Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Bendungan

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Pasal 1 Tahun 2010 tentang

Bendungan (dam), bahwa bendungan adalah bangunan yang berupa

urukan tanah, urukan batu, beton, dan atau pasangan batu yang dibangun

selain untuk menahan dan menampung air, dapat pula dibangun untuk

menahan dan menampung limbah tambang (tailing), atau menampung

lumpur sehingga terbentuk waduk.

Sebuah bendungan berfungsi sebagai tampungan air dalam skala yang

besar. Dengan tampungan dalam skala yang besar ini, air dapat dialirkan s

esuai dengan kebutuhan. Selain itu, ketika musim hujan air akan ditampung

sehingga tidak menyebabkan banjir, sedangkan apabila musim kemarau air

akan dialirkan agar tidak menyebabkan kekeringan. Sehingga dalam kondis

i cuaca yang tidak stabil pun akan tetap terjadi keseimbangan terhadap ling

kungan sekitar.

B. Bangunan Pelimpah (Spillway)

Bangunan pelimpah (Spillway) merupakan sebuah bangunan pelengka

p yang paling penting sehingga harus ada pada setiap bangunan bendunga

n. Spillway adalah struktur bangunan yang digunakan sebagai pengontrol al

iran untuk mengendalikan air yang dilepas dari bendungan. Adapun fungsi

spillway sebagai pelimpahan debit yang besar atau berlebihan untuk menga
8

tasi bahaya limpasan pada kelengkapan bangunan air. Beberapa hal yang

perlu diperhatikan dalam perencanaan bangunan spillway diantaranya adal

ah mengetahui karakteristik aliran didaerah yang akan dibangun bangunan

air karena karakteristik aliran yang melewati bangunan pelimpah tergantung

dari bentuk atau sifat bangunan pelimpah itu sendiri. Sehingga dapat diketa

hui tipe bangunan air yang akan dibangun yang disesuaikan dengan kebutu

han didaerah tersebut.

Pada bendungan urugan, bangunan spillway harus terbuat dari beton

dengan penempatan pada lokasi yang mempunyai daya dukung kuat,

kemiringan yang lebih curam, jarak dengan alur sungai lebih pendek serta

aliran yang searah dengan aliran downstream sungai sehingga saluran

peluncur dan pelepasannya ke sungai tidak terlalu panjang serta

mempunyai hidrolis yang baik. Sangat tidak diperkenankan untuk

menempatkan spillway pada daerah timbunan bendungan. Dengan kata

lain, penempatan spillway harus di luar as bendungan (Sosrodarsono S

dan Takeda K, 1989).

Untuk bendungan beton cenderung membutuhkan spillway yang lebih

sederhana. Biasanya menyatu dengan bendungan, berupa spillway ski-

jump. Karena penggunaan chute spillway atau pelimpah peluncur pada

bendungan beton membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Disebabkan

berbagai macam kondisi, baik yang berkaitan dengan struktur spillway itu

sendiri maupun tinggi muka air di hilir, umumnya diperlukan model tes

hidrolik untuk mendapatkan desain terbaik spillway (Susilo, 2012).


9

C. Klasifikasi Aliran

1. Sifat Aliran

Dari kajian sebelumnya yang dilakukan oleh Jaji Abdurrosyid dan

Gunawan Jati Wibowo (2006) bahwa kedalaman gerusan di hilir kolam

olakan tanpa proteksi terdapat hubungan yang erat antara kedalaman

gerusan maksimum dan kedalaman aliran di hilir kolam olkan dengan

angka Froude, dimana semakin kecil angka Froude, kedalaman gerusan

maksimum berbanding kedalaman aliran semakin besar. Serta hubungan

yang erat antara kedalaman gerusan dan panjang gerusan maksimum

dengan angka Reynold, dimana semakin besar angka Reynold,

kedalaman gerusan maksimum berbanding panjang gerusan maksimum

semakin besar.

Menurut ilmu mekanika fluida aliran diklasifikasikan berdasarkan

perbandingan antara gaya – gaya inersia (inertial forces) dan gaya – gaya

kekentalan (viscous forces) menjadi tiga, yaitu aliran laminer, aliran

transisi dan aliran turbulen (French R.H, 1980).

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pembra Juned Putra

(2013) bahwa suatu aliran disebut laminer apabila gaya kekentalan relatif

lebih besar daripada gaya kelembaman sehingga kekentalan

mempengaruhi sifat aliran. aliran turbulen apabila gaya kekentalan relatif

lebih kecil daripada gaya kelembaman. adapun aliran transisi dimana

terletak diantara aliran laminer dan turbulen. Variabel yang dipakai adalah

bilangan Reynolds yang didefinisikan sebagai berikut:


10

μR
Re = (1)
v

Dimana:

µ = Kecepatan rata-rata (m/dtk)

R = Jari-jari hidraulik (m)

v = Kekentalan kinematic (10-6 m2/dtk)

Klasifikasi aliran berdasarkan bilangan Reynolds dapat dibedakan

menjadi tiga kategori seperti berikut:

Re < 2000 = aliran laminar

2000 < Re < 4000 = aliran transisi

Re > 4000 = aliran turbulen

Umumnya aliran pada saluran terbuka mempunyai Re > 4000

sehingga alirannya dalam kategori aliran turbulen (French R.H, 1980;

Rajaratnam N, 1987).

