Anda di halaman 1dari 30

2.

1 Imunisasi

2.1.1 Pengertian Imunisasi

Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan

seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan

dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan

(Kemenkes, 2013).

Vaksinasi merupakan imunisasi aktif dengan pemberian vaksin (antigen) yang

dapat merangsang pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh.

Tujuannya adalah memberikan infeksi ringan yang tidak berbahaya namun cukup

untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit yang

sesungguhnya dikemudian hari tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat

membentuk antibodi dan mematikan antigen /penyakit yang masuk tersebut (Ranuh,

2011).

Pada hakekatnya kekebalan tubuh dapat dimiliki secara pasif maupun aktif.

Keduanya dapat diperoleh secara alami maupun buatan. Kekebalan pasif yang

didapatkan secara alami adalah kekebalan yang didapatkan oleh seorang bayi yang

menerima berbagai jenis antibodi dari ibunya melalui plasenta selama masa

kehamilan. Sedangkan kekebalan pasif buatan adalah pemberian antibodi kepada

resipien, dimaksudkan untuk memberikan imunitas secara langsung tanpa harus

memproduksi sendiri zat aktif tersebut untuk kekebalan tubuhnya (Satgas IDAI,
10
2008).
Kekebalan aktif secara alami didapatkan apabila anak terjangkit suatu

penyakit, yang berarti masuknya antigen yang akan merangsang tubuh anak

membentuk antibodi sendiri secara aktif dan menjadi kebal karenanya. Mekanisme

yang sama adalah pemberian vaksin yang merangsang tubuh manusia secara aktif

membentuk antibodi dan kebal secara spesifik terhadap antigen yang diberikan

(Ranuh, 2011).

2.1.2 Tujuan Imunisasi

Secara umum tujuan imunisasi adalah untuk menurunkan angka kesakitan,

kecacatan dan kematian akibat PD3I.

Tujuan khususnya meliputi :

a. Tercapainya target UCI yaitu cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara

merata pada bayi di seluruh desa/kelurahan pada tahun 2014.

b. Tervalidasinya eliminasi tetanus maternal dan neonatal (insiden dibawah 1 per

1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun).

c. Global eradikasi polio pada tahun 2018.

d. Tercapainya eliminasi campak pada tahun 2015 dan pengendalian penyakit rubella

2020.

e. Terselenggaranya pemberian imunisasi yang aman serta pengelolaan limbah

medis.

2.1.3 Manfaat Imunisasi


Nilai (value) imunisasi dibagi dalam 3 kategori yaitu untuk individu, sosial

dan menunjang Sistem Kesehatan Nasional (SKN).

1. Individu

Mempertinggi kekebalan terhadap penyakit tertentu, seorang anak yang telah

mendapat imunisasi maka 80% - 95% akan terhindar dari penyakit infeksi yang

ganas.

2. Sosial

Kekebalan individu akan mengakibatkan pemutusan rantai penularan penyakit

ke anak lain atau orang dewasa yang hidup bersamanya. Inilah yang disebut

keuntungan sosial, karena dalam hal ini 5% - 20% anak yang tidak diimunisasi juga

akan terlindung karena adanya herd immunity atau kekebalan komunitas.

Dengan menurunnya angka kesakitan akan menurunkan pula biaya

pengobatan dan perawatan di rumah sakit, mencegah kematian dan kecacatan yang

akan menjadi beban masyarakat seumur hidupnya.

3. Sistem kesehatan nasional

Program imunisasi sangat efektif dan efisien apabila diberikan dalam cakupan

yang luas secara nasional. Peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu negara tentunya

akan lebih baik bila masyarakatnya lebih sehat sehingga anggaran untuk

kuratif/pengobatan dapat dialihkan pada program lain yang membutuhkan. Investasi

dalam kesehatan untuk kesejahteraan dan peningkatan kualitas anak di masa depan

(Ranuh, 2011).

2.1.4 Jenis-jenis Imunisasi


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor. 42 Tahun 2013 tentang

penyelenggaraan imunisasi, dalam pasal 3 dinyatakan berdasarkan sifat

penyelenggaraannya, imunisasi dikelompokkan menjadi imunisasi wajib dan pilihan.

2.1.4.1 Imunisasi Wajib

Imunisasi wajib adalah imunisasi yang diwajibkan pemerintah untuk

seseorang sesuai kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dan

masyarakat sekitarnya dari penyakit tertentu.

Imunisasi wajib terdiri atas imunisasi rutin, tambahan dan khusus yang

diberikan sesuai jadwal yang telah ditetapkan.

a. Imunisasi rutin

Imunisasi rutin merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan secara terus

menerus sesuai jadwal, terdiri atas imunisasi dasar dan lanjutan. Imunisasi dasar

diberikan kepada bayi sebelum berusia 1 (satu) tahun. Imunisasi lanjutan merupakan

imunisasi ulangan untuk mempertahankan tingkat kekebalan atau untuk

memperpanjang masa perlindungan. Diberikan kepada anak usia bawah tiga tahun

(batita), anak usia sekolah dasar dan wanita usia subur.

Jadwal imunisasi lanjutan pada anak usia dibawah tiga tahun meliputi

imunisasi DPT-HB-Hib pada usia 18 bulan dan campak pada usia 24 bulan. Balita

yang telah mendapatkan imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib dinyatakan mempunyai

status imunisasi T3.

Imunisasi lanjutan pada anak sekolah dasar meliputi campak dan DT pada

anak kelas 1 SD, dan imunisasi Td pada anak kelas 2 dan 3 SD yang dilaksanakan
pada bulan Agustus dan November. Anak usia sekolah dasar yang telah mendapatkan

imunisasi DT dan Td dinyatakan mempunyai status T4 dan T5.

b. Imunisasi tambahan

Imunisasi tambahan diberikan kepada kelompok umur tertentu yang paling

beresiko terkena penyakit sesuai kajian epidemiologis pada periode waktu tertentu.

