagi
orang lain. 4. Dimensi Psikologis Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa
ini, mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh
Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa remaja rata-rata
memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood "senang luar biasa" ke "sedih luar
biasa", sedangkan orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan
mood (swing) yang drastis pada para remaja ini dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan
sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meskipun mood remaja mudah berubah-ubah
dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis. Dalam hal
kesadaran diri, para remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka
(self-awareness), Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena menganggap
bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi
atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat memperhatikan diri
mereka dan citra yang direfleksikan (self-image). Remaja cenderung untuk menganggap dirinya
sangat unik dan bahkan percaya bahwa keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan
ketenaran. Remaja putri akan bersolek berjam-jam di hadapan cermin karena la percaya orang
akan melirik dan tertarik pada kecantikannya, sedangkan remaja putra akan membayangkan
dirinya dikagumi lawan jenisnya jika la terlihat dan hebat. Pada usia 16 tahun ke atas,
keeksentrikan remaja kan berkurang dengan sendirinya jika ia sering dihadapkan dengan dunia
nyata. Pada saat itu, remaja mulai sadar bahwa orang lain ternyata memiliki dunia tersendiri
dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi atau dipikirkannya. Anggapan remaja bahwa
mereka selalu diperhatikan oleh orang lain kemudian menjadi tidak berdasar. Pada saat inilah,
remaja mulai dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk menyesuaikan impian dan angan-
angan mereka dengan kenyataan. Para remaja juga sering menganggap dirinya serba mampu,
sehingga sering terlihat tidak memikirkan akibat perbuatan mereka. Tindakan impulsif
dilakukan karena mereka tidak sadar dan belum biasa memperhitungkan akibat jangka pendek
atau jangka panjang. Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan mereka akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih percaya-
diri, dan mampu bertanggung jawab. Rasa percaya diri dan rasa tanggung-jawab inilah yang
sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jati diri positif padanya. Kelak, ia akan tumbuh
dengan penilaian positif pada diri sendiri dan rasa hormat pada orang lain dan lingkungan.
Bimbingan orang yang lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan untuk
menghadapi masalah itu sebagai seseorang yang baru; berbagai nasihat dan berbagai cara akan
dicari untuk dicobanya. Remaja akan membayangkan apa yang akan dilakukan oleh para
idolanya untuk menyelesaikan masalah seperti itu. Pemilihan idola ini juga akan menjadi sangat
penting bagi mereka. Salah satu topik yang paling sering dipertanyakan oleh remaja adalah
masalah "Siapakah saya?" Pertanyaan itu sah dan normal karena pada masa ini kesadaran diri
(self-awareness) mereka mulai berkembang dan mengalami banyak perubahan. Remaja mulai
merasakan bahwa "la-bisa dan berbeda" dengan orang tuanya dan memang ada remaja yang
ingin mencoba berbeda. Ini pun normal karena remaja dihadapkan pada banyak pilihan. Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan bila remaja selalu berubah dan ingin selalu mencoba, baik
dalam peran sosial maupun dalam perbuatan. Contoh: anak seorang insinyur bisa saja ingin
menjadi seorang dokter karena tidak mau melanjutkan atau mengikuti jejak ayahnya. la akan
mencari idola seorang dokter yang sukses dan berusaha menyerupainya dalam tingkah laku.
Bila merasakan peran itu tidak sesuai, ia dengan cepat mengganti peran lain yang dirasakannya
"akan lebih sesuai". Begitu seterusnya sampai ia menemukan peran yang ia rasakan pas dengan
dirinya. Proses "mencoba peran" ini merupakan proses pembentukan jati diri yang sehat dan
juga sangat normal. Tujuannya sangat sederhana, yaitu menemukan jati diri atau identitasnya
sendiri. la tidak mau hanya menurut begitu saja keinginan orang tuanya tanpa pemikiran yang
lebih jauh. Banyak orang tua khawatir jika "percobaan peran" ini menjadi berbahaya.
Kekhawatiran itu memang memiliki dasar yang kuat. Dalam proses "percobaan peran", biasanya
orang tua tidak dilibatkan. Kebanyakan karena remaja takut jika orang tua mereka tidak
menyetujui, tidak menyenangi, atau malah menjadi sangat khawatir. Sebaliknya, orang tua
menjadi kehilangan pegangan karena mereka tiba-tiba tidak lagi memiliki kontrol terhadap anak
remaja mereka. Pada saat inilah kehilangan komunikasi antara remaja dan orang tuanya mulai
terlihat. Keduanya mulai berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda sehingga sangat mungkin
terjadi kesalahpahaman. Upaya lain para remaja untuk mengetahui diri mereka sendiri adalah
melalui tes-tes psikologis, atau yang dikenal sebagai tes minat dan bakat. Tes ini menyangkut
tes kepribadian, tes inteligensi, dan tes minat. Psikolog umumnya dilatih untuk menggunakan
alat tes itu. Alat tes yang saat ini umum diberikan oleh psikolog di Indonesia adalah WISC, TAT,
MMPI, Stanford-Binet, MBTI, dan lain-lain. Alat-alat tes juga beredar luas dan dapat ditemukan
di toko buku atau melalui internet; misalnya tes kepribadian. Walaupun terlihat sederhana,
dampak dari hasil tes tersebut sangat luas. Alat tes psikologi dapat diibaratkan sebuah pisau
lipat yang terlihat sekilas tidak berbahaya, tetapi apabila berada di tangan orang yang "bukan
ahlinya" atau yang kurang bertanggung jawab, alat ini akan menjadi sangat berbahaya. Alat tes
jika diinterpretasikan secara salah atau tidak secara menyeluruh oleh orang yang tidak
berpengalaman atau tidak memiliki dasar flmu yang cukup untuk mengartikan secara objektif
akan membuat kebingungan dan malah membawa efek negatif. Akibatnya, para remaja akan
merasa lebih bingung dan lebih tidak merasa yakin akan hasil tes tersebut. Oleh karena itu,
sangatlah dianjurkan untuk mencari psikolog yang memang sudah terbiasa memberikan tes
psikologi dan memiliki Surat Rekomendasi ljin Praktik (SRIP) sehingga dapat menjamin
objektivitas tes tersebut. Satu hal yang perlu diingat adalah hasil tes psikologi untuk remaja
sebaiknya tidak ditelan mentah-mentah atau dijadikan patokan yang baku mengingat bahwa
masa remaja merupakan masa yang sangat erat dengan perubahan. Alat tes ini tidak
semestinya dijadikan buku primbon atau acuan kaku dalam penentuan langkah untuk masa
depan, misalnya dalam mencari sekolah atau mencari karier yang cocok. Sering kali, seiring
dengan perkembangan remaja dan perubahan lingkungan sekitarnya, konklusi yang diterima
dari hasil tes bisa berubah dan menjadi tidak relevan lagi. Hal ini wajar mengingat bahwa minat
seorang remaja sangat labil dan mudah berubah. Sehubungan dengan eksplorasi diri melalui
internet atau media massa yang lain, remaja hendaknya berhati-hati dalam meng-
interpretasikan hasil-hasil yang didapat dari tes-tes psikologi online melalui internet. Harap
diingat bahwa banyak di antara tes tersebut masih sebatas uji coba dan belum dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Selain itu, dibutuhkan kejujuran untuk mampu
menerima diri apa adanya sehingga remaja tidak mengembangkan identitas "virtual" yang
berbeda dengan diri yang asli.

Anda mungkin juga menyukai