Menurut Chow V.T (1959) dalam buku Open Channel Hydraulics

dijelaskan bahwa akibat gaya tarik bumi terhadap aliran dinyatakan

dengan rasio inersia dengan gaya tarik bumi (g). Rasio ini ditetapkan

sebagai bilangan Froude (Fr). Bilangan Froude untuk saluran terbuka

dinyatakan sebagai berikut:


11

a. Aliran subkritis, jika bilangan Froude lebih kecil dari suatu (Fr < 1). Unt

uk aliran subkritis, kedalaman biasanya lebih besar dan kecepatan alir

an rendah (semua riak yang timbul dapat bergerak melawan arus).

b. Aliran kritis, jika bilangan Froude sama dengan satu (Fr = 1) dan gang

guan permukaan missal, akibat riak yang terjadi akibat batu yang dile

mpar ke dalam sungai tidak akan bergerak menyebar melawan arus.

c. Aliran superkritis, jika bilangan Froude lebih besar dari satu (Fr > 1). U

ntuk aliran superkritis, kedalaman aliran relative lebih kecil dan kecepa

tan tinggi (segala riak yang ditimbulkan dari suatu gangguan adalah m

engikuti arah arus).

Apabila yang dipertimbangkan adalah besarnya perbandingan antara

gaya – gaya kelembaman dan gaya gravitasi maka aliran dibagi menjadi:

aliran subkritis, kritis dan superkritis. Parameter tidak berdimensi yang

membedakan tipe aliran tersebut adalah angka Froude (Fr) yaitu angka

perbandingan antara gaya kelembaman dengan gaya gravitasi:

v
Fr= .............................................................................................. (2)
√ gD

Dimana:

Fr = Bilangan Froude

v = Kecepatan rata-rata penampang (m/det)

D = Kedalaman maksimum aliran (m)

g = Gaya gravitasi (m/det2)


12

Nilai kecepatan (v) diperoleh dengan rumus:

Q
V= ................................................................................................... (3)
A

Dimana:

Q = Debit Aliran (m3/dtk)

A = Luas Saluran (m2)

Nilai luas saluran (A) diperoleh dengan rumus:

A=b . H ................................................................................................. (4)

Dimana:

h = Tinggi Aliran (m)

b = Lebar saluran (m)

Jika:

Fr < 1 aliran subkritis

Fr = 1 aliran kritis

Fr > 1 aliran superkritis

D. Kecepatan aliran air (m/dt)

Kecepatan aliran (v) adalah kecepatan aliran air yang terjadi di

Hidraulika saat dilakukan pengujian. Kecepatan aliran diukur dengan alat

pengukuran kecepatan aliran flow watch dengan rumus kecepatan:

V =0,2535 n+0,005 ..................................................................................(5)


13

Dimana:

V = kecepatan aliran (m/dtk)

n = jumlah putaran (dtk)

E. Debit Pengaliran

Debit pengaliran pada saluran dapat ditentukan dengan menggunakan

persamaan sebagai berikut (Triatmojo B, 1992):

Q=V . A...................................................................................................(6)

Dimana:

Q = Debit aliran (m3/det)

V = Kecepatan aliran (m/det)

A = Luas penampang aliran (m2)

1. Kalibrasi alat ukur debit

Kalibrasi terhadap alat ukur debit dimaksudkan untuk menentukan

koefisien debit Cd. berdasarkan rumus debit pada persamaan berikut:

Q= ( 158 ) ×Cd × H 2.5


× √(2 × g) ..................................................................(7)

Dimana:

Q = debit aliran (m3/dt)

Cd = Koefisien Debit

g = Grafitasi bumi (m/dt2)


14

H = Kedalaman air pada bak pengukur debit (m)

Untuk menentukan nilai Cd dari persamaan diatas, harus diketahui

besarnya tinggi aliran (ht) pada alat ukur debit. Agar diperoleh hasil Cd

yang teliti maka dilakukan pengukuran tinggi h, dan Q yang berbeda-beda.

F. Gerusan dan Endapan

Menurut (Setyono E, 2007) Gerusan adalah perubahan dari suatu

aliran yang disertai pemindahan material melalui aksi gerakan fluida atau

dapat dikatakan juga bahwa gerusan adalah erosi pada dasar saluran

alluvial.

