Anda di halaman 1dari 3

ASSALAMUALAIKUM WR WB PERKENALKAN NAMA SAYA RINDU DWI MARLIYANI NPM 201000340

DARI KELAS G MATA KULIAH FILSAFAT HUKUM DISINI SAYA AKAN MENJELAKSAN TERKAIT RESENSI
JURNAL MENGENAI PERDEBATAN ANATARA HART DAN FULLER

Kronologi masalah

Perdebatan masalah ini bermula pada saat hart dan fuller memberikan tanggapan terhadap
doktrinyang dikemukakan oleh redbruch mengenai persidangan pasca perang dunia II, khususnya
dalam kasus the grudge informant ( tgi ). Dalam kasus tersebut, pengadilan bamberg mengadil istri
seorang tantara nazi jerman yang dihukum oleh pemerintah nazi karena menghina pimpinan
tertinggi nazi, saat itu hitler, tak hanya istri tantara nazi tersebut, hakim yang mengadili tantara nazi
tersebut juga diadili dipengadilan Bemberg. Istri tantara nazi didakwa melakukan pelanggaran karena
merampas kebebasan suaminya. Pengadilan mendalilkan bahwa istri sebagai informan sengaja
menggunakan pengadilan sebagai alat untuk memenjarakan suaminya guna menyingkirkan suaminya
karena istri ingin menutupi perbuatan selingkuhnya.