Pemberiannya tidak menghapuskan kewajiban pemberian imunisasi rutin.

Yang termasuk dalam kegiatan imunisasi tambahan :

1. Backlog fighting

Backlog fighting merupakan upaya aktif untuk melengkapi imunisasi dasar

pada anak yang berumur dibawah 3 (tiga) tahun. Prioritas dilaksanakan di desa yang

selama 2 (dua) tahun berturut-turut tidak mencapai UCI.

2. Crash program

Crash program merupakan kegiatan yang ditujukan untuk wilayah yang

memerlukan intervensi secara cepat untuk mencegah terjadinya KLB. Crash program

bisa dilakukan untuk satu atau lebih jenis imunisasi, misalnya campak, atau campak

terpadu dengan polio.

Kriteria daerah yang akan dilakukan crash program adalah angka kematian

bayi akibat PD3I tinggi, infrastruktur (tenaga, sarana, dana) kurang dan desa yang

selama 3 tahun berturut-turut tidak mencapai UCI.

3. PIN (Pekan Imunisasi Nasional)


PIN adalah kegiatan imunisasi yang dilaksanakan serentak di suatu negara

dalam waktu yang singkat, tanpa memandang status imunisasi sebelumnya. Bertujuan

untuk memutuskan mata rantai penyebaran suatu penyakit, misalnya polio.

4. Sub PIN

Sub PIN merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan seperti PIN tetapi

dalam wilayah terbatas (beberapa provinsi atau kabupaten/kota).

5. Catch up campaign campak

Catch up campaign campak merupakan upaya untuk memutuskan transmisi

penularan virus campak pada anak usia sekolah dasar. Kegiatan dilakukan dengan

pemberian imunisasi campak secara serentak pada anak kelas 1-6 sekolah dasar, serta

usia 6-12 tahun yang tidak sekolah, tanpa mempertimbangkan status imunisasi

sebelumnya. Disamping itu juga sebagai booster atau imunisasi ulangan (dosis

kedua).

6. Outbreak response immunization (ORI)

Imunisasi dalam penanganan Kejadian Luar Biasa (KLB), disesuaikan dengan

situasi epidemiologis penyakit.

c. Imunisasi khusus

Imunisasi khusus merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan untuk

melindungi masyarakat terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu, antara lain

imunisasi meningitis meningokokus, imunisasi demam kuning dan imunisasi anti

rabies (VAR).

2.1.4.2 Imunisasi Pilihan


Imunisasi pilihan adalah imunisasi lain yang tidak termasuk dalam imunisasi

wajib, namun penting diberikan kepada bayi, anak dan dewasa di Indonesia

mengingat beban penyakit dari masing-masing penyakit.

Jenis imunisasi pilihan dapat berupa imunisasi Haemophillus influenza tipe b

(Hib), Pneumokokus, Rotavirus, Influenza, Varisela, Measles Mumps Rubella

(MMR), Demam Tifoid, Hepatitis A, Human Papiloma Virus (HPV) dan Japanese

Encephalitis.

2.2 Imunisasi Dasar Lengkap pada Bayi

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor. 42 Tahun 2013 tentang

penyelenggaraan imunisasi, pasal 6 dinyatakan imunisasi dasar merupakan imunisasi

yang diberikan kepada bayi sebelum berusia 1 (satu) tahun.

Adapun jenis imunisasi dasar pada bayi terdiri dari :

a. Bacillus calmette guerin (BCG)

Vaksin Bacille Calmette Guerin (BCG) merupakan vaksin beku kering yang

mengandung Mycobacterium bovis hidup yang dilemahkan. Digunakan untuk

pencegahan terhadap penyakit tuberkulosa. Vaksinasi BCG mengurangi risiko terjadi

tuberkulosis berat seperti Meningitis TB dan Tuberculosis Milier (Ranuh, 2011).

Vaksinasi diberikan pada umur 1 bulan, secara intradermal. Pada anak

sebaiknya dengan uji Mantoux (tuberkulin) negatif. Efek proteksi timbul 8–12

minggu setelah penyuntikan. Efek proteksi bervariasi antara 0–80%, berhubungan


dengan beberapa faktor yaitu mutu vaksin yang dipakai, lingkungan dengan

Mycobacterium atipik atau faktor pejamu (umur, keadaan gizi dll).

Efek samping reaksi lokal yang timbul setelah imunisasi BCG berupa

pembengkakan kecil, merah, biasanya timbul pada daerah bekas suntikan, yang

kemudian berubah menjadi vesikel kecil, dan kemudian menjadi sebuah ulkus dalam

waktu 2 - 4 minggu. Reaksi ini biasanya hilang dalam 2 – 5 bulan, dan umumnya

pada anak-anak akan meninggalkan bekas berupa jaringan parut dengan diameter

2 – 10 mm. Jarang sekali nodus dan ulkus tetap bertahan.Kadang-kadang pembesaran

kelenjar getah bening pada daerah ketiak dapat timbul 2 – 4 bulan setelah imunisasi

(Biofarma, 2013).

b. Diphteria pertusis tetanus-hepatitis B (DPT-HB) atau diphteria pertusis tetanus-

Hepatitis B-hemophilus influenza type B (DPT-HB-HiB)

Vaksin DPT-HB-Hib berupa suspense homogeny yang berisikan difteri murni,

toxoid tetanus, bakteri pertusis inaktif, antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) murni

yang tidak infeksius dan komponen Hib sebagai vaksin bakteri sub unit berupa kapsul

polisakarida Haemophillus influenza tipe b (Hib) tidak infeksius yang dikonjugasikan

kepada protein toksoid tetanus (Kemenkes, 2013)

Digunakan untuk pencegahan terhadap difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan),

hepatitis B dan infeksi Haemophilus influenza tipe b secara simultan. Strategic

Advisory Group of Expert on Immunization (SAGE) merekomendasikan vaksin Hib

dikombinasi dengan DPT-HB menjadi vaksin pentavalent (DPT-HB-Hib) untuk

mengurangi jumlah suntikan pada bayi. Penggabungan berbagai antigen menjadi satu
suntikan telah dibuktikan melalui uji klinik, bahwa kombinasi tersebut secara materi

tidak akan mengurangi keamanan dan tingkat perlindungan (Kemenkes, 2013).

Pemberian imunisasi DPT-HB-Hib diberikan sebanyak 3 (tiga) kali pada usia

2, 3 dan 4 bulan. Pada tahap awal hanya diberikan pada bayi yang belum pernah

mendapatkan imunisasi DPT-HB. Apabila sudah pernah mendapatkan imunisasi

DPT-HB dosis pertama atau kedua, tetap dilanjutkan dengan pemberian imunisasi

DPT-HB sampai dengan dosis ketiga. Untuk mempertahankan tingkat kekebalan

dibutuhkan imunisasi lanjutan kepada anak batita sebanyak satu dosis pada usia 18

bulan.

Jenis dan angka kejadian reaksi simpang yang berat tidak berbeda secara

bermakna dengan vaksin DPT, Hepatitis B dan Hib yang diberikan secara terpisah.

Untuk DPT, beberapa reaksi lokal sementara seperti bengkak, nyeri dan kemerahan

pada lokasi suntikan disertai demam dapat timbul. Vaksin hepatitis B dan vaksin Hib

dapat ditoleransi dengan baik. Reaksi lokal dapat terjadi dalam 24 jam setelah

vaksinasi dimana penerima vaksin dapat merasakan nyeri pada lokasi penyuntikkan.

Reaksi ini biasanya bersifat ringan dan sementara, pada umumnya akan sembuh

dengan sendirinya dan tidak memerlukan tindakan medis lebih lanjut.

Terdapat beberapa kontraindikasi terhadap dosis pertama DPT, kejang atau

gejala kelainan otak pada bayi baru lahir atau kelainan saraf serius lainnya merupakan

kontraindikasi terhadap komponen pertusis. Dalam hal ini vaksin tidak boleh

diberikan sebagai vaksin kombinasi, tetapi vaksin DT harus diberikan sebagai

pengganti DPT, vaksin Hepatitis B dan Hib diberikan secara terpisah.


c. Hepatitis B pada bayi baru lahir

Vaksin hepatitis B diberikan untuk melindungi bayi dengan memberikan

kekebalan terhadap penyakit Hepatitis B yang merusak hati. Penyakit ini bisa menjadi

kronis dan menimbulkan pengerasan hati (Cirrhosis Hepatis), kanker hati (Hepato

Celllular Carsinoma) dan menimbulkan kematian.

Vaksin HB yang tersedia adalah vaksin rekombinan. Pemberian ketiga dosis

vaksin dengan dosis yang sesuai rekomendasi akan menyebabkan terbentuknya

respon protektif (anti HB≥s 10 mlU/ml) pada > 90% bayi anak dan remaja

dan dewasa (Ranuh, 2011).

d. Polio

Imunisasi polio merupakan proses pembentukan kekebalan terhadap penyakit

Poliomyelitis dengan menggunakan Inactivated (Salk) Poliovirus Vaccine (IPV)

maupun Oral Polio Vaccine (OPV). Perbedaannya, IPV merupakan virus yang sudah

mati dengan formaldehid sedangkan OPV adalah virus yang masih hidup dan

mempunyai kemampuan enterovirulen, tetapi tidak bersifat pathogen karena sifat

neurovirulensinya sudah hilang.

OPV hanya diberikan secara oral. Diteteskan langsung ke dalam mulut

dari vial dosis ganda melalui droper sebanyak 2 tetes. Bayi sedikitnya harus

mendapatkan 3 dosis OPV dengan interval waktu 4 minggu. Imunisasi ulangan

diberikan 1 dan 3 tahun kemudian 1 dosis.

OPV sangat bermanfaat pada saat KLB karena selain menimbulkan kekebalan

humoral dan lokal pada usus resipien juga mempunyai community effect yaitu virus
vaksin yang berbiak di usus akan ikut menyebar kesekitarnya, sehingga jangkauan

imunisasi makin meluas.

Umumnya tidak terdapat efek samping. Sangat jarang terjadi kelumpuhan

(paralytic poliomyelitis) yang diakibatkan karena vaksin dengan perbandingan

1/1.000.000 dosis, atau kontak dengan anak yang telah divaksinasi dengan

perbandingan 1/1.400.000 dosis sampai 1/3.400.000 dosis. Dan hal ini terjadi bila

kontak belum mempunyai kekebalan terhadap virus polio atau belum pernah

diimunisasi (Biofarma, 2013).

e. Campak

Imunisasi campak adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan

kekebalan aktif terhadap penyakit campak (morbilli/measles). Saat ini ada beberapa

macam vaksin campak yaitu monovalen, kombinasi vaksin campak dengan vaksin

Rubella (MR), kombinasi dengan mumps dan rubella (MMR), Kombinasi dengan

mumps, rubella dan varisella (MMRV) (Ranuh, 2011).

Pemberian imunisasi campak pada bayi usia 9 bulan, secara subkutan

walaupun demikian dapat diberikan secara intramuskular. Dianjurkan pemberiannya

sesuai jadwal, karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia 9 bulan.

Vaksin campak dapat mengakibatkan sakit ringan dan bengkak pada lokasi

suntikan yang terjadi 24 jam setelah vaksinasi. Pada 5-15% kasus terjadi demam

(selama 1-2 hari), pada 2 % terjadi kasus kemerahan (selama 2 hari). Kasus ensefalitis

pernah dilaporkan terjadi (perbandingan 1/1.000.000 dosis), kejang demam

(perbandingan 1/3.000 dosis).


Terdapat beberapa kontraindikasi pada pemberian vaksin campak. Hal ini

sangat penting, khususnya untuk imunisasi pada anak penderita malnutrisi. Vaksin ini

sebaiknya tidak diberikan bagi orang yang alergi terhadap dosis vaksin campak

sebelumnya, anak dengan infeksi akut disertai demam, anak dengan defisiensi sistem

kekebalan serta anak dengan pengobatan intensif yang bersifat imunosupresif.

Sesuai dengan Permenkes Nomor 42 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan

Imunisasi, jadwal pemberian imunisasi dasar pada bayi dapat dilihat pada tabel

dibawah ini :

Tabel 2.1 Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar pada Bayi

Umur Jenis
0 bulan Hepatitis B 0
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT-HB-Hib 1, Polio 2
3 bulan DPT-HB-Hib 2, Polio 3
4 bulan DPT-HB-Hib 3, Polio 4
9 bulan Campak
Catatan :

Bayi yang telah mendapatkan imunisasi dasar DPT-HB-Hib 1, DPT-HB-Hib 2, DPT-

HB-Hib 3, dinyatakan mempunyai status imunisasi T2.

2.3 Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I)

Secara umum tujuan kegiatan imunisasi sesuai dengan Progam Pengembangan

Imunisasi (PPI) yang mulai dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1977 berfokus pada

pencegahan penularan terhadap beberapa PD3I yaitu tuberkulosis, difteri, pertusis,

tetanus, campak, polio serta hepatitis B.


2.3.1 Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis. Paling sering mengenai paru-

paru tetapi dapat juga mengenai organ lainnya seperti selaput otak, tulang, kelenjar

superfisialis dll. Beberapa minggu ( 2-12 minggu) setelah infeksi Mycobacterium

tuuberculosis terjadi respon imunitas selular yang dapat ditunjukkan dengan uji

tuberkulin (Ranuh, 2011).

Penularan melalui udara (percikan dahak penderita TB) saat batuk, bersin,

berbicara atau meludah. Seseorang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis tidak

selalu menjadi sakit tuberkulosis aktif. Seseorang yang terdiagnosis TB dengan status

TB BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat menularkan sekurang-kurangnya 10-15

orang lain setiap tahunnya.

WHO report on tuberculosis epidemics tahun 2013 memperkirakan terdapat 9

juta kasus TB didunia dan 1,5 juta kasus meninggal dimana 360.000 kasus HIV

positif. Sekitar 56% kasus berada di Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Diperkirakan

di Indonesia setiap tahunnya terjadi 64.000 kematian akibat TB dan terdapat 450.000

kasus TB baru setiap tahunnya.

Belum diketahui prevalens TB pada anak, namun di berbagai rumah sakit di

Indonesia angka perawatan TB berat seperti TB milier, meningitis TB masih tinggi

(Ranuh, 2011).
2.3.2 Difteri

Difteri adalah suatu penyakit menular akut pada tonsil, faring,, hidung dan

kadang-kadang pada selaput mukosa dan kulit. Bersifat toxin-mediated disease yang

disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Ada 3 tipe dari

Corynebacterium diphteriae yaitu tipe mitis, intermedius dan gravis, ketiga tipe ini

dapat memproduksi toxin, tipe gravis adalah yang paling sering didapatkan pada

kasus yang berat (Kemenkes, 2011).

Pada dasarnya semua komplikasi difteri, termasuk kematian merupakan akibat

langsung dari toxin difteri. Penularan melalui pernafasan droplet infection atau

melalui muntahan, pada difteri kulit bisa melalui luka di tangan baik dari penderita

maupun carrier. Pada masa non epidemi ditemukan carrier rate sebesar 0,5% - 1,2%

dari penduduk dan kumannya adalah tipe mitis. Pada masa epidemi carrier rate bisa

meningkat menjadi 25%-40% dan kumannya adalah tipe gravis.

Pada tahun 2008-2012 di Indonesia angka kasus difteri naik signifikan (218

kasus tahun 2008 menjadi 1.192 kasus di 2012), disertai kenaikan angka kematian

(dari 14 penderita meninggal pada 2008 menjadi 76 pasien pada 2012). Pada tahun

2008-2011, mayoritas kasus menyerang kelompok usia 1-4 tahun dan 5-9 tahun.

Pada tahun 2012, difteri umumnya dialami kelompok anak usia 5-9 tahun dan

di atas 14 tahun. Lebih dari 50% kasus terjadi akibat tidak mendapat imunisasi. Pada

tahun 2012, kasus difteri ditemukan di 19 provinsi, jumlah kasus terbanyak ada di

Jawa Timur, yakni 954 kasus atau 79,5% (Kemenkes, 2012).


2.3.3 Pertusis

Pertussis atau Whooping Cough, di Indonesia lebih dikenal sebagai batuk

rejan adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis.

Masa inkubasi umumnya 7- 20 hari, rata-rata 7-10 hari. Penularan terutama melalui

kontak langsung dengan discharge selaput lendir saluran pernafasan dari orang yang

terinfeksi lewat udara atau percikan ludah.

Pertusis merupakan penyakit endemis yang sering menyerang anak-anak.

Sebelum ditemukan vaksinnya, pertusis merupakan penyakit tersering menyerang

anak dan merupakan penyebab utama kematian (diperkirakan sekitar 300.000

kematian terjadi setiap tahun). Sekitar 80% kematian terjadi pada anak-anak berumur

dibawah 1 tahun (Kemenkes, 2011).

Pada kelompok masyarakat yang tidak diimunisasi, khususnya mereka dengan

kondisi dasar kurang gizi dan infeksi ganda pada saluran pencernaan dan pernafasan,

pertusis dapat menjadi penyakit yang mematikan pada bayi dan anak. Pneumonia

merupakan sebab kematian yang paling sering.

2.3.4 Tetanus

Tetanus adalah penyakit akut, bersifat fatal yang disebabkan oleh eksotoksin

yang diproduksi bakteri Clostridium tetani. Penularan terjadi apabila spora tetanus

masuk kedalam tubuh, biasanya melalui luka yang tercemar dengan tanah, debu

jalanan atau tinja hewan dan manusia.


Masa inkubasi berkisar antara 3-14 hari, tapi bisa lebih pendek atau lebih

panjang. Prognosis dipengaruhi oleh masa inkubasi, semakin pendek masa inkubasi

biasanya semakin jelek prognosisnya.

Tetanus pada maternal dan neonatal merupakan penyebab kematian paling

sering terjadi akibat persalinan dan penanganan tali pusat tidak bersih. Tetanus

neonatorum (TN) adalah tetanus pada bayi usia hari ke 3 dan 28 setelah lahir.

Manifestasi klinis meliputi gejala progresif adanya kesulitan minum (menghisap dan

menelan), peka rangsang dan bayi menangis terus menerus. Gejala khas yang lain

adalah adanya kekakuan dan spasme. Tetanus maternal (TM) adalah tetanus pada

kehamilan dan dalam 6 minggu setelah melahirkan.

Angka kematian tetanus sangat tinggi, terutama ketika perawatan kesehatan

yang tepat tidak tersedia. Secara global hampir 14% penyebab kematian neonatus

adalah tetanus neonatorum, dan di beberapa negara berkembang kematian tetanus

neonatorum sekitar 23-72% dari total kematian neonatal .

Pada tahun 1988, WHO memperkirakan secara global sebanyak 787,000 bayi

baru lahir meninggal akibat tetatus neonatorum (TN). Sehingga pada akhir tahun

1980-an perkiraan angka kematian tahunan global TN adalah sekitar 6,7 kematian

per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2008 terdapat penurunan 92% dari situasi pada

akhir 1980-an sekitar 59.000 bayi baru lahir meninggal akibat TN.

Indonesia telah berhasil melakukan eliminasi tetanus maternal dan neonatal

pada 30 provinsi (88,7% kabupaten/kota) yang meliputi 97,4 persen penduduk,

kecuali provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat (WHO, 2014).
2.3.5 Campak

Penyakit campak adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus

golongan paramyxoviridae, RNA jenis Morbillivirus. Gejala klinis meliputi adanya

bercak kemerahan berbentuk makulo popular selama 3 hari atau lebih, demam

disertai salah satu gejala batuk pilek atau mata merah. Penularan melalui percikan

ludah dan transmisi melalui udara terutama melalui batuk, bersin atau sekresi hidung.

Masa inkubasi 7-18 hari, rata-rata 10 hari.

Diperkirakan 90% anak yang tidak kebal akan terserang penyakit campak.

Sejak vaksinasi campak diberikan secara luas, terjadi perubahan epidemiologi

campak terutama di negara berkembang. Diseluruh dunia diperkirakan terjadi

penurunan 56% kasus campak yang dilaporkan yaitu 852.937 kasus pada tahun 2000

menjadi 373.421 kasus pada tahun 2006. Di regional SEARO terjadi peningkatan

dari 78.574 kasus pada tahun 2000 menjadi 94.562 kasus pada tahun 2006, dan di

Indonesia pada tahun 2010 dilaporkan terjadi 188 kali KLB campak dengan 3.044

kasus, sementara dari laporan rutin campak tercatat 19.111 kasus (Kemenkes, 2011).

Walaupun cakupan imunisasi cukup tinggi, KLB campak mungkin saja masih

akan terjadi yang disebabkan adanya akumulasi anak-anak rentan karena tidak

imunisasi ditambah 15% anak yang walaupun diimunisasi tetapi tidak terbentuk

imunitas.

2.3.6 Polio (Poliomyelitis Anterior Akut)

Poliomyelitis adalah penyakit dengan kelumpuhan dengan kerusakan motor

neuron pada cornu anterior dari sumsum tulang belakang akibat infeksi virus polio.
Masa inkubasi poliomyelitis berlangsung 6-20 hari dengan kisaran 3-35 hari.

Penularan terutama terjadi penularan langsung (fecal-oral atau oral-oral) pada waktu

3 hari sebelum dan sesudah masa prodromal. Respon terhadap infeksi virus polio

sangat bervariasi dan derajat penyakit tergantung pada manifestasi klinis.

Pada tahun 1988 secara global jumlah kasus polio paralisis sebanyak 350.000

kasus dengan 125 negara endemis . Pada sidang WHA ke 41 tahun 1988 diputuskan

untuk melakukan upaya global Eradikasi Polio (ERAPO). Sejak dilakukan upaya

ERAPO terjadi penurunan jumlah kasus polio dan jumlah negara endemis. Pada

tahun 2008 kasus polio menurun 99% dibanding tahun 1988 dan 4 negara endemis.

Di Indonesia KLB Polio terjadi pada tahun 2005-2006 dengan jumlah kasus

303 pada tahun 2005 dan 2 pada tahun 2006. Kasus terakhir yang dilaporkan berasal

dari Aceh Tenggara pada tahun 2006.

Pada tahun 2005 juga terjadi KLB Vaccine Derived Polio Viruses (VDPV)

pertama kali di 5 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dengan 46 kasus. Kasus

VDPV umumnya ditemukan pada populasi penduduk yang cakupan imunisasinya

rendah. Jika angka cakupan imunisasi dengan OPV rendah, VDPV dapat menyebar

melalui beberapa orang yang tidak diimunisasi, mengalami mutasi sehingga

meningkatkan kemungkinan infeksi polio dalam populasi (Kemenkes, 2011).

2.3.7 Hepatitis B

Penyebab penyakit Hepatitis B adalah virus Hepatitis B (VHB). Cara

penularan VHB secara horizontal terjadi melalui kontak seksual dengan seseorang

yang tertular. Penularan secara vertikal melalui parenteral terjadi dari ibu kepada
bayinya. Bagian tubuh yang memungkinkan terjadinya penularan VHB adalah darah,

produk darah, air ludah, cairan amniotic, cairan vagina, cairan bagian tubuh lainya

yang berisi darah, organ dan jaringan tubuh yang terlepas.

Pada dasarnya individu yang belum pernah imunisasi hepatitis B atau yang

tidak memiliki antibody anti HBs, potensial terinfeksi VHB. Risiko kronisitas

dipengaruhi oleh faktor usia saat yang bersangkutan terinfeksi. Kronisitas dialami

oleh 90% bayi yang terinfeksi saat lahir, 25-50% anak yang terinfeksi usia 1-5 tahun,

1-5% pada dewasa.

Diseluruh dunia terdapat 350 juta penderita kronis dengan 4 juta kasus

baru/tahun. Infeksi pada anak umumnya asimtomatis tetapi 80-95% akan menjadi

kronis dan dalam 10-20 tahun akan menjadi sirosis dan/atau Karsinoma Hepato

Selular (KHS). Di negara endemis 80% KHS disebabkan oleh VHB.

Oleh karena itu kebijakan utama tata laksana VHB adalah memotong jalur

transmisi sedini mungkin. Vaksinasi universal bayi baru lahir merupakan upaya yang

paling efektif dalam menurunkan prevalens VHB dan KHS.

2.4 Perilaku Kesehatan

Masalah kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang pada dasarnya

menyangkut dua aspek utama yaitu non fisik yang menyangkut perilaku dan fisik

seperti tersedianya sumber daya, fasilitas, sarana dan prasarana kesehatan. Faktor

perilaku mempunyai pengaruh yang besar terhadap status kesehatan individu dan

masyarakat.
Perilaku kesehatan terbentuk dalam diri seseorang dipengaruhi oleh berbagai

faktor eksternal seperti faktor lingkungan baik fisik maupun non fisik berupa sosial,

budaya, ekonomi, politik dan sebagainya dan faktor internal berupa keyakinan,

pengamatan, persepsi, motivasi, sugesti dan sebagainya (Notoadmodjo, 2005)

Secara lebih terinci perilaku kesehatan itu mencakup :

1. Perilaku terhadap sakit dan penyakit, perilaku ini sesuai dengan tingkatan

pencegahan penyakit yaitu perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan,

perilaku pencegahan penyakit, perilaku pencarian pengobatan, perilaku pemulihan

kesehatan.

2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan

Merupakan respon seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan baik modern

maupun tradisional. Perilaku ini menyangkut respon terhadap fasilitas pelayanan,

cara pelayanan, petugas kesehatan, obat – obatan dll.

3. Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour)

4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behaviour)

merupakan respon seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan

manusia (Notoadmodjo, 2007).

Konsep umum yang digunakan untuk mendiagnosis perilaku salah satunya

adalah konsep dari Lawrence Green, yang menganalisis perilaku dari tingkat

kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok

yaitu faktor perilaku dan faktor diluar perilaku.


Faktor perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu :

a. Faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam pengetahuan,

sikap, persepsi, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

b. Faktor pemungkin (enabling factors) yang terwujud dalam lingkungan fisik,

tersedia atau tidaknya fasilitas-fasilitas atau sarana kesehatan misalnya puskesmas,

obat-obatan, alat kontrasepsi dan sebagainya.

c. Faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap

dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok

referensi dari perilaku masyarakat (Notoadmodjo, 2007).

Tersedianya jasa pelayanan kesehatan (health care services) tanpa disertai

perubahan perilaku masyarakat menyebabkan masalah kesehatan masyarakat ini tetap

potensial berkembang, misalnya penyediaan fasilitas imunisasi tidak akan banyak

manfaatnya apabila ibu-ibu tidak mau datang ke sarana kesehatan. Perilaku ibu-ibu

yang tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia bisa dipengaruhi oleh

faktor predisposisi seperti kurangnya pengetahuan ibu-ibu tentang manfaat imunisasi

dan efek sampingnya, persepsi ibu yang tidak benar tentang imunisasi, faktor

pemungkin seperti ketersediaan sarana dan prasarana, serta faktor pendorong seperti

tidak adanya dukungan dari keluarga, sikap petugas kesehatan.

Perilaku individu atau kelompok masyarakat yang kurang sehat juga akan

berdampak pada lingkungan yang memudahkan timbulnya penyakit (Muninjaya,

2011).
2.5 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar

Kelengkapan status imunisasi dasar bayi apabila bayi telah mendapat lima

imunisasi dasar lengkap sebelum berumur 1 tahun. Idealnya seorang anak

mendapatkan seluruh imunisasi dasar sesuai umurnya sehingga kekebalan tubuh

terhadap PD3I dapat optimal (Depkes, 2010).

Dalam program imunisasi ada 3 kelompok masyarakat yang dikategorikan

sebagai tidak terjangkau (unreached) yang dapat mempengaruhi kelengkapan status

imunisasi pada bayi/anak :

1. Kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan sumber daya kesehatan yang

berkesinambungan

Adanya keterbatasan sumber daya seperti anggaran operasional, logistik, jumlah

tenaga kesehatan, tidak meratanya penyebaran tenaga serta seringnya pergantian

wewenang dan tanggung jawab tenaga kesehatan menyebabkan pelayanan

imunisasi tidak berjalan optimal.

2. Kelompok masyarakat dengan barier sosial budaya

Kelompok masyarakat ini sebenarnya memiliki akses ke fasilitas pelayanan

kesehatan namun mereka tidak mau memanfaatkan karena :

a. Adanya masalah sosio ekonomi dan sosio kultural, terkait budaya, adat,

persepsi, kepercayaan masyarakat.

b. Ketidaktahuan, masih banyak yang belum memahami tentang imunisasi.


3. Kelompok masyarakat dengan kendala geografis, transportasi dan musim

Di Indonesia banyak daerah yang memiliki kondisi geografis yang sulit sehingga

sulit dijangkau oleh pelayanan kesehatan dasar. Untuk masyarakat yang tinggal di

daerah kepulauan maupun pegunungan, petugas kesehatan sulit menjangkau

daerah tersebut terutama pada musim tertentu.

Dalam KMK No.482/MENKES/SK/IV/2010 tentang GAIN UCI 2010-2014

berdasarkan hasil coverage survey yang dilaksanakan di Indonesia tahun 2007

terdapat berbagai alasan yang berhubungan dengan kelengkapan imunisasi anak.

Tabel 2.2 Alasan Anak Tidak / Tidak Lengkap Mendapatkan Imunisasi

Alasan % Respon Ibu


Informasi
- Kurangnya pengetahuan ibu akan kebutuhan imunisasi 20
- Kurangnya pengetahuan tentang kelengkapan imunisasi 13
- Kurangnya pengetahuan tentang jadwal imunisasi 8
- Ketakutan akan efek samping 13
- Persepsi yang salah akan kontra indikasi 3
Motivasi
- Penundaan imunisasi 12
- Kurangnya kepercayaan tentang manfaat imunisasi 4
- Adanya rumor yang buruk tentang imunisasi 3
Situasi
- Tempat pelayanan imunisasi terlalu jauh 6
- Jadwal pemberian imunisasi yang tidak tepat 4
- Ketidak hadiran petugas imunisasi 3
- Kurangnya vaksin 9
- Orang tua anak terlalu sibuk 13
- Adanya masalah dalam keluarga 3
- Anak tidak hadir karena sakit 30
- Anak hadir tapi dalam keadaan sakit 9
- Terlalu lama menunggu 2
- Biaya tidak terjangkau 6
Dari tabel diatas diketahui alasan terbanyak anak tidak/tidak lengkap

mendapatkan imunisasi dasar karena anak sakit, kurangnya pengetahuan ibu tentang

imunisasi, ketidaktahuan tentang waktu yang tepat untuk imunisasi berikutnya,

ketakutan akan efek samping/KIPI serta orang tua anak terlalu sibuk.

Sejalan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya, faktor yang

berhubungan dengan kelengkapan status imunisasi dasar antara lain :

1. Umur ibu

Umur ibu berhubungan dengan kelengkapan imunisasi dasar. ibu yang

berumur lebih muda dan baru memiliki anak cenderung untuk memberikan perhatian

yang lebih akan kesehatan anaknya termasuk pemberian imunisasi. Berdasarkan hasil

penelitian (Isfan, 2006) diperoleh OR : 3,10 (95% CI : 1,83 – 5, 26), bahwa ibu yang

berumur ≥ 30 tahun mempunyai risiko 3 kali lebih besar status imunisasi dasar

anaknya untuk tidak lengkap bila dibandingkan dengan ibu yang berusia <30 tahun.

2. Pendidikan ibu

Pendidikan ibu dalam hal ini adalah jenjang pendidikan formal ibu yang

ditandai dengan kepemilikan ijazah, semakin tinggi tingkat pendidikan akan

memberikan efek positif terhadap kelengkapan imunisasi dan sebaliknya tingkat

pendidikan yang rendah akan memberikan efek negative . Makin tinggi tingkat

pendidikan ibu maka akan semakin mudah pula menerima inovasi-inovasi baru

termasuk dalam hal imunisasi. Hal ini sejalan dengan penelitian (Istriyati, 2011)

tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan status kelengkapan imunisasi dasar pada

bayi dengan nilai p value = 0,008, OR = 4,297 yang berarti ibu yang memiliki tingkat
pendidikan rendah memiliki risiko 4 kali lebih besar untuk tidak memberikan

imunisasi terhadap balitanya dibandingkan ibu yang memiliki tingkat pendidikan

tinggi.

3. Pengetahuan ibu

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia terhadap suatu objek tertentu

(Notoadmodjo, 2010). Semakin luas pengetahuan seseorang semakin mudah orang

melakukan perubahan dalam tindakannya. Perilaku yang didasarkan pada

pengetahuan akan lebih lama bertahan daripada perilaku yang tidak didasarkan

pengetahuan.

Berdasarkan hasil penelitian (Isfan, 2006) dinyatakan bahwa ibu yang

memiliki tingkat pengetahuan yang tidak baik tentang imunisasi memiliki risiko 2

kali lebih besar status imunisasi dasar anaknya tidak lengkap bila dibandingkan

dengan ibu yang memiliki pengetahuan baik. Sejalan dengan penelitian Istriyati 2011

dengan nilai p value = 0.004, OR = 4,75 bahwa tingkat pengetahuan ibu tentang

imunisasi berhubungan dengan kelengkapan status imunisasi dasar pada bayi.

4. Sikap ibu

Sikap merupakan respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu

stimulus atau objek tertentu (Notoadmodjo, 2010). Menurut Berkowitz (1972) dalam

Azwar (2005), setiap orang yang mempunyai perasaan positif terhadap suatu objek

psikologis dikatakan mempunyai sikap favourable terhadap objek itu, sedang

individu yang mempunyai perasaan negatif terhadap suatu objek dikatakan


mempunyai sikap yang unfavourable terhadap objek tersebut. Sikap ibu yang

membawa anaknya untuk imunisasi merupakan respon positif ibu terhadap imunisasi.

Dari hasil penelitian ibu yang bersikap baik kelengkapan imunisasi anaknya

96,3%, dan yang tidak baik 23,5% dengan p value 0,000 (Karen, 2013). Sejalan

dengan penelitian (Febri, 2011) bahwa ibu yang mempunyai sikap yang tidak baik

tentang imunisasi memiliki risiko 3 kali lebih besar status imunisasi dasar anaknya

tidak lengkap bila dibandingkan dengan ibu yang memiliki sikap baik tentang

imunisasi.

5. Persepsi ibu

Persepsi merupakan pengalaman yang dihasilkan melalui panca indra. Setiap

orang bisa memiliki persepsi yang berbeda terhadap suatu objek meskipun

mengamati objek yang sama (Notoatmodjo, 2010). Pembentukan persepsi seseorang

tergantung pada berbagai faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal seperti:

pengalaman, kebutuhan saat itu, nilai-nilai yang dianut, ekspektasi maupun faktor

eksternal seperti: tampilan pelayanan, sifat-sifat stimulus dan situasi lingkungan.

Persepsi masyarakat terhadap imunisasi dipengaruhi oleh informasi tentang

imunisasi yang didapat oleh masyarakat, kebutuhan yang dirasakan, keyakinan,

harapan yang diinginkan, pengalaman, nilai-nilai sosio budaya yang dianut dan

pengaruh komunikasi eksternal. Jika persepsi positif maka dapat mempengaruhi

perilaku seseorang menjadi baik, dan sebaliknya bila persepsi negatif dapat

mempengaruhi perilaku menjadi tidak baik.


Dalam masyarakat sering terdapat persepsi negatif tentang imunisasi. Tidak

jarang dijumpai orang tua yang ragu atau bahkan menolak imunisasi dengan berbagai

alasan. Ketakutan atau penolakan imunisasi mungkin berdasarkan antara lain

pandangan religi, filosofis tertentu. Alasan lain berhubungan dengan keamanan

vaksin, keraguan tentang manfaat dan keamanan imunisasi, penggunaan jarum suntik,

ketakutan akan efek demam yang timbul setelah imunisasi, pandangan bahwa PD3I

tidak menimbulkan masalah kesehatan yang berbahaya (Ranuh, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian (Febri, 2011) variabel persepsi ibu tentang peran

petugas kesehatan berhubungan dengan status imunisasi campak pada batita 9-36

bulan dengan nilai OR: 2,28, 95% CI = 1,7 -3,05.

6. Jarak rumah ke pelayanan kesehatan

Sulitnya pelayanan kesehatan dijangkau secara fisik akan menurunkan

demand terhadap pelayanan kesehatan. Penerimaan ibu balita di pedesaan

dipengaruhi oleh jarak dengan fasilitas kesehatan. Ibu yang memiliki jarak rumah

dekat terhadap tempat pemberian pelayanan imunisasi dasar akan memberikan

imunisasi karena tidak memerlukan waktu yang lama atau mengeluarkan uang untuk

ongkos kenderaan ke tempat pelayanan. Hal ini menunjukkan bahwa pada ibu yang

jarak tempat tinggalnya jauh mempunyai kecenderungan untuk tidak lengkap

imunisasinya.
2.6 Landasan Teori

Dalam upaya peningkatan status kesehatan masyarakat terkait dengan

imunisasi sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit, mengacu kepada teori

Bloom yang menyatakan bahwa ada 4 faktor yang berpengaruh, yaitu lingkungan,

perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Berdasarkan hasil penelitian di

Amerika Serikat, Bloom menyimpulkan bahwa lingkungan mempunyai andil yang

paling besar terhadap status kesehatan, disusul oleh perilaku, pelayanan kesehatan

dan keturunan (Notoadmodjo, 2007).

Berlandaskan pada teori Lawrence Green, bila dikaitkan dengan faktor

perilaku yang berhubungan dengan kelengkapan imunisasi dasar pada bayi,

dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu:

a. Faktor predisposisi (predisposing factors) yaitu faktor yang mempermudah atau

mempredisposisi perilaku seseorang yang terwujud dalam pengetahuan dan sikap

masyarakat tentang kesehatan, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai yang dianut

masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya.

b. Faktor pemungkin (enabling factors) yaitu faktor - faktor yang memungkinkan

atau yang memfasilitasi perilaku, seperti tersedianya sarana. prasarana, fasilitas

kesehatan untuk masyarakat. Misalnya puskesmas, posyandu, rumah sakit, obat-

obatan, vaksin dan sebagainya.

c. Faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors) yaitu faktor yang memperkuat

atau mendorong terjadinya perilaku, yang meliputi sikap dan perilaku petugas

kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku
masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh agama. Termasuk juga undang-

undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang

terkait dengan kesehatan (Notoadmodjo, 2007).

Adapun skema teori Green and Krueter (2005), dipaparkan dan dirangkum

dalam suatu landasan teori berikut ini :

Predisposing Factors
Knowledge, Attitudes, Genetic
Beliefs, Values,
Cultural, Perception

Health
education Mass Reinforcing Factors Behaviour and Health
Media Influence from parents, Life Style
Advocacy teachers,etc Social
support Health provider

Enabling Factors Availability of resources Accessibility Skills


Policy Regulation Organization Environment

Gambar 2.1 Skema Modifikasi Teori Green & Krueter,


Health Program Planning, 𝟒𝟒𝒕𝒕𝒕𝒕ed, 2005
2.7 Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori diatas, selanjutnya dapat digambarkan skema

kerangka konsep sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Faktor Predisposisi
Pengetahuan Ibu
Pendidikan Ibu
Sikap Ibu
Persepsi Ibu

Kelengkapan Status Imunisasi Dasar pada Bayi


Faktor Pemungkin
-Status Pekerjaan Ibu

Faktor Pendorong
DukunganPetugas Kesehatan
Dukungan Keluarga

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Anda mungkin juga menyukai