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sunik Pudyono (201

3) bahwa pola gerusan pada saat debit pengaliran semakin meningkat be

ntuknya beragam, bisa terletak dalam satu segmen (satu lokasi) bisa pula

terletak berjauhan (tersebar). ini dapat terjadi karena adanya pengaruh ke

cepatan aliran, karakteristik aliran (superkritis, kritis dan subkritis) serta ke

dalaman aliran.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Evi J.W. Pamungkas (2014) dapa

t diketahui bahwa adanya variasi debit dan panjang loncatan hidraulik yan

g terjadi sangat mempengaruhi kedalaman gerusan, semakin besar debit

aliran maka semakin panjang loncatan hidraulik, sehingga semakin besar

kedalaman gerusan yang terjadi.

Kedalaman gerusan (Melville dan Coleman, 2000) dipengaruhi oleh b

eberapa faktor yaitu kecepatan aliran, kedalaman aliran, kekerasan materi


15

al sedimen, waktu gerusan dan bilangan Froude (Fr). Raudkivi (1989) men

yatakan bahwa berdasarkan data laboratorium kedalaman gerusan maksi

mum terjadi pada kondisi gerusan tanpa transport sedimen. Adapun besar

nya kedalaman gerusan juga terjadi akibat adanya loncatan hidraulik yang

secara tiba – tiba yang ditimbulkan oleh media yang menghalangi.

Bila dari satu penampang ke penampang berikutnya (penampang 1 →

penampang 2) pada waktu tertentu kapasitas transport T meningkat, akan

terjadi gerusan pada dasar untuk memenuhi kekurangannya. Jadi apabila:

dT
>0 →gerusan..................................................................................... (8)
dx

Dimana x adalah jarak antara titik 1 dan titik 2, Jadi bukan kecepatan

yang besar yang menimbulkan gerusan, tetapi adanya perubahan

kapasitas angkut sedimen.

Pada keadaan dT∕dx = 0 akan terjadi kondisi setimbang, yang hanya

terjadi pada aliran setimbang juga yaitu bila h = h e, karena tidak terjadi

perubahan-perubahan terhadap Q dan v atai I juga tetap nilainya.

Walaupun rumus he tidak mengandung faktor sedimen, tetapi akan

mencerminkan kesetimbangan:

Pada h = he → dT∕dx = 0 → tidak terjadi gerusan maupun

pengendapan. Secara analogi, apabila: dT∕dx < 0 → akan terjadi kelebihan

angkutan, sehingga sebagian akan diendapkan → timbullah

pengendapan.
16

Tabel 1. Proses penggerusan dan pengendapan


Perbandingan Jumlah Proses yang terjadi

T (Kapasitas
Sedimen Dasar
transport)

T1 = T2 Seimbang Stabil

T1 < T2 Gerusan Degradasi

T1 > T2 Pengendapan Agradasi

(Sumber: Mardjikoen, 1987)

Adapun faktor-faktor penentu angkutan sedimen (Cahyono, 2007),

yaitu:

a. Sifat-sifat aliran (flow characteristic)

b. Sifat-sifat sedimen (sedimen characteristic)

c. Pengaruh timbal balik (interaction)

Untuk sedimen dasar pada aliran, tegangan geser dinyatakan dengan

persamaan Shield, yaitu tegangan geser non dimensional yang

merupakan fungsi dari angka Reynold dan diameter butiran.

2
τc v∗ c
θ= = ..................................................................................(9)
ρw g ∆ d g ∆ d

ρs − ρ w
∆= ..............................................................................................(10)
ρw

v ∗c =√ θg ∆ d ...........................................................................................(11)
17

τ c =θ ρw g ∆ d .......................................................................................... (12)

τ 0=ρw g y o S ........................................................................................... (13)

( )
1 /2
τo
v ∗= .............................................................................................(14)
ρw

Dimana:

v*c = Kecepatan geser kritis (m/det)

v* = Kecepatan geser (m/det)

ρs = Rapat massa sedimen (kg/m3)

ρw = Rapat massa air (kg/m3)

d = Diameter butiran (m)

g = Percepatan gravitasi (m/det2)

y0 = Ketinggian aliran (m)

S = Kemiringan dasar saluran

θ = Parameter mobilisasi kritis

τ0 = Tegangan geser dasar (N/m2)

τc = Tegangan geser kritis (N/m2)

Keterangan:

τ 0> τ c →terjadi gerusan

τ 0< τ c →terjadi pengendapan


18

Dalam menganalisa tegangan geser dan variabel – variabel di atas

digunakan diagram Shield, yang menggambarkan hubungan antara

parameter mobilitas kritis dengan bilangan Reynold, seperti pada gambar

2 berikut.

Gambar 1.Diagram Shield (Hubungan antara parameter mobilitas kritis


dan bilangan Reynold) (sumber: Chow V.T, 1985)

G. Mekanisme Gerusan dan Endapan

Aliran yang terjadi pada sungai sering kali disertai dengan angkutan

sedimen dan proses gerusan dan endapan. Proses gerusan dan endapan

akan terbentuk secara alamiah karena pengaruh morfologi sungai atau

karena adanya struktur yang menghalangi aliran sungai. Angkutan

sedimen terjadi karena aliran air sungai mempunyai energi yang cukup

besar untuk membawa sejumlah material.

Proses gerusan dan endapan dimulai pada saat partikel yang terbawa

bergerak mengikuti pola aliran bagian hulu kebagian hilir saluran. Pada

kecepatan yang lebih tinggi maka partikel yang terbawa akan semakin

banyak dan lubang gerusan akan semakin besar, baik ukuran maupun
19

kedalamannya bahkan kedalaman kritis. Lebih jauh lagi ditegaskan bahwa

kecepatan yang berhubungan dengan transport sedimen baik pada

kondisi equilibrium scour depth (Breuser H dan Raudkiv A, 1991).

Dalam Chatterje M, Chatterje S dan Gosh S (1994) dikatakan tentang

mekanisme gerusan, debit yang mengalir membentuk suatu semburan

(jet) di atas dasar erodibel. Kecepatan jet yang tinggi menimbulkan

tegangan gesek yang besar melebihi tegangan gesek kritik butiran yang

merupakan batas awal gerak butiran dan hal ini menyebabkan

terbentuknya gerusan lokal di hilir. Lubang gerusan yang terbentuk

menyebabkan peningkatan kedalaman aliran lokal (pada lubang gerusan

tersebut) dan berakibat tegangan gesek di atas dasar menjadi kurang dan

lebih kecil dibandingkan tegangan gesek kritis material dasar sehingga

terjadi penurunan material yang terangkut dan akhirnya mencapai tahap

keseimbangan dimana gerusan tidak bertambah lagi. Perkembangan

gerusan sangat tergantung waktu, awalnya gerusan berkembang dengan

cepat kemudian berkurang sampai mencapai tahap keseimbangan.

Vischer D dan Hager W (1995) mengatakan bahwa pada teknik

hidraulik, stilling basin dan baffle apron merupakan contoh pemecah

energi. Jika partikel air jatuh ke suatu basin maka akan terjadi peredaman

energi yaitu disipasi energi hidraulik Stilling Basin jarang dirancang sesuai

panjang loncat air yang terjadi karena tidak ekonomis (Hoffmans G.J.C.M

dan Verheij (1997). Oleh karenanya perlengkapan tambahan seperti baffle


20

apron biasanya dipasang untuk mengontrol loncatan. Tujuan utama

pengaturan ini adalah untuk meminimalisir awal loncatan air.

Loncatan air yang terbentuk disebelah hilir suatu bangunan air pada

dasarnya dikendalikan atau diarahkan dengan suatu bangunan tertentu.

Pengendali loncatan air tersebut dapat berbentuk macam – macam, salah

satunya adalah balok penghalang (buffle block), suatu penurunan dan

kenaikan mendadak pada lantai saluran atau membuat pelebaran pada

ujung apron. Pembuatan ambang di akhir kolam olak dimaksudkan untuk

mengendalikan agar loncat air terjadi di dalam kolak olak. (Chow. V.T,

(1959).

H. Transport Sedimen

Secara umum sedimen transport dapat diartikan sebagai proses

perpindahan secara horizontal dari suatu tempat lainnya baik dalam

bentuk campuran sedimen dengan fluida pengangkutnya (river and

coastal transport) maupun aliran massa oleh fluida yang mengangkutnya

(massa flows). Laju sedimen transport adalah ukuran volume sedimen

yang melintasi suatu penampang dalam satuan waktu.

1. Angkutan Dasar (Bed Load Transport)

Menurut Pallu S (2007), angkutan dasar terjadi apabila gerakan

partikel sedimen terguling, tergelincir atau kadang-kadang meloncat

sepanjang dasar, hal ini disebut angkutan dasar (bed load transport).

Pada umumnya, besar angkutan dasar pada sungai adalah berkisar 5 –


21

25% dari angkutan melayang. Material kasar tinggi persentasenya

menjadi angkutan dasar.

Dalam studi gerakan awal sedimen, Shield menentukan besarnya

angkutan sedimen dasar dengan rumus semi-empiris, sebagai berikut:

qb y s τ −τ c
=10 ...................................................................................(15)
qγS (γ s − γ ) d

Dimana:

qb dan q = Debit angkutan dasar dan air per satuan lebar saluran

τ =γDS

D = Kedalaman air

S = Kemiringan saluran

D = Diameter partikel sedimen

γs dan γ = Berat jenis sedimen dan air

Kalinske mengasumsikan bahwa:

Us = b(U – Vc)....................................................................................... (16)

Dimana:

Us dan U = Kecepatan sedimen dan fluida

Vc = Kecepatan aliran kritis pada saat bergerak

b = Nilai konstan mendekati 1

Kalinske mendefinisikan gerakan angkutan dasar menjadi:


22

qb = qα PdUs.......................................................................................................................................................... (17)

Dimana:

qb = Debit angkutan dasar per satuan lebar

P = Fraksi dasar dari partikel sedimen

d = Ukuran partikel sedimen medium

α = Faktor bentuk = 2/3 untuk bentuk seragam

2. Angkutan Sedimen Melayang (Suspended Load Transport)

Suspended Load merupakan sedimen yang didukung oleh kompenen

yang cenderung ke atas dari suatu aliran turbulen dan tetap dalam

keadaan melayang selama waktu tertentu. Suspended Load dapat

didefinisikan secara matematis sebagai berikut (Pallu, 2007):

D
q sv =∫ ucdy .............................................................................................(18)
a

D
q sv =γ s∫ ucdy ......................................................................................... (19)
a

Dimana:

qsv dan qsw = Debit angkutan sedimen melayang dalam volume dan berat

u dan c = Kecepatan dan konsentrasi sedimen rata-rata dalam volume

pada jarak diatas dasar

a = Ketebalan angkutan sedimen dasar

D = Kedalaman air
23

γs = Berat jenis sedimen

Angkutan sedimen di saluran juga dapat diselesaikan berdasarkan

persamaan Exner (Baskoro W, 2009), yaitu:

∂η ∂Qs
( 1 − λ p ) B ηt = ∂ x ..................................................................................(20)

Dimana:

B = Lebar saluran

η = Elevasi saluran

λp = Porositas lapisan aktif

t = Waktu

x = Jarak

Qs = Jumlah angkutan sedimen

I. Peredam Energi

Sebelum aliran air sungai yang masuk ke dalam pelimpah

dikembalikan ke dalam sungai, maka aliran dalam kecepatan tinggi dalam

kondisi super-kritis tersebut harus diperlambat dan diubah pada kondisi

sub-kritis guna mereduksi (meredam) kandungan energi yang tinggi (yang

memiliki daya gerus yang tinggi) sehingga mencapai keadaan yang

normal kembali dan aliran tersebut masuk kedalam sungai kembali tanpa

membahayakan kestabilan alur sungai tersebut.


24

Untuk tujuan inilah maka di ujung hilir saluran peluncur biasanya

dibuat suatu bangunan yang disebut peredam energi pencegah gerusan

(scour protection stilting basin).

Kustamar (2006), peredam energi adalah kelengkapan dari bangunan

air yang berfungsi untuk mengurangi atau meredam energi akibat

kecepatan aliran yang tinggi. Sebagian besar kerusakan bangunan air di

Indonesia disebabkan oleh penggerusan lokal (Lokal Scouring) yang

terjadi di hilir, faktor utama terjadinya penggerusan yang dalam pada

bagian hilir adalah peredam energi yang belum berfungsi secara efektif.

Bangunan peredam energi yang dipakai biasanya adalah kolam

olakan (Stilling Basin). Dimensi kolam olak sangat ditentukan oleh kondisi

loncatan air. Beberapa penelitian telah mengkaji loncatan air pada aliran

horizontal dan saluran yang mempunyai kemiringan. Salah satunya

adalah penelitian yang dilakukan oleh USBR (United State Beureau Of

Reclamation). Penelitian yang telah dilakukan oleh USBR menghasilkan

beberapa tipe kolam olak peredam energi yang mempunyai spesifikasi

masing-masing. Salah satu tipe peredam energi yang ada yaitu peredam

energi USBR Tipe II. Peredam energi USBR Tipe II dilengkapi dengan

gigi-gigi pemencar aliran dibagian hulu dasar kolam dan ambang bergerigi

dibagian hilirnya. Kolam olakan tipe ini digunakan untuk aliran dengan

tekanan hidrostatis yang tinggi dan dengan debit yang besar (Q = 45

m3/dt/m, tekanan hidrostatis > 60 m dan bilangan Froude > 4.5). Gigi-gigi

pemencar aliran berfungsi untuk lebih meningkatkan efektifitas


25

peredaman, sedangkan ambang bergerigi berfungsi sebagai penstabil

loncatan hidrolis dalam kolam olakan tersebut. Kolam olakan tipe ini

sangat sesuai untuk bendungan tipe urugan dan penggunaannya cukup

luas.

TWL (Tail Water Level) dari USBR Tipe II tidak boleh kurang dari

sequent depth (h2’) dan keamanan minimal sebesar 5% dari sequent

depth telah direkomendasikan oleh Bradley J dan Peterka A (1957).

Panjang dari peredam energi (Lb) didekati dengan Lb/h 2’ = 4 pada kisaran

yang direkomendasikan dari bilangan Froude 4 < F1 < 14.

Gambar 2.Peredam Energi USBR Tipe II (Sumber: DR. Suryono


Sosrodarsono & Kensaku Takade, 2002)

1. Kelebihan dan kekurangan Peredam energi pada USBR tipe II :

a. Kelebihan:

1) kolam olakan tipe ini cocok untuk aliran dengan tekanan hydrostatis

yang tinggi dan dengan debit yang besar (q >45 m3 /dt/m, tekanan

hydrostatis>60 m dan bilangan Froude >4,5)


26

2) Gigi-gigi pemancar berfungsi untuk lebih meningkatkan efektifitas

peredaman.

3) Ambang bergerigi berfungsi sebagai penstabil loncatan hydrolis dalam

kolam olakan tersebut.

4) Kolam olakan tipe ini sangat sesuai untuk Bendungan urugan dan

penggunaannyapun cukup luas.

b. Kekurangan:

1) Pada bangunan pelimpah, misalnya dengan v=18 m/dt tidak ekonomis

apabila menggunakan USBR tipe II.

J. Abrupt Rise

Loncatan hidrolik terjadi apabila suatu aliran berubah dari kondisi

superkritis (kecepatan tinggi) kekondisi subkritis (kecepatan rendah)

secara mendadak (Abrupt Rise). Terdapat suatu kenaikan yang tiba-tiba

pada permukaan air dan kehilangan energi yang besar dalam loncatan

hidrolik. Pusaran turbulen yang berukuran besar terbentuk pada awal

loncatan. Pusaran ini menarik dari aliran utama dan pusaran terpecah-

pecah menjadi bagian – bagian yang lebih kecil kemudian mengalir ke hilir

(Subramaya, K. 1986)

Loncatan hidrolik terjadi akibat adanya perubahan aliran dari

superkritis menjadi subkritis. Umumnya loncatan air terjadi pada saat air

keluar dari suatu pelimpah. Panjang loncatan dapat didefinisikan sebagai


27

jarak antara permukaan depan loncatan hidrolik sampai dengan suatu titik

pada permukaan gulungan ombak yang segera menuju hilir.

Suatu loncatan hidrolik dapat terbentuk pada saluran apabila

memenuhi persamaan sebagai berikut:

Yo 1
= ¿..................................................................................................(21)
Y1 2

Dimana:

Y0 = Tinggi muka air di hulu loncatan hidrolik (m)

Y1 = Tinggi muka air di hilir loncatan hidrolik (m)

F = Bilangan Froude

Perubahan kecepatan dapat di sebabkan oleh perubahan kemiringan

saluran ( I 1 −→ I 2 ) atau terjadi penyempitan ( B1 − → B2 ) atau peninggian

dasar saluran.

K. Buffle block

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Gadang Budiarsyad

(2018) bahwa pada debit paling rendah dan pada penataan buffle block

paling efektif membuktikan penggunan USBR Tipe II sudah tepat untuk

percobaan terhadap reduksi panjang loncatan air dan energi aliran,

mengingat penggunaan USBR Tipe II minimal Froude Number adalah 4,5.

Agnes (1999) melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa

pemasangan buffle block sangat mempengaruhi loncatan hidraulik dan


28

juga tata letak buffle block yang berbeda akan menghasilkan panjang

kolam olakan yang berbeda pula. Sedangkan pada model pelimpah yang

tidak memakai buffle block loncatan yang dihasilkan lebih panjang

disbanding model yang memakai buffle block.

Fenomena perubahan kondisi pengaliran dari super kritis menjadi sub

kritis yang menyebabkan terjadinya loncatan hidraulik (hydraulic jump)

digunakan oleh peredam energi untuk mereduksi energi aliran. Tipe

peredam energi yang paling sering digunakan adalah kolam olak yang

dilengkapi dengan buffle block. Buffle block berfungsi untuk menimbulkan

loncatan hidraulik. Buffle block (Blok Penghalang) bersifat mereduksi

momentum aliran, yang akan menurunkan kecepatan setelah terjadi

loncatan air.

Gambar 3.Buffle Block at Yeoman Hey Reservoir (Sumber: Craig I P,


Bundschuh J & Thorpe D, 2015)
29

Gambar 4.Buffle Block at Salauli Dam (Sumber: Dimple.com, 2017)

L. Model Terdistorsi

Untuk pekerjaan – pekerjaan yang besar seperti sungai maupun

bendungan pembuatan model dapat dilakukan dengan besaran yang tidak

benar dengan prototipnya. Hal ini agar ruang dan biaya yang diinginkan

menjadi lebih kecil. Tetapi dapat menyebabkan diperolehnya kedalaman

air hanya beberapa milimeter saja.demikian juga untuk kekasaran

permukaan sehingga dapat menyebabkan kondisi terbuka tidak akan

tercapai selain itu akan menyulitkan dalam pencatatan hasil percobaan

karena besarannya terlalu kecil. Untuk itu dengan menggunakan skala

tradisional, yaitu model dimana skala dimensi vertikal tidak sama dengan

skala dimensi horizontal.