1. Bagaimana pendapat dari prof hart ?


Jawab
Hart merupakan seorang tokoh utama positivisme hukum Inggris. Dalam aliran
positivisme hukum Inggris, hukum dianggap sebagai 'fakta sosial', artinya hukum ditemukan
dalam praktik atau institusi masyarakat yang sebenarnya (Suri Ratnapala, 2009. Hart adalah
seorang utilitarian, dalam pandangan filosofisnya ia melihat manfaat bagi masyarakat dalam
pemisahan hukum dari jenis aturan lainnya (moral, agama, dan etika).
Hart berpendapat bahwa hubungan antara hukum dan moralitas (apa yang baik atau
buruk?) bersifat terpisah, namun bergantung. ia percaya bahwa hukum adalah
seperangkat aturan yang dibuat oleh manusia, dan hukum dapat
dipisahkan dari moralitas. Menurut Hart, isi undang-undang ditentukan
oleh aturan pengakuan, yaitu aturan sosial yang menentukan norma
mana yang dianggap sebagai norma hukum. Aturan-aturan ini dibuat
dan ditegakkan oleh otoritas manusia, seperti pengadilan dan badan
legislatif.
Hart mengkritik Radbruch atas kasus TGI yang mengaburkan 'kewajiban moral' dan
'kewajiban hukum'. Hart dengan jelas membedakan antara kewajiban moral dan kewajiban
hukum. Bagi Hart, hukum dalam kondisi sosial politik seperti kondisi di Jerman pada masa
Nazi adalah hukum. Namun syaratnya adalah seseorang memilih untuk menaati 'hukum yang
tidak manusiawi' karena adanya kewajiban hukum atau tidak menaati hukum karena
'kewajiban moral'.
Berikut pendapat Hart mengenai kasus TGI, Hart berpendapat bahwa dari sudut
pandang positivis ada dua pilihan yang dihadapi negara Jerman: membiarkannya bebas, atau
menghukumnya berdasarkan undang-undang retrospektif baru. Artinya, “Hart berpendapat
bahwa dari sudut pandang positivis, ada dua pilihan yang dihadapi negara Jerman:
membiarkannya bebas, atau menghukumnya berdasarkan undang-undang retrospektif yang
baru”. (Suri Ratnapala, 2009). Maksud Hart adalah jika pengadilan Jerman pasca Perang
Dunia II memvonis terdakwa karena menganggap hukum Nazi ilegal karena tidak sesuai
dengan prinsip moral, maka pengadilan tersebut melanggar kesetiaan terhadap hukum.
Usulan Hart sebagai perlawanan terhadap pembatalan melalui proses peradilan, berupa
undang-undang yang berlaku surut. Undang-undang tersebut merupakan undang-undang
yang berlaku surut untuk membatalkan undang-undang Nazi yang tidak manusiawi demi
menjaga kesetiaan terhadap konsep hukum. Tentu saja usulan Hart tersebut tidak lepas dari
kritik para ilmuwan hukum lainnya, khususnya Lon Fuller.
2. Bagaiaman pendapat dari prof fuller ?
Jawab
Lon Louvois Fuller (1902–78) adalah Profesor Yurisprudensi Umum Carter di Harvard
Law School. Fuller bukanlah ahli teori hukum kodrat dalam pengertian tradisional, namun
dalam beberapa hal teorinya melangkah lebih jauh. Salah satu buku Fuller yang memuat
pemikiran hukumnya yaitu The Morality of Law. Teori moralitas hukum Fuller menyatakan
bahwa hukum dan moral tidak dapat dipisahkan karena konsep hukum itu sendiri
mengandung kualitas moral tertentu atau dengan kata lain f uller menyatakan bahwa jenis
penghormatan yang kita berikan terhadap hukum manusia harus berbeda dengan
penghormatan yang kita berikan terhadap hukum ilmiah. Agar suatu undang-undang
layak kita hormati, undang-undang tersebut harus "mewakili arah umum upaya manusia
yang dapat kita pahami dan jelaskan", dan prinsip undang-undang tersebut harus sah
tanpa syarat..
Oleh karena itu, hukum hanya mungkin terwujud jika didasarkan pada moralitas
masyarakat. Hukum memperoleh ketaatan masyarakat berdasarkan isi moral peraturannya,
Fuller menyebutnya sebagai moralitas eksternal. Fuller berpendapat bahwa hukum juga
mempunyai moralitas internal yang muncul dari kodratnya sebagai aktivitas manusia yang
mempunyai tujuan (Suri Ratnapala, 2009).
Moralitas internal pada prinsipnya bukan mengenai isi undang-undang, melainkan
menyangkut mutu undang-undang yang harus dimiliki untuk menjadi undang-undang sama
sekali. Posisi Fuller dalam kasus TGI kurang lebih sama dengan posisi Radbruch pascaperang.
Teori moralitas hukum Fuller tidak lepas dari argumen Radbruch dalam esainya Statutory
lawlessness dan supra-statutory law. Tentu saja Fuller menolak argumentasi Hart yang
mengusulkan penghapusan undang-undang Nazi yang tidak manusiawi dengan undang-
undang retrospektif melalui lembaga legislatif karena tidak ada bedanya dengan pembatalan
melalui lembaga yudikatif. Soal kesetiaan terhadap hukum, legislatif dan eksekutif sama-
sama membatalkan undang-undang yang tidak manusiawi. Bagi Fuller, sistem hukum Jerman
di bawah Nazi tidak layak untuk dijadikan undang-undang.
Bagaimana kaitannya dengan konsep moralitas internal hukum. Hukum (baca:
hukum) hanya mungkin terjadi jika memenuhi unsur moral internal, yaitu moralitas cita-cita
dan moralitas kewajiban. Seperti pendapat Fuller: bagi saya tidak ada yang mengejutkan jika
dikatakan bahwa sebuah kediktatoran yang mengenakan bentuk hukum bisa jauh
menyimpang dari moralitas ketertiban, dari moralitas batin hukum itu sendiri, sehingga ia
tidak lagi menjadi sebuah sistem hukum. Artinya, bagi saya tidak ada yang mengejutkan
untuk mengatakan bahwa kediktatoran yang membungkus dirinya dalam bentuk hukum
dapat menyimpang jauh dari moralitas ketertiban, dari moralitas batin hukum itu sendiri,
sehingga ia tidak lagi menjadi sebuah sistem hukum."
3. Bagaimana pendapat kamu tentang perdebatan ini ?
Jawab
Menurut pendapat saya dari kedua perdebatan antara Hart dan fuller merupakan
perdebatan hukum yang cukup menarik dimana dalam perdebatan tersebut memberikan
sebuah gambaran hukum dan pemaknaan terhadap sebuah konteks hukum yang
sebenarnya. Selain itu dari perdebatan ini pun kita bisa belajar mengenai hukum dan
moralitas, walaupun terdapat perbedaan antara hart dan fuller dimanna har menganggap
bahwa hukum dan moralitas merupakan dua konsep yang terpisah sedangkan berpendapat
bahwa hukum memili kaitan yang mutlak dengan moralitas, meskipun demikian keduanya
sama sama penting namun memiliki peran yang berbeda dalam masyarakat dan
saling melengkapi dalam pembentukan dan penegakan hukum.
4. Bagaimana pendapat kamu tentang keterkaitan hukum dan moralitas
Jawab
Menurut pendapatan saya terkait hukum dan moralitas saya cukup setuju dengan pendapat
yang dikemukan oleh hart bahwa hukum dan moralitas itu terpisah. Dimana menurut saya
hukum merupakan sebuah produk akal manusia atau suatu produk yang muncul dari
pemikiran pemikiran yang dikemukakan oleh manusia yang harus bisa dimanfaatkan oleh
manusia dan berguna bagii manusia untuk mencapai hak kodrat dari manusia itu sendiri.
Sedangkan moralitas itu sendiri merupakan sebuah kodrat yang telah diberikan oleh tuhan
kepada manusia. Mempertahankan aspek lain selain hukum tidak hanya dapat menjadi
masalah buruk secara intelektual, tetapi juga dapat mendorong individu atau masyarakat
untuk mempertanyakan atau bahkan menolak untuk mematuhi sebuah Hukum. Dimana
Pada hakikatnya hukum itu sendiri belum temtu bermoral dan adil, tidak ada moralitas dalam
hukum. Hukum yag didekatkan dengan moral akan cenderung membawa hukum pada tujuan
yang buruk. Keberadaan Hukum yang dalam penegakannya selalu tertahan dengan moralitas
bisa meningkatakan semangat individu atau masyarakat untuk mematuhi secara
membabibuta dan hanya dipakai untuk tujuan-tujuan yang tidak bermoral. Dengan adanya
pemisah antara hukum dan moralitas ini maka kajian hukum itu sendiri menjaid lebih jelas
atau dengan kata lain hukum adalah sebuah aturan, dan sebagai sebuah aturan maka hukum
itu sendiri bisa susai dengan moral atau bisa juga berlawanan dengan moral itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai