Anda di halaman 1dari 3

Analitis Hart

Herbert Lionel Adolphus Hart (1907-1992) atau yang akrab disapa Hart, salah seorang filsuf
positivism modern berkebangsaan ingris. Dia melakukan kritik tajam terhadap positivism hukum
dalam pandangan para pendahulunya terutama teori command dari austin dan pure theory of
law dari hans kelsen. Hart kemudian mengajukan sebuah teori yang kemudian disebut teori
analitis, teori ini pada intinya menganggap bahwa pemisahan antara hukum dengan moral
merupakan konsepsi yang perlu ditinjau ulang. Baginya hukum dan moral adalah kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan.
Menurut Hart karekterisasi sebagai perintah dari kekuasaan yang bersifat otoritatif memiliki
kekuasaan legal untuk mengatur dan menentukan perilaku public secara umum tidak cukup
untuk dikatakan definisi dari hukum. baginya hukum selalu beririsan dengan aspek social
sehingga hubungan keduanya sangat kompleks. Bagi Hart definisi hukum yang ada selalu
mengambil dari satu sudut pandang saja, Karenanya ia tidak bermaksud mendefiniskan hukum
melainkan cakupan apa yang disebut hukum yakni meliputi aturan primer dan sekunder
tersebut. Hukum tidak serta merta bersifat perintah namun perlu diperhatikan bagaimana
prosedur dan penetapannya harus diterima oleh Masyarakat itu sendiri. Dia juga berpendapat
hukum dan moral adalah satu kesatuan, namun dia juga tidak sependapat dengan aliran hukum
kondrat. Baginya satu kesatuan hukum harus berdasarkan prosedur, artinya bagaimana aturan
harus memiliki kewajiban moral dan kewajiban hukum sekaligus sehingga keduanya diterima
oleh Masyarakat dan jika dilanggar terdapat tekanan dari Masyarakat dengan daya tekan yang
tinggi. Baginya hukum harus merupakan bentuk kongkrit dari nilai moral yang abstrak yang
sudah hidup dalam dinamika social Masyarakat.
Berkaitan dengan keadilan Hart merumuskan berbeda dengan rumusan umum yang biasanya
dikemukakan yakni antara kesimbangan atau proporsionalitas. Menurutnya pandangan
demikian tidak akan lantas menjawab masalah. Sebab demikian karena kedinamisan dan
keunikan karakteristik per masing-masing kasus. Menurut Hart untuk menjawab masalah
tersebut perlunya kontekstualisasi waktu, tempat tujuan dan keadaan, namun meskipun begitu
Hart menyadari bahwa keadilan dalam hukum bersifat kompleks. Sebab ke kompleksan itulah
kelsen mengeluarkan keadilan dalam tubuh hukum. bagi hart keadilan dan hukum tidak bisa
dipisahkan sebab keadilan adalah secara substanti mimiliki relevansi terhadap moral. Sebab
itulah menurutnya keadilan harus tervaliditas dalam hukum dengan penekanan pada procedural
pembentukan hukum yang diatur jelas dalam aturan hukum
Menurut Hart, menjelaskan bahwa ada lima prinsip yang dapat dimasukkan dalam filsafat positivisme
hukum, yaitu : a. Hukum adalah perintah terhadap manusia b. Analisis terhadap konsep hukum adalah
usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis ini harus dipisahkan dengan studi sosiologis, historis dan
evaluasi kritis. c. Keputusan-keputusan dapat dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah
ada lebih dahulu, tanpa menunjuk pada tujuan sosial, kebijakan serta moralitas. d. Tidak ada hubungan
antara hukum dan moral, karena moral adalah metayuridis. e. Pertimbangan moral tidak dapat
ditetapkan.

Sebagai perintah dari penguasa yang kemudian ditulis oleh negara sebagai pemegang otoritas, b.
Persoalan nilai hukum baik atau buruk harus dipertimbangkan ketika hukum itu dibuat, c. Hukum
positivisme mengandung sistem logika tertutup yang diberlakukan secara deduktif pada kenyataan. d.
Hukum tidak harus ada kaitan dengan moral dan dibedakan dengan hukum yang seharusnya diciptakan.
Hart memisahkan antar das sein dan das sollen.

Sedangkan Hart mengakui moralitas memiliki peran penting dalam hukum misalnya menurut Hart
terdapat isi minimum pada hukum kodrat yang harus dimasukkan ke dalam sistem hukum,2 namun
menurutnya hubungan hukum dan moralitas bersifat kontingen, tidak mutlak. Hart mendasarkan teori
hukum kodrat pada pandangan tentang kodrat manusia yang meyakini kebenaran-kebenaran tertentu
yang tidak dapat sangkal. Salah satu kebenaran yang tidak dapat disangkal ialah bahwa manusia memiliki
keinginan untuk mempertahankan hidup; atau dengan kata lain bahwa manusia akan lebih cenderung
memilih hidup ketimbang mati. Kehendak untuk bertahan hidup dengan sendirinya merupakan suatu
keharusan dalam masyarakat. Maka bagi Hart, terdapat inti moralitas dalam setiap sistem hukum.
Meskipun demikian, Hart menolak mengambi langkah terakhir dan menemukan bahwa moralitas adalah
syarat mutlak bagi validitas hukum, posisi Hart ini berlawanan dengan Fuller yang menyatakan hukum
dan moralitas mempunyai hubugan mutlak sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan

Hart menyangkal adanya hubungan mutlak antara hukum dan moralitas. Terori hukum sendiri baginya
adalah upaya untuk memahami hakikat hukum lepas dari penilaian moral terhadapnya; filsafat hukum
lebih bersifat deskriptif daripada normatif. Hart mengklaim jika persoalan hukum dan moralitas itu tidak
diperlakukan secara berbeda maka yang timbul adalah kekaburan dalam mengidentifikasi permasalahan
yang dihadapi.

Dowrkin

Secara karikatural, kronologi berdasarkan penerbitan itu dimulai dari buku Hart, The Concept of Law
yang lantas dikritik oleh Dworkin melalui buku-bukunya, Taking Rights Seriously dan Law’s Empire.
Tanggapan Hart atas kritik Dworkin lantas dituangkan di bagian Postscript edisi kedua bukunya itu.

Sebuah kemungkinan jawaban atas pertanyaan di atas adalah bahwa pengembangan metodologi
deskriptif Hart(-ian) senantiasa berkomitmen pada positivisme hukum yang memisahkan hukum dari
moralitas. Tapi bagaimana dengan pengembangan metodologi evaluatif Dworkin(-ian)? Bagaimana jika
gagasan tentang makna, tugas, dan corak filsafat hukum dari teori hukum interpretatif Dworkin dilihat
sesuai dengan komitmennya tentang keterkaitan hukum dan moralitas? Seturut situasi palingan
metodologis, patut dikritisi perihal sejauh apa metodologi normatif filsafat hukum yang memandang
hakikat hukum yang terhubung dengan moralitas

teori hukum Dworkin mengemukakan suatu cara berpikir hukum interpretatif yang bergerak selangkah
lebih maju atau di depan daripada cara berpikir hukum positivistik dalam menjelaskan poin tentang
peran moralitas tersebut.

Pokok tentang hubungan teori hukum (filosofis) dan penalaran hukum (praktis) di atas merupakan tesis
utama Dworkin mengenai hakikat filsafat hukum. Kegiatan melakukan filsafat hukum di sini digambarkan
sebagai suatu peleburan antara teori hukum dan praktik. Dworkin menekankan bahwa gambaran hakikat
filsafat hukum seperti itulah yang menjadi poin perdebatannya dengan isi Postscript Hart.45 Dalam
kerangka palingan metodologis Marmor di bagian sebelumnya, peleburan tersebut menunjuk pada
afirmasi bahwa interpretasi teori-teori hukum pada tatanan pertama (dalam penalaran hukum praktis)
niscaya bersifat evaluatif. Artinya, upaya menjelaskan esensi hukum secara konseptual terkandung di
dalam upaya menjawab masalah hukum yang terjadi yang dihadapi orang-orang. Artinya, upaya
menjelaskan esensi hukum secara konseptual terkandung di dalam upaya menjawab masalah hukum
yang terjadi yang dihadapi orang-orang.

Ulasan ini dilakukan untuk memaparkan bahwa terdapat cara memandang hukum dan moralitas sebagai
sebuah kesatuan (unity) yang berimplikasi bagi konsep penalaran hukum dan kepastian hukum

Berbagai kritik terhadap pandangan Dworkin menunjukkan sebuah masalah utama, yakni hubungan
antara penalaran terhadap hukum yang sah menurut kepentingan praktisi hukum dan konsepsi hukum
menurut pandangan teoretis para praktisi tersebut. Apakah kedua unsur tersebut terpilah atau melebur
satu sama lain dalam proses membangun teori yang dapat menjelaskan hakikat hukum? Lebih lanjut,
sejauh apa keterpilahan atau peleburan tersebut dimungkinkan dalam situasi riil keterlibatan dan
tanggung jawab kaum profesional hukum pada sebuah masyarakat yang kondisi sosial-politiknya
diwarnai keberagaman nilai moral? Dalam pemikiran Dworkin, kegiatan melakukan filsafat hukum
ditampilkan sebagai kegiatan yang memukau, seperti ketika seorang ahli hukum terlibat penuh dalam
proses hukum demi kepentingan yang terbaik dan yang ideal dari klien dan institusi hukum

Pembahasan di atas setidaknya menunjukkan tiga pokok tentang masalah metodologi filsafat hukum
pasca debat Hart/Dworkin. Pertama, bahwa debat Hart/Dworkin itu, memang, eksis terutama dalam
kualitasnya sebagai perdebatan metodologis, yakni yang mempersoalkan model dan langkah-langkah
melakukan kegiatan berfilsafat hukum. Kedua, corak dasar perdebatan metodologis dalam kerangka
debat Hart/ Dworkin ditandai oleh pertentangan antara dua posisi metodologi, yakni yang normatif-
evaluatif dan deskriptif. Berdasarkan pembahasan di atas tampak bahwa masing-masing posisi (dilihat
dalam kerangka debat Hart/Dworkin) tersebut memiliki komitmen pada paham filsafat hukum tertentu,
yakni positivisme hukum dan teori hukum interpretatif

Anda mungkin juga menyukai