Dalam pembuatan model terdistorsi dikenal apa yang dinamakan

faktor distorsi atau laju distorsi “n” yang menyatakan hubungan antara

skala horizontal terhadap skala vertikal.


30

M. Program Analisis SPSS

1. Regresi Linear Sederhana

Regresi linear sederhana adalah hubungan secara linear antara satu

variabel independen (X) dengan variabel dependen (Y). analisis ini

digunakan untuk mengetahui arah hubungan antara variabel independen

dengan variabel dependen apakah positif atau negatif serta untuk

memprediksi nilai dari variabel dependen apabila nilai variabel independen

mengalami kenaikan atau penurunan nilai. Data yang digunakan biasanya

berskala interval atau rasio. Rumus dari analisis regresi linear sederhana

adalah sebagai berikut :

Y’ = a + bX ...........................................................................................(22)

Keterangan :

Y =subyek dalam variabel dependen yang diprediksi

a =harga Y ketika harga X = 0 (harga konstan)

b =angka arah atau koefisien regresi yang menunjukkan angka

peningkatan ataupun penurunan variabel dependen yang didasarkan pada

perubahan variabel independen. Bila (+) arah garis naik, dan bila (-) maka

arah garis turun.

X = subyek pada variabel independen yang mempunyai nilai tertentu.

Jika harga b merupakan fungsi dari koefisien korelasi. Bila koefisien

korelasi tinggi, maka harga b juga besar, sebaliknya bila koefisien korelasi
31

rendah maka harga b juga rendah (kecil). Selain itu bila koefisien korelasi

negatif maka harga b juga negatif., sebaliknya bila koefisien korelasi

positif maka harga b juga positif.

2. Uji Determinasi (R2)

Uji determinasi atau R2 merupakan suatu ukuran yang

menginformasikan besar pengaruh antara variabel x dan y. menurut

Sugiyono (2007) pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien relasi

sebagai berikut:

0.00’ – 0.199 = sangat rendah

0.20 – 0.399 = rendah

0.40 – 0.599 = sedang

0.60 – 0.799 = kuat

0.80 – 1.000 = sangat kuat

N. Lapisan Batas (Boundary Layer)

Pada setiap aliran udara yang melalui suatu benda akan mengalami

gesekan dengan permukaan benda tersebut. Gesekan ini akan

menimbulkan suatu hambatan/tahanan. Besar kecilnya tahanan

ditentukan oleh:

a. Kekasaran permukaan benda

b. Kecepatan udara yang mengalir

c. Letak benda terhadap aliran udara


32

Dengan adanya gesekan permukaan (skin friction) maka pada setiap

aliran udara yang mengalir melalui benda akan menyebabkan adanya

perubahan kecepatan aliran udara dari yang paling kecil sampai dengan

suatu daerah yang mempunyai kecepatan udara bebas, karena adanya

separasi aliran. Kecepatan tiap lapisan udara berbeda-beda sehingga

tampak batas setiap lapisan.

Apabila aliran udara mengalir pada suatu benda yang kemudian

terjadi lapisan-lapisan aliran udara yang rata serta sejajar dengan

permukaan benda tadi, maka aliran udara yang demikian disebut aliran

udara laminer. Pada aliran udara laminer ini juga terjadi boundary layer,

sehingga kecepatan lapisan udara yang dekat dengan permukaan benda

akan lebih kecil dibandingkan dengan kecepatan lapisan udara yang di

titik yang lebih jauh dari permukaan benda. Di dalam boundary layer

pengaruh viskositas relatife besar sehingga profil kecepatan tidak uniform.

Di luar boundary layer, tidak ada pengaruh viskositas sehingga aliran

dapat diperlakukan sebagai inviscid flow. Lapisan batas (boundary layer)

adalah lapisan tipis pada permukaan padat (solid surface) tempat fluida

mengalir dimana pengaruh viskositas relatif besar.

Gambar 5.Boundary Layer (Sumber: James R. Welty J, Wicks C E, Wilson


R.E dan Rorrer G2004)
33

Dari gambar 5, dapat dijelaskan bahwa fluida mengalir dengan

kecepatan seragam sebesar U∞ (kecepatan aliran bebas). Sewaktu

melewati permukaan padat, terbentuklah shear layer yang menghasilkan

profil kecepatan seperti yang tampak dalam gambar diatas. Pada titik A

dan A’, fluida memiliki kecepatan nol (disebut no-slip condition). Pada titik

B dan B’, fluida memiliki kecepatan sebesar U∞, dimana >. Pada 0 ≤ y ≤

dan 0 ≤ y ≤ , besarnya kecepatan dinyatakan 0 ≤ U ≤ U∞. pada y > dan y

>, harga U = U∞, ini berarti tidak ada gradien kecepatan, atau dengan

kata lain gaya geser yang bekerja sama dengan nol.

Pada lapisan batas, efek viskositas masih terjadi atau gradien

kecepatan pada arah vertikal masih terjadi. Di atas boundary layer fluida

mengalir dengan kecepatan seragam sebesar U∞. Boundary layer

merupakan keadaan yang dinyatakan sebagai lapisan dimana kecepatan

aliran fluida sebesar 0,99 U∞.


34

Tabel 2.Matriks penelitian sebelumnya


No. Judul Nama Penulis Tahun Metode Penelitian Hasil Penelitian Kesimpulan

1 Penentuan kedalaman Sunik 2013 Penelitian ini merupakan 1. Kedalaman Gerusan berkurang
dan pola gerusan akibat Pudyono penelitian eksperimen gerusan sekitar 10%-15%
aliran superkritik di hilir berupa simulasi integrasi menggunakan dengan adanya
pemasangan end sill)
pintu air menggunakan numerik dengan program apron-end sill
sedangkan gerusan
end sill dan buffle block bantu excel pada pintu air pemasangan end berkurang sekitar 20%
dengan simulasi model menggunakan peredam sill). - 30 % dengan adanya
integrasi numerik energi (end sill dan buffle 2. kedalaman pemasangan buffle
block) di hilir pintu air. gerusan block.
menggunakan
apron-buffle block

2 Kajian proteksi gerusan Jaji 2006 Penelitian ini merupakan 1. Hubungan antara Susunan riprap
di hilir kolam olakan Abdurrosyid, penelitian dengan perbandingan ked sepanjang Lmax
bendung tipe USBR-II Gunawan jati menggunakan sediment alaman aliran den (panjang gerusan
wibowo recirculating flume. gan angka Froud maksimum tanpa
e. proteksi) mampu
2. Hubungan antara mengendalikan
perbandingan ked gerusan dengan
alaman gerusan m kedalaman gerusan
aksimum dengan paling kecil.
angka Reynold.
35

3 Pengaruh penempatan Gadang 2018 Dalam penelitian ini terdapat 1. Analisis kecepata Angka Froude 12,28
Baffle block tipe v budiarsyad beberapa perencanaan n aliran dengan va pada debit paling
terhadap reduksi dalam melakukan riasi debit. rendah dan pada
panjang loncatan air percobaan. 2. Analisis bilangan penataan Buffle block
dan energi aliran pada 1. Pembuatan model pelimp Reynolds dengan paling efektif
aliran pada pengalir ah variasi debit. membuktikan
bendung tipe Ogee 2. Pembahasan kolam olak 3. Analisis kehilanga penggunaan USBR-11
3. Pembuatan buffle block. n energi dengan v sudah tepat untuk
ariasi debit. percobaan.
4. Analisis panjang l
oncatan air denga
n variasi debit.

4 Analisis gerusan di hilir Evi J.W. 2014 Penelitian ini menggunakan Dari hasil Karakteristik aliran di h
bendung tipe USBR-IV Pamungkas objek kolam olakan yang di pengamatan ulu bendung model 1 d
(Uji model di modelkan dengan kedalaman gerusan, an bendung model 2 m
erupakan aliran super k
laboratorium) menggunakan kolam olakan pada membendung,
ritis dimana terjadinya l
dari bahan plastisin. maka semakin besar oncatan air sehingga a
pula energi aliran ngka Froude >1. Sedan
yang terjadi, hal ini gkan karakteristik aliran
dapat menyebabkan di hilir bendung model
loncatan hidrolik 1 dan bendung model 2
yang tak terkendali, merupakan aliran sub k
ritis dimana loncatan ai
sehingga terdilah
r mulai tenang sehingg
penggerusan di hilir a angka Froude <1.
kolam olakan.
5 Pengaruh variasi Pembra juned 2013 Penelitian ini di lakukan Susunan buffle block 1. Dengan debit aliran y
36

kemiringan tubuh hilir adiputra dengan 3 metode yaitu: yang paling efektif ang sama dari variasi
bendungan 1. Perencanaan model pelim terjadi pada susunan kemiringan tubuh hilir
penempatan Buffle pah yang terletak pada bendung tidak terjadi
block pada kolam olak 2. Perencanaan kolam olak. tengah lengkung perbedaan secara si
tipe solid roller bucket 3. Perencanaan buffle block. kolam olak, gnifikan terhadap tur
terhadap loncatan kecepatan bulensi aliran.
hidrolis dan peredaman maksimum aliran 2. Untuk meredam panj
energi adalah terjadi pada ang pusaran buffle bl
tengah radius ock yang di pasang p
lengkung sehingga ada tengah lengkung
aliran maksimum yang paling besar me
yang di benturkan redam pusaran air ad
langsung ke buffle alah 4:4.
block akan
menghasilkan
panjang pusaran
minimum di
bandingkan dengan
perlakuan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai