DF Report Spermonde
DF Report Spermonde
DESTRUCTIVE FISHING
IN SPERMONDE ISLANDS
2003
INITIATED BY :
Istilah Penjelasan
Angke Sejenis ikan karang bernilai ekonomi tinggi, miring dengan ikan Langkoe
napoleon wrasse
Assessment Studi dengan tujuan melakukan penilaian terhadap suatu kondisi tertentu
pada suatu waktu tertentu
Baseline data Data dasar yang diperlukan untuk suatu tujuan tertentu
Bos Sebutan nelayan terhadap pedagang ikan di kota, setingkat dengan atau di
bawah status eksportir
Bu/Bubu Alat penangkap ikan terbuat dari bambu yang dianyam menyerupai empat
persegi panjang, dipasang di sekitar atau di atas karang untuk menangkap
ikanikan karang
Comprehensive assessment Penilaian terhadap suatu kondisi tertentu pada suatu waktu tertentu
secara menyeluruh
Data base Kumpulan data yang diorganisirkan menurut suatu skema konseptual
dengan seperangkat prosedur untuk menambahkan, mengubah, atau
memperoleh kembali data yang disimpan dalam struktur tersebut.
Detenator Bahan organik yang berfungsi sebagai pemicu ledak. Dalam bahasa
Makassar sebagai dopisi.
Ekor kuning Sejenis ikan karang yang hidup dalam kelompok besar dan biasa disebut
ikan Rapporappo (nama lokal)
Ekosistem Hubungan timbal balik antar tumbuhan, hewan dan mikroorganisme serta
lingkungan tak hidup di sekitarnya sebagai satu kesatuan fungsi
ii
Gae Sejenis pukat yang setiap sisinya dipasangi cincin pemberat untuk
menangkap konsentrasikonsentrasi ikan di laut, khususnya di rumpon
Garrasa Kumpulan karang/pecahan karang yang telah mati dan bercampur dengan
pasir yang ada di sekitar daerah karang
Gusung Sejenis pulau muda yang terbentuk dari karang dengan pasir yang hanya
tampak pada saat air surut
Informan Kunci Orang dengan urutan, pengalaman atau pengetahuan yang dapat
menyediakan pemahaman mendalam tentang suatu kondisi tertentu
Jolloro Jenis perahu yang umumnya dilengkapi dengan motor. Biasanya digunakan
oleh pabalolang untuk membeli ikan langsung dari nelayan dan
mengangkut/menjualnya ke pelelangan
Kacalang Sebutan nelayan bugis di Sinjai untuk jenis ikan Cakalang (katsuwonus
pelagis)
Lasoari Sejenis karang hidup yang menyerupai mota sehingga disebut juga dalam
istilah-istilah lokal sebagai mota laut atau tali arusu' (tali arus)
Management Plan Dalam artian kawasan lindung; nilai dari rencana pengelolaan yang tertulis
secara eksplisit menspesifikasi arah dan langkah bagi mereka yang
DAFTAR ISTILAH
iii
Meng Pancing (Bugis term)
Monitoring Studi lanjutan yang dilakukan untuk mengumpulkan data, dan ditujukan
untuk mengetahui atau memantau perkembangan keadaan, biasanya
dilakukan pada kurun waktu tertentu
Pa'baraccung (pembom) Istilah orang Makassar menyebut orang/oknum yang sering melakukan
penangkapan menggunakan bahan peledak
Pabalolang Sebutan anggota kelompok nelayan (khususnya nelayan bagang atau yang
bertugas mengangkut ikan dengan perahu motor; jolloro dari lokasi
penangkapan ke tempat penjualan)
Pajjamairate Sawi yang berada di atas kapal saat dilakukan operasi bertugas menarik
penyelam, mengontrol penyelam, merapikan hasil tangkapan, merakit
bom, memasak makanan dan melempar/menarik jangkar
Pancing tonda Sejenis pancing yang dipergunakan nelayan untuk menangkap jenis ikan
tinumbu/tenggiri. Alat pancing ini dipergunakan pada perairan laut
dalam, dimana nelayan membuang pancing sambil perahu tetap berjalan
Pang-Es Sebutan bagi kelompok pedagang ikan yang mengoperasikan perahu jolloro
bermesin yang membawa persediaan/sarana pengawetan es
Pappalele Pedagang ikan berstatus sebagai perantara, kurang lebih setara dengan
pajjoloro' ataupun pang'es
Pasellung/Paselang Sebutan nelayan Bugis untuk kelompok nelayan yang mencari nafkah
dengan menyelam dan umumnya sebagai Nelayan teripang biasa juga
disebut pattaripang (Bugis) Sebutan nelayan Makassar bagi penyelam
Pattulak Penentu, penilai terhadap jenis tangkapan dan menentukan lokasi untuk
pelemparan bom
Penambangan karang Pengangkatan Fisik karang untuk dijadikan sebagai bahan bangunan
(pondasi rumah) meskipun bukan merupakan kegiatan perikanan, namun
dampaknya terhadap ekosistem pesisir dan laut dapat dikatakan cukup
merusak.
DAFTAR ISTILAH
Pengusaha Pihak yang telah memiliki badan hukum, seperti perusahaan dengan
beberapa kualifikasi (CV, Usaha Dagang dan PT)
Petepete Sampan dengan mesin 5 PK untuk memancing ikan di sekitar pulau; sebagai
sarana untuk menangkap ikan dalam skala kecil
iv
Ponggawa = juragan Pemilik modal yang juga sebagai pembeli ikan dari nelayan, yang sebagian
berkedudukan di pulau setempat, sebagian juga di pusatpusat penjualan
ikan di Kota Makassar atau Kabupaten Pangkep.
Ponggawa laut Berdiam di daratan pulau dimana pelaku-pelaku langsung berasal dan
biasanya tidak ikut melaut, berperan sebagai penyusun rencana, penyedia
modal, penyedia bahan baku dan material, penyedia fasilitas penangkapan
untuk produksi, penjamin apabila terjadi resiko keamanan dan penyedia
kebutuhan-kebutuhan lain dari para pelaku (antara lain kebutuhan untuk
keluarga yang ditinggalkan)
Ponggawa PPI Orang yang dapat mengatur atau mengelola/memfasilitasi nelayan, mulai
dari pemberangkatan, penjualan hasil tangkapan sampai dengan
penyerahan hasil penjualan ikan kepada nelayan
Potasa' / Bius Istilah yang sering dipergunakan oleh nelayan untuk menyebut racun
potassiumsianida; sering dipergunakan oleh nelayan untuk menangkap
jenisjenis ikan karang dalam keadaan hidup
Rambo Raksasa/besar, sebutan bagi kapal bagang yang cukup besar (Bagang
Rambo)
Rinta' Sejenis pancing yang menggunakan mata pancing minimal 50 buah mata
pancing. Jenis pancing ini khususnya untuk memancing ikan Cakalang
Sawi Orang yang bekerja sebagai anak buah kapal pada setiap perahu atau
orangorang yang ikut menumpang di dalam perahu pada satu periode
penangkapan ataupun pelayaran
Secondary Data Data yang telah dikumpulkan sebelumnya, telah dianalisa dan telah
dipublikasikan
Spermonde (dulu sangkarang) Nama salah satu gugusan pulau-pulau kecil yang berjumlah 126 buah, yang
terletak di sisi barat semenanjung Sulsel/Selat Makassar
Studi Area Lokasi dimana dilaksanakan penilaian tentang kondisi sosial ekonomi
Studi site Lokasi yang kecil atau masyarakat pada area studi
DAFTAR ISTILAH
Taman Nasional Laut Kawasan pelestarian alam di laut yang mempunyai ekosistem asli, dikelola
dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan , menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi
v
Terumbu karang Struktur batu kapur masive yang terhimpun melalui perekatan konstruksi
dan kegiatan pengendapan dari antozoa ordo madreporaria dan spesies
avertebrata serta alga khusus lainnya
Timo Istilah yang digunakan untuk menyebut musim Timur (bahasa Bugis)
Timoro' Istilah yang digunakan untuk menyebut nama musim Timur (bahasa
Makassar)
Visualisation technique Perangkat analisis yang dipergunakan untuk menampilkan data dan
diagram yang berhubungan dengan seluruh data (seperti peta, waktu
pelaksanaan, transek sejarah, pohon keputusan, diagram venn, diagram
alur dan ranking
Zonasi Pembagian mintakat untuk alokasi wilayah proteksi untuk tujuan dan
kegiatan tertentu, bagi spesies-spesies penting beserta habitatnya seiring
dengan pemanfaatan yang sesuai dan kegiatan pada tingkat berkelanjutan
serta dalam rangka meminimalkan konflik
DAFTAR ISTILAH
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISTILAH ii
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL x
DAFTAR DIAGRAM xi
DAFTAR GRAFIK xii
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR KOTAK xix
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Geografi dan Administrasi 1
1.2 Ekologis 1
1.3 Kondisi Oseanografi dan Iklim 2
1.4 Potensi Sumberdaya Laut 3
1.5 Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat Kepulauan 4
1.6 Interaksi Masyarakat Spermonde dengan Masyarakat Lain 5
vii
3.4 Peralatan dan Material Pemboman 22
3.4.1 Jenis dan Spesifikasi Kapal 22
3.4.2 Alat Tangkap dan Alat Bantu atau Pendukung 25
3.4.3 Karakteristik Alat dan Bahan Bom 26
3.4.4 Cara dan Teknik Merakit Bom 27
3.4.5 Beberapa Pertimbangan Teknik dalam Penggunaan Bom Di Laut 28
3.4.6 Asal dan Jalur Masuk Bahan 29
3.4.7 Gejala dan Indikasi Pemboman 30
3.5 Pemasaran Hasil Tangkapan dengan Bom 31
3.5.1 Lokasi Pemasaran 31
3.5.2 Pelaku Transaksi 32
3.5.3 Harga dan Mekanisme Transaksi 35
3.6 Dampak PITRaL 38
3.6.1 Spesies 38
3.6.2 Ekologis 39
3.6.3 Ekonomis 40
3.6.4 Sosial 41
viii
4.5 Pemasaran Hasil Tangkapan dengan Bius 58
4.5.1 Lokasi Pemasaran 58
4.5.2 Pelaku Transaksi 58
4.5.3 Harga dan Mekanisme Transaksi 60
4.6 Dampak PITRaL 61
4.6.1 Spesies 61
4.6.2 Ekologis 63
4.6.3 Ekonomis 64
4.6.4 Sosial 64
BAB VI. TINJAUAN HUKUM DAN KEBIJAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN MENGGUNAKAN BAHAN
PELEDAK DAN BIUS
6.1 Sistem Hukum dan Peradilan yang Mengatur Penegakan Hukum terhadap PITRaL 69
6.2 Pandangan Pengusaha Perikanan 66
6.3 Pandangan Pemerintah 67
6.4 Pandangan Penegak Hukum 67
6.5 Pandangan Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat 68
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
Tabel
2.1. Frekuensi Pitral Berdasarkan Zonasi Di Kepulauan Spermonde 8
3.1. Lokasi Pitral Di Kepulauan Spermonde 11
3.2. Lokasi Konsentrasi Lokasi Pemboman Ikan Di Kepulauan Spermonde
Di Musim Barat Berdasarkan Waktu Tempuh Dari Pulau Asal 12
3.3. Karaketristik Skala Pelaku Pemboman Di Kepulauan Spermonde 13
3.4. Spesies-Spesies Target Penangkapan Dengan Cara Bom Di Kepulauan Spermonde 18
3.5. Daerah Tangkapan Utama Nelayan Asal Kepulauan Spermonde 20
3.6. Daerah Tangkapan Utama Nelayan Pembom Dalam Wilayah Kepulauan Spermonde 20
3.7. Volume Tangkapan Nelayan Pembom Pada Musim Puncak
Untuk Jenis Ikan Dominan Dalam Kg 21
3.8. Volume Tangkapan Nelayan Pembom Pada Musim Biasa
Untuk Jenis Ikan Dominan Dalam Kg 21
3.9. Spesifikasi Jenis Alat Transportasi Dalam Kegiatan Pitral Pemboman
Di Kepulauan Spermonde 22
3.10. Klasifikasi Jarak Target Dengan Kisaran Panjang Sumbu 28
3.11. Kisaran Harga Beberapa Jenis Ikan Hasil Pemboman 36
3.12. Ciri Fisik Ikan Hasil Pemboman 38
3.13. Volume Bahan Peledak Dan Luas Kerusakan Pada Terumbu Karang 39
3.14. Efek Bom Terhadap Kondisi Karang 39
3.15. Kasus-Kasus Yang Pernah Terjadi Sehubungan Dengan Aktivitas Pitral
Di Kepulauan Spermonde 41
4.1. Lokasi Dan Prosentase Kunjungan Aktifitas Pembiusan Ikan 44
4.2. Karakteristik Nelayan Pelaku Pitral Pembiusan Skala Kecil Dan Besar 45
4.3. Volume Tangkapan Nelayan Pembius Pada Musim Puncak Untuk Jenis Ikan Dominan 51
4.4. Volume Tangkapan Nelayan Pembius Pada Musim Biasa Untuk Jenis Ikan Dominan 51
4.5. Spesifikasi Jenis Alat Transportasi Yang Digunakan Oleh Pelaku Pembiusan 52
4.6. Alat Dan Bahan Serta Kegunaannya Dalam Kegiatan Pembiusan Ikan 56
4.7. Ciri Fisik Ikan Hasil Pembiusan 61
4.8. Efek Dan Gejala Pembiusan Pada Ikan 61
4.9. Volume Botol Semprot Dan Radius Bius 63
4.10. Kasus-Kasus Yang Pernah Terjadi Sehubungan Dengan Kegiatan Pembiusan
Di Wilayah Kepulauan Spermonde 64
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR DIAGRAM
Diagram
2.1. Prosentase Alat Pitral Di Kepulauan Spermonde 8
2.2. Tingkat Pendidikan (a) Dan Jumlah Tanggungan Nelayan Pitral (b) 9
3.1. Prosentase Lokasi Pemboman Ikan 10
3.2. Prosentase Pemboman Dalam Dan Luar Kepulauan Spermonde 11
3.3. Prosentase Pelaku Berdasarkan Skala Pemboman 14
3.4. Prosentase Pemasok Bahan Utama Pembom 16
3.5. Prosentase Cara Memperoleh Bahan Utama Pembom 16
3.6. Prosentase Cara Memperoleh Bahan Pendukung Pembom 17
3.7. Prosentase Pemasok Bahan Pendukung Pembom 17
3.8. Prosentase Frekuensi Spesies Dominan Hasil Pitral Pemboman 19
3.9. (a) Perbandingan Prosentase Frekuensi Kemunculan Spesies Yang Ditangkap Dengan Bom
Untuk Kelompok Ikan Pelagis Dan Kelompok Demersal Di Seluruh Lokasi Tangkapan
(b) Perbandingan Prosentase Kemunculan Jenis Tangkapan Nelayan Asal
Kepulauan Spermonde Untuk Kelompok Ikan Pelagis Dan Kelompok Demersal Di Kepulauan
Spermonde 19
3.10. Prosentase Frekuensi Jenis Hasil Tangkapan Nelayan Pembom Di Kepulauan Spermonde 20
3.11. Prosentase Jenis Alat Transportasi Nelayan Pembom Di Kepulauan Spermonde 22
3.12. Prosentase Jenis Kapal (Kapal Motor) Dominan Berdasarkan Asal Responden 23
3.13. Prosentase Jenis Kapal (Jolloro) Dominan Berdasarkan Asal Responden 23
3.14. Prosentase Jenis Kapal (Mesin Tempel) Dominan Berdasarkan Asal Responden 24
3.15. Prosentase Pengguanaan Alat Tangkap Ganda Untuk Alat Tangkap Bom 25
3.16. Prosentase Penggunaan Alat Bantu Untuk Bom 25
3.17. Lokasi Pemasaran Ikan Hasil Pitral Di Kepulauan Spermonde 31
4.1. Prosentase Intensitas Pembiusan Pada Ikan Di Luar Dan Dalam Kepulauan Spermonde 44
4.2. Prosentase Intensitas Pembiusan Ikan Pada Beberapa Lokasi Di Kepulauan Spermonde 44
4.3. Prosentase Pelaku Berdasarkan Skala Pembiusan 46
4.4. Prosentase Peran Punggawa Untuk Responden Kriteria Pembius 47
4.5. Prosentase Cara Memperoleh Bahan Utama Pembius 48
4.6. Prosentase Pemasok Bahan Utama Pembius 48
4.7. Prosentase Pemasok Bahan Pendukung Pembius 49
DAFTAR DIAGRAM
xi
DAFTAR GRAFIK
Grafik
3.1. Daerah Domisili Asal Pa'balolang Dan Punggawa Darat 33
4.1. Prosentase Kemunculan Jenis Ikan Dominan Hasil Tangkapan Dengan Cara Pembiusan 50
4.2. Prosentase Kunjungan Nelayan Menurut Kategori Daerah Dan Jenis Biota Dominan 45
4.3 Perbandingan Prosentase Volume Tangkapan Nelayan Pembius Pada
Musim Puncak Dan Musim Biasa 51
4.4. Prosentase Jenis Kapal Untuk Pembiusan Ikan 53
4.5. Penurunan Konsentrasi Cn Terhadap Waktu 62
DAFTAR GRAFIK
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar
3.1 Jalur Pemasaran/Distribusi Ikan Hasil Pemboman 37
3.2 Kondisi Ikan Hasil Pemboman 39
3.3 Kondisi Terumbu Karang Hasil Pemboman 40
4.1 Jalur Pemasaran/Distribusi Ikan Hasil Pembiusan 59
4.2 Perubahan Warna Tutup Insang Dan Area Di Bawahnya 62
4.3 Pengaburan Mata Pada Ikan Yang Terkena Sianida 62
4.4 Sel Hati Yang Mengalami Lisis 62
4.5 Inti Sel Yang Mengalami Atrophy 52
4.6 Kondisi Karang Yang Mengalami Pemutihan 56
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR KOTAK
Kotak
1.1 Pembagian Kawasan Spermonde Didasarkan Pada Karakteristik Ekologinya 1
1.2 Musim Di Indonesia Termasuk Di Kepulauan Spermonde 2
2.1 Pengertian Lingkungan 6
2.2 Defenisi Pitral 7
2.3 Analisis Keberlanjutan Kegiatan Pitral Di Spermonde 9
3.1 Mekanisme Kerja Pemboman Ikan 28
3.2 Sekilas Sejarah Tentang Pemboman Ikan Berdasarkan Cerita Nelayan 29
4.1 Penggunaan Alat Tangkap Ganda 55
4.2 Sekilas Sejarah Tentang Penggunaan Bius 57
6.1 TPI/PPI Di Kabupaten/Kota Dan Bappeda/Bapedal Di Kabupaten/Kota 75
DAFTAR KOTAK
xix
BAB I PENDAHULUAN
K epulauan Spermonde yang terdiri kurang lebih dari 120 pulau (Hutchinson (1945) dalam Moka (1995),
terletak antara 4o27'00'' - 5o29'00'' Lintang Selatan dan 119o2'00'' 119o33'00'' Bujur Timur. Posisi tersebut
menunjukkan kepulauan ini berada pada bagian Selatan Selat Makassar atau di sisi Barat-Daya Semenanjung
Sulawesi Selatan (Spermonde Shelf), terlepas dari Dangkalan Sunda (Molengraaf, 1929; Umbgrove, 1947
dalam Moka, 1995; POKJA COREMAP-Sulsel, 2002). Lebar paparan Spermonde dari daratan utama (mainland)
ke arah Barat sekitar 40 kilometer (BKSDA, 1997) dengan kedalaman maksimum 60 meter (Moka, 1995).
Secara administratif, Kepulauan Spermonde masuk dalam kewenangan beberapa pemerintah daerah otonom
(Kabupaten/Kota) di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Maros, Kabupaten Takalar, Kota Makassar,
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, dan Kabupaten Barru. Namun demikian, Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan memiliki jumlah pulau yang terbesar, kemudian diikuti oleh Kota Makassar.
Batas-batas wilayah Kepulauan Spermonde meliputi :
1.2 Ekologis
K epulauan Spermonde adalah salah satu kawasan laut paling penting di Sulawesi Selatan, seperti di
kemukakan Best (1989) bahwa dari 350 spesies karang yang hidup di Indonesia, 250 spesies diantaranya
hidup di kepulauan Spermonde dalam area terumbu karang seluas 150 km2.
Selanjutnya dikatakan pula bahwa terdapat 250 species alga di Indonesia, dimana 200 species diantaranya
terdapat di Spermonde. Demikian pula dengan lamun, dimana terdapat 11 spesies yang
hidup di Spermonde dari 12 spesies yang ada di Indonesia.
KOTAK 1.1
Perairan Kepulauan Spermonde ini diidentifikasi
Pembagian kawasan Spermonde didasark an pada
karakteristik ekologinya (Hutchinson, 1945 dalam Moka,
seluas kurang lebih 400.000 Ha. Secara umum,
1995) sebagai berikut: kepulauan Spermonde dibagi atas 4 zona ekologi,
yaitu inner zone, middle inner zone, middle outer
Zona pertama (inner zone), lebih banyak dipengaruhi zone, dan outer zone (Hutchinson, 1945 dalam
1
1.3 Kondisi Oseanografi dan Iklim
P erairan laut kepulauan Spermonde ditandai dengan fenomena yang sangat dinamis. Hal ini disebabkan
Spermonde berada pada jalur arus lintas Indonesia (ARLINDO) yang bergerak sepanjang tahun dari utara ke
selatan. Daerah spermonde yang berada pada ujung barat daya pulau Sulawesi menjadi daerah pertemuan
arus antara perairan Selat Makassar dan Laut Jawa. Pengaruh arus utama Indonesia pada daerah ini menjadi
berbeda berdasarkan musim. Pada musim Barat, Spermonde mendapat penyatuan dua kekuatan arus dari
Selat Makassar dan Laut Jawa yang bergerak ke Timur Indonesia, sedangkan pada musim Timur, pengaruh dari
Laut Banda yang melewati Selat Selayar ke arah Barat akan memperkuat konveksi arus di kawasan terluar
Spermonde (YKL, 1999).
KOTAK 1.2
Musim di Indonesia, termasuk di Spermonde
2
1.4 Potensi Sumberdaya Laut
B iota-biota laut ekonomis penting yang terdapat di kawasan terumbu karang umumnya menjadi target
penangkapan oleh nelayan-nelayan Spermonde seperti ikan Baronang, ikan Kerapu, ikan Papakulu,
Teripang, Cumi-cumi, udang-udangan dan kerang-kerangan. Selain itu terdapat beberapa spesies ikan pelagis
yang juga menjadi target tangkapan, seperti ikan Cakalang, ikan Tembang, ikan Layang, ikan Teri, ikan Mairo,
ikan Ekor Kuning dan ikan Pisangpisang.
Selain itu, ada beberapa biota laut yang sudah dibudidayakan oleh masyarakat Spermonde seperti rumput laut
dan beberapa jenis ikan dengan menggunakan metode budidaya keramba jaring apung untuk pembesaran.
Namun kegiatan ini hanya berlangsung di pulau-pulau tertentu yang nampaknya sudah mendapat banyak
program pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut oleh beberapa lembaga baik pemerintah maupun non
pemerintah.
3
1.5 Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat Kepulauan
M ayoritas penduduk kepulauan Spermonde adalah suku Bugis dan Makassar dimana pembagian dominasi
etnis di sisi Utara adalah suku Bugis dan sebagian Mandar, sedangkan di sisi Selatan mayoritas etnis
Makassar dan sebagian Bajo. Dengan demikian, bahasa yang umumnya digunakan masyarakat kepulauan
Spermonde adalah bahasa daerah Bugis-Makassar. Namun demikian, bahasa Indonesia juga dipakai dalam
kehidupan keseharian mereka.
Kepulauan ini dihuni oleh majoritas penduduk yang memeluk agama Islam. Sebagai penduduk yang bermukim
di pulau, mereka mempunyai hubungan kekeluargaan dan etnisitas yang sangat kental. Ini membuat mereka
sangat terbuka satu dengan yang lain. Rasa persaudaraan dapat kita rasakan saat menginjakkan kaki di salah
satu pulau di Spermonde. Karakteristik sosial yang menonjol adalah sifat paternalistik yang masih mewarnai
pengambilan keputusan bersama. Tokoh masyarakat menjadi tumpuan harapan dalam mengkomunikasikan
berbagai permasalahan sosial yang terjadi di antara mereka.
4
Menurut survei sosial ekonomi Spermonde (COREMAP, 2002), tingkat kesejahteraan keluarga di kepulauan
Spermonde didominasi oleh keluarga Pra Sejahtera, sebagian besar Pra Sejahtera I, dan sebagian kecil lagi Pra
Sejahtera II, dan beberapa punggawa termasuk kategori Pra Sejahtera III. Kesejahteraan mereka nampaknya
erat hubungannya dengan jarak pulau terhadap daratan utama. Didaerah yang aksesnya dekat dengan
Makassar kesejahteraan tergolong lebih baik dibanding mereka yang bermukim jauh dari Makassar.
Tingkat mobilitas penduduknya juga sangat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan berdampak pada
pembangunan daerahnya. Pendapatan utama masyarakat kepulauan Spermonde sebagai nelayan tidak
menentu untuk setiap bulannya dan cenderung terpangaruh oleh musim (musim Timur dan musim Barat).
Namun, kalau dirata-ratakan pendapatan tersebut dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya (makan dua
kali atau lebih dalam sehari).
Masyarakat nelayan di Spermonde mempunyai struktur ekonomi yang unik, dengan adanya fenomena
punggawa, yang memegang peran strategis dalam kegiatan kenelayanan. Pada umumnya nelayan-nelayan
kecil bekerja pada punggawa karena memiliki modal yang cukup untuk melakukan kegiatan penangkapan.
Dengan kata lain, pengadaan kapal dan biaya operasional untuk proses penangkapan ikan disediakan oleh
punggawa. Di sisi lain, punggawa juga menyediakan 'dana darurat' untuk keperluan-keperluan mendesak bagi
keluarga nelayan yang bekerja padanya, seperti uang sekolah, biaya pengobatan, dan sebagainya. Dengan
demikian hubungan punggawa dan nelayan, selain hubungan ekonomi, juga merupakan hubungan
emosional(kekeluargaan).
S ebagai masyarakat bahari yang dinamis, penduduk Spermonde berinteraksi dengan masyarakat dari
kawasan lain, seperti dari kawasan Takabonerate di Kabupaten Selayar, teluk Bone, teluk Mandar,
Kalukuang Masalima (berbatasan dengan pulau Kalimantan), Liukang Tangayya, Madura, Bali, dan Kepulauan
Wakatobi di Sulawesi Tenggara. Proses interaksi yang bermotif dagang dan kenelayanan ini tidak hanya
berlangsung di kawasan Spermonde, tapi juga di kawasan lain. Interaksi ini melahirkan kulturasi yang
memungkinkan berkembangnya pengetahuan di kalangan nelayan. Pertukaran informasi dan pengalaman
PENDAHULUAN
diantara mereka menjadi fenomena yang sangat penting dalam interaksi tersebut.
5
GAMBARAN UMUM PENANGKAPAN IKAN
BAB II TIDAK RAMAH LINGKUNGAN (PITRaL)
T erumbu karang dan segala kehidupan di dalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang tak ternilai
harganya yang dimiliki bangsa Indonesia. Diperkirakan luas terumbu karang yang terdapat di perairan
Indonesia adalah lebih dari 60.000 km2 yang tersebar luas dari perairan kawasan barat Indonesia sampai
kawasan timur Indonesia (Suharsono, 1998). Namun sangat disayangkan bahwa kondisi kekinian terumbu
karang Indonesia mengalami degradasi yang sangat mengkhawatirkan, sebagaimana survei line transect yang
dilakukan oleh P3O LIPI menunjukan bahwa penutupan karang hidup hanya tinggal sekitar 6,20 % dalam kondisi
sangat baik, 23,72 % dalam kondisi baik, 28,30 % kondisi rusak dan 41,78 % dalam kondisi rusak berat
(Suharsono 1998). Sementara itu, ingkat kerusakan terumbu karang di Indonesia dalam 50 tahun terakhir
menurut laporan WRI (2002) meningkat dari 10 % menjadi 50 %.
Kerusakan terumbu karang di Indonesia telah menjadi perhatian yang serius bukan hanya bagi Pemerintah
Republik Indonesia, namun juga beberapa negara lain yang terhimpun dalam konsorsium Bank Dunia, Bank
Pembangunan Asia dan Australia AID. Perhatian tersebut telah melahirkan sebuah program rehabilitasi dan
pengelolaan terumbu karang atau yang dikenal sebagai Coral Reef Rehabilitation and Management Program
(COREMAP), yang berjangka kurang lebih 15 tahun. Namun adalah penting dalam Program tersebut untuk
melihat kondisi empiris kerusakan yang terjadi selama ini seperti penyebab utama selain kerusakan yang
ditimbulkan secara alamiah.
Telah menjadi kenyataan bahwa kerusakan terumbu karang di Indonesia umumnya disebabkan oleh beberapa
alasan seperti kegiatan penangkapan ikan tidak ramah lingkungan atau dalam profil ini disebut sebagai
PITRaL, penambangan karang untuk bahan bangunan, jangkar kapal, pencemaran laut, kegiatan wisata bahari
yang tidak terkendali dan efek proses sedimentasi. Namun dari beberapa alasan tersebut, kegiatan PITRaL
yang meliputi penggunaan bahan peledak dan bahan beracun nampaknya mempunyai peran yang signifikan.
Dampak potensial yang diakibatkan oleh penggunaan bahan peledak (pemboman ikan) seperti yang rangkum
oleh Bengen (2002) yaitu mematikan ikan tanpa diskriminasi, karang dan biota avertebrata yang tidak
bercangkang, sedangkan penggunaan bahan beracun (pembiusan ikan) mengakibatkan ikan pingsan termasuk
juvenil, mematikan karang dan biota avertebrata. Menurut Pet-Soede dan Erdmann (1999), kegiatan
pemboman ikan telah mengurangi tutupan karang hidup antara 50% dan 80%. Satu botol minuman (1 liter)
bom, misalnya, bisa menghancurkan area terumbu karang seluas 5m2, dan untuk ukuran Gallon 5 liter yang
lebih besar mampu menghancurkan area terumbu karang seluas 20m2. Sementara penggunaan bius sianida
memberikan dampak ganda; kerusakan karang dan kematian larva dan ikan-ikan kecil (Johannes dan Riepen,
1995).
KOTAK 2.1
Tanpa disadari kegiatan PITRaL yang merusak
DESTRUCTIVE FISHING WATCH
Pengertian Lingkungan
terumbu karang dan masih terus berlangsung hingga
saat ini memberikan dampak yang sangat merugikan Kata “lingkungan” merujuk pada pengertian Lingkungan
bagi bangsa Indonesia, baik secara ekologis maupun Hidup yang berarti “ kesatuan ruang dengan semua benda,
ekonomis. Rusaknya terumbu karang berarti daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk di dalamnya
hilangnya pelindung alami bagi kawasan pantai, manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan
termasuk kawasan pemukiman, lahan pertanian, perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk
lahan pertambakan, kawasan wisata dan kawasan hidup lainnya” sedangkan yang dimaksud dengan teknologi
penangkapan ikan yang berawawasan lingkungan adalah
pelabuhan. Rusaknya terumbu karang juga berarti
upaya sadar dan berancana dalam menggunakan alat
hilangnya sumber makanan dan tempat memijah tangkap untuk mengelola sumberdaya secara bijaksana
bagi banyak biota laut seperti ikan, mollusca dan dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk
crustacea yang bernilai ekonomis tinggi. meningkatkan mutu hidup tanpa mempengaruhi atau
menggangu kualitas dari lingkungan hidup (Martasuganda,
2002 dalam Nessa, dkk 2002).
6
Kerugian ekonomis yang diakibatkan oleh kerusakan terumbu karang selama lebih dari 20 tahun, menurut
estimasi konservatif Pet-Soede, dkk. (1999), sebesar US$ 306.800 per km2 untuk kawasan bernilai potensial
tinggi, sedangkan untuk kawasan bernilai potensial rendah kerugian ekonomis sebesar US$ 33.900.
Ada 2 alasan utama yang menyebabkan kegiatan PITRaL tetap berlangsung sejak puluhan tahun lalu, yaitu
alasan ekonomi dan rendahnya penegakan hukum. Alasan ekonomi lebih mengarah pada perhitungan jangka
pendek, dimana biaya operasional PITRaL jauh lebih rendah ketimbang keuntungan yang diperoleh sehingga
efisiensi secara ekonomi menjadi lebih besar. Hal ini didukung oleh permintaan pasar yang terus berkembang
dan harga organisme target yang cukup menggiurkan. Dengan kata lain, kemiskinan nelayan kecil dan
keserakahan para pengusaha merupakan kombinasi yang kuat untuk terus berlanjutnya kegiatan PITRaL dari
perspektif ekonomi.
Sementara kondisi penegakan hukum yang sangat lemah mendukung keberlangsungan (sustainability)
kegiatan PITRaL. Banyak kasus-kasus PITRaL yang ditangani aparat penegak hukum tidak sampai ke meja
pengadilan. Bahkan bukan lagi menjadi rahasia bahwa banyak oknum aparat yang menjadi pengawal dari
kegiatan PITRaL. Situasi ini menunjukan bahwa budaya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia tidak
mengenal batasan geografis, termasuk di laut.
Dengan macetnya penegakan hukum, maka upaya-upaya untuk mengurangi kegiatan PITRaL mengalami
hambatan yang sangat besar. Karena bagaimanapun, penegakan hukum mempunyai kekuatan yang sangat
besar dalam mempengaruhi perilaku masyarakat. Hukum harus mampu membuat pelaku kegiatan PITRaL
jera, dan tidak akan mengulangi kegiatannya. Secara dapat sosiologis dapat mempengaruhi masyarakat lain
untuk tidak berbuat hal yang serupa dan memberi rasa keadilan bagi mereka yang ramah dengan lingkungan.
tersisa pada daerah yang masuk dalam kawasan yang diterangkan oleh Arimoto (1999) bahwa alat tangkap
perlindungan seperti terumbu karang di dikatakan tidak ramah lingkungan apabila memberikan dampak
negatif terhadap lingkungan, yaitu menciptakan kerusakan
kawasan pulau Kapoposang.
terhadap struktur dan fungsi ekosistem perairan (benthic
Masyarakat Spermonde yang berasal dari disturbance), terhadap biodiversity dan organisme target yaitu
beberapa etnis terutama etnis Makassar dan adanya by-catch serta tertangkapnya ikan-ikan muda.
Bugis, telah sejak lama menggunakan beberapa Selanjutnya dijelaskan pula kriteria alat tangkap yang ramah
lingkungan menurut Minitja (1996) yaitu: mempunyai
metode PITRaL, seperti bahan peledak, bahan
selektivitas yang tinggi, tidak merusak habitat, menghasilkan
beracun sianida, trawl, bubu tindis, muroami, ikan-ikan berkualitas tinggi, tidak membahayakan operator,
dan lain-lain. Tapi yang dianggap paling produk tidak membahayakan konsumen, by-catchnya rendah,
berpengaruh adalah penggunaan bahan peledak tidak berdampak buruk terhadap biodiversity, tidak
(pemboman ikan) dan kaliumsianida membahayakan ikan-ikan yang dilindungi dan dapat diterima
(pembiusan ikan). secara sosial.
7
Proporsi kegiatan pemboman ikan jauh lebih besar (70%) dibandingkan dengan kegiatan pembiusan (26%) dan
lainnya (4%) (Diagram 2.1). Kedua aktifitas tersebut berlangsung hampir pada semua zona (inner zone, middle
inner dan outer, outer zone) yang terdapat di kepulauan Spermonde. Aktivitas ini dikawasan spermonde
sangat dipengaruh oleh musim. Pada musim Barat aktivitas PITRaL lebih rendah bila dibandingkan dengan
aktivitas pada musim Timur.
Setidaknya terdapat 427 frekuensi pemboman dan 191 pembiusan terjadi selama setahun terakhir. Walaupun
rata-rata frekuensi kejadian per tahun sulit untuk diperoleh, namun angka-angka tersebut dapat menjelaskan
besarnya potensi kerusakan yang dihadapi oleh ekosistem terumbu karang di Spermonde. Daerah
penangkapan umumnya berlangsung di atas terumbu karang (reef flat and slope) dan sekitar tubir karang (reef
edge). Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan kebanyakan (>50%) pada zona terluar dari Spermonde seperti
perairan kawasan TWAL Kapoposang dan kawasan Pulau Langkae dan Lanyukang, sedangkan 36% aktifitas
terjadi di zona tengah (middle outer) gugusan Kepulauan Spermonde (Tabel 2.1). Kedua daerah ini dijadikan
target karena jauh dari lingkungan pemukiman dan relatif aman dari penegak hukum. Selain itu mereka
mengetahui kurangnya potensi ikan target pada zona dalam (inner dan midle inner zone ) akibat dari
kerusakan terumbu karangnya.
Bom
70%
4%
26% Alat tangkap lainnya
Bius
Inner Zone Middle Inner Zone Middle Outer Zone Outer Zone Jumlah
Bom Bius Bom Bius Bom Bius Bom Bius Bom Bius
Perairan pantai - - 7 8 41 - 15 - 63 8
Terumbu Karang - - - 51 62 6 118 90 180 147
Tubir - - - 3 54 7 116 - 170 10
GAMBARAN UMUM PITRAL
Laut Lepas 4 - 7 10 - - 3 16 14 26
Jumlah 4 - 14 72 157 13 252 106 427 191
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
Komposisi jenis target dalam pemboman ikan lebih besar baik untuk jenis ikan karang (demersal) maupun jenis
ikan-ikan pelagis, karena efek bom terjadi pada semua jenis ikan yang ada pada saat itu. Sedangkan kegiatan
pembiusan ikan terfokus hanya pada jenis ikan-ikan karang dengan species tertentu seperti Sunu, Kerapu,
Napoleon, dan Lobster. Kegiatan pembiusan ikan juga harus mempertahankan ikan hasil pembiusan dalam
kondisi hidup untuk dipasarkan.
8
Jalur pemasaran ikan hasil bius berbeda dengan ikan hasil bius, dimana jalur pemasaran ikan lebih panjang.
Pemasaran ikan hasil pemboman sama dengan pola pemasaran hasil tangkapan non PITRaL lainnya, yakni dari
nelayan ke pedagang perantara atau ke pemilik modal dengan lokasi akhir di TPI/PPI. Di TPI/PPI ini
mekanisme pemasaran juga masih terdapat beberapa rantai sebelum dijual ke konsumen. Sedangkan pola
pemasaran ikan hasil pembiusan lebih pendek dengan target akhir pasar luar negeri atau export. Ikan hasil
pembiusan dari nelayan akan langsung di jual/disetorkan ke punggawa dan eksportir.
Pelaku kegiatan PITRaL adalah nelayan Spermonde itu sendiri. Kesadaran yang rendah dan keinginan untuk
mendapatkan hasil yang lebih besar mendorong mereka untuk lebih memilih aktifitas ini. Kebanyakan (77%)
mereka berpendidikan Sekolah Dasar (SD) dimana yang tidak tamat SD pun banyak dijumpai (12%). Rendahnya
pendidikan tersebut tentu berimplikasi positif terhadap rendahnya kesadaran akan pentingnya memelihara
lingkungan untuk pembangunan yang berkelanjutan. Persepsi tentang sumberdaya ikan bagi mereka adalah
“nanti setelah daun-daun pepohonan di daratan habis, barulah jumlah ikan di lautan akan habis”. Persepsi
inilah yang cenderung mengarah kepada upaya ekploitasi sumberdaya yang tidak berkesinambungan. Mereka
tidak begitu paham bahwa terumbu karang adalah “rumah” bagi ikan-ikan mereka. Selain itu, tuntunan
ekonomi substansial yang diperumit dengan jeratan hutang kepada punggawa membuat nelayan sawi tetap
pada aktifitas ini.
Walaupun demikian, sekiranya bahwa tuntutan tanggungan kepada keluarga adalah faktor utama sehingga
harus melakukan kegiatan ini, mungkin PITRaL masih dapat dimaklumi. Tetapi, kenyataannya bahwa rata-rata
tanggungan keluarga mereka (4 - 6 orang) adalah jumlah tanggungan yang umum dijumpai pada masyarakat
nelayan di Spermonde (non-PITRaL).
Diagram 2.2 Tingkat Pendidikan(a) dan Jumlah Tanggungan Nelayan PITRaL (b)
(a) (b)
Tidak tamat SD
77% 1-3 orang 4-6 orang
39% 36%
4%
12% 7% SMU
SD SMP 25%
keluarga
Sumber: Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
KOTAK 2.3
Analisis Keberlanjutan Kegiatan PITRaL di Spermonde
Ekonomi Sosial dan Budaya Ekologis
GAMBARAN UMUM PITRAL
9
BAB III STATUS KEGIATAN PEMBOMAN IKAN
L okasi pemboman ikan yang dimaksud adalah wilayah, kawasan dan daerah yang terkait dengan kegiatan
pemboman ikan yang berlangsung di Kepulauan Spermonde, baik secara langsung dijadikan sebagai daerah
tangkapan (fishing ground) dan lokasi-lokasi yang secara secara tidak langsung mempunyai keterkaitan
terhadap berlangsungnya kegiatan pemboman ikan di Kepulauan Spemonde, seperti lokasi asal pelaku dan
lokasi pemasaran.
Selanjutnya, lokasi akan dijelaskan secara mendalam dan terstruktur meliputi: (1) Karakteristik lokasi
pemboman ikan, (2) Lokasi pemboman ikan di Kepulauan Spermonde berdasarkan musim penangkapan, (3)
Lokasi transaksi dan (4) Lokasi asal pelaku (Dijelaskan lebih dalam pada bagian lain dalam bab ini)
Lokasi-lokasi sasaran penangkapan ikan menggunakan bom umumnya dilakukan di daerah rataan terumbu
karang (reef flat and slope ) termasuk taka (patch reef) dan sekitar tubir (reef edge), dan sebagian kecil
diantaranya dilakukan di perairan pantai. Namun demikian yang menarik bahwa kegiatan pemboman ikan
tidak hanya terjadi di sekitar terumbu karang, namun juga pada daerah di luar terumbu karang atau perairan
lepas (9%) (Diagram 3.1).
44%
Tubir 43%
Diatas Terumu Karang
Ada 2 alasan utama nelayan PITRaL menangkap pada daerah terumbu karang adalah (1) Pada daerah terumbu
karang terdapat banyak ikan yang bernilai ekonomis penting/tinggi, dan (2) Arus relatif kecil sehingga mudah
untuk mengumpulkan hasil pengeboman. Sedangkan pada daerah di luar terumbu karang didominasi oleh
nelayan yang menangkap dengan menggunakan bagang. Nelayan ini berbeda dengan nelayan pembom
terumbu karang dimana nelayan bagang menggunakan bom untuk membantu menangkap ikan yang berada
pada jaring bagang mereka.
10
3.1.2 Lokasi-lokasi Pemboman Ikan dan Intensitas Kegiatan
Secara prinsipil, lokasi-lokasi pemboman ikan adalah lokasi yang selama ini dijadikan sebagai areal
penangkapan (fishing ground) nelayan. Lokasi-lokasi tangkapan ikan masyarakat yang bermukim di Kepulauan
Speromonde tersebar dalam beberapa kawasan perairan yaitu kawasan Kepulauan Spermonde, kawasan
Kepulauan Kalukuang Masalima (Kalmas) Kabupaten Pangkep, wilayah perairan Kabupaten Mamuju dan
Kabupaten Majene Sulawesi Selatan, di wilayah perairan sekitar Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, sampai
di wilayah perairan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
Lokasi-lokasi tangkapan di Kepulauan Spermonde dapat dibedakan berdasarkan musim (Barat dan Timur).
Walaupun faktor musim menjadi pertimbangan bagi seluruh nelayan yang ada di Spermonde, namun khusus
bagi nelayan pembom ikan faktor ini tidak berpengaruh secara signifikan terhadap intensitas (frekuensi)
kegiatan tersebut di dalam kawasan Kepulauan Spermonde kecuali di luar kawasan. Intensitas pengeboman
cukup tinggi dalam dua musim tersebut. Namun demikian, kegiatan pemboman lebih berkonsentrasi di dalam
kawasan Spermonde pada musim Barat, dibanding pada musim Timur yang lebih menjangkau lokasi di luar
Spermonde.
Sumber: Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermo nde, DFW Indonesia 2003
STATUS KEGIATAN PEMBOMAN IKAN
Intensitas pemboman ikan pada Diagram 3.2 Prosentase Pemboman di Dalam dan Di Luar Kawasan Spermonde
musim Timur (Mei Juli) akan
terkonsentrasi pada perairan
pulau-pulau yang berada pada
zona terluar (outer zone)
gugusan Kepulauan Spermonde
dengan waktu tempuh
maksimum 4 jam dari pulau asal
48%
mereka. 52%
Luar Kawasan Dalam Kawasan
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
11
PETA 02. LOKASI ASAL PELAKU PEMBOMAN
PETA 03. LOKASI PEMASARAN HASIL PITRaL PEMBOMAN
3.1.3 Lokasi Asal Pelaku
Pelaku kegiatan pemboman ikan berasal dari beberapa pulau yang tersebar pada zona-zona di kepulauan
Spermonde. Daerah asal pelaku tidak mencirikan karakter spesifik yang dapat dikenali (Peta No.02), karena
pelaku tersebut sebelumnya adalah mereka yang beralih profesi dari nelayan biasa kemudian menjadi nelayan
pemboman ikan. Namun demikian dapat disimpulkan bahwa pelaku pemboman adalah mereka yang
bertempat tinggal permanen di pulau-pulau. Distribusi pelaku berdasarkan tempat tinggal utama
memperlihatkan satu pola utama yaitu mereka tersebar dominan pada pulau-pulau tertentu. Beberapa pulau
di Kepulauan Spermonde yang ditengarai memiliki pelaku pemboman yang dominan dapat dilihat pada tabel.
Tabel 3.2 Lokasi Konsentrasi Pemboman Ikan di Kepulauan Spermonde pada Musim Barat
berdasarkan Waktu Tempuh dari Pulau Asal
Pulau Asal
Pulau Lokasi Pemboman Ikan Waktu Tempuh dari Pulau Asal
(Wilayah Perairan)
Karanrang Laiya 1 jam
(Pangkep) Kulambing 2 jam
Podang-podang 1 jam
Sarappo 2 jam
TWAL Kapoposang 3 - 4 jam
Puteangin 3 - 4 jam
Balang Lompo Karanrang 1 - 2 jam
(Pangkep) Badi 1 - 2 jam
Kodingareng 2 -3 jam
Langkae – Lanyukang 2 - 3 jam
TWAL Kapoposang 3 – 4 jam
Puteangin 3 - 4 jam
Lumu Lumu Lumu-lumu 1 jam
(Pangkep) Langkae- Lanyukang 2 jam
Sarappo 2 jam
TWAL Kapoposang 3 - 4 jam
Gondong Bali TWAL Kapoposang 1 jam
(Pangkep) Karanrang 2 - 3 jam
12
3.2 Pelaku Kegiatan Pemboman Ikan
P elaku atau aktor dari kegiatan PITRaL pemboman ikan memiliki lingkup makna yang luas, bukan hanya
sekedar pihak yang melakukan kegiatan PiTRaL di lokasi penangkapan, akan tetapi siapapun yang memiliki
konstribusi atas berlangsungnya kegiatan pemboman ikan. Pembahasan tentang pelaku pemboman ikan di
kepulauan Spermonde meliputi (1) Skala pelaku, (2) Pelaku langsung dan (3) Pelaku tidak langsung.
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di S permonde, DFW Indonesia 2003
13
Selain menggunakan bom sebagai
alat utama, ada juga pelaku
pemboman yang menggunakan bom
Diagram 3.3 Prosentase Pelaku berdasarkan Skala Pemboman sebagai alat pendukung terhadap
alat tangkap yang dimiliki seperti
bagang (Pa'bagang). Di bagang
Skala Kecil tersebut, bom digunakan ketika
33% ikan telah terlihat berkumpul diatas
jaring bagang mereka. Setelah bom
dijatuhkan, jaring bagang ditarik
keatas. Rata-rata bom yang
digunakan bervolume kecil (kurang
67% dari 5 liter). Selain itu, pemboman
Skala Besar ikan yang dilakukan sebagai
alternatif terhadap alat tangkap
utama mereka gunakan jika hasil
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003 tangkapan kurang.
14
(3) Sawi Kapal (ABK)
Sawi kapal umumnya terdiri dari beberapa orang yang masing-masing memiliki tugas yang berbeda. Adapun
tugas-tugas sawi kapal tersebut dijelaskan sebagai berikut :
· Paselang (penyelam) bertugas untuk mengumpulkan hasil tangkapan yang berada di laut.
· Pa'tula (pelempar) bertugas melakukan penilaian terhadap jenis tangkapan dan menentukan lokasi untuk
pelemparan bom.
· Pa'kaca (pengamat) bertugas melihat dan mengamati keberadaan ikan di kolom air. Pa'kaca biasanya
diperankan juga oleh pa'tula.
· Pa'tunu (pembakar) bertugas menyalakan sumbu bom (membakar) dan melakukan pelemparan bom
berdasarkan perintah Patula.
· Pabise (pendayung) bertugas sebagai pendayung perahu yang digunakan oleh Patula dan Patunu.
· Pajamairate (pekerja campuran) bertugas menarik penyelam, mengontrol penyelam, merapikan hasil
tangkapan, merakit bom, memasak makanan dan melempar/menarik jangkar.
· Bas (teknisi mesin) bertugas sebagai teknisi sekaligus operator mesin.
· Paguling (juru mudi) bertugas untuk mengemudi kapal dan mengatur arah kompas.
Walaupun tugas tersebut berbeda secara jelas, namun dalam operasional tugas-tugas tersebut ada yang
dilakukan oleh orang yang berbeda, tapi kebanyakan dilakukan oleh hanya beberapa orang tergantung pada
jumlah sawi yang ikut dalam operasi penangkapan. Dengan kata lain, pembagian tugas diatas, tidak bersifat
tetap. Pada saat kegiatan dilapangan, biasa terjadi penggiliran tugas yang disesuaikan dengan kemampuan
sawi. Pada nelayan pelaku skala kecil, pelaksanaan beberapa tugas biasanya dilakukan oleh satu orang saja.
Pelaku tidak langsung terdiri dari (1) Pemodal, (2) Pembeli hasil tangkap, (3) Penyuplai alat dan bahan
material serta pihak-pihak yang mendukung aktivitas PiTRaL pemboman di Kepulauan Spermonde.
(1) Pemodal
Pemodal adalah pihak yang memiliki dana besar dan bekerjasama dengan pelaku langsung pemboman.
Pemodal bertanggung jawab dalam ketersedian dana untuk modal awal dan modal operasional nelayan pelaku
pemboman serta melakukan lobi kepada petugas kalau pelaku langsung mendapatkan hambatan dalam
melakukan aktivitas pemboman. Pemodal umumnya berhubungan langsung dengan pelaku skala besar.
Pemodal dalam memberikan dana operasional ke pelaku pemboman mendapatkan keuntungan 10-20 % dari
STATUS KEGIATAN PEMBOMAN IKAN
setiap hasil penjualan kotor pelaku pemboman per sekali operasi. Pada nelayan pelaku skala kecil, tidak
dibutuhkan dana terlalu besar, sehingga dana untuk modal awal dan modal operasional berasal dari pelaku
sendiri.
Pemodal berhubungan langsung dengan punggawa pulau. Hubungan kerjasama antar pemodal dan punggawa
pulau sangat erat. Salah satu bentuk adalah bahwa ikan hasil tangkapan pelaku di jual ke pemodal. Pada
kondisi seperti ini, pemodal kemudian memfungsikan dirinya sebagai pedagang pengumpul.
Hubungan kerjasama ini berakibat pada ketergantungan punggawa pulau terhadap pemodal. Karena
intervensi pemodal yang menjadi lebih besar terhadap punggawa pulau, maka oleh nelayan di pulau,
menyebut pemodal sebagai punggawa darat.
(2) Pembeli Hasil Tangkap
Pembeli ikan hasil tangkapan nelayan tergantung juga status nelayan pelaku pemboman. Nelayan pelaku
pemboman berskala besar menjual ikannya ke pemodal/punggawa darat atau pedagang pengumpul.
Berbeda dengan pelaku skala kecil, ikan hasil tangkapnya dijual ke pa'balolang (pedagang perantara di laut).
Walaupun demikian ada juga, nelayan pelaku berskala kecil menjual ikannya ke punggawa pulau. Punggawa
pulau yang membeli hasil tangkapan nelayan pelaku pemboman itu, berperan sebagai pedagang pengumpul di
pulau.
15
(3) Penyuplai Alat dan Bahan
Penyuplai alat dan bahan utama bom ini memiliki jaringan tersendiri, yang melibatkan pedagang khusus
pupuk, detonator dan sumbu. Hasil studi yang dilakukan oleh DFW menyimpulkan bahwa sebagian besar
responden (59,18 %) mengakui bahwa penyuplai alat dan bahan utama bom tersebut adalah orang-orang
tertentu (pedagang khusus) yang memang bekerja menyediakan alat dan bahan tersebut. Pedagang khusus
alat dan bahan utama bom ini, ditenggarai mempunyai jaringan bekerjasama dengan pemodal/punggawa
darat yang sangat baik dan rapi. Jaringan suplai tersebut ke pulau sebagian besar melalui punggawa darat
(3,21 %), punggawa pulau (1,75 %). Sedikit sekali (0,29 %) dari mereka mengatakan bahwa dan disinyalir
adanya keterlibatan oknum aparat dalam penyaluran tersebut.
Pedagang
59,18%
Aparat
0,29% Jaringan tersebut mulai pedagang dari
negara asal bahan, pedagang
perantara antar daerah sampai
pedagang langsung yang ada di pulau.
Karena usaha ini termasuk dilarang
oleh pemerintah, agar tidak mudah di
3,21% 35,57% ketahui oleh aparat, maka berbagai
Punggawa Darat 1,75% Tidak Tahu macam cara pedagang lakukan. Salah
Punggawa Pulau
satu diantaranya adalah mendekati
punggawa darat/pemodal untuk
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003 mendistribusikan bahan bom.
Diantar
34,69%
16
Diagram 3.6 Prosentase Cara Memperoleh Bahan Pendukung Pembom
Disediakan
54,93% Diantar
5,99%
28,52%
Beli Langsung
9,15% 1,41%
Ambil Sendiri Tidak Tahu
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
pelanggar tersebut, akan tetapi nelayan justru banyak yang mengeluhkan perilaku aparat yang sering
melakukan pungutan-pungutan liar saat nelayan bersandar di daratan utama atau pada waktu melakukan
kunjungan mendadak di pulau lokasi asal pelaku.
17
3.3 Organisme Target
O rganisme target PITRaL dengan pemboman ini bervariasi. Variasi jenis tangkapan ini disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain musim dan lokasi tangkapan, daya jangkau sarana penangkapan, alat tangkap
yang digunakan serta harga dan permintaan pasar terhadap jenis ikan tertentu. Keragaman hasil tangkapan
nelayan baik jenis maupun volume menyulitkan dalam mengindikasi adanya praktek PITRaL. Kesulitan timbul
jika faktor-faktor yang berpengaruh tidak berhubungan antara jenis dan volume organisme target tertentu
yang ditangkap dengan PITRaL. Untuk itu dilakukan karakterisasi dengan mengelompokkan target organisme
ke dalam kelompok-kelompok yang memungkinkan organisme target PITRaL dapat dikenali.
Menurut survei, sebagian besar organisme yang menjadi target pemboman di kepulauan Spermonde adalah
jenis vertebrata laut, baik yang berada di sekitar perairan pantai, di daerah terumbu karang maupun di
perairan laut lepas. Hal tersebut memungkinkan untuk dilakukan karakterisasi berdasarkan kelompok pelagis
dan demersal. Pengelompokan juga dapat dilakukan berdasarkan kategori lokasi, yakni kategori perairan
pantai, terumbu karang, tubir dan perairan lepas.
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
18
Dari famili-famili tersebut, jenis ikan
target kelompok demersal yang
dominan adalah kakap merah
(Lutjanidae spp), Baronang (Syganus
spp), Kakap (Lutjanus spp), Kerapu
(Ephinephelus spp) dan Sunu
(Chepalopolis spp). Jenis tersebut
biasanya hidup di sekitar terumbu
karang dan di perairan dangkal
sekitar pantai, sehingga sering
menjadi spesies target utama
nelayan. Sedangkan kelompok ikan Diagram 3.8 Prosentase Frekuensi Spesies Dominan Hasil PITRaL Pemboman
pelagis yang dominan menjadi target
tangkapan yaitu Banyara (Rastraliger
spp), Layang (Decapterus spp), Teri Banyara
13% 25%
Lemuru (Caranx spp), Cakalang Layang
13%
(Euthynnus spp), Sardin (Stolephorus
spp), dan Tenggiri (Scomberomorus
spp). Kelompok pelagis hidup secara
bergerombol sehingga memudahkan
untuk ditangkap dengan 21%
Kakap Merah 28%
menggunakan bom ikan. Bom Ekor Kuning
tersebut diledakkan dalam perairan
dengan kedalaman tertentu sebelum Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
sampai ke dasar perairan
Secara umum presentasi jumlah tangkapan nelayan asal Spermonde dari kelompok ikan pelagis masih lebih
besar dibandingkan dengan kelompok demersal disemua lokasi penangkapan yang teridentifikasi (lihat
pembahasan lokasi penangkapan). Begitu pula dalam kawasan Spermonde sendiri, prosentase jenis spesies
kelompok pelagis lebih besar dibanding dengan ikan-ikan kelompok demersal (Diagram 3.8).
Diagram 3.9 (a) Perbandingan prosentase frekuensi kemunculan spesies yang ditangkap dengan bom untuk kelompok ikan pelagis
dan kelompok demersal diseluruh lokasi tangkapan; (b) Perbandingan prosentase kemunculan jenis tangkapan nelayan asal
Spermonde untuk kelompok ikan pelagis dan kelompok demersal dalam kawasan Spermonde.
(a) (b)
Domersal
39% 44%
STATUS KEGIATAN PEMBOMAN IKAN
Domersal
Pelagis
61%
Pelagis 56%
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
19
3.3.2 Spesies dan Lokasi Tangkapan
Nelayan Spermonde tidak hanya menangkap di perairan Spermonde tetapi juga diluar kawasan Spermonde
seperti Kepulauan Masalima, wilayah perairan Kabupaten Majene dan Mamuju, perairan Provinsi Sulawesi
Tengah bahkan hingga di perairan Kalimantan. Untuk lokasi-lokasi yang menjadi daerah tangkapan nelayan
pembom didalam kepulauan Spermonde adalah perairan pulau TWAL Kapoposang dengan ikan hasil tangkapan
dominan adalah jenis ikan karang (demersal).
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spe rmonde, DFW Indonesia 2003
Tabel. 3.6 Daerah tangkapan utama nelayan pembom dalam wilayah kepulauan Spermonde
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 200
Diagram 3.10 Prosentase Frekuensi Jenis Hasil Tangkapan Nelayan Pembom di Kepulauan Spermonde
Banyara Banyara
40% 22% Baronang
Lain-lain Lain-lain 7%
14% 7%
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
20
3.3.3 Spesies dan Volume Tangkapan
Produksi total ikan laut Sulawesi Selatan berdasarkan data tahun 1991 dan 1993, yang dilaporkan oleh Fox
(1993) dalam Suharsono, Dkk. (2000) adalah sekitar 233.396 ton untuk tahun 1991 dan sekitar 241.059 ton pada
tahun 1993. Di Kepulauan Spermonde menurut laporan dari Pet-Soede dan Erdmann (1999), disebutkan bahwa
hampir 10 % sampai 40 % produksi tangkapan nelayan menggunakan bom dengan luas area tangkapan sekitar
16000 km2 berada diatas terumbu karang. Jika Spermonde menyumbang setengah dari seluruh produksi
perikanan Sulsel atau sebesar 116.698 ton, maka sekitar 11.669,8 ton sampai 46.679,2 ton per tahun.
Tabel 3.7 Volume Tangkapan Nelayan Pembom Pada Musim Puncak Untuk Jenis Ikan Dominan dalam Kg
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
Tabel 3.8 Volume Tangkapan Nelayan Pembom pada Musim Biasa untuk Jenis Ikan Dominan dalam Kg
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
21
3.4 Peralatan dan Material Pemboman
C ukup banyak alat dan material yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan pemboman di kepulauan
Spermonde. Ada yang statusnya merupakan peralatan dan perlengkapan utama, dan ada yang merupakan
sarana pendukung saja. Ada yang sifatnya tidak bisa tergantikan dan ada pula yang dapat disubstitusi dengan
berbagai alternatif lainnya.
Pembahasan peralatan dan material tentang pemboman dalam studi ini meliputi jenis dan spesifikasi alat
transportasi yang digunakan, alat tangkap dan alat bantu/pendukung yang digunakan, karakteristik alat dan
bahan bom, cara dan teknik merakit, cara dan teknik menggunakan di lapangan, asal usul alat dan bahan serta
gejala-gejala/ciri-ciri pembom.
Diagram 3.11 Prosentase Jenis Alat Transportasi Nelayan Pembom di Kepulauan Spermonde
Bagang
1.76% Sampan/Lepa-lepa
Jolloro
16.76%
27.43%
Perahu Mesin Tempel
3.78%
50.27%
Kapal motor
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
Spesifikasi jenis-jenis alat transportasi yang digunakan oleh nelayan pelaku pemboman dapat dilihat di tabel
di bawah ini :
Tabel 3.9 Spesifikasi Jenis Alat Transportasi dalam Kegiatan PITRaL Pemboman di Spermonde
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
22
Kapal motor adalah sarana transportasi yang umumnya dipunyai oleh nelayan pelaku pemboman yang
berskala besar. Kapal motor dilengkapi dengan palka yang dapat memuat es balok sampai ratusan buah.
Kekuatan mesin dan jumlah mesin yang digunakan, memungkinkan pelaku pemboman yang menggunakan
kapal motor sebagai alat transportasinya untuk melakukan penangkapan di lokasi yang jauh dari lokasi asal
pelaku, selain dilengkapi dengan peralatan navigasi diantaranya GPS dan peta serta alat deteksi ikan fish
finder. Dengan menggunakan kapal motor, pelaku pemboman dapat beroperasi sampai di luar kawasan
Spermonde seperti di perairan Kalimantan Selatan, perairan sekitar Pulau Ambo di perairan Mamuju dan
perairan kepulauan Masalima.
Kapal motor ini hanya dijumpai dominan pada beberapa pulau seperti pulau Gondong Bali (72 %), Pulau
Pandangan (11 %) dan Pulau Barrang lompo (11 %). Namun keberadaan kapal ini cukup bervariasi dalam
prosentase yang kecil pada pulau-pulau lain misalnya Pulau Kodingareng Lompo (4 %), Pulau Satangga (1 %)
dan pulau Tekolabbua (1%).
Diagram 3.12 Prosentase Jenis Kapal (Kapal Motor) Dominan berdasarkan Asal Responden
P. Kondongbali
72%
11%
P. Papandangan
4% 11% 1%
Kodingareng Lompo Pulau Satangga
Barrang Lompo 1%
Tekolabbua
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
- -
Jolloro (berarti memanjang dan cepat) termasuk sarana transportasi yang umum digunakan oleh pelaku
pemboman ikan. Ada juga nelayan pelaku pemboman yang menggunakan jolloro untuk melakukan
penangkapan di daerah yang jauh, tentu saja jolloro yang digunakan berukuran lebih besar. Sedangkan jolloro
yang berukuran biasa, umumnya digunakan di lokasi yang tidak terlalu jauh dari lokasi asal pelaku. Distribusi
kapal ini ditemukan dominan pada beberapa pulau termasuk Gondong Bali ( 60 %), pulau Barrang Lompo (15 %),
pulau Kodingareng Lompo (11 %), pulau Papandangan (11 %) dan sebagian kecil di pulau Balang Lompo (3 %).
Namun demikian, kapal ini dapat ditemukan hampir di seluruh pulau yang ada di Spermonde.
STATUS KEGIATAN PEMBOMAN IKAN
Diagram 3.13 Prosentase Jenis Kapal (Jolloro) Dominan berdasarkan Asal Responden
P. Kondongbali
60%
P. Papandangan
11%
3%
Balang Lompo
15%
11% Barrang Lompo
Kodingareng Lompo
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
23
Katinting termasuk jenis perahu mensin tempel
(outboard engine) termasuk sarana transportasi yang
sering digunakan oleh nelayan pelaku skala kecil.
Melihat kemampuan mesin penggerak yang relatif
kecil, maka kebanyakan dari kapal ini beroperasi di
perairan tidak jauh dari lokasi asal mereka. Pelaku
yang menggunakan perahu mesin tempel sebagai alat
transportasi tidak menggunakan kompresor dalam
penyelaman untuk mengumpulkan ikan. Hanya saja
alat selam dasar lain seperti masker tetap digunakan.
Nelayan pelaku pemboman yang menggunakan perahu
mesin tempel adalah nelayan pelaku yang berasal dari
pulau Kodingareng Lompo (64 %) dan pulau Jenis Kapal Motor (Mesin Tempel) yang Digunakan oleh
Papandangan (36 %). Nelayan PITRaL di Kepulauan Spermonde (Dok. DFW, 2003)
Diagram 3.14 Prosentase Jenis Kapal (Mesin Tempel) Dominan berdasarkan Asal Responden
Kodingareng Lompo
64%
36%
P. Papandangan
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
Lepa-lepa (sampan) termasuk sarana transportasi pendukung yang banyak digunakan oleh pelaku skala besar
yang mempunyai sarana transportasi kapal motor dan jolloro besar. Perahu ini tidak bermesin. Lepa-lepa
tidak digunakan sebagai alat transportasi ke lokasi penangkapan, akan tetapi digunakan pada proses
pemboman di laut. Lepa-lepa digunakan sebagai transportasi para pa'tula, pa'kaca dan pa'tunu dalam
mencari ikan dan membuang bom di lokasi penangkapan.
24
3.4.2 Alat Tangkap dan Alat Bantu/Pendukung
Nelayan pelaku pemboman di kepulauan Spermonde ada yang menggunakan bom sebagai alat utama dan ada
juga yang menggunakan bom bersama-sama dengan alat tangkap lainnya. Jenis dan prosentase alat tangkap
yang digunakan bersama dengan bom dapat dilihat pada Diagram berikut.
Diagram 3.15 Prosentase Penggunaan Alat Tangkap Ganda untuk Alat Tangkap Bom
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
Kalau memperhatikan cara mengunakan alat tangkap ganda yang dipakai maka beberapa alat tangkap seperti
bagang, rengge dan gae, menggunakan bom sebagai alat pendukung. Ketiga jenis alat tangkap tersebut
memiliki kesamaan dalam proses penangkapan ikan dilaut dimana ikan yang terlihat liar dan sulit diangkat
dengan jaring akan dilumpuhkan dengan menjatuhkan bom. Dengan demikian, fungsi bom adalah
melumpuhkan jenis-jenis ikan yang liar, sehingga kalau ditangkap hanya dengan menggunakan bagang, gae
atau rengge ikan tersebut mudah lolos. Nelayan yang menggunakan jenis alat tangkap seperti bubu, pancing
tonda, pancing ulur, trawl, pukat dan jaring merupakan alat alternatif menggunakan bom sebagai komplemen
bila alat-alat diatas tidak atau kurang menghasilkan.
Alat bantu atau pendukung yang biasa digunakan oleh pelaku skala besar (kapal motor dan Jolloro besar)
seperti alat selam dasar seperti masker dan kompressor. Namun, bagi nelayan skala kecil cukup dengan
menggunakan masker untuk mengumpul ikan hasil pemboman. Palka pada kapal motor dan jolloro besar atau
peti pada perahu mesin tempel, dilengkapi es balok pada waktu nelayan pergi menangkap. Alat pendukung
tersebut digunakan sebagai tempat menyimpan dan mengawetkan ikan hasil tangkapan. Sedangkan jerigen,
umumnya digunakan sebagai kemasan alat bom (Diagram 3.16).
Bom
Peti 12,69%
STATUS KEGIATAN PEMBOMAN IKAN
6,63%
GPS
Box 5,68%
2,08%
Fish Finder
Es Balok 6,06%
10,23%
Kompressor
16,29%
Jerigen/Botol
6,25%
Alat Selam
Palka
14,77%
Lainnya 7,58%
0,19%
Basket
Sirkulasi Air
Pompa Hisap 0,19% 8,33%
0,19% Pompa
Penyemprot
0,57% 2,27%
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
25
3.4.3 Karakteristik Alat dan Bahan Bom
1. Bubuk bom
Bubuk bom yang digunakan sekarang ini adalah pupuk kelapa sawit. Bungkus luar pupuk ini berwarna kuning.
Pada kemasan luar pupuk tersebut bertuliskan “made in Japan, assembled in Singapura ”. Ada juga
bertuliskan “made in Perancis” yang bermerk “Matahari”. Butiran pupuknya berwarna putih, seperti pupuk
urea atau berwarna seperti mutiara. Butirannya halus dan sangat kecil. Kalau sudah dicampur dengan minyak
tanah, butiran pupuk akan mengembang dan berwarna agak kekuning-kuningan.
2. Detonator
Jenis detonator yang dipakai adalah detonator yang polos, tidak ada pembungkus dan bertipe 66 dan 88.
Detonator umumnya dibeli dalam bentuk kotak dan dalam satu kotak berisi 100 biji detonator. Dibungkus luar
kotak detonator bertuliskan “made in India”, ada juga yang bertuliskan “made in Korea”. Jenis detonator ini
berbeda dengan jenis detonator yang dimiliki oleh negara (mempunyai kabel serta pembungkus khusus)--oleh
masyarakat disebut detonator jenggot. Jenis detonator ini “jarang” digunakan oleh nelayan. Apabila pemicu
atau detonator tidak ditemukan, maka pelaku membuat pemicu dengan menggunakan bahan dari sabut kelapa
yang direndam dengan solar yang telah dicampur dengan belerang. Namun praktek ini tidak umum dilakukan
di kepulauan Spermonde, mengingat masih cukup mudah mendapatkan detonator.
3. Sumbu
Ukurannya sebesar lobang detonator dan dibeli per meter. Panjang sumbu pada alat bom, disesuaikan dengan
kedalaman dimana ikan berada. Umumnya panjang sumbu adalah 12 cm, 7 cm, 5 cm, 3 cm dan 2 cm. Ukuran
sumbu yang lebih pendek umumnya digunakan untuk jenis ikan terapung dan daerah yang lebih dangkal,
sedangkan sumbu yang lebih panjang digunakan untuk jenis ikan dasar dan daerah yang lebih dalam.
4. Minyak Tanah
Minyak tanah digunakan sebagai campuran pupuk sebagai bubuk bom. Kegunaannya adalah untuk
mempercepat dan memperkuat hentakan ledakan. Selain minyak tanah, ada juga yang menggunakan bensin
dan solar (substitusional) sebagai campuran pupuk.
5. Laddo (Pemberat)
Laddo terbuat dari potongan besi yang panjangnya 3-5 cm dengan rata-rata berat 1 ons per biji. Laddo
digunakan khusus pada alat bom yang menggunakan kemasan jerigen. Sedangkan pada kemasan botol tidak
digunakan. Selain potongan besi, nelayan pelaku pemboman biasa juga menggunakan kerikil (substitusional)
ke dalam jerigen sebagai pemberat.
6. Kemasan alat
Kemasan alat yang digunakan pada umumnya adalah jerigen dengan volume 5 liter, 2 liter, 1 liter dan botol
dari kaca yang biasanya botol minuman. Volume botol minuman ini bervariasi antara 250 ml 720 ml.
26
7. Kayu Pa'paca
Kayu pa'paca terbuat dari kayu seppu atau kayu lainnya yang keras dan kuat. Ada dua jenis kayu pa'paca yang
digunakan yaitu (1) Kayu pa'paca yang panjangnya 20-30 cm, digunakan untuk memadatkan pupuk yang
dimasukkan dalam kemasan; dan (2) Kayu pa'paca yang panjangnya kurang lebih 7 cm, digunakan untuk
melobangi penutup jerigen yang nantinya sebagai tempat pemasangan detonator dan sumbu.
8. Tomba (pelampung jaring)
Tomba yang biasanya terbuat dari karet sandal dibentuk sesuai dengan mulut jerigen atau botol dengan
menggunakan alat pemotong dan digunakan sebagai penutup kemasan. Tomba dilobangi sebagai tempat
dipasangnya detonator yang lengkap dengan sumbunya.
9. Kantong plastik
Kantong plastik digunakan untuk membungkus penutup kemasan (tomba). Kantong plastik digunakan untuk
mencegah air masuk kedalam kemasan bom rakitan.
10. Kertas jempol
Biasanya menggunakan jempol rokok. Digunakan untuk membungkus sumbu yang akan dimasukkan ke lobang
detonator.
11. Ju'ju
Ju'ju digunakan untuk memindahkan bara api ke sumbu alat. Ini dilakukan dengan merapatkan ju'ju ke sumbu
sambil meniupnya. Ju'ju umunya terbuat dari lembaran sabut kelapa yang disusun membentuk tali ju'ju.
Pada kondisi tertentu dapat menggunakan obat nyamuk atau rokok (substitusional). Setelah ju'ju dibakar
dengan korek api, didekatkan ke sumbu dan ditiup sampai sumbu terbakar (membara). Setelah sumbu
membara maka alat segera dilemparkan.
Pengetahuan tentang cara dan teknik merakit bom di kepulauan Spermonde cukup bervariasi.
Jika disimpulkan maka berikut adalah teknik perakitannya secara umum :
1. Bahan bubuk bom dicampur dengan minyak tanah atau substitusinya. Perbandingan campuran bervariasi.
Untuk 1 karung pupuk (25 kg), di campur dengan minyak tanah > 2 - 7 liter. Atau 10 liter pupuk dengan 1-
1,5 liter minyak tanah. Kemudiian campuran dikeringkan selama 12 jam atau hingga 2 hari tergantung
pada volume campuran. Jika kondisi cuaca jelek untuk penjemuran (hujan dan angin kencang), maka
kadar minyak tanah dikurangi (berkisar 1-2 liter/1 zak pupuk).
2. Setelah campuran siap, selanjutnya dikemas. Kemasan yang digunakan umumnya dari jerigen dan botol.
Jika menggunakan kemasan dari jerigen maka ditambahkan pemberat (laddo) kedalamnya. Jumlah
pemberat tergantung pada volume jerigen (12-20 biji untuk volume 5 liter, 5-10 biji untuk volume 2 liter
dan 4 biji untuk volume 1 liter). Pemberat untuk jerigen adalah 1/3 bagian jerigen sedangkan untuk
STATUS KEGIATAN PEMBOMAN IKAN
27
KOTAK 3.1
Mekanisme Kerja Pemboman Ikan
Dengan menggunakan alat bantu navigasi, nelayan menuju
lokasi penangkapan dan melakukan prosesi ritual tertentu
sebelum melakukan aktivitas. Para ABK kapal masing-masing
Patula, Patunu, dan Pabise pada posisinya. Perintah
membakar dan membuang bom ditentukan oleh Patula yang
mengetahui kondisi ikan dibawah kolom air. Setelah bom
dijatuhkan, posisi lepa-lepa Patula menjauh, dan proses
pengumpulan ikan dilanjutkan oleh awak kapal yang lainnya
seperti Paselang dan Pajama Irate.
Pembakaran dan pembuangan bom diistilahkan dengan pa'tunu. Ada beberapa pertimbangan dalam
penggunaan bom di laut sebagai berikut :
1. Panjang sumbu ditentukan oleh jarak target (vertikal dan horizontal). Panjang sumbu tidak begitu
berhubungan dengan volume bom, namun untuk volume yang besar, panjang sumbu juga lebih besar.
Pada laut yang agak dalam, alat dapat dibuang kebawah, sedangkan pada laut yang lebih dangkal, alat
dibuang kesamping. Bahkan untuk memastikan bom meledak pada kedalaman yang diinginkan, ada
pelaku pembom mengikat alat bom dengan tali yang telah disesuaikan panjangnya.
Untuk memperoleh jenis ikan tertentu (ikan yang terapung bahasa nelayan) biasanya bom dilempar dari
jarak 3-5 meter dengan panjang sumbu ± 2 cm (volume kecil). Kalau ikan dasar, umumnya dilempar 3
meter kesamping dengan panjang sumbu 5-10 cm.
20 6 - 10 5-10
10 4 -5 5-10
5 3 1-5
1 2 1-2
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
Catatan: Kisaran panjang sumbu tersebut tidak tetap, disesuaikan juga dengan jarak antara lepa -lepa dengan target
ikan. Volume bom tidak berhubungan dengan jarak target, tapi dengan kisaran panjang sumbu.
28
Aktifitas Pemboman yang Dilakukan oleh Nelayan PITRaL di
Kepulauan Spermonde (Dok. DFW, 2003)
Penggunaan lampu sebagai alat bantu dalam pemboman pada kapal motor, memiliki kesamaan proses
melakukan pemboman di bagang. Proses penangkapan ikan di bagang dimulai dengan menurunkan jaring ke
bawah yang melingkari bagang. Setelah itu, nelayan menyalakan 8-15 lampu gas (lampu listrik) yang dipasang
teratur di samping kanan dan kiri perahu. Setelah itu, nelayan menunggu sampai adanya ikan yang berkumpul
di bawah perahu. Setelah nelayan memperkirakan sudah banyak ikan, beberapa lampu dimatikan, sehingga
lampu tinggal 1-2 buah dan lampu tersebut ditutup dengan penutup khusus yang telah disediakan oleh
nelayan, sehingga cahaya lampu terfokus ke arah bawah. Hal itu menyebabkan terkonsentrasinya ikan
dibawah lampu. Selanjutnya, jaring bagang ditarik perlahan-lahan dan bom disiapkan. Pada saat bom
dijatuhkan dan meledak, jaring bagang secepatnya ditarik dan ikan-ikan yang terkena bom terjaring.
Pada umumnya nelayan mengatakan bahwa pupuk, detonator dan sumbu secara paket didatangkan dari
Malasyia. Walaupun demikian, berdasarkan keterangan nelayan bahwa pada pembungkus luar dari pupuk
tersebut bertuliskan “made in Japan, assembly Singapura”, ada juga yang bertuliskan “made in France”, maka
jelas bahwa pupuk yang bercap/merk “MATAHARI” diproduksi di Jepang, Singapura dan Perancis.
Sedangkan detonator tipe 66 dan 88 yang dipakai oleh nelayan, berdasarkan keterangan nelayan pada luar
kotak bertuliskan “made in India”, ada juga yang bertuliskan “made in Korea”. Hal ini menunjukkan bahwa
detonator yang digunakan oleh nelayan diproduksi di India dan Korea.
Berdasarkan informasi yang didapatkan, bahan dan material bom ini diperkirakan masuk ke Indonesia melalui
distributor di Tawau - Malaysia ke Tarakan - Kalimantan Timur dan Wanci (Wangi-wangi) - Sulawesi Tenggara.
Lalu dari sana disalurkan lagi ke beberapa kota-kota utama misalnya kota Pare-pare, Kendari, Ambon, Bone
dan Makassar.
STATUS KEGIATAN PEMBOMAN IKAN
29
3.4.7 Gejala dan Indikasi Pemboman
Mengenali secara visual tentang gejala/indikasi pelaku pemboman, harus memperhatikan beberapa hal.
Pertama adalah model alat transportasi yang digunakan, kapal motor dan jolloro besar umumnya memiliki
lambung kapal yang agak lebar. Hal itu dirancang khusus untuk membuat palca/bak untuk menyimpan es
balok dan hasil tangkapan. Pada nelayan yang menggunakan kapal motor memuat 100-300 es balok pada
waktu melakukan operasi penangkapan dan pada jolloro biasa memuat 10-20 es balok. Kemudian pada kapal
motor dan jolloro besar, biasanya membawa lepa-lepa sebagai alat transportasi pa'tula di lokasi penangkapan.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya kompressor dan alat selam dasar seperti masker. Keberadaan
alat ini menunjukkan bahwa ada kegiatan penyelaman yang dilakukan oleh nelayan tersebut pada proses
penangkapan ikan di laut. Kalau hal-hal diatas ditemukan pada suatu kapal yang akan melaut, maka nelayan-
nelayan tersebut dapat diindikasikan sebagai pelaku pemboman.
Untuk memperjelas indikasi bahwa pelaku tersebut adalah pelaku pemboman, maka perhatikan alat bantu
yang lain seperti jerigen volume 1-5 liter dan botol-botol minuman yang terbuat dari kaca. Kalau kemasan-
kemasan tersebut, ditemukan kosong dalam jumlah yang cukup di suatu kapal, maka tidak dapat dibantah lagi
bahwa nelayan yang menggunakan kapal tersebut adalah nelayan pelaku pemboman.
30
3.5 Pemasaran
TPI/PPI
27.8%
Ponggawa Pulau Lainnya
14.5% 0.6%
Di laut
5.2%
Pabalolang
16.9%
Pasar Lokal
32.2% 0.6%
Ponggawa Darat
2.0% 0.3%
Pedagang Pengusaha
pengumpul
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
Terdapat 7 (tujuh) lokasi PPI/TPI yang menjadi tempat pendaratan dan penjualan ikan hasil pengeboman dari
kepulauan Spermonde, antara lain : TPI Paotere dan TPI Rajawali di kota Makassar, TPI Beba di kabupaten
Takalar, TPI Panaikang di kabupaten Maros, TPI Kalebone di kabupaten Pangkep, TPI Pancana, PPI Bottoe dan
TPI Sumpang Binangae di kabupaten Barru.
Ikan-ikan hasil tangkapan nelayan yang diperdagangkan di TPI/PPI setempat tidak sepenuhnya berasal dari
lokasi tangkapan disekitar TPI/PPI berada. Misalnya di TPI Beba di Takalar, ikan-ikan hasil kegiatan
pengeboman juga banyak berasal dari praktek penangkapan di kepulauan Sembilan, kabupaten Sinjai dan
sekitar pulau-pulau di kabupaten Selayar. Demikian pula pada beberapa TPI/PPI di Makassar, ikan-ikan yang
STATUS KEGIATAN PEMBOMAN IKAN
masuk berasal dari berbagai wilayah, yang ada disekitar kota Makassar. Diantaranya adalah berasal dari
kepulauan yang ada di Makassar, kepulauan di Pangkep, Maros, Selayar, Sinjai, Bulukumba, majene, Mamuju,
Jeneponto, Takalar, Kendari, bahkan kabupaten Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Kolonedale (Poso, propinsi
Sulawesi Tengah).
Hasil studi yang dilakukan menujukkan bahwa TPI Rajawali dan TPI Poatere di Makassar merupakan TPI yang
paling besar menampung volume hasil tangkapan ikan, termasuk yang ditangkap melalui dengan pemboman.
Fakta ini dikuatkan dari presentase lokasi-lokasi asal pa'balolang dan lokasi domisili punggawa darat sebagai
pembeli ikan antara sebelum dilempar ke TPI/PPI. Selanjutnya, hasil studi juga menunjukan bahwa
Pabbalolang yang melakukan pembelian ikan di perairan pantai Kabupten Takalar dan Kabupaten Pangkep,
umumnya akan melakukan menjual kembali ikan hasil pembeliannya di TPI Rajawali dan TPI Poatere. Alasan
yang mendasari hal tersebut karena kedua TPI merupakan tempat pendaratan dan penjualan ikan yang
tersebar yang ada di Sulawesi Selatan dengan manajemen dan fasilitas yang lebih bagus, serta struktur harga
ikan yang lebih terjamin dari lokasi lokasi-lokasi lainnya PPI/TPI lain. (Peta No. 03)
Pada beberapa TPI/PPI yang berada di luar kota Makassar misalnya seperti TPI/PPI Sumpang Binangae Kab.
Barru hanya merupakan tempat persinggahan ikan sebelum di bawa ke TPI/PPI yang berada di kota Makassar.
Ikan - ikan yang berasal dari TPI/PPI ini dibawa ke kota Makassar melalui sistem kepunggawaan, dimana para
Punggawa yang bertindak sebagai pengumpul lansung membawa ikan hasil tangkapan nelayan sawi-nya ke
31
kota Makassar. Umumnya ikan-ikan yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi akan langsung dipasarkan ke
Makassar melalui Punggawa, sedangkan ikan-ikan jenis lainnya dipasarkan secara lokal dan hanya untuk
memenuhi kebutuhan domestik. Selain itu, sistem yang berkembang di TPI/PPI di kota-kota kabupaten seperti
Barru dan Pangkep masih belum berjalan sebagaimana layaknya TPI/PPI. Sistem pelelangan TPI/PPI yang ada
kebanyakan berfungsi hanya sebagai tempat pendaratan ikan ataupun tempat pangkalan kapal-kapal nelayan
serta menjadi semacam pasar ikan.
Jika diurutkan secara sistematis, maka kegiatan pemasaran hasil tangkapan yang dilakukan oleh nelayan atau
kelompok nelayan hingga sampai ke tangan konsumen dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu Pelaku
Pengumpul / Pengangkut dan Pelaku Pemasaran.
32
Grafik 3.1 Daerah Domisili Asal Pa’balolang dan Punggawa Darat
Pa’balolang
Punggawa Darat
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
Punggawa Pulau yang kita kenal merupakan seorang pemilik modal yang berada di darat, baik di pulau ataupun
di daratan seperti kota Makassar, atau kota Kabupaten lainnya. Seorang Punggawa Pulau atau Punggawa
memberikan segala fasilitas guna melakukan aktifitas penangkapan ikan kepada para sawi. Istilah Sawi
merupakan orang atau kelompok orang yang menjadi penerima modal atau yang menjalankan kegiatan
penangkapan ikan yang dimodali oleh Punggawa. Seorang punggawa tidak selamanya adalah orang yang
menyediakan segala kebutuhan sawi-nya. Seorang Punggawa bisa saja hanya menyediakan alat tangkap
seperti jaring trawl, ataupun mesin kapal, sedangkan kapalnya merupakan milik sawi-nya. Dalam hal
demikian ini sistem pemasaran dari seorang sawi tidak lagi mempunyai kewajiban yang ketat untuk menjual
hasil tangkapannya ke Punggawa. Antara Punggawa dan Sawi-nya akan terjadi pembagian keuntungan dari
hasil penjualan ikan dengan rasio yang telah disepakati. Kejadian seperti ini jarang terjadi diantara Punggawa
dan para Sawi. Untuk mengontrol modal yang telah diberikan, seorang sawi wajib menyetorkan hasil
tangkapannya ke Punggawa. Pada Punggawa yang berperan ganda yaitu sebagai Punggawa Pulau dan juga
sebagai Punggawa Kapal, akan mempunyai kontrol yang mutlak bagi pemasaran hasil tangkapannya. Para
Punggawa Pulau kadang juga mempunyai armada tersendiri yang membawa ikan yang telah terkumpul ke
TPI/PPI atau ke pengumpul selanjutnya ataupun langsung ke pengusaha.
(2) Pa'balolang
Pa'balolang (istilah lokal) adalah pihak yang secara khusus mengangkut hasil tangkapan yang selanjutnya
dijual pada target-target pasar. Pa'balolang mempunyai ciri khusus pada bentuk kapalnya yang berbeda
dengan kapal motor lainnya, dan mempunyai kecepatan atau laju yang tinggi. Biasanya transaksi jual beli
yang dilakukan antara pa'balolang dan nelayan penangkap terjadi di laut atau tempat-tempat tertentu di
STATUS KEGIATAN PEMBOMAN IKAN
tengah laut. Pa'balolang mendatangi kapal yang digunakan nelayan atau tempat-tempat khusus di pulau yang
biasanya tidak diketahui banyak orang dan sengaja dirahasiakan. Pa'balolang selain menyalurkan hasil
tangkapan nelayan langsung ke PPI/TPI juga ada yang ke Punggawa Darat
Pa'balolang sebagai pelaku pemasaran merupakan rantai pertama di dalam mekanisme perdagangan di
TPI/PPI. Para Pa'balolang menyalurkan hasilnya ke TPI melalui papalele atau Punggawa Darat yang ada di TPI.
Antara Pa'balolang dan Papalele ada yang mempunyai hubungan terikat dan adapula yang bebas. Pa'balolang
yang terikat pada satu Papalele harus menjual hasilnya kepada Papalele tertentu karena adanya hubungan
bisnis, seprti misalnya karena pemberian modal, fasilitas, dan sebagainya kepada Pa'balolang. Sedangkan
Pa'balolang yang bebas, dapat menyalurkan kemudian ikannya kepada Papalele siapa saja.
33
3.5.1.2.2. Pelaku Pemasaran
Pelaku pemasaran adalah pihak yang berperan untuk memasarkan hasil tangkapan nelayan selanjutnya dari
para Pengumpul/Pengangkut. Para pelaku pemasaran menyalurkan ikan untuk kebutuhan lokal atau domestik,
maupun untuk ekspor. Dalam alur pemasaran ikan yang umum terjadi di Spermonde, pelaku pemasaran
sedikitnya diperankan oleh enam pihak. Kelima pelaku ini umumnya berada di TPI/PPI sebagai tempat
pemasaran utama. Para pelaku pemasaran ini, yaitu (1) Pa'balolang (2) Papalele (3) Paccato, (4) Pembeli
Partai Besar (5) Pengusaha/Eksportir (6) Pagandeng.
(1) Pa'palele/Punggawa Pengumpul Darat
Papalele atau Punggawa Pengumpul Darat yang berada di PPI adalah orang yang dapat mengatur atau
mengelola/memfasilitasi nelayan, sejak awal pemberangkatan, penjualan hasil tangkapan sampai dengan
penyerahan hasil penjualan ikan kepada nelayan. Punggawa yang memberikan fasilitas kepada nelayan
berupa kapal, modal produksi dan operasi juga kebutuhan keluarga. Fasilitas yang diberikan kepada nelayan
dianggap sebagai pinjaman oleh Punggawa, sehingga hasil yang diperoleh nelayan (setelah penjualan hasil)
akan dipotong sebanyak 5 10 % sesuai besarnya pinjaman. Hal ini berarti bahwa semakin banyak jumlah
pinjaman nelayan, maka prosentase potongan juga banyak. Punggawa juga akan mengeluarkan biaya-biaya
untuk penjaminan apabila terdapat anggota yang tertangkap. Pengeluaran Punggawa ini akan dihitung
sebagai pinjaman bagi nelayan.
Punggawa di PPI mempunyai 5 - 7 orang anggota yang bertugas menjemput ikan (yang berada di atas kapal),
mengantarnya hingga ke pelataran PPI dan menjual ikan. Hasil yang dibawa oleh nelayan menjadi kewajiban
Punggawa untuk mengangkutnya ke PPI. Dari hasil wawancara secara semi terstruktur dengan pelaku, ikan-
ikan yang akan dijual dinegosiasikan terlebih dahulu dengan Pagandeng (penjaja ikan) termasuk Paccato
dengan tawaran harga yang relatif rendah (karena akan dijual kembali). Harga tersebut akan digantung
sementara oleh Punggawa sembari menunggu calon pembeli yang memberikan penawaran harga yang tinggi.
Apabila ikan tidak terjual (pukul 10 - 11 pagi), maka Punggawa akan menawarkan kembali kepada Pagandeng
dan Paccato sesuai harga penawaran sebelumnya.
Secara struktural, Punggawa itu terdiri dari (1) Ketua (yang disebut sebagai Punggawa), (2) Sekretaris
(pencatat) dan (3) Anggota. Tugas Punggawa adalah mengatur harga ikan dan mengawasi kerja-kerja anggota.
Tugas Sekretaris adalah (a) mencatat jumlah ikan yang telah diangkut, (b) mencatat semua jenis ikan, baik
yang telah terjual maupun yang belum terjual dan (c) melaporkan hasil penjualan kepada Punggawa.
Sementara Anggota bertugas untuk (a) mengangkut ikan dari kapal ke PPI dan (b) membantu Sekretaris
memasarkan ikan.
Pendapatan dari setiap unsur dalam sistem Ke-punggawa-an ditentukan atas dasar besarnya harga jual dari
hasil tangkapan. Pola pembagian hasil diatur dengan cara penghitungan jumlah hasil, yaitu 16 keranjang yang
diangkut maka akan dikeluarkan 1 keranjang untuk komponen biaya yang telah dikeluarkan. Apabila jenis
ikannya berukuran besar, maka setiap 15 ekor akan dikeluarkan 1 ekor untuk komponen biaya yang telah
dikeluarkan.
Proses pembayaran untuk nelayan dilakukan setelah semua ikan telah dijual. Proses pembayaran disertai
dengan catatan penjualan harian dari Sekretaris termasuk pemotongan biaya es, retribusi, potongan
34
Sebenarnya ada juga Paccato yang langsung membayar harga ikan apabila Paccato memiliki modal tetap dan
langganan yang permanen (biasanya hanya diberlakukan untuk jenis ikan tertentu, seperti Baronang dan
Cepa).
Paccato kadang tidak berlaku jujur kepada nelayan apabila hasil penjualan ikan tidak memberikan
keuntungan yang besar. Pada kondisi seperti ini, Paccato sering minta kompensasi kepada nelayan (karena
menganggap dirinya telah mengeluarkan energi untuk menjual ikan), seperti uang untuk membeli rokok,
ongkos transpor dan lain-lain. Dalam proses penjualan ikan, nelayan tidak pernah mengawasi Paccato, karena
dianggap telah ada kesepakatan awal mengenai harga.
(3) Pembeli Partai Besar
Pembeli partai besar adalah pelaku pasar yang ada di darat. Mereka termasuk pelaku pasar yang yang
memiliki modal dan membeli hasil tangkapan nelayan berupa ikan dan sebagainya dalam jumlah besar. Ikan
tersebut dibeli selain dari langganannya yang merupakan pa'balolang, pacato maupun papalele. Umumnya
ikan yang dibeli selain dijual pada para pengecer yang langsung ke konsumen, juga ada yang dibawa ke daerah
lain, seperti pasar-pasar besar ataupun ke perusahaan pengolahan atau eksportir ikan.
(4) Pengusaha
Pengusaha adalah pihak yang telah memiliki badan hukum, seperti perusahaan dengan beberapa kualifikasi
(CV, Usaha Dagang dan PT). Perusahaan-perusahan ekspor perikanan bertempat di sekitar PPI. Perusahaan-
perusahaan yang berkualifikasi rendah (seperti CV) akan menjalin kemitraan dengan perusahaan yang
berkualifikasi lebih tinggi. Biasanya pengusaha (khusus yang berkualifikasi CV) mempekerjakan 5 - 7 orang,
dimana masing-masing mempunyai tugas yang spesifik seperti pencatat ukuran (sortir ukuran dan jenis ikan),
tukang timbang serta pengantar dan penjemput ikan.
Sebelum dilakukan pengepakan untuk ekspor, produk ekspor dinilai dan diverifikasi oleh petugas Karantina
ikan (salah satu jawatan milik Pemerintah). Status produk ekpor akan diketahui (diterima atau ditolak)
setelah ada hasil dari Karantina Ikan. Hasil verifikasi dari Balai Karantina Ikan merupakan salah satu syarat
ikan atau produk perikanan lainnya untuk layak diekspor.
(5) Pagandeng/Pengecer
Pagandeng adalah mereka yang membeli ikan pada papalele ataupun pada pacato. Pagandeng umumnya
menjual langsung ikan tersebut pada konsumen akhir seperti ibu-ibu rumah tangga. Istilah pengecer
fungsinya hampir sama dengan pagandeng.
Pagandeng umumnya menjajakan hasil atau ikannnya langsung ke konsumen dengan berkeliling kampung
ataupun perumahan dengan menggunakan sepeda atau motor, sedangkan Pengecer adalah mereka yang
menjual ikannya dengan menggelar jualannya di pasar-pasar ataupun tempat transaksi lainnya.
Harga ikan baik hasil pemboman maupun yang bukan sangat bervariasi antara satu pasar dengan pasar lainnya.
Harga ini sangat ditentukan oleh mekanisme pasar dan oleh tingkat penawaran dan suplai. Harga ikan
meningkat dari tingkat produsen ataupun nelayan hingga tingkatan pemasaran berikutnya, seperti
STATUS KEGIATAN PEMBOMAN IKAN
pa'balolang, papalele, hingga sampai ke pagandeng/pengecer. Terdapat perbedaan harga yang nyata antara
kelompok pembeli tersebut (f=12,2, p= .000).
Komposisi harga umumnya ditentukan oleh mekanisme pasar dimana banyaknya jumlah ikan hasil tangkapan
nelayan, dan banyaknya jumlah hasil tangkapan nelayan sangat ditentukan oleh musim, selain itu juga
ditentukan oleh kondisi bulan, apakah bulan purnama ataukah bulan mati. Semakin banyak suplai ikan atau
hasil tangkapan nelayan, maka harga ikan semakin rendah atau murah, begitu pula sebaliknya.
Komposisi harga ikan juga ditentukan oleh alat yang digunakan dalam melakukan transaksi (ukuran volume
penjualan). Ukuran volume penjualan relatif sama untuk tipa daerah, hanya berbeda pada penyebutan atau
istilah lokal. Secara umum ukuran yang biasa digunakan adalah peti besar, peti kecil, box, keranjang rotan,
keranjang bambu, basket besar, basket kecil, bakul, gantang, dan gompo.
Tidak terdapat perbedaan signifikan terhadap harga ikan hasil bom atau bukan. Umumnya para pa'balolang
lebih senang membeli ikan hasil bom dari nelayan karena harganya sedikit lebih murah. Hal ini terkait dengan
jumlah ikan hasil bom umumnya dalam jumlah banyak dan cepat membusuk sehingga harus cepat terjual dan
ini mempengaruhi harga jual nelayan ke pa'balolang. Ikan yang masuk ke TPI/PPI kemudian akan mendapat
perlakuan harga pasar dan tidak membedakan apakah ikan tersebut hasil bom atau bukan. Semakin banyak
ikan hasil bom berakibat melimpahnya suplai ikan yang membuat harga turun.
35
Para konsumen ataupun pelaku pasar umumnya tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang kondisi
ikan yang mereka beli, selama masih segar maka ikan tersebut masih layak jual atau untuk dikonsumsi.
Mereka tidak mengetahui apakah ikan tersebut hasil dari bom atau bukan.
Harga dasar ikan akan semakin meningkat setiap kali berpindah tangan antar pelaku pasar. Konsumen terakhir
akan memperoleh harga paling tinggi, namun juga semakin mendekati konsumen akhir, pelaku pasar akan
mendapatkan untung yang semakin kecil karena biasanya pelaku pasar membeli ikan dengan volume/ukuran
besar dan menjualnya dengan volume/ukuran yang lebih kecil.
Tabel 3.11 Kisaran Harga Beberapa Jenis Ikan Hasil Pengeboman
Jenis ikan Harga (Rp.) Satuan Lokasi
Bambangan 10.000 – 15.000 kg PPI, kecuali langsung dari pengumpul sampai Rp.15.000
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
Nelayan pembom biasanya menjual ikan hasil tangkapannya di tengah laut kepada para pa'balolang yang
biasanya memang sudah saling mengenal dengan sistem timbangan Beberapa jenis ikan misalnya ikan sinrili'
dan ekor kuning selalu dibeli dari nelayan pembom. Dan umumnya para pedagang ikan (pang'es) lebih suka
membeli ikan hasil tangkapan dengan bom karena harganya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan ikan
hasil tangkapan dengan menggunakan alat lainnya.
Proses pembayaran bergantung seberapa cepat ikan terjual. Penyerahan pembagian untuk nelayan dilakukan
setelah semua ikan telah dijual. Proses pembayaran disertai dengan catatan penjualan harian dari Sekretaris
termasuk pemotongan biaya es, retribusi, potongan prosentase serta biaya berlabuh kapal.
Pembayaran langsung biasa diperlakukan kepada nelayan itu sendiri yaitu nelayan langsung membawa ikannya
dan skalanya relative lebih kecil. Sedangkan pembayaran tidak langsung adalah biasanya diperlakukan kepada
Punggawa-Punggawa yang tinggal di daerah-daerah yang rata-rata sudah berlangganan, dan sebelumnya telah
ada kesepakatan kedua belah pihak.
Pa'balolang ini kemudian membawa masuk ke TPI kepada para papalelenya (biasanya orang yang memberi
modal kepada para pa'balolang), setelah itu papalele tersebut kemudian memilah-milah untuk kemudian
dijual lagi dengan sistem timbangan atau sistem perbasket, biasanya ikan ini dibeli oleh para pembeli ikan
yang akan menjualnya lagi ke pasar ataupun langsung ke konsumen, namun tidak jarang ikan ini dibeli oleh
para pedagang yang akan menjualnya lagi ke TPI Kabupaten lain. Pedagang seperti ini biasanya menggunakan
mobil dengan pembelian partai besar diatas rata-rata 50 basket/satu kali transaksi. Mekanisme
pembayarannya biasanya dibayar tunai namun terkadang juga diutang dalam jangka waktu 1 - 2 hari saja
Sistem pembayaran yang diterapkan di Paccato adalah kesepakatan bersama setelah dilakukan negosiasi.
Paccato akan membayar harga ikan ke nelayan setelah ikan-ikan telah terjual habis. Sebenarnya ada juga
Paccato yang langsung membayar harga ikan apabila Paccato memiliki modal tetap dan langganan yang
permanen (biasanya hanya diberlakukan untuk jenis ikan tertentu, seperti Baronang dan Cepa).
Paccato kadang tidak berlaku jujur kepada nelayan apabila hasil penjualan ikan tidak memberikan
keuntungan yang besar. Dalam kondisi seperti ini, Paccato sering minta kompensasi kepada nelayan (karena
menganggap dirinya telah mengeluarkan energi untuk menjual ikan), seperti uang untuk membeli rokok,
36
ongkos transpor dan lain-lain. Dalam proses penjualan ikan, nelayan tidak pernah mengawasi Paccato, karena
dianggap telah ada kesepakatan awal mengenai harga.
Proses pembayaran harga ikan di PPI adalah tergantung cepat tidaknya ikan habis. Artinya setelah ikan terjual
habis baru uang hasil penjualan ikan diserahkan ke nelayan. Proses pembayaran ini disertai dengan catatan
penjualan harian dari tukang catat. Termasuk catatan pemotongan : biaya es, retribusi, potongan % serta
biaya berlabuh kapal.
Proses pembayarannya adalah setelah ikan ditimbang harga langsung bisa diterima, dan sering juga terjadi 1 -
2 hari paling lama. Menurut pengakuan mereka bahwa Punggawa/nelayan selama ini, cara pembayarannya
dapat dibagi 2 yaitu model pembayaran langsung dan tidak langsung.
Pendapatan dari setiap unsur dalam sistem Kepunggawaan ditentukan atas dasar besarnya harga jual dari hasil
tangkapan. Pola pembagian hasil diatur dengan cara penghitungan jumlah hasil, yaitu 16 keranjang yang
diangkut maka akan dikeluarkan 1 keranjang untuk komponen biaya yang telah dikeluarkan. Apabila jenis
ikannya berukuran besar, maka setiap 15 ekor akan dikeluarkan 1 ekor untuk komponen biaya yang telah
dikeluarkan.
Untuk peruntukan ekspor, segala biaya yang termasuk fasilitas pengiriman ditanggung oleh pembeli adalah
seperti pada tabel di bawah ini : Menurut sumber informasi dari Makasar mengenai harga, tidak disebutkan
harga akan tetapi gambaran yang diperoleh adalah harga penjualan 50 - 70% dari harga pembelian. Khusus
untuk ekspor ikan Napoleon harus mempunyai surat ijin pengiriman. Cara pembayaran pembelian adalah
melalui transaksi perbankan.
PA’BALOLANG
NELAYAN
PONGGAWA
PULAU
TPI/PPI
PEMBELI
PAPALELE
PACATO PARTAI BESAR
STATUS KEGIATAN PEMBOMAN IKAN
PAGANDENG/
PENGECER
KIMA/PASAR/
DAERAH LAIN
PAGANDENG/
KONSUMEN PENGECER
AKHIR
37
3.6 DAMPAK PITRaL
3.6.1. Spesies
Ikan-ikan yang ditangkap dengan metode pengeboman umumnya dapat dikenali berdasarkan kondisi
morfologisnya pada saat dijual di PPI. Ciri-ciri spesifiknya antara lain terdapat tulang-tulang yang patah
sehingga menonjol keluar, matanya berwarna merah, dan dagingnya menjadi sangat lunak. Namun mengingat
ukuran dan kondisi ikan yang dijual cukup beragam, sehingga untuk betul-betul bisa membedakan dengan
hasil ikan yang non-bom, diperlukan pengalaman dan latihan-latihan yang intensif. Para punggawa pulau,
punggawa darat, pacato, dan pedagang ikan (pang'es) yang telah memiliki pengalaman bertahun-tahun
biasanya dengan mudah mengenalinya.
Dari segi komposisi ikan jenis tertentu bisa pula dikenali bahwa ikan tersebut didapatkan dari hasil
pengeboman atau tidak. Ikan-ikan yang bergerombol yang aktif bergerak biasanya menjadi target
pengeboman. Sehingga apabila jenis ikan-ikan tersebut ditemukan dalam jumlah besar ketika didaratkan
oleh punggawa dan pedagang, bisa dipastikan merupakan hasil pengeboman.
Ketika dijual ke pasar, biasanya ikan-ikan yang ditangkap dengan menggunakan bom berharga lebih rendah
dari harga ikan-ikan sejenis yang diperoleh dengan cara-cara memancing, jaring atau non-bom lainnya.
Beberapa responden baik yang merupakan pelaku langsung maupun yang hanya informan pelaku dapat
mengetahui beberapa ciri fisik dari ikan yang diduga hasil pemboman. Ciri-ciri fisik ikan tersebut seperti sisik
yang rusak di beberapa bagian tubuh, tulang yang patah, mata rusak atau memutih, daging yang lembek, dan
beberapa ciri fisik lain yang sifatnya spesifik terjadi pada spesies tertentu.
Data menunjukkan bahwa kekuatan dan jarak ikan dari titik ledakan sangat menentukan efek yang
ditimbulkan oleh ledakan terhadap ikan. Selain itu, bobot/ukuran ikan juga sangat berpengaruh terhadap
besarnya efek yang timbul. Ikan S. canaliculatus yang ukurannya lebih kecil relatif lebih mudah mati
dibandingkan dengan S. javus, meskipun sama-sama dari kelompok ikan Signatus sp.
Ikan-ikan demersal nampak lebih rentan dari efek ledakan dibandingkan dengan ikan-ikan pelagis, meskipun
ikan-ikan demersal umumnya mempunyai gelembung renang yang besar contoh ikan Selaroides leptolepis
dibandingkan dengan ikan Signatus sp. Ikan yang masih hidup setelah ledakan mengalami kerusakan organ
dalam, sehingga ikan-ikan tersebut tidak berpeluang lagi untuk hidup lebih lama. Tingkat kerusakan dari
organ-organ dalam ikan-ikan tersebut sangat tergantung pada kekuatan ledakan dan jarak ikan dari pusat
ledakan.
Perlakuan Bom
Ciri Mata Mata memutih, sebagian merah, bengkak, hilang salah satunya
38
a b c
Gambar 3.2. Kondisi ikan hasil
pemboman; (a) T erjadi penggumpalan
darah di bawah tulang belakang; (b)
Organ dalam hancur , tulang rusuk dan
tulang belakang patah; (c) Gelembung
renang pecah, pembuluh darah vena
(caudal vein) di bawah tulang belakang
pecah; (d) Gelembung renang pecah,
penggumpalan darah pada rongga perut,
caudal vein pecah; (e) Gelembung renang
pecah/kempes, penggumpalan darah
pada rongga perut
d e
3.6.2. Ekologis
Kegiatan pengeboman, baik yang dilakukan di daerah terumbu karang maupun di dekat daerah terumbu
karang tentu saja akan merusak kondisi terumbu karang di lokasi tersebut. Setiap ledakan bom di daerah
terumbu karang menghasilkan dampak yang berbeda-beda tergantung ukuran dan kekuatan bom tersebut,
serta jaraknya dari kawasan terumbu karang.
Ta bel 3.13 Volume Bahan Peledak dan Luas Kerusakan pada Terumbu Karang
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
39
a d
Gambar 3.3. Kondisi Terumbu Karang (a)
Pada Pusat Ledakan; (b) Pada Sisi Ledakan;
(c) Kondisi Karang Setelah Ledakan; (d)
Patahan Karang
3.6.3. Ekonomis
Kegiatan praktek penangkapan ikan dengan menggunakan bom telah sekian lama berlangsung di kepulauan
Spermonde. Kegiatan penangkapan ikan secara umum maupun yang menggunakan bahan peledak sedikit
40
3.6.4. Sosial
Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom adalah kegiatan yang penuh dengan resiko. Resiko
tersebut dapat terlihat dari berbagai kasus yang terjadi. Kasus-kasus yang teridentifikasi berhubungan
dengan kegiatan pengeboman ikan umumnya dapat dibagi atas tiga bagian, yaitu kasus yang terkait dengan
kesehatan pelaku pengeboman di lapangan, kasus-kasus hukum yang terjadi, serta kasus-kasus sosial yang
terjadi di kepulauan Spermonde.
Berbagai Kasus
Berbagai kasus yang dikompilasi dipaparkan dalam tabel bawah. Tabel tersebut menggambarkan tiga kasus
besar yang terjadi di kepulauan Spermonde, masing-masing kesehatan, hukum dan sosial. Kasus kesehatan
antara lain beberapa orang meninggal, cacat badan, cacat setengah badan, tangan buntung. Kasus hukum
meliputi penangkapan pelaku oleh aparat, ada yang langsung dilepas dan ada pula yang divonis, serta
penyitaan kapal. Sementara secara sosial terjadi kesenjangan antar masyarakat, malah terdapat pelaku
pengeboman yang dihakimi masyarakat. Disamping itu muncul juga berbagai konflik antar masyarakat.
Tabel 15. Kasus-kasus yang pernah terjadi sehubungan dengan aktifitas PiTRal di Spermonde
P. Labbu tallua (Tanakeke takalar) Pembom dan Jolloro'nya disita Polres Mappakasunggu,
penyidikan di pengadilan Makassar Polsekta, bahkan ada yang
ditangkap lalu bebas karena ada sogokan
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
Kasus yang berhubungan dengan kesehatan berupa cacat, meninggal, hingga tangan buntung adalah kasus
yang terjadi ketika pelaku pengeboman melakukan kesalahan, mungkin disebabkan bom tersebut meledak
sebelum waktu yang diperkirakan dan jarak pengebom yang terlalu dekat dengan bom yang meledak. Sumbu
bom yang terlalu pendek juga dapat menjadi pemicu terjadinya kasus meninggal dan cacat, karena pelaku
pengeboman tidak punya cukup waktu untuk menghindar dari lokasi. Apalagi bila ukuran bom yang dilempar
memiliki kekuatan ledak yang cukup tinggi.
41
Untuk kasus hukum yang berhubungan langsung dengan status kegiatan pengeboman. Kegiatan penangkapan
ikan dengan menggunakan bom adalah kegiatan ilegal, sehingga siapapun yang terlibat melakukannya harus
ditangkap. Para pelaku lapangan, punggawa pemodal, pemilik kapal, penampung, penyuplay material, dan
pengusaha adalah pihak-pihak yang terkait langsung dengan kegiatan ini. Untuk itu, aparat keamanan
menangkap, menyita kapal atau barang yang terkait, dan mengusut beberapa kasus hingga ke pengadilan.
Sayangnya, tidak semua aparat keamanan melakukan tugasnya dengan baik. Cukup banyak oknum aparat
keamanan yang justru menjadi 'pemain' yang mengutip biaya keamanan dan perlindungan dan memberikan
kemudahan-kemudahan lain kepada para pelaku. Beberapa pelaku yang ditangkap tangan kadang langsung
dibebaskan ketika menyerahkan sejumlah uang. Demikian pula beberapa punggawa mengakui sering
didatangi petugas untuk memungut biaya keamanan tersebut.
Adapun konflik sosial yang muncul di kalangan masyarakat biasanya terjadi antara para pelaku PITRaL dan
non-PITRaL. Cukup banyak warga masyarakat Spermonde yang menyadari dampak negatif kegiatan PITRaL
tersebut, baik secara ekonomi, sosial dan ekologis. Sehingga ketika mereka ingin mencegah atau melarang
kegiatan PITRaL di daerah mereka, terjadilah konflik. Hal ini biasanya terjadi dengan para pendatang yang
hendak melakukan kegiatan pengeboman atau PITRaL lainnya. Namun biasanya, para pelaku pengebom juga
memiliki jaringan yang cukup kuat dan didukung oleh tokoh-tokoh berpengaruh, baik itu kepala desa maupun
aparat keamanan. Sehingga upaya untuk menindak pelaku pembom merupakan hal yang sangat sensitif dalam
masyarakat.
42
BAB IV STATUS KEGIATAN PEMBIUSAN IKAN
L okasi pembiusan ikan dimaksud sebagai wilayah, kawasan dan daerah yang terkait dengan kegiatan
pemboman ikan yang berlangsung di Kepulauan Spermonde, baik secara langsung merupakan lokasi
tangkap maupun tidak langsung seperti seperti lokasi asal pelaku dan lokasi pemasaran ikan hasil tangkapan.
Selanjutnya, lokasi akan dijelaskan secara mendalam dan terstruktur yang meliputi: (1) karakteristik lokasi
pembiusan ikan; (2) lokasi pembiusan ikan di Kepulauan Spermonde; (3) lokasi asal pelaku dan (4) lokasi
pemasaran hasil pembiusan (dijelaskan lebih lanjut pada bagian lain dalam bab ini).
Praktek pembiusan ikan umumnya berlangsung di kawasan terumbu karang, yang meliputi daerah rataan
terumbu karang pada perairan pantai (reef flat), daerah terumbu karang tepi atau tubir (reef slope), kawasan
terumbu karang pada laut lepas atau taka (patch reef), dan gusung-gusung karang. Ini mutlak dikarenakan
ikan target adalah ikan-ikan terumbu karang seperti Kerapu, Sunu, Napoleon (Langkoe), udang dan Lobster.
Faktor kedalaman perairan menjadi salah satu parameter lokasi tempat pembiusan ikan. Kisaran kedalaman
relatif tempat praktek pembiusan ikan berlangsung antara 10- 40 meter. Daerah reef flat ataupun patch reef
diketahui berada pada tingkat kedalaman yang relatif rendah. Sementara kawasan sekitar tubir karang (reef
edge) adalah mempunyai tingkat kedalaman yang lebih tinggi. Di darah tubir karang ini, praktek pembiusan
ikan dapat berlangsung sampai kedalaman 40 meter dengan peralatan pendukung yang lebih memadai, seperti
alat bantu pernapasan (kompressor). Praktek pembiusan di sekitar areal tubir karang ini umumnya dilakukan
oleh nelayan yang berskala sedang dan besar.
Dibanding dengan praktek pemboman ikan yang lokasinya menyebar sampai ke kawasan di luar Spermonde,
praktek pembiusan ikan umumnya dilakukan di lokasi-lokasi yang relatif dekat dari pulau dan mudah diakses,
termasuk lama waktu operasinya. Rata-rata waktu operasi penangkapan dengan pembiusan ikan berlangsung
dalam waktu 6 jam. Hal ini dikarenakan ikan hasil pembiusan harus tetap berada dalam kondisi hidup dalam
penjualannya. Meski dekat dari pulau, kegiatan pembiusan tidak dilakukan di dekat pemukiman dan lokasi
budidaya seperti rumput laut. Namun demikian, praktek pembiusan ini lebih sulit diketahui dibanding
praktek pemboman ikan.
43
4.1.2. Lokasi Pembiusan Ikan dan Frekuensi Kunjungan di Kepulauan Spermonde
Secara umum, lokasi pembiusan ikan oleh nelayan PITRaL adalah perairan kepulauan Spermonde itu sendiri,
walaupun ada sebagian kecil dari mereka yang melakukan di luar kepulauan Spermonde (Diagram 4.2).
Terdapat lokasi yang dominan ramai dikunjungi oleh nelayan PITRaL yaitu sekitar kawasan TWAL Kapoposang,
kawasan perairan pulau Langkae dan pulau Lanyukang, dan beberapa pulau yang berada dalam zona tengah
(midle zone) gugusan kepulauan Spermonde, termasuk wilayah perairan kepulauan Tanakeke dan Pulau
Jangangjangangan (Diagram 4.2).
Diagram 4.1. Prosentase intensitas pembiusan ikan diluar Diagram 4.2 Prosentase intensitas pembiusan ikan pada
dan didalam kawasan Kepulauan Spermonde beberapa lokasi di Kepulauan Spermonde
onde
u a r Sperm Didalam Middle Zone L a n gk a
i Lanyu
Dil 9% Spermo
n ka
de 13% ng
30%
29%
91%
28%
Ke
p .T
an
a ke
ke
TWAL Kapoposang
Sumber: Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
Seperti halnya yang terjadi pada nelayan pembom, nelayan pembius juga cenderung memilih tempat atau
kategori lokasi potensial untuk melakukan kegiatan penangkapan. Prosentase jumlah kunjungan nelayan
pembius pada kategori lokasi tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut.
Prosentase Kunjungan(%)
Daerah Operasi Tubir Diatas TK
P. Satanga 2.11% 1.69%
P. Sarappo 1.69% 2.53%
P. Saranti 1.69% 3.38%
P. Pandangan/G. Bali Dan sekitarnya 0.00% 18.99%
P. Pamanggangang 3.38% 0.00%
STATUS KEGIATAN PEMBIUSAN IKAN
44
PETA 04. LOKASI ASAL PELAKU PEMBIUSAN
PETA 05. LOKASI PEMASARAN HASIL PITRaL PEMBIUSAN
4.1.3 Lokasi Asal Pelaku
Walaupun pelaku pembiusan adalah warga masyarakat kepulauan Spermonde itu sendiri, namun distribusi
pelaku berdasarkan pulau tempat tinggal utama memperlihatkan dua pola yang jelas; (1) Terdapat
kecenderungan bahwa nelayan lokal pada wilayah kabupaten/kota tertentu akan beroperasi pada lokasi di
sekitar wilayah perairan pulau-pulau di kabupaten/kota itu juga. Contohnya, nelayan pelaku yang bermukim
di wilayah kabupaten Pangkep akan melakukan praktek pembiusan ikan di sekitar perairan TWAL Kapoposang
yang juga berada pada wilayah administrasi kabupaten Pangkep. Sementara nelayan yang bermukim di pulau-
pulau dalam wilayah kota Makassar, akan lebih memilih Pulau Langkae dan Layukang sebagai lokasi target.
Kepulauan Tanakeke di kabupaten Takalar sendiri menjadi lokasi target nelayan pembius ikan dari pulau
Satangga yang berada di juga di kabupaten Takalar. Namun demikian, ada juga pelaku yang bermukim di
pulau-pulau sekitar kota Makassar beroperasi hingga kabupaten Takalar. (2) Komunitas nelayan pembius pada
pulau-pulau tertentu cenderung dominan dibanding jenis pemboman ikan. Beberapa pulau dengan dominansi
pembius adalah Pulau Barrang Caddi, Lae-Lae, Satangga, Barrang Lompo, Sarappo, Sarappo Caddi, Doang-
Doangang, Gondong Bali dan Karanrang (Peta No.04).
P elaku atau aktor dari kegiatan PITRaL pembiusan ikan bukan hanya mereka yang melakukan kegiatan
langsung di lokasi penangkapan, akan tetapi siapapun yang memiliki konstribusi atas berlangsungnya
kegiatan pembiusan ikan. Pembahasan tentang pelaku pembiusan meliputi (1) skala pelaku, (2) pelaku
langsung dan (3) pelaku tidak langsung.
Secara umum pelaku pembiusan di Spermonde dibagi atas dua skala yaitu pelaku skala besar dan skala kecil.
Penetapan skala tersebut didasarkan atas beberapa kondisi seperti pada Tabel 4.2. Studi menunjukkan bahwa
pelaku skala kecil dominan dibanding pelaku skala besar (Diagram 4.3).
Tabel 4.2 Karakteristik Nelayan Pelaku PITRaL Pembiusan Skala Kecil dan Besar
Karakteristik Skala besar Skala kecil
b. Organisasi Kerja Ada pembagian tugas yang jelas Ada pembagian tugas, tapi
h. Jenis kapal yang digunakan Kapal motor dan Jolloro Perahu mesin tempel
Sumber: Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
45
Diagram 4.3 Prosentase Pelaku Berdasarkan Skala Pembiusan
Skala Kecil
59%
Skala Besar
41%
Pelaku pembiusan dapat dibagi atas 2 jenis yaitu pelaku langsung dan pelaku tidak langsung. Pelaku langsung
adalah nelayan yang langsung melakukan aktifitas PiTRaL dengan bius di laut, sedangkan pelaku tidak
langsung adalah mereka yang mendukung pelaku langsung dalam melakukan aktifitas PiTRaL dengan bius.
Secara alami terjadi proses pelembagaan/organisasi (fungsional) dalam operasi kegiatan pada nelayan pelaku
berskala besar. Organisasi ini sifatnya informal tetapi memiliki ikatan yang kuat bahkan telah menjadi
kebutuhan dasar dalam kegiatan pembiusan ikan.
Pelaku langsung dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu (1) pemilik usaha dan sarana alat tangkap, biasa
disebut punggawa pulau, (2) pemimpin diatas kapal pada waktu melakukan aktivitas pembiusan di laut, biasa
disebut punggawa kapal,dan (3) orang-orang yang ikut serta diatas kapal pada waktu melakukan aktivitas
pembiusan, yang disebut sawi (ABK). Secara khusus, kelompok-kelompok dalam kategori pelaku langsung
memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing. Peran dan tanggung jawab setiap struktur kerja tersebut
dijelaskan sebagai berikut :
Pemilik usaha identik dengan terminologi punggawa pulau yang memiliki modal usaha dan sarana
penangkapan seperti kapal, alat pendukung (kompresor), lepa-lepa, alat dan meterial bius serta bak
STATUS KEGIATAN PEMBIUSAN IKAN
penampungan sementara (keramba) hasil tangkapan. Punggawa pulau bertanggung jawab pada
penyusunan rencana kerja, penyediaan kapal dan kapal khusus untuk mengangkut ikan ke pedagang
pengumpul (eksportir). Jika nelayan pelaku mencari ikan di daerah yang jauh, dengan lama 10-15
hari, maka punggawa pulau menggunakan kapal khusus untuk menjemput hasil tangkapan tersebut,
kemudian diangkut langsung ke pedagang pengumpul. Kapal khusus tersebut menjemput hasil
tangkapan pelaku pembiusan 2 kali dalam satu minggu selama operasi penangkapan di laut. Lokasi
tangkapan dikomunikasikan melalui radio panggil. Kalau hanya melakukan operasi penangkapan
disekitar lokasi asal punggawa, maka hasil tangkap dikumpulkan pada keramba yang telah disediakan
oleh punggawa pulau. Kalau jumlah ikan yang ditangkap banyak, kapal khusus punggawa dapat
langsung mengangkutnya ke pedagang pengumpul. Kalau masih kurang, biasanya dikumpulkan
sampai 2-3 hari, baru kemudian diangkut. Keramba selain sebagai tempat penampungan juga
dimaksudkan untuk menetralisir pengaruh bius. Selain itu, punggawa pulau juga bertanggung jawab
atas jaminan keamanan anggota dan ketersedian kebutuhan-kebutuhan lain dari para pelaku seperti
kebutuhan keluarga nelayan anggotanya selama operasi penangkapan.
46
(2) Pemimpin Diatas Kapal (Punggawa Kapal )
Punggawa kapal adalah orang yang memimpin operasi penangkapan di laut. Punggawa kapal
bertanggung jawab atas terpeliharanya sarana alat tangkap PITRaL yang dipakai, keselamatan sawi
dan kelancaran operasional kegiatan mulai sejak keberangkatan dari pulau sampai kembali. Pada
kegiatan operasi pembiusan di laut, punggawa kapal bukan saja mengkoordinir sawi, tetapi juga
berperan ganda sebagai pa'bius (pembius). (Catatan : istilah pa'bius juga identik dengan istilah
pa'tula (pencari) atau paselang (penyelam)).
Punggawa kapal
80% Paselang
Patula 16%
4%
Sawi kapal umumnya terdiri dari beberapa orang yang masing-masing memiliki tugas yang berbeda.
Adapun tugas-tugas sawi kapal tersebut dijelaskan sebagai berikut :
Paselang (penyelam) atau di sebut juga pa'tula (pencari) bertugas menyelam ke dalam air untuk
mencari ikan dan membiusnya. Oleh karena itu paselang dan pa'tula pada nelayan pelaku
pembiusan disebut juga Pa'bius (pembius).
Pabise (pendayung) bertugas sebagai pendayung perahu yang digunakan dalam membius.
Pajamairate (pekerja di atas kapal) bertugas merapikan hasil tangkapan, merakit bius, memasak
makanan dan melempar/menarik jangkar.
Bas (teknisi mesin) bertugas sebagai teknisi sekaligus operator mesin.
Ada perbedaan mendasar antara nelayan pembiusan dengan nelayan pemboman yang berskala besar dalam
melakukan operasi penangkapan di laut. Kalau pada operasi penangkapan dengan bom, apabila tiba di lokasi
penangkapan hanya satu perahu yang bertugas mencari ikan dan membomnya. Nanti setelah bom jatuh, baru
paselang turun, mengumpulkan ikan yang telah dibom. Akan tetapi, pada operasi penangkapan dengan bius,
perahu yang diturunkan lebih dari satu. Setiap perahu, bergerak terpencar dan tidak terlalu jauh dari perahu
besar. Mereka kemudian melakukan pencarian, penyelaman dan pembiusan ikan dengan menggunakan
perahu-perahu kecil tersebut. Perahu yang digunakan biasanya adalah perahu mesin tempel (outboard
engine). Diatas perahu terdiri dari 2-3 orang. Setelah selesai, baru kembali ke perahu induk dan hasil
tangkapan dihitung tersendiri oleh punggawa kapal atau sawi kapal yang telah ditugaskan untuk itu. Jadi
dalam pembagian hasil, besar kecilnya penghasilan nelayan sawi (paselang, pa'bius) tergantung dari banyak
tidaknya ikan yang didapatkan oleh setiap sawi tersebut.
47
4.2.2.2. Pelaku tidak langsung
Pelaku tidak langsung terdiri dari (1) pemodal, (2) pembeli hasil tangkap, (3) penyuplai alat dan material serta
(4) pihak-pihak yang mendukung aktivitas PITRaL pembiusan ikan.
(1) Pemodal
Kegiatan pembiusan ini ada yang dimodali oleh punggawa pulau tetapi ada juga yang dimodali khusus
dari pengusaha yang ada di daratan utama. Pemodal jenis kedua ini umumnya berhubungan langsung
dengan punggawa pulau. Pemodal bertanggung jawab dalam ketersedian dana untuk modal awal
dan modal operasional punggawa pulau nelayan pelaku pembiusan. Dana dari pemodal digunakan
oleh punggawa pulau untuk membeli perahu serta sarana alat tangkap lainnya. Pemodal adalah juga
pedagang pengumpul atau eksportir ikan hidup. Oleh karena itu, biasanya keterlibatan pemodal
dalam penangkapan ikan akan berhubungan dengan penampungan hasil tangkap oleh yang dimodali.
Pada nelayan pelaku skala kecil, tidak dibutuhkan dana terlalu besar. Dana untuk modal awal dan
modal operasional berasal dari pelaku sendiri.
Pembeli hasil tangkapan nelayan tergantung dari jenis ikan hidup yang di tangkap
dan skala nelayan pelaku. Untuk nelayan pelaku pembiusan berskala besar, ikan
hidup hasil tangkapannya diserahkan atau dibeli oleh pedagang pengumpul dan
atau eksportir yang biasanya telah mempunyai komitmen usaha dengan pelaku.
Sedangkan untuk nelayan skala kecil, ikan hidup hasil tangkapannya dibeli oleh
pedagang pengumpul di pulau. Secara terperinci, jalur pemasaran ikan hasil
bius dapat dilihat pada bagian pemasaran.
Diagram 4.5 Prosentase Cara Memperoleh Bahan Diagram 4.6 Prosentase Pemasok Bahan Utama
Utama Pembius Pembius
Diantar
Disediakan 12,64% Beli Langsung arat Pedagang
awa D
42,53% 40,23% Pungg 25,97%
9,09%
48
Diagram 4.7 Prosentase Pemasok Bahan Pendukung Pembius
4.63%
Ambil Sendiri
3.70% 33.33%
Tidak Tahu 9.26% Beli Langsung
Buat Sendiri
Sumber: Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde,
DFW Indonesia 2003
Pihak yang mendukung aktivitas pembiusan adalah pihak yang secara tidak langsung memberi
kontribusi sehingga kegiatan ini tetap berlangsung yang melakukan kerjasama menguntungkan
dengan nelayan pelaku pembiusan, termasuk adanya indikasi oknum aparat (wawancara dengan
nelayan pelaku).
Tidak jauh beda dengan pelaku pemboman, pelaku pembiusan pun sering menjadi korban perasan
oleh oknum aparat. Setiap oknum aparat yang datang ke pulau dan mengetahui tentang adanya
pelaku pembiusan di pulau tersebut, maka aparat mendatangi punggawa pulaunya. Berdasarkan
49
4.3 Organisme Target
Komposisi jenis spesies target cukup besar, dengan nilai indeks keanekaragaman (H') ikan tangkapan nelayan
bius sebesar 0.78 , dengan spesies yang populer adalah Sunu, Kerapu, Lobster, Kakap, dan Napoleon.
Grafik 4.1 Prosentase Kemunculan Jenis Ikan Dominan Hasil Tangkapan Dengan Cara Pembiusan
46,03%
16,53% 19,47%
11,73%
2,40%
Spesies-spesies target nelayan pembius pada daerah tangkapan diatas terumbu karang dicirikan oleh nilai
dominansi yang lebih tinggi (C= 0.37), dibandingkan daerah tubir dengan nilai dominansi yang rendah (C=0.26)
(Grafik 4.2).
Grafik 4.2 Prosentase Kunjungan Nelayan menurut Kategori Daerah dan Jenis Biota Dominan
43,41%
STATUS KEGIATAN PEMBIUSAN IKAN
13,57%
7,75% 8,91%
6,59% 6,98%
3,49% 3,10%
Sumber: Data Hasil Studi Destructive Fishing diSpermonde, DFW Indonesia 2003
50
4.3.3 Spesies dan Volume Tangkapan
Berdasarkan hasil survey, dari sekitar 80 nelayan pembius yang melakukan praktek penangkapan dengan cara
bius, diperoleh hasil tangkapan rata-rata sebesar 152 ton atau 1,9 ton per nelayan untuk semua jenis spesies.
Spesies Sunu adalah jenis yang paling dominan, dengan rata-rata tangkapan sebesar 182.207 Kg per nelayan
dalam 1 musim tangkap. Informasi umum tentang volume tangkapan nelayan pembius berdasarkan hasil
survey pada musim puncak dan musim biasa, selanjutnya dapat dilihat pada tabel 4.3 dan tabel 4.4.
Sedangkan perbandingan hasil tangkapan antara kedua musim dapat dilihat pada grafik 4.3.
Tabel 4.3 Volume Tangkapan Nelayan Pembius pada Musim Puncak untuk Jenis Ikan Dominan
Sunu 182.207
Kerapu 355
Napoleon 228
Lobster 90
Kerapu Tikus 27
Total 182.907
Sumber: Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
Tabel 4.4 Volume Tangkapan Nelayan Pembius pada Musim Biasa untuk Jenis Ikan Dominan
Sunu 120.854
Kerapu 149
Napoleon 103,5
Lobster 43
Kerapu Tikus 126
Total 121.275,5
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing diSpermonde, DFW Indonesia 2003
Grafik 4.3 Perbandingan Prosentase Volume Tangkapan Nelayan Pembius Musim Puncak dan Musim Biasa
Sunu
Kerapu
Napoleon
Lobster
Kerapu Tikus
Puncak-Spermonde Biasa-Spermonde
Sumber: Data Hasil Studi Destructive Fishing diSpermonde, DFW Indonesia 2003
51
4.4 Sarana dan Material Bius
T entu saja kegiatan pembiusan memerlukan sarana berupa kapal dan alat serta material bius itu sendiri.
Status dari alat yang dibutuhkan tersebut ada yang bersifat primer, sekunder serta pendukung
(substitusional). Pembahasan peralatan dan material pembiusan ini meliputi jenis dan spesifikasi kapal, alat
tangkap dan alat bantu/pendukung yang digunakan, karakteristik alat dan bahan bius, cara dan teknik
merakit, teknik penggunaan dilapangan, asal usul alat dan bahan serta gejala /ciri pelaku pembiusan.
Guna memudahkan akses ke lokasi-lokasi target pembiusan, nelayan-nelayan pelaku pembiusan ikan
ditunjang oleh sarana kapal penangkapan yang relatif modern (bermesin). Hasil studi yang dilakukan
menggambarkan bahwa praktek-praktek pembiusan ikan yang berlangsung di dalam Kepulauan Spermonde
umumnya menggunakan jenis kapal motor (40%) dan perahu motor atau Jolloro (40%).
40%
Perahu Motor (Jolloro)
Sumber: Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
Tabel 4.5 Spesifikasi jenis alat transportasi yang digunakan oleh pelaku pembiusan
STATUS KEGIATAN PEMBIUSAN IKAN
Jenis alat Panjang Lunas Lambung Linggih Kekuatan mesin Jumlah mesin
transportasi (m) (m) (m) (m) (pk)
Sumber: Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
52
Jolloro, salah satu jenis kapal yang digunakan dalam
kegiatan pembiusan ikan (Dok. DFW, 2003)
Jenis kapal motor umumnya digunakan oleh pelaku pembiusan dari pulau Barang Lompo (57%) dan
pulau Satangnga (57%), Jolloro dari pulau Karanrang (80 %), perahu mesin tempel umum digunakan
nelayan dari pulau Gondong Bali (90%) dan pulau Barang Caddi (58%) serta sampan/lepa-lepa yang
juga dijadikan sarana pembiusan ikan oleh nelayan dari pulau Satangnga (11%).
90%
80%
58% 57%
43%
35%
26%
20%
16%
11%
10%
Kapal Motor Perahu Motor (Jolloro) Perahu Mesin Tempel Perahu Tanpa Mesin
Sumber: Data Hasil Studi Destructive Fishing diSpermonde, DFW Indonesia 2003
53
Kapal motor umumnya digunakan oleh nelayan pelaku
Model kapal motor yang dominan digunakan oleh pembiusan yang berskala besar. Kapal motor dilengkapi
nelayan untuk operasi pembiusan ikan di Spermonde
(Dok. DFW, 2003)
dengan bak sirkulasi air yang mirip palca pada kapal
motor pembom. Bak sirkulasi air ini dirancang khusus
sehingga air dalam bak tersebut tetap segar. Dasar
bak, terdapat banyak lubang-lubang sebagai tempat
masuk dan keluarnya air. Kalau kapal motor dalam
keadaan berjalan, terjadi perputaran air keluar masuk
ke bak tersebut. Dengan kekuatan mesin dan daya
muat kapal motor yang besar memudahkan untuk
mencapai lokasi pembiusan ikan dan dapat menampung
ikan hasil pembiusan dalam jumlah besar. Nelayan yang
menggunakan kapal motor adalah dari pulau Barang
Lompo (57 %), Satangnga (54 %), Karanrang (20 %), dan
pulau Barang Caddi (16%). Ini dapat dilihat pada
diagram 4.3.
Jolloro juga dilengkapi dengan bak air yang dirancang khusus seperti pada kapal motor.
Hanya luasnya yang disesuaikan dengan badan jolloro. Jolloro digunakan oleh nelayan pelaku
yang berasal dari pulau Karanrang (80 %), Barrang Lompo (43 %), pulau Satangga (35 %), Barang
Caddi (26 %), dan pulau Gondong Bali (10 %).
Katinting (Perahu mesin tempel) adalah jenis kapal lain yang digunakan oleh pelaku
pembiusan. Perahu jenis ini lebih dominan digunakan oleh nelayan pelaku yang berskala kecil
dan nelayan lepas. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa jika mereka memiliki perahu ini
adalah mutlak pembius, karena jenis perahu ini, biasa digunakan oleh nelayan pemancing.
Tetapi, ini dapat dipakai sebagai indikasi pembiusan karena ditemukan adanya nelayan
pemancing ikan menggunakan bius sebagai alat tangkap ganda. Pada perahu mesin tempel
dirancang juga bak kecil untuk ikan hasil bius/pancing dengan sirkulasi dari beberapa lubang
yang dibuat pada dasar perahu. Rata-rata dalam satu perahu mesin tempel terdiri dari 2
nelayan pelaku pembiusan. Nelayan yang menggunakan perahu mesin tempel sebagai alat
transportasi adalah nelayan dari pulau Gondong Bali (90 %) dan pulau Barang Caddi (58 %).
STATUS KEGIATAN PEMBIUSAN IKAN
54
4.4.2 Alat Tangkap dan Alat Bantu/Pendukung
Nelayan pelaku pembiusan walaupun menggunakan bius sebagai alat tunggal dalam kegiatan penangkapan
ikan, namun kebanyakan dari mereka mempunyai alat tangkap lain sehingga sulit untuk dideteksi secara
visual. Alat tangkap lain yang digunakan sebagai komplemen bius antara lain bubu, lanra, pancing, trawl dan
lainnya. Dengan membawa alat tangkap lainnya selain bius, nelayan tersebut dapat dengan mudah
mengelabui aparat yang bertugas.
Diagram 4.10 Prosentase Penggunaan Alat Tangkap Ganda dalam Pembiusan Ikan
Bom
7,55%
Bagang
Pancing Tonda Bubu
3,77%
20,75% 5,66%
Sumber: Data Hasil Studi Destructive Fishing diSpermonde, DFW Indonesia 2003
KOTAK 4.1
Penggunaan Alat Tangkap Ganda
Dalam praktek pembiusan, alat tangkap bubu, lanra dan
jaring akan dioperasikan terlebih dahulu sebelum operasi
pembiusan dilakukan. Beberapa nelayan pembius ikan juga
mengoperasikan alat tangkap secara berganti, dari trawl,
pancing, jaring bahkan juga kadangkala beroperasi sebagai
nelayan pelaku pemboman ikan. Pergantian pengoperasian
alat tersebut dipengaruhi oleh musim penangkapan dan jenis
ikan yang menjadi target tangkapan.
55
4.4.3 Alat dan Bahan
Menggali informasi tentang katakteristik bahan dan alat bius cukup sensitif dilakukan. Walaupun demikin,
informasi tentang hal tersebut dapat digali dengan teknik diskusi yang mendalam kepada beberapa
responden. Berdasarkan pengetahuan dan informasi yang disampaikan oleh responden, didapatkan jenis
bahan yang digunakan adalah Potassium Sianida yang berbentuk padat dalam bentuk tablet, sedangkan alat-
alat yang digunakan berserta kegunaannya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.6 Alat dan bahan serta Kegunaannya dalam Kegiatan Pembiusan Ikan
Bahan Kegunaan
56
4.4.5 Teknik dan Proses Pembiusan Ikan
Berdasarkan hasil penggalian informasi, teknik dan proses pembiusan ikan di laut dapat dijelaskan secara
umum sebagai berikut:
1. Pelaku pembiusan (Pa'bius) mengamati ikan target secara konvensional dengan berenang dan menyelam
yang kadang menggunakan kompressor sebagai alat bantu pernapasannya. Kalau nelayan pelaku
menggunakan kompressor, maka ada orang yang bertugas mengontrol kompressor.
2. Ikan target yang dinginkan kemudian dikejar dan disemprot. Biasanya ikan-ikan ini akan masuk ke dalam
lubang-lubang karang sebagai tempat perlindungan.
3. Penyemprotan akan berlangsung terus dimana Pa'bius mengipas-ngipas cairan bius tersebut dengan
menggunakan kaki katak atau tangan agar bius betul-betul masuk ke lubang batu tempat ikan
bersembunyi.
5. Jika ikan-ikan tersebut sudah memperlihatkan reaksi negatif terhadap bius seperti daya renang
berkurang dan pingsan, maka dilakukan pemanenan.
5. Penanganan akhir adalah dinaikkan ke kapal dengan menggunakan pancing ke mulut ikan hasil pembiusan
tersebut sehingga tidak akan terlepas saat sadar.
Sepintas lalu, untuk mengenali pelaku pembiusan cukup sulit. Karena beberapa pelaku menggunakan alat
tangkap ganda sebagai manipulasi dan ataupun sebagai alat tangkap utama. Hal yang perlu diperhatikan
adalah bentuk perahu dan jenis alat-alat bantu yang terdapat diatas kapal. Pada nelayan pembius yang
berskala besar, alat bantu yang mudah diamati adalah kompressor, model palka kapal yang ada terutama
dasarnya juga bisa dijadikan suatu tanda. Kalau di dasar bak tersebut terdapat lubang-lubang yang tembus ke
air laut (biasanya kalau perahu tidak bergerak, lubang tersebut ditutup), maka dapat diindikasikan kapal
tersebut menangkap ikan hidup. Jika dua indikasi ini ditemukan pada sebuah kapal, maka dapat disimpulkan
bahwa nelayan tersebutadalah pelaku pembiusan.
KOTAK 4.2
Untuk memperjelas indikasi bahwa nelayan
Sekilas Sejarah tentang Penggunaan Bius
tersebut pelaku pembiusan, dapat dikeathui dari
Bius sebagai alat tangkap diperkenalkan oleh nelayan dari keberadaan botol penyemprot yang biasanya
Hongkong. Tidak diketahui secara pasti dimulainya berwarna putih. Jenis botol penyemprot yang
penangkapan ikan hidup dengan bius. Awalnya, penangkapan biasa digunakan adalah botol penyemprot yang
ikan hidup seperti Sunu, Napoleon dan Lobster ditangkap
biasa dipakai di salon atau dibuat sendiri dari
dengan menggunakan pancing. Sejalan dengan permintaan
yang semakin hari semakin meningkat, nelayan kemudian
botol infuse dan botol aqua. Keberadaan botol
penyemprot, merupakan bukti yang tidak
57
4.5 Pemasaran Hasil Tangkapan dengan Bius
P emasaran ikan-ikan yang diduga merupakan hasil bius menjalani rantai pemasaran yang lebih pendek dari
rantai pemasaran hasil bom. Hal ini disebabkan karena ikan hasil bius umumnya merupakan ikan-ikan
ekonomis tertentu seperti Sunu, Kerapu, Lobster dan Napoleon yang harus dijual dalam keadaan hidup,
sehingga pelaku pasar tidak ingin mengambil resiko dengan menyimpannya lebih lama. Rata-rata ikan jenis
ini merupakan ikan untuk komoditas ekspor ke berbagai negara. Ikan hasil pembiusan mempunyai rantai
pemasaran tersendiri dan biasanya terpisah dari ikan hasil pemboman. Rantai pemasaran ikan hasil
pembiusan dapat dibagi dua kelompok, yaitu kelompok Pelaku Pengumpul, dan kelompok Pelaku Pemasaran.
Lokasi pemasaran dari ikan yang diduga hasil dari praktek pembiusan umumnya tidak melalui jalur pemasaran
yang panjang. Transaksi pemasaran yaitu jual beli tidak terdapat tempat yang khusus seperti pelelangan ikan
atau pasar. Ikan atau produk perikanan lainnya yang ditangkap dengan bius akan langsung dijual ke pada para
pengusaha. Lokasi pemasaran ikan-ikan kategori ini bisa terjadi di tengah laut, di keramba, maupun di pulau
tempat nelayan mengumpulkan ikan atau di lokasi dimana para punggawa pulau berada. Lokasi para
pengusaha atau eksportir ini sebagian besar di ibukota propinsi yaitu Makassar dan adapula di kota Maros dan
kota lainnya tapi skala usaha yang lebih kecil. Pemusatan lokasi pengusaha/eksportir ini berhubungan dengan
sarana pengiriman yang tersedia seperti pelabuhan udara (Peta No.05).
Para pelaku transaksi pemasaran ikan hidup ini seperti halnya dengan pelaku transaksi untuk ikan segar juga
memiliki dua kelompok besar. Kelompok tersebut adalah kelompok Pelaku Pengumpul/Pengangkut dan Pelaku
Pemasaran. Hanya saja, kelompok ini tidak beragam dan lebih sedikit pelaku transaksi yang terlibat.
Pelaku Pengumpul/Pengangkut didalamnya termasuk Punggawa pulau, dan Pengumpul Darat, sedangkan
pelaku pemasaran yang diketahui hanyalah pembeli atau Punggawa Darat dan Pengusaha atau Eksportir.
Punggawa pulau dan pengumpul darat umumnya hanya perpanjangan tangan dari Pengusaha.
Kedua kelompok ini agak berbaur karena kebanyakan para eksportir yang menjadi kelompok pemasaran juga
bertindak sebagai pengumpul/pengangkut. Mereka langsung menghubungi nelayan ataupun punggawa pulau
untuk mengumpulkan ikan.
58
Para nelayan ataupun Punggawa biasanya mempunyai tempat penampungan ikan hidup. Punggawa atau
pengumpul ini dicirikan dengan adanya keramba atau bak-bak penampungan ikan yang cukup untuk
mempertahankan kondisi ikan untuk beberapa lama.
Selama ikan-ikan hasil bius berada dalam penampungan, punggawa melakukan beberapa kegiatan pemulihan
dan pengobatan, yaitu dengan memberikan antibiotik dan makanan ikan (biasanya tembang kecil). Tujuannya
adalah untuk meningkatkan ketahanan ikan tersebut. Hal ini dilakukan setiap 3 hari atau ketika persediaan
makanan ikan tersebut dianggap tidak mencukupi lagi.
Peran pelaku pengumpul lainnya seperti dalam pemasaran ikan hasil pemboman yaitu Pabalolang relatif tidak
ada. Peran pabalolang diambil alih oleh pedagang pengumpul yang langsung mengumpulkan hasil tangkapan
nelayan di lokasi atau di laut maupun ke ponggawa pulau. Demikian pula peran TPI/PPI sebagai lokasi utama
pemasaran akhir dari ikan-ikan hasil pemboman, tidak menjadi lokasi pemasaran untuk ikan-ikan hasil
pembiusan.
Anggota kelompok Pemasaran dari ikan yang diduga hasil bius adalah Pengusaha, yang umumnya merupakan
eksportir ikan hidup, selebihnya adalah pengusaha ikan hias untuk konsumsi lokal dan regional.
Punggawa darat dalam praktek pemasaran ikan hasil pembiusan sekaligus memfungsikan dirinya sebagai
pengusaha pengumpul dan eksportir. Beberapa punggawa pulau yang ada di Kepulauan Spermonde kemudian
ada juga yang meningkat menjadi eksportir
Ikan-ikan yang telah dikumpulkan oleh pengusaha yang memiliki izin usaha eksportir, selanjutnya dinilai dan
diverifikasi di Balai Karantina Ikan dengan memeriksakan beberapa sampel ikan yang akan di ekspor. Setelah
dilakukan penilaian dan verifikasi yang dibukitkan dengan dokumen kelayakan ekspor, maka produk-produk
siap diterbangkan ke negara-negara tujuan ekspor. Sebelum dimasukkan ke kargo, dilakukan pemeriksaan
dokumen oleh petugas Bandara Hasanuddin Makassar dan Jagawana dari BKSDA. Produk-produk ekspor
tersebut masih harus transit di Bali untuk verifikasi ulang dan pengabsahan dokumen ekspor.
Ikan hasil pembiusan yang ditangkap di beberapa lokasi target, umumnya akan langsung dibawa ke pulau dan
disetor atau dijual ke punggawa pulau selain dijemput langsung
oleh Punggawa Darat ataupun Pengusaha. Punggawa pulau
dapat saja sebagai pemilik modal ataupun hanya
sebagai perpanjangan tangan dari Punggawa Darat,
NELAYAN
Pengusaha maupun Eksportir sebagai pemilik
modal utama. Data hasil studi yang ada juga
menunjukkan adanya peran yang masih
dijalankan oleh pedagang perantara atau
Pabalolang dalam jual beli ikan hasil
pembiusan, meski sangat kecil (7%).
PASAR REGIONAL/
INTERNASIONAL
59
4.5.3 Harga dan Mekanisme Transaksi
Ada 2 (dua) metode penjualan ikan hasil pembiusan, yaitu dengan menjual per satuan ikan atau dikenal
sebagai penjualan ekoran atau ikan yang dijual dengan sistem kiloan. Sistem ini hanya berlaku untuk
penjualan dari para pelaku pembiusan berskala menengah dan kecil kepada ponggawa atau pengumpul.
Ikan-ikan hidup yang akan dijual dikelompokkan dalam 3 tipe, yaitu (a) tipe super, (b) tipe sedang dan (c) tipe
baby (kecil). Biasanya ikan yang berukuran besar akan ditakar tidak dengan berat tetapi ekoran. Apabila
terdapat jenis ikan seperti ini, maka Punggawa langsung menjual ke pengusaha yang juga melakukan
pengumpulan ikan.
Terdapat 3 (tiga) macam ikan Sunu yang diperdagangkan, yaitu ikan Sunu Super, bukan Super, dan Sunu Bone.
Harga ikan Sunu (ekoran) berukuran super (7 - 8 ons) yang paling mahal harganya pelaku menjual kepada
ponggawa sekitar Rp. 120 ribu. Sementara harga ikan sunu ekoran bukan super (berukuran lebih kecil) dijual
sekitar Rp. 100 ribu per kilogram. Adapun ikan Sunu bone (ikan yang tidak favorit) berharga sekitar Rp. 50 ribu
per kilogram.
Ikan target lainnya adalah ikan Kerapu. Ikan Kerapu yang dikenal oleh masyarakat ada dua macam,
yaitu ikan Kerapu biasa dan ikan Kerapu Mosso (berukuran besar). Kalau ikan Kerapu biasa dalam
satu kilogram biasanya terdapat 5 ekor, dan dijual seharga Rp. 40 ribu per kilogram. Sementara Ikan
Kerapu Mosso (yang berukuran besar) seharga 70 ribu satu kilogram. Ikan Kerapu Mosso ini dapat
ditemukan berukuran sangat besar mencapai 10 kilo beratnya. Perbedaan dasar antara ikan Kerapu
biasa dan ikan Kerapu Mosso adalah hanya dari segi ukurannya. Ikan Kerapu biasa lebih disukai
dibandingkan dengan Kerapu Mosso.
Adapun harga penjualan ikan dan ukuran yang sama yang dilakukan oleh punggawa darat ke eksportir
dapat melebihi 4 (empat) kali lipat. Keuntungan lain dari sistem penjualan ke punggawa darat adalah
berat ikan lebih dari satu kilo, dibulatkan ke angka terendah, misalnya ikan seberat 1,3 kilogram
maka hanya dianggap 1 kilogram. Namun ketika menjualnya ke pihak eksportir ponggawa darat
menjualnya berdasarkan berat yang tertera.
Ikan yang dianggap tidak layak untuk ekspor atau BS (Below Standart) maupun ikan yang dibius
tersebut mati, biasanya langsung dibawa ke pelelangan ikan terdekat dan dijual dengan harga jauh
lebih rendah sekitar 60 % dari harga ikan hidup,
Ikan hias untuk peruntukan akuarium ada yang dibius dan ada pula yang tidak dibius. Para pengusaha jenis ini
biasanya mempunyai nelayan-nelayan langganan mereka yang menyuplai ikan-ikan hias. Nelayan ini pula
sebenarnya telah mendapat suntikan modal dari pengusaha.
Transaksi yang terjadi di tingkat pengumpul/pengangkut umumnya dalam bentuk tunai. Nelayan menerima
STATUS KEGIATAN PEMBIUSAN IKAN
uang hasil tangkapan ikan hidup lansung setelah hasilnya ditimbang dan diukur. Pengumpul ikan hidup adalah
para pemodal yang kuat sehingga dapat melakukan transaksi tunai secara segera. Sedangkan transaksi yang
terjadi ditingkat pelaku pemasaran lebih beragam, namun biasanya tetap dalam bentuk transaksi tunai, baik
secara langsung maupun melalui mekanisme perbankan. Jenis transaksi antar mereka juga tergantung dengan
kesepakatan yang telah mereka atur sebelumnya. Ada beberapa bentuk pembayaran seperti bayar setengah,
bayar setelah laku maupun bentuk-bentuk transaksi lainnya.
60
4.6 Dampak PITRaL
4.6.1 Spesies
Beberapa sumber nelayan menjelaskan bahwa ikan yang baru kena bius akan menjadi lebih gampang di tarik
dari batu (karang) dan kalau dibiarkan berenang, akan kelihatan miring (sempoyongan/mabuk) atau sama
sekali tidak bisa berenang lagi.
Pada tingkat pengumpul ikan hasil bius dan hasil pancing dibedakan dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Ikan hasil pancing : Terdapat luka di bagian mulut dan sekitarnya, pada bagian anus biasanya terlihat
sedikit benjolan.
Ikan hasil bius : Ikan terlihat lebih tenang atau kemampuan renangnya yang berkurang, tidak
terlihat luka di daerah mulut dan sekitarnya, Pada bagian anus tidak terdapat
benjolan. Mata ikan hasil bius ini juga lebih putih dibanding ikan hasil pancing.
Dari ciri-ciri fisik ikan hasil pancing dan bius, para pedagang pengumpul biasanya lebih senang pada ikan hasil
bius karena secara fisik tidak luka dan kemungkinan untuk bertahan hidup jauh lebih besar. Apalagi para
pembeli memiliki respon yang beda-beda, ada pembeli yang tidak mau menerima ikan hasil pancing bila luka
pada bagian mulut ikan cukup parah, atau menerima ikan tersebut dengan harga dibawah standar.
Untuk udang lobster saat ini cara menangkapnya hampir dipastikan menggunakan bius. Ini disebabkan cara
lama yaitu dengan menggunakan tado (jerat) sudah tidak efektif lagi. Menurut para nelayan penangkap,
dengan menggunakan tado udang yang ditangkap biasanya jadi susah, bahkan bisa membuat janggutnya
(sungut) patah. Sedangkan dengan menggunakan bius pekerjaan jauh lebih mudah dan relatif cepat.
Tabel 4.7 Ciri Fisik Ikan Hasil Pembiusan Hasil simulasi pembiusan (racun sianida) dengan
menggunakan ikan Sunu (Plectropomus sp.) dan
Gerakan Mabuk, Pingsan ikan Kerapu (Epinephelus sp.) yang dilakukan oleh
Renangnya lambat dan Tim Studi DFW (2003) menunjukkan dampak
Semponyongan pembiusan ini terhadap ikan yang lebih jelas.
Efek yang timbul pada ikan yang telah terpapar
Ciri Sisik Mengelupas
Memucat oleh sianida dapat dilihat dari tingkah laku ikan
pada saat paparan, kecepatan renang (burst speed)
Ciri Mata Mata kabur/rusak sebelum dan sesudah paparan, perubahan
morfologi ikan setelah paparan, perubahan
Ciri Karang Karang memutih komposisi serologi (darah) ikan setelah paparan,
serta efek-efek histologis dari organ luar (mata)
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, maupun organ dalam (hati,jantung, ginjal, dan
DFW Indonesia 2003 limpa) (Tabel 4.8).
Sumber: Data Hasil Studi Destructive Fishing diSpermonde, DFW Indonesia 2003
61
Gambar 4.2. Perubahan warna tutup insang dan area dibawahnya
Gambar 4.4 Sel hati yang mengalami lisis Gambar 4.5 Inti sel yang mengalami atrophy
0,0140
Konsentrasi CN- ( mg/L )
0,0120 0,0124
y = 8E-05x3 - 0,0009x2 + 0,0008x + 0,0124
0,0100 R2 = 1
0,0080
0,0090
0,0060
0,0040 0,0040
0,0020
0,0013
0,0000
1 10 15 20
Waktu Setelah Paparan ( hari )
Sumber: Data Hasil Studi Destructive Fishing diSpermonde, DFW Indonesia 2003
62
4.6.2 Ekologis
Kegiatan pembiusan yang selalu dilakukan di daerah rataan terumbu karang tentu saja akan merusak kondisi
terumbu karang di lokasi tersebut. Setiap semprotan sianida di daerah terumbu karang menghasilkan dampak
yang berbeda-beda tergantung konsentrasi sianida yang disemprotkan, kecepatan arus, dan jaraknya dari
kawasan terumbu karang.
Data responden nelayan Spermonde yang merupakan pelaku langsung pembiusan didapatkan data-data
seperti pada tabel berikut ini.
Radius efek atau pengaruh dari tiap kemasan botol semprot yang digunakan cukup bervariasi, namun radius
efek itu akan semakin besar jika dibantu oleh arus yang kuat sehingga racun tersebar. Pada saat
disemprotkan, luas area yang terpengaruh oleh bahan bius menjadi besar kemudian jika ada arus yang
membantu menyebarkan racun tersebut. Jika pada saat disemprotkan area yang terpengaruh hanya 1 meter
persegi, maka apabila ada arus area yang terengaruh bisa hingga 3 - 7 meter persegi dan apabila arus cukup
kencang, area yang terpengaruh bisa mencapai 10 meter persegi.
Pengaruh bius terhadap karang nampak dengan adanya perubahan-perubahan pada koloni karang yang
terpapar sianida dan secara umum terjadi perubahan warna dan pemucatan pada karang. Pada karang jenis
Acropora terjadi pemutihan pada ujung cabang (axial coralite), sedangkan pada jenis Porites dan Fungia
terjadi perubahan warna dari terang ke gelap.
63
4.6.3 Ekonomis
Dampak praktek penangkapan ikan dengan menggunakan bius secara ekonomis belum dapat dibuktikan
apakah penggunaan bius akan meningkatkan tingkat pendapatan nelayan secara signifikan. Menurut
pengakuan beberapa nelayan, terutama yang mempunyai kemampuan modal terbatas, penangkapan ikan
dengan bius memang mendapatkan harga jual yang cukup tinggi, hanya saja hal tersebut tidak berpengaruh
secara nyata pada tingkat pendapatan nelayan. Pada kenyataan dilapangan, pengaruh bius secara ekonomis
hanya nampak pada kelompok konsumen tingkat kedua, ketiga, dan seterusnya. Para Ponggawa Pulau sebagai
pengumpul, Pedagang Perantara, maupun para Pengusaha/Eksportir adalah pihak-pihak yang paling banyak
mendapat keuntungan dari praktek ini.
4.6.4 Sosial
Sama dengan praktek penangkapan ikan menggunakan bom, praktek pembiusan juga memiliki dampak
kesehatan pelaku pembiusan (termasuk pada saat mencampur material sianida dan potas), menyebabkan
berbagai konflik sosial, dan berbagai kasus-kasus hukum. Namun karena praktek pembiusan ini lebih
terselubung dibanding dengan kasus pengeboman, sehingga meski banyak kasus yang terjadi, namun cukup
banyak yang diselesaikan tanpa proses dengan imbalan tertentu.
Berbagai Kasus
Berbagai kasus yang berhubungan dengan kegiatan pembiusan yang terjadi di kepulauan Spermonde dapat
terlihat pada tabel berikut.
Tabel 4.10 Kasus-kasus yang pernah terjadi sehubungan dengan kegiatan pembiusan di wilayah Spermonde
Pulau Barrang Caddi 2000 Ada beberapa kelompok pembius yang ditangkap, namun beberapa
diantaranya dilepaskan tanpa diproses
Pulau Barrang Caddi 2001 Ada satu kelompok pembius yang ditangkap dan kemudian diproses
dengan beberapa persyaratan. Namun pelaku melanggarnya.
Pulau Barrang Caddi 2000 Ada beberapa pembius yang ditangkap dan membuat perjanjian di
STATUS KEGIATAN PEMBIUSAN IKAN
hadapan Polisi.
Diantara mereka ada yang sudah insyaf namun ada juga yang masih
melanggar perjanjian tersebut.
Pulau Satangnga Penduduk pulau Satangnga yang membius di sekitar pulau tersebut
menimbulkan permasalahan dengan para petani rumput laut, karena
rumput laut mereka menjadi mati.
Pulau Satangnga 2003 Punggawa dan Sawi kegiatan pembiusan di tahan selama satu minggu
di Polres Takalar, namun dilepaskan setelah membayar biaya sekitar
Rp. 100 juta. Ironisnya, untuk mengejar tersebut, masyarakat
Bauluang mengatakan bahwa mereka justru mengintensifkan aktifitas
destruktifnya di sana.
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing diSpermonde, DFW Indonesia 2003
64
Tabel tersebut menunjukkan bahwa tidak ada kasus kesehatan yang terjadi. Padahal dalam prakteknya,
ketika mencampur bahan dan material pembiusan tersebut, pelaku kadang terluka tangannya. Demikian juga
ketika melakukan pembiusan di bawah laut, apabila berbalik dan mengarah kepada pembius, para pelaku
pembiusan tersebut juga dapat terkena berbagai dampak kesehatan yang kurang baik.
Berbagai kasus hukum di Kepulauan Spermonde terjadi karena status kegiatan pembiusan yang memang ilegal.
Baik para pelaku lapangan, Punggawa darat, peng-ekspor senantiasa berhubungan dengan aparat keamanan.
Akan tetapi karena potensi komersialnya yang sangat besar, sehingga praktek ini terus terjadi. Malah oknum
aparat keamanan dan berbagai pihak lainnya menjadikan para pelaku yang terlibat sebagai sumber untuk
mendapatkan tambahan income atau justru melindungi (mem-backing) kegiatan pembiusan tersebut dengan
imbalan tersentu. Hal ini juga terjadi ketika memproses kasus-kasus hukum tersebut. Biasanya para pelaku
yang ditangkap tidak diproses atau diproses dengan syarat-syarat ringan setelah membayar sejumlah uang
tertentu yang cukup besar. Hal ini tentu saja bisa berdampak menjadikan mereka insyaf atau malah
mengintensifkan kegiatannya.
Adapun konflik sosial yang terjadi adalah karena pertentangan lokasi pembiusan misalnya pelaku pembius dari
pulau Lumu-lumu dan pulau Barrang Caddi, atau warga pulau dengan nelayan yang budidaya (rumput laut)
yang mengalami gagal panen disinyalir akibat praktek pembiusan yang intensif seperti yang terjadi di pulau
Satangnga. Dalam kenyataannya, potensi konflik juga muncul di masyarakat akibat gap antara pelaku dan
ponggawa pembius yang lebih mapan dibanding mereka yang tidak melakukan kegiatan tersebut.
65
PANDANGAN KOMPONEN MASYARAKAT
BAB V TERHADAP PITRaL
P ada dasarnya nelayan Spermonde telah menyadari bahwa hasil tangkapan mereka cenderung menurun
dalam 5 tahun terakhir. Penurunan hasil tangkapan tersebut bukan semata diyakini sebagai akibat dari
meningkatnya aktifitas PITRaL, namun penggunaan alat tangkap lain seperti trawl dan bagang rambo juga
memberikan kontribusi terhadap semakin menurunnya volume tangkapan ikan.
Walaupun nelayan mengetahui bahwa kegiatan PITRaL adalah kegiatan terlarang dan informasi tentang
aktifitas ini sifatnya tertutup, namun hingga sekarang ini pandangan mereka adalah PITRaL cukup efekif untuk
mendapatkan hasil yang lebih dengan cepat dan praktis. Selain persepsi tersebut, faktor-faktor yang
mendorong mengapa hal itu terus berlanjut adalah :
1. Tingginya permintaan pasar dalam dan luar negeri terhadap ikan-ikan target konsumsi
yang diperoleh melalui PITRaL.
2. Desakan kebutuhan ekonomi subsisten masyarakat nelayan, khususnya mereka yang bekerja
sebagai sawi.
3. Inkonsistensi dan lemahnya penegakan hukum yang terkait dengan pencegahan dan
penanggulangan PITRAL.
4. Masih rendahnya pemahaman akan pentingnya keberlanjutan pengelolaan usaha
penangkapan sumberdaya perikanan laut dengan menjaga kelestarian sumberdaya terumbu
karang.
Bahwa mereka masih terus melakukan kegiatan PITRaL adalah karena tidak ada pekerjaan lain selain mencari
ikan dengan cara membomdan membius, ditambah lagi ada yang menjamin modal dan keamanan nelayan
serta kesinambungan pasokan material PITRaL. Faktor lain yang mengharuskan mereka khususnya nelayan
sawi tetap bergantung pada kegiatan itu adalah struktur hutang mereka kepada punggawa pulau.
S ebagian besar pengusaha perikanan, termasuk eksportir, mendapatkan suplai ikan dari nelayan penangkap
di pulau-pulau Spermonde, selebihnya diperoleh melalui pedagang pengumpul di darat, pedagang
pengumpul di laut (pajolloro/pabalolang), dan pelelangan ikan. PITRaL diakui memberikan dampak negatif
DESTRUCTIVE FISHING WATCH
terhadap ekonomi karena merupakan salah satu sebab dari berkurangnya hasil tangkapan, namun kegiatan ini
dipahami secara ekonomi efektif (mudah, murah dan untung besar).
Bentuk kerjasama pengusaha perikanan dengan nelayan pulau sebagian besar berupa pemberian modal
usaha, selebihnya berupa pemberian harga khusus untuk hasil tangkapan, dan pemberian sarana
penangkapan. Ini mengindikasikan bahwa peranan pengusaha/punggawa dalam pemberian modal kepada
nelayan untuk melakukan penangkapan ikan sangat besar, sehingga nelayan tidak kekurangan modal dalam
kegiatan usahanya termasuk nelayan PITRaL.
Para pengusaha perikanan juga mengalami kendala, yaitu dengan semakin menurunnya suplai ikan, disamping
kekurangan modal usaha. Semakin menurunnya suplai ikan diakui sebagai pengaruh dari kegiatan PITRaL.
66
5.3 Pandangan Pemerintah
S umber daya alam laut di kepulauan Spermonde mestinya menjadi potensi yang harus dikembangkan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bahkan potensi ini diharapkan menjadi produk unggulan daerah.
Namun demikian, upaya optimalisasi sumberdaya laut ini harus tetap menjaga kelestarian lingkungan, agar
pemanfaatannya bisa berlanjut.
Kegiatan PITRaL merupakan kegiatan yang merusak lingkungan, karena dianggap berbahaya bagi
keberlangsungan sumberdaya laut di kepulauan Spermonde. Selain itu, kegiatan PITRaL sangat merugikan
lingkungan dan masyarakat secara umum dalam jangka panjang. Untuk itu, kegiatan PITRaL harus
ditanggulangi sesegera mungkin. Jika perlu, izin penangkapan kapal-kapal penangkap ikan yang terbukti
melakukan kegiatan PITRaL dicabut.
Upaya penanggulangan harus didasari oleh aturan hukum yang jelas dan upaya penegakan hukum yang
sungguh-sungguh. Acuan hukun nasional yang mengatur tentang PITRaL ini adalah Undang-Undang Perikanan
dan Undang-Undang Lingkungan Hidup. Selain itu, aktifitas penyuluhan harus lebih gencar dilakukan secara
terkordinasi oleh berbagai lembaga/instansi terkait agar para pelaku kegiatan PITRaL lebih memahami akibat
buruk dari kegiatan tersebut dan kemudian mau berhenti melakukannya. Disisi lain, masyarakat nelayan perlu
lebih diberdayakan dengan mengembangkan mata pencaharian alternatif.
Bahwa kegiatan PITRaL masih berlangsung hingga kini, disebabkan oleh tingginya tuntutan ekonomi
masyarakat nelayan, masih rendahnya pendidikan dan kesadaran masyarakat, dan belum efektifnya produk
hukum dan penegakan hukum. Dari sisi penegakan hukum, bila disinyalir ada oknum aparat yang terlibat
dalam kegiatan PITRaL mesti dibuktikan dan diproses secara hukum.
S umberdaya alam laut merupakan potensi yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat nelayan. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam laut, yang sudah berlangsung secara turun
temurun, masih perlu ditingkatkan agar mesyarakat nelayan yang terkenal miskin, dapat terangkat dari garis
kemiskinan. Saat ini sudah ada beberapa nelayan yang menggunakan teknologi tinggi dalam proses
penangkapan ikan.
Hanya saja, dalam upaya pemanfaatan sumberdaya alam laut sering terjadi pelanggran hukum yang sudah
ditangani oleh kejaksaan dan bahkan beberapa kasus sudah disidangkan. Salah satu pelanggaran yang paling
penting adalah kegiatan PITRaL yang dianggap sebagai sumber pengrusakan lingkungan laut.
Harus ada upaya serius untuk mencegah semakin tingginya intensitas kegiatan PITRaL. Penyuluhan hukum
harus terus digiatkan dengan melibatkan instansi terkait agar masyarakat memahami bahwa kegiatan PITRaL
merupakan kegiatan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat.
Kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap para pelaku PITRaL adalah karena bukti yang tidak
kuat dan kurangnya saksi. Selain itu, para pelaku kegiatan PITRaL umumnya terkenal sangat lihai dalam
mengaburkan jejak mereka, sementara aparat mengalami kendala dari sisi sarana untuk berpatroli.
Sinyalemen bahwa ada oknum aparat yang terlibat dalam kegiatan PITRaL mesti dibuktikan secara hukum.
Apabila mereka terbukti secara sah dan meyakinkan terlibat dalam kegiatan PITRaL, mereka harus ditindak
tegas sesuai dengan hukum yang berlaku dan kemudian dipecat.
67
5.5 Pandangan Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat
K egiatan ini di Spermonde telah berada pada kondisi yang sangat kritis dimana indikasi kerusakan ekologis
khususnya ekosistem terumbu karang sebagai akibat dari meningkatnya aktifitas tersebut semakin nyata.
Kegiatan ini tidak hanya berdampak kepada kehidupan biota laut yang berasosiasi dengan ekosistem terumbu
karang, namun telah memberikan efek disturbansi pada kehidupan sosial nelayan dan ekonomi sumberdaya
alam.
Konflik sosial antara nelayan non-PITRaL dengan PITRaL mulai mencuat, walaupun konflik tersebut masih
dalam taraf psikologis nelayan (rasa tidak suka akan kegiatan tersebut jika terjadi di wilayah perairannya).
Terdapat beberapa kasus konflik terbuka diantara nelayan tersebut seperti pertengkaran dan pengejaran.
Secara ekonomis, terdapat kecenderugan bahwa harga ikan hasil PITRaL lebih murah dibanding dengan harga
ikan hasil non-PITRaL. Ini bila terus berlangsung akan memberikan efek pasar yang merugikan nelayan-nelayan
lainnya.
Seharusnya, pembangunan kelautan termasuk pengembangan perikanan tangkap menjadi prioritas dan
berorientasi pada peningkatan ekonomi masyarakat secara umum. Upaya mengoptimalkan potensi
sumberdaya laut tersebut harus seiring dengan upaya-upaya pelestarian termasuk upaya mengurangi aktifitas
PITRaL dan pengenalan metode tangkap efektif yang ramah lingkungan kepada nelayan, sehingga
pemanfaatannya dapat berkesinambungan. Untuk itu diperlukan perencanaan yang strategis dimana
pemangku kepentingan (stakeholders) diberi ruang dan kesempatan untuk berfikir tentang pengelolaan
sumberdaya.
Untuk mencegah berkembangnya kegiatan ini yang mutlak dilakukan adalah penegakan supremasi hukum
termasuk kepada mereka (siapa saja) yang memberikan dukungan terhadap aktifitas PITRaL. Jika ada aparat
hukum yang terlibat kegiatan PITRaL harus diusut tuntas, dan jika terbukti terlibat harus diberi tindakan yang
tegas. Demikian pula kasus pelanggaran yang ditangani harus lebih bisa memberikan pelajaran kepada
masyarakat.
Walaupun demikian, penegakan hukum perlu dibarengi dengan upaya-upaya lain seperti advokasi yang
berujung pada kesadaran dan tanggung jawab kolektif masyarakat nelayan terhadap sumberdaya laut
68
TINJAUAN HUKUM DAN KEBIJAKAN
PENANGKAPAN IKAN DENGAN MENGGUNAKAN
BAB VI BAHAN PELEDAK DAN BIUS
D isadari bahwa supremasi hukum perlu dikedepankan karena melihat fenomena maraknya kegiatan PITRaL
di Spermonde. Meningkatnya intensitas kegiatan ini tentunya juga dipengaruhi oleh seberapa jauh
efektifitas penegakan hukum yang ada dalam meredam kegiatan ini. Bab ini mencoba menguraikan tentang
beberapa kondisi hukum dan kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya laut khususnya
penangkapan ikan dan kelestarian lingkungan.
Sistem hukum dan peradilan Indonesia mengakui adanya tingkatan atau hirarki peraturan perundang-
undangan, yaitu : Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945), Ketetapan MPR-RI (Tap MPR-RI), Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU/Perpu), Peraturan Pemerintah (PP),
Keputusan Presiden (Keppres), dan Peraturan Pelaksanaan lainnya (Instruksi Presiden, Keputusan Menteri,
Peraturan Daerah, Keputusan Gubernur, Keputusan Walikota, Keputusan Bupati dan lain sebagainya)
(Sembiring dkk, 1999).
Hirarki dalam sistem hukum dan peradilan di Indonesia tersebut yang dijadikan landasan studi ini dalam
melihat bagaimana fenomena kasus pelanggaran hukum dalam penangkapan sumber daya perikanan laut yang
terjadi di Kepulauan Spermonde, sejauhmana produk hukum yang ada efektif menjerat pelaku pelanggaran
tersebut, dan bagaimana produk hukum tersebut diimplementasikan di lapangan.
Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia, penggunaan bahan peledak dan bius untuk penangkapan ikan
dan organisme laut lainnya adalah dilarang. Produk perundangan-undangan yang berkaitan dengan
penggunaan bahan peledak dan bius dalam penangkapan sumber daya perikanan laut adalah :
69
Peraturan Pemerintah yang berkaitan berkaitan dengan penggunaan bahan peledak dan bius dalam
penangkapan sumber daya perikanan laut adalah :
Sedangkan Keputusan Presiden dan Surat Keputusan Menteri yang berkaitan dengan penggunaan bahan
peledak dan bius dalam penangkapan sumber daya perikanan laut adalah :
Catatan penting atas produk hukum tersebut di atas adalah, meskipun ada beberapa Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Surat Keputusan Menteri yang dapat digunakan untuk
menjerat aktor dan jaringan aktor yang terlibat dalam PITRaL, namun dalam pelaksanaannya di lapangan,
justru tidak efektif. Hal ini timbul karena perbedaan persepsi institusi penegak hukum dan aparatnya dalam
memandang tindakan PITRaL tersebut.
Satu institusi melihat PITRaL sudut pandang hukum yang berbeda-beda misalnya :
Pihak Kepolisian menggunakan UU. No 12 tahun 1951 Tentang SENJATA API dan BAHAN PELEDAK
Pihak Dinas Perikanan dan Kelautan mengacu pada UU. No. 9 tahun 1985 tentang PERIKANAN
Pihak BKSDA Departemen Kehutanan berdasarkan pada UU. No. 5 tahun 1990 tentang KONSERVASI SUMBER
DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan menggunakan PP. NO. 27 tahun 1999 tentang ANALISIS
MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP
Gambaran temuan-temuan kasus kegiatan PITRaL penggunaan material jenis bom dan bius di kawasan pulau-
pulau Spermonde mengindikasikan adanya ketidakjelasan sistem hukum dan peradilan yang mengatur
penegakan hukum dalam kasus PITRaL pada semua elemen yang terkait.
Sistem peradilan yang ada tidak cukup efektif dalam mengatur penegakan hukum di dalam kasus-kasus PITRaL
yang menggunakan bom dan bius. Hal ini berkaitan dengan tindakan dan sanksi hukum yang mengenai atau
mengikat para pelaku (aktor) PITRaL, aparat penegak hukum, masyarakat bukan pelaku, dan pasar yang
menerima atau menampung produk perikanan hasil PITRaL.
70
Kasus-kasus yang ditemui, baik di pulau, pangkalan pendaratan ikan, maupun yang sementara dalam proses
hukum, secara umum mendeskripsikan adanya intervensi oknum aparat penegak hukum yang bertugas.
Oknum aparat penegak hukum ini melakukan intervensi dalam bentuk meminta bagian uang (semacam
“komisi”) kepada orang yang tertangkap tangan (tertangkap basah) sedang atau telah melakukan pemboman
dan pembiusan ikan. Hal ini dilakukan di lapangan ( di atas kapal/perahu di tengah laut yang telah dan sedang
menangkap ikan dengan bom; di keramba tempat penampungan ikan hasil pembiusan di tengah laut; di pulau-
pulau lokasi pelaku pemboman dan pembiusan ikan; di pangkalan tempat pendaratan ikan; di lokasi-lokasi
khusus tempat penampungan ikan hasil pembiusan; hingga di tempat terakhir pemberangkatan ekspor ikan
hasil pembiusan ke luar negeri). Selain itu juga terutama banyak dilakukan di tempat-tempat khusus sesuai
kesepakatan kedua belah pihak (aktor pelaku PITRaL/punggawa pelindung PITRaL dengan oknum aparat
penegak hukum).
Ditemukan pula kasus tidak tuntasnya proses hukum pelaku PITRaL sampai ke-Kejaksaan untuk
diperadilankan. Sebagian juga temuan dari responden menyatakan pelaku PITRaL penggunaan bom dan bius
di kawasan Kepulauan Spermonde cenderung didiamkam oleh aparat keamanan.
Ketidakjelasan sistem hukum dan peradilan pada semua elemen masyarakat kepulauan khususnya di kawasan
pulau-pulau Spermonde akan menimbulkan persepsi berbeda di kalangan masyarakat, yang seolah-olah
melegalkan kegiatan PITRaL. Persentase Persepsi Kasus Hukum Nelayan PITRaL di Spermonde sebagian besar
ditangkap dan diselesaikan ditingkat penyidik sebesar 30%, yang ditahan dan diproses sampai kepengadilan
hanya 1%. Sementara negosiasi, musyawarah punggawa-petugas 3%, dilindungi oleh oknum petugas
(polisi/TNI) 4%, Lari bila ada oknum petugas 6%.
Terkait dengan penerapan produk hukum tersebut adalah siapa dan bagaimana institusi penegak hukum
menjalankan peraturan tersebut di lapangan. Dalam Profil PITRaL Kepulauan Spermonde ini badan atau
lembaga yang dianggap terlibat dalam penegakan hukum (yudikatif) di wilayah Kepulauan Spermonde, adalah
dalam lingkup Propinsi Sulawesi Selatan, Kota Makassar, Kabupaten Barru, Pangkep, Maros dan Takalar, dengan
hirarki sebagai berikut :
Kepolisian meliputi : POLDA Sulsel (Kepolisian Daerah Propinsi Sulawesi Selatan) ; POLRES (Kepolisian Resort)
Kabupaten Barru, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Kabupaten Maros dan Kabupaten Takalar ; POLSEKTA
(Kepolisian Sektor Kecamatan) Ujung Tanah ~ Makassar ; POLAIRUD (Kepolisian Air dan Udara) Makassar; dan
KP3 Makassar
Kejaksaan meliputi : Kejati Sulsel (Kejaksaan Tinggi Propinsi Sulawesi Selatan) ; Kejari (Kejaksaan Negeri)
Kota Makassar, Kabupaten Barru, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Kabupaten Takalar ; serta lembaga
khusus yaitu Kejaksaan Negeri Cabang Pelabuhan Makassar.
Pengadilan meliputi : Pengadilan Negeri Kota Makassar, Pengadilan Negeri Kabupaten Barru, Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan, Kabupaten Maros dan Kabupaten Takalar.
Dan ada juga yang disebut PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) Perikanan yang bisa melakukan penyidikan
dalam kasus pemboman dan pembiusan.
Banyak institusi menyebabkan tumpang tindihnya kewenangan dalam proses penegakan hukum terhadap
pelaku pengrusakan lingkungan laut. Sementara dilain pihak aparat justru memanfaatkan celah hukum
terhadap pelaku pemboman dan pembiusan karena harus terpenuhinya syarat hukum berupa barang bukti dan
saksi. Kebanyakan kasus diselesaikan di tingkat penyidikan yang bisa dilihat dari temuan-temuan yang
menunjukkan bahwa kurang sekali kegiatan PITRaL dibawa sampai ke tingkat pengadilan. Motif ekonomis
masih mewarnai proses hukum yang menimbulkan krisis penegakan hukum terhadap kasus-kasus PITRaL.
71
6.1.4 Kelemahan Penegakan Hukum
Ada asumsi bahwa kegiatan PITRal terus berlangsung karena produk hukum dan kebijakan yang mengatur
tentang sumberdaya laut dirasa kurang sempurna. Masih ditemukan kelemahan hukum sehingga supremasi
hukum yang harus ditegakkan tidak berjalan. Disamping itu ada oknum penegak hukum yang berwenang
terhadap permasalahan ini justru memanfaatkannya sehingga banyak kasus hanya diselesaikan ditingkat
penyidikan. Ini karena kurang didukung oleh barang bukti dan saksi serta pasal yang dapat dkenakan bagi
pelaku.
Ini dapat kita lihat pada persentase persepsi keterlibatan oknum dalam PITRaL menyatakan bahwa ada oknum
aparat yang terlibat (23%) dalam kegiatan PITRaL, ada indikasi ke arah itu tapi kurang/sulit dibuktikan (31%).
Dan oknum yang melindungi/mem-backing (4%). Disisi lain, persepsi yang menyatakan bahwa jika ada oknum
yang terlibat akan diproses sesuai dengan hukum sebanyak 13% dan yang harus ditindak tegas sebesar 18%.
Suatu kenyataan bahwa kesadaran hukum masyarakat nelayan khususnya yang berhubungan dengan
pengaturan dalam pemanfaatan sumberdaya laut termasuk pelestarian lingkungan adalah kurang. Mereka
justru menganggap bahwa banyaknya pengaturan atau mereka kenal sebagai “larangan” dalam bentuk
undang-undang atau peraturan (perlindungan satwa tertentu, kawasan konservasi) telah membuat ruang
gerak dan aktifitas mereka menjadi terbatas. Banyak diantara mereka main “kucing-kucingan” dengan pihak
aparat penegak hukum misalnya polisi perairan, angkatan laut, dan Polsek.
S takeholder yang berwewenang dalam menghasilkan sebuah produk hukum dan kebijakan, dalam hal ini
legislatif dan eksekutif, belum mengakomodir secara eksplisit bahaya kegiatan PITRaL yang mengancam
TINJAUAN HUKUM DAN KEBIJAKAN PENANGKAPAN IKAN
keberadaan potensi sumberdaya laut. Hal ini diperparah lagi dengan institusi penegak hukum (polisi, jaksa,
hakim, jagawana, PPNS) yang saling melempar tanggungjawab dalam situasi saling tumpang tindihnya
kewenangan.. Dari sisi hukum dan kebijakan yang perlu dikritisi adalah bagaimana kemauan pemeintah dalam
hal ini eksekutif dan legislatif serta institusi penegak hukum untuk dapat menelorkan sebuah pijakan hukum
dan kebijakan yang spesifik mengatur tentang PITRaL. Akankah PITRaL dapat disamakan dengan ketika
pemerintah melihat NARKOBA sebagai ancaman terhadap negara kita?
Pembangunan kelautan di Propinsi Sulawesi Selatan masih dititikberatkan pada pemanfaatan potensi
perikanan laut yang dirasakan belum optimal. Pihak legislatif memandang bahwa potensi kelautan begitu
besar tapi belum bisa dikelola dengan baik seperti di daerah-daerah lain.
Pihak legislatif tidak membenarkan adanya penangkapan ikan yang menggunakan bom dan bius yang dapat
merusak lingkungan. Harus ada upaya untuk mengurangi kegiatan tersebut. Upaya merintis pembuatan Perda
tentang upaya penanggulangan PITRaL akan dilakukan. Tentu dengan harapan agar melakukan kordinasi
dengan instansi terkait dan pengawasan yang ketat terutama di lapangan (pesisir dan pulau). (Sumber : Hasil
wawancara Anggota Komisi B DPRD Sulsel)
Pihak BKSDA melihat Kawasan Spermonde sebagai kawasan yang perlu dilakukan perlindungan/Konservasi
ekosistem. Hal ini telah dilakukan di TWAL Kapoposang yang meliputi tujuh pulau diantaranya 3 yang
berpenghuni (Pulau Kapoposang, Pandangan dan Gondong Bali) dengan luas areal + 50.000 Ha. Ini telah
ditetapkan dengan SK menteri Kehutanan no. 558/Kpts-VI/1996 tanggal 12 September 1996 sehingga dasar
hukumnya sudah jelas. (Sumber : Proyek penyusunan Neraca Sumberdaya Kelautan dan pesisi r Daerah,
Renacana Pengelolaan Taman Wisata Alam Kepulauan Kapoposang Kabupaten Pangkep Propinsi Sulsel, tahun
1998)
72
Kebijakan yang digunakan BKSDA Departemen Kehutanan adalah mengacu pada Undang-undang no 5 TAHUN
1990 tentang Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Sumber : Hasil wawancara dengan
Kepala Pokja Perlindungan BKSDASulsel).
Dinas kelautan dan Perikanan propinsi Sulsel melihat bahwa Pembangunan Kelautan harus diarahkan pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan PITRAL harus dicegah karena merusak lingkungan. Hukum
dan kebijakan yang berkaitan dengan itu mengacu pada UU tentang perikanan dinilai belum efektif berjalan
sesuai yang diharapkan (Sumber : Hasil wawancara dengan PPNS DKPSulsel)
Kota Makassar
Pihak legislatif Kota Makassar dalam melihat potensi kelautannya lebih menekankan pada pengembangan
kegiatan wisata bahari dan sumberdaya laut lainnya. Kebijakan yang diambil dalam pengelolaan
kepariwisataan bahari diharapkan menjadi salah satu sumber PAD Makassar. Kebijakan yang mengatur
mengenai potensi kelautan di Makassar semua mengacu pada DKP Pusat. (Sumber : Hasil Wawancara dengan
Wakil Ketua Komisi B DPRD Makassar)
Persepsi Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Makassar lebih menitikberatkan pada upaya pemberdayaan
masyarakat nelayan pesisir dan pulau dalam mengelola SDA laut dan perikanan. Kebijakan yang diambil adalah
pelarangan trawl yang mengacu pada UU No. 09 th. 1985 tentang perikanan. (Sumber : Hasil wawancara
denga Wakil Kadis DKPMakassar)
Dinas Kelautan dan Perikanan Makasar memandang bahwa seharusnya sektor perikanan menjadi unggulan
utama Sulawesi Selatan karena wilayah laut dan pesisirnya cukup luas. Aspek hukum dan kebijakan tidak
lepas dengan kegiatan pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat dan koordinasi dengan instansi terkait
diharapkan dapat menanggulangi PITRaL. (Sumber : Hasil wawancara dengan DKPMakassar)
Dilihat dari hasil persespsi kebijakan pemerintah kota makassar dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang
Kabupaten Maros
Persepsi pihak legislatif Kabupaten Maros mengenai pembangunan kelautan dan perikanan diharapkan dapat
berhasilguna dan berdayaguna bagi masyarakat dan pemerintah. Namun sampai saat ini belum ada kebijakan
yang dikeluarkan mengenai PITRaL. (Sumber : Hasil Wawancara dengan Anggota DPRD Komisi B Maros).
Dinas Pertanian memberikan gambaran mengenai aktifitas PITRaL di Spermonde. Banyak nelayan dari
kabupaten ini melakukan aktifitas di kawasan Spermonde. Pihak Dinas Pertanian Maros mengharapkan agar
pemanfaatan sumberdaya kelautan dimanfaatkan secara berkesinambungan. Usulan mengenai kebijakan
diharapkan dapat melahirkan sebuah Perda yang mengatur tentang PITRaL. (Sumber : Hasil wawancara
dengan Staf Program Dinas Pertanian Maros)
Persepsi pihak Bapedalda Maros sepenuhnya mendukung kebijakan Bupati dalam pembangunan kelautan.
Dalam menjalankan fungsinya tetap mengacu pada kebijakan UU No.23 tahun 1999 tentang Lingkungan Hidup.
(Sumber : Hasil Wawancara Bappedalda Bidang Analisis).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa belum ada suatu kebijakan yang mengatur spesifik tentang PITRaL.
Semua mengacu pada hukum positif yang telah dikeluarkan oleh pusat (DKP, Lingkungan Hidup)
73
Kabupaten Pangkep
Pihak legislatif Pangkep melihat sumberdaya laut yang ada harus dilestarikan, karena diwilayahnya terdapat
tiga kecamatan kepulauan yaitu Liukang Kalmas, Liukang Tangngayya, dan Liukang Tuppabiring dan beberapa
di pesisir pantai. Sebagai kabupaten kepulauan, pihak legislatif menginginkan upaya pemanfaatan potensi
tersebut secara berkesinambungan baik melalui kegiatan budidaya dan Perda tentang pemanfaatan potensi
perikanan dan wisata bahari. Kebijakan yang telah dibuat adalah Perda yang mengatur tentang pemanfaatan
SDA laut. (Sumber : Hasil wawancara dengan Setwan DPRD Pangkep)
Pihak eksekutif dalam hal ini Bupati Pangkep melihat bahwa pembangunan kelautan diwilayahnya perlu
dioptimalkan. Kawasan spermonde memang sangat potensial untuk perikanan tangkap, budidaya dan wisata
bahari. Khusus perikanan tangkap, mereka tidak setuju dengan kegiatan PITRAL. Kebijakan mengenai Pitral
sudah jelas bahwa hal itu dilarang baik Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup, Handak dan Undang-
Undang Perikanan. (Sumber : Hasil Wawancara dengan Kabag Umum BKDH Pangkep).
Pihak legislatif dan eksekutif Pangkep melihat potensi sumberdaya laut yang ada di kawasan Spermonde begitu
besar dan perlu penanganan yang menyeluruh, terencana dan sistematis dengan memperhatikan aspek
kelestarian lingkungan, pembedayaan dan peningkatan ekonomi masyarakat pesisir dan kepulauan.
Kebijakan daerah yang mengatur mengenai PITRaL sudah ada, hanya penerapannya belum efektif.
Kabupaten Barru
Pihak legislatif Kabupaten Barru melihat bahwa potensi sumberdaya Laut harus dimanfaatkan secara
maksimal. Landasan hukum dan Kebijakan yang diambil yang berkaitan dengan PITRaL adalah aturan tentang
pengrusakan terumbu karang dalam UU. No 23 tentang Lingkungan Hidup. (Sumber : Hasil Wawancara dengan
Ketua Komisi B DPRD Barru).
Pihak eksekutif dalam hal ini Sekwilda Barru melihat bahwa pemanfaatan potensi sumberdaya Laut dan
perikanan adalah dengan pola budidaya dan Ekowisata. Karena dengan pola ini diharapkan ekonomi
masyarakat pesisir dan kepulauan dapat meningkat taraf hidupnya. Aspek hukum dan kebijakan daerah yang
berkaitan dengan PITRaL adalah adanya aturan tentang pelarangan terhadap pengrusakan ekosistem terumbu
karang. (Sumber : Hasil Wawancara dengan Sekwilda Barru).
TINJAUAN HUKUM DAN KEBIJAKAN PENANGKAPAN IKAN
Kantor Lingkungan Hidup kabupaten Barru justru melihat bahwa potensi sumberdaya laut yang ada perlu
dimanfaatkan melalui kegiatan Ekowisata, karena ada beberapa wilayahnya yang mempunyai daya tarik
tersendiri dari aspek ekologis dan sosial budaya. Kebijakan yang berkaitan dengan PITRaL adalah telah adanya
Perda No.23 tahun 2001. (Sumber : Hasil Wawancara dengan Kantor Lingkungan Hidup Barru).
Persepsi Legislatif dan eksekutif kabupaten Barru dalam pembangunan kelautan menaruh harapan besar untuk
dimanfaatkan secara maksimal. Baik itu dengan kegiatan budidaya maupun Ekowisata. Aspek hukum dan
kebijakan yang berkaitan dengan PITRaL telah ada yaitu keluarnya Perda No. 23 tahun 2001.
Kabupaten Takalar
Legislatif Takalar melihat visi dan misi pembangunan kelautan harus dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pesisir dan pulau. Keseriusan ini telah tertuang dalam program “Gerbang Masa Depan” atau
Gerakan Pembangunan Masyarakat Pesisir dan Kepulauan. DPRD melihat tidak ada kebijakan daerah yang
khusus mengatur masalah PITRAL. Tetapi mereka berpendapat bahwa kegiatan itu PITRAL harus dicegah
apapun alasannya.
Dinas Perikanan Takalar menganggap bahwa pembangunan Kelautan diarahkan pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan melakukan penyuluhan dan pembinaan secara khusus. Untuk kasus yag
menyangkut PITRaL masyarakat cenderung tertutup. Sehingga harus ada keterpaduan dan kerja sama antara
instansi terkait. Sampai saat ini belum ada kebijakan khusus masalah PITRaL. (Sumber : Hasil wawancara
dengan Kadis DKPTakalar).
Eksekutif dalam hal ini Bupati melihat bahwa potensi sumberdaya laut di Kabupaten Takalar cukup besar.
Dalam mengelola itu semua diperlukan program yang terpadu dan melibatkan semua instansi. Kebijakan
daerah yang berkaitan dengan dengan PITRaL belum, hanya mengacu pada UU no 9 tahun 1995 tentang
Perikanan dan UU No. 23 tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. (Sumber : Hasil W awancara
dengan DPRD dan Bupati Takalar).
74
Dinas Kelautan dan Perikanan pangkep dan Barru melihat bahwa pemanfaatan sektor perikanan dan hasil laut
haruslah dioptimalkan. Dan sangat mendukung upaya untuk mengurangi tindak PITRaL. Kebijakan yang
diambil misalnya Pencabutan Izin bagi yang melanggar aturan, sidak dan kerja sama dengan pihak lain. Akan
tetapi ada beberapa pijakan hukum yang belum efektif sehingga harus ditunjang dengan Perda. (Sumber :
Hasil wawancara dengan DKPPangkep dan Barru)
KOTAK 6.1
TPI/PPI di Kabupaten/Kota
Pihak pengelola PPI/TPI yang ada antara lain : Paotere dan Rajawali di makassar, PPI Labuang Maros,
Beba takalar, Sumpang binangae di Barru, kali bone Pangkep, Lebih pada PAD melalui retribusi
kapal/perahu yang masuk serta ikan yang dibongkar muat oleh nelayan. Belum ada produk hukum dan
kebijakan yang mengatur tentang PITRaL minimal kebijakan pengawasan terhadap jenis dan
kenampakan visual hasil tangkapan ikan nelayan yang mendarat. Mekanisme kontrol belum berjalan
dan hanya menghitung berapa retribusi yang harus disetor kepada pemerintah.
Bappeda/Bapedal di kabupaten/kota
Bapedal Wilayah III yang sekarang dibawah naungan Deputi Kementrian Lingkungan Hidup Wilayah III
yang meliputi Sulawesi, Maluku dan Papua Bapedal melihat bahwa potensi sumberdaya laut harus
dilestarikan karena dampak ekologis lingkungan yang ditimbulkan cukup besar. Kerusakan ekosistem
terumbu karang menyebabkan ancaman terhadap lingkungan laut dan berdampak dan sosial ekonomi
masyarkat nelayan pesisir dan pulau.
Kegiatan PITRaL adalah melanggar hukum sehingga harus ada ketegasan aparat yang berwenang
tentang kegiatan tersebut. Tapi memang disadari bahwa pihak Bapedal belum mengeluarkan kebijakan
spesifik mengenai PITRaL. Tetapi upaya, rehabilitasi lingkungan dan penyuluhan serta penyadaran
masyarakat akan terus dilakukan. (Sumber : Hasil wawancara dengan Kepala BAPEDALwil. III)
75
6.2.3 Kebijakan Institusi Penegak Hukum
6.2.3.1 Kepolisian
Pemanfaatan Sumberdaya laut di spermonde telah terjadi pelanggaran aturan seperti pemboman
dan pembiusan ikan, pengambilan karang, penangkapan penyu, dan reklamasi mangrove. Polisi
perairan Polda Sulsel sudah menangani beberapa kasus PITRAL, bahkan sudah ada beberapa
tersangka. Kepolisian Resort Barru telah menagkap pelaku Lindra asal Madello Kecamatan Barru,
dimana status perkara telah dilimpahkan ke Kejaksaan. Polres Takalar telah menaangkap 3 kapal
motor berisi bahan pemboman ikan, namun pelakunya kabur. Juga telah ditahan sejumlah penyelam
dengan alat bukti bahan kimia untuk pembiusan ikan. (Sumber : Hasil wawancara dengan Polda
Sulsel, Polres Pangkep, Barru, Takalar dan Polsekta Ujung Tanah Makassar).
6.2.3.2 Kejaksaan
Kasus PITRaL yang pernah ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Sulsel dan Kejaksaan Negeri Pangkep
belum ada, tapi Kejaksaan Negeri Barru sudah ada 3 kasus dan 3 pelaku yang ditangani, dengan
tersangka LM, RL, HB, masing-masing berkasnya telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri. Sedang
Kejaksaan Negeri Takalar menangani sejumlah kasus PITRAL yang telah diajukan tapi dikategorikan
ringan dan lebih banyak dikembalikan berkasnya. (Sumber : Hasil wawancara dengan Kejaksaan
Tinggi Sulsel, Kejari Makassar, Pangep, Barru, dan Takalar)
6.2.3.3 Pengadilan
Pengadilan berpendapat bahwa terjadinya pelanggaran dalam Pemanfaatan SDAL telah merusak
ekosistem laut. Beberapa kasus PITRAL diantaranya adalah kasus pemboman ikan di Madello,
pencurian karang di Malusetasi, dan pembabatan mangrove di Kabupaten Barru. Kegiatan PITRaL
merupakan tindakan yang jelas melanggar hukum dan merusak, bila ada kasus akan diproses di
pengadilan.
TINJAUAN HUKUM DAN KEBIJAKAN PENANGKAPAN IKAN
Kasus PITRal yang sampai pada proses pengadilan hanya di Kabupaten Barru, yaitu LM yang divonis 3
tahun penjara, RL divonis 2 tahun penjara dan HB divonis selama 2 tahun penjara. (Sumber : Hasil
wawancara dengan Pengadilan T inggi Sulsel, Pengadilan Negeri Makassar , Pangep, Barru, dan
Takalar).
6.2.3.4 T N I
Pelanggaran pemanfaatan SDAL yang dilakukan oleh nelayan adalah pukat trawl dan passodo, bom,
bius, dan pengambilan karang untuk dijual. Kegiatan PITRaL dapat merusak terumbu karang dan
ikan, bahkan dapat menimbulkan konflik sosial, sehingga harus dilakukan pencegahan. Kegiatan ini
disinyalir didalangi oleh pejabat dan petugas. Kasus yang pernah ditangani menyangkut PITRaL
belum ada dan pihak TNI sepenuhnya menyerahkankasus pelanggaran PITRaL pihak kepolisian.
76
6.3 Alat Bukti, Saksi Pelapor dan Kasus Hukum
A da beberapa alat bukti seperti kasus di pulau Satangnga yang disita barang bukti berupa kapal,
komporessor, alat selam dan potasium. Semua alat bukti sebagai landasan dalam menggiring pelaku untuk
dijerat pasal hukum yang berkaitan dengan penyalahgunaan bahan peledak dan Undang-undang lingkungan
maupun handak.
Menyangkut Keamanan bagi saksi pelapor proses hukum yang berlangsung/ditegakkan harus diperhatikan
untuk membongkar jaringan pelaku baik dilapangan maupun otak dari semua sindikat tersebut.
Delik adauan maupun wewenang polisi untuk melakukan penyelidikan Kasus PITRal yang sampai pada proses
pengadilan hanya di Kabupaten Barru, yaitu LM divonis 3 tahun penjara, RL divonis 2 tahun dan HB selama 2
tahun.
Berbagai kasus yang dikompilasi dipaparkan dalam tabel bawah. Tabel tersebut menggambarkan 3 kasus besar
yang terjadi di kepulauan Spermonde, masing-masing kesehatan, hukum dan sosial. Kasus kesehatan antara
lain beberapa orang meninggal, cacat badan, cacat setengah badan, tangan buntung. Kasus hukum meliputi
penangkapan pelaku oleh aparat, ada yang langsung dilepas dan ada pula yang divonis, serta penyitaan kapal.
Sementara secara sosial terjadi kesenjangan antar masyarakat, malah terdapat pelaku pengeboman yang
dihakimi masyarakat. Disamping itu muncul juga berbagai konflik antar masyarakat.
77
Prosentase korban akibat PITRaL menurut responden di Spermonde yang mengalami lumpuh sebanyak 10%,
meninggal dunia 41%, cacat 1 %, kapal meledak 4%. Sementara yang menyatakan belum ada sebanyak 4%,
tidak ada 33%, tidak pernah 3%, dan tidak tahu 4%.
Kasus yang berhubungan dengan kesehatan berupa cacat, meninggal, hingga tangan buntung adalah kasus
yang terjadi ketika pelaku pengeboman melakukan kesalahan, yang mungkin disebabkan bom tersebut
meledak sebelum waktu yang diperkirakan dan jarak peboman ikan yang terlalu dekat dengan bom yang
meledak. Sumbu bom yang terlalu pedek juga dapat menjadi penentu terjadinya kasus meninggal dan cacat,
karena pelaku pemboman ikan tidak punya cukup waktu untuk menghindar dari lokasi. Apalagi bila ukuran
bom yang dilempar memiliki kekuatan ledak yang cukup tinggi.
Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom adalah kegiatan ilegal, sehingga siapapun yang terlibat
melakukannya harus ditangkap. Para pelaku lapangan, punggawa pemodal, pemilik kapal, penampung,
penyuplai material, dan pengusaha adalah pihak-pihak yang terkait langsung dengan kegiatan ini. Untuk itu,
aparat keamanan harus menangkap, menyita kapal atau barang yang terkait, dan mengusut beberapa kasus
hingga ke pengadilan. Sayangnya, tidak semua aparat keamanan melakukan tugasnya dengan baik. Cukup
banyak oknum aparat keamanan yang justru menjadi “pemain” yang mengutip biaya keamanan dan
perlindungan dan memberikan kemudahan-kemudahan lain kepada para pelaku. Beberapa pelaku yang
ditangkap tangan kadang langsung dibebaskan ketika menyerahkan sejumlah uang. Demikian pula beberapa
punggawa mengakui sering didatangi petugas untuk memungut biaya keamanan tersebut.
Adapun konflik sosial yang muncul di kalangan masyarakat biasanya terjadi antara para pelaku PITRaL dan
non-PITRaL. Cukup banyak warga masyarakat Spermonde yang menyadari dampak negatif kegiatan PITRaL
tersebut, baik secara ekonomi, sosial dan ekologis. Sehingga ketika mereka ingin mencegah atau melarang
kegiatan PITRaL di daerahnya, terjadilah konflik. Hal ini biasanya terjadi dengan para pendatang yang hendak
melakukan kegiatan pemboman ikan atau PITRaL lainnya. Namun biasanya, para pelaku pemboman ikan juga
memiliki jaringan yang cukup kuat dan didukung oleh tokoh-tokoh berpengaruh, baik itu kepala desa maupun
aparat keamanan. Sehingga upaya untuk menindak pelaku pembom merupakan hal yang sangat sensitif dalam
masyarakat.
Berbagai kasus yang berhubungan dengan kegiatan pembiusan ikan yang terjadi di Kepulauan Spermonde
dapat terlihat pada tabel berikut.
Sumber : Data Hasil Studi Destructive Fishing di Spermonde, DFW Indonesia 2003
78
Tabel tersebut menunjukkan bahwa tidak ada kasus kesehatan yang terjadi. Padahal dalam prakteknya,
ketika mencampur bahan dan material pembiusan tersebut, pelaku kadang terluka tangannya. Demikian juga
ketika melakukan pembiusan di bawah laut, apabila berbalik dan mengarah kepada pembius, para pelaku
pembiusan tersebut juga dapat terkena berbagai dampak kesehatan yang kurang baik.
Adapun berbagai kasus hukum yang terjadi di kepulauan Spermonde terjadi karena status kegiatan pembiusan
yang memang ilegal. Baik para pelaku lapangan, Punggawa darat, pengekspor senantiasa berhubungan
dengan aparat keamanan. Akan tetapi karena potensi komersialnya yang sangat besar, sehingga praktek ini
terus terjadi. Malah oknum aparat keamanan dan berbagai pihak lainnya menjadikan para pelaku yang
79
DAFTAR PUSTAKA
Best, M.B. and Boekschoten, G.S, 1989. Comparative Qualitative Studies on Coral Species Composition in
Various Reef Sites in Eastern IndonesiaArchipelago.
Destructive Fishing Watch (DFW), 2001. Pelatihan Investigasi Destructive Fishin g bagi Jurnalis. Laporan
Kegiatan. Makassar. Sulawesi Selatan.
Destructive Fishing Watch (DFW), 2003. Laporan : Kajian Cepat (Rapid Assessment) Kegiatan Penangkapan
Ikan Tidak Ramah Lingkungan (PITRaL) di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan . Kerjasama
COREMAP dan DFW. Makassar. Sulawesi Selatan.
Direktorat Jenderal Perikanan, 1999. Tatalaksana Untuk Perikanan. Bagian Proyek Pengelolaan Sumber Daya
Perikanan Sulawesi Selatan.
Ditjen BANGDA dan Ditjen BKSDA, 1997. Buku I : Rencana Pengelolaan T aman Wisata Alam Laut Pulau
Kapoposang Kabupaten Pangkajene Propinsi Sulawesi Selatan; Rancangan Laporan Akhir. Sulawesi
Selatan
Hutchinson., D.R., 1945. Coral Reef and Cay of the Makassar Straits.HQ Air Force SW - Pacific Area Intell.
International Marinelife Alliance (IMA), 2001. Country Status Overview on Reef Fisheries E xploitation and
Trade in Indonesia. IMA. Jakarta.
Johannes, R.E. and Riepen, M., 1995. Environmental, Economic and Social Implications of the Live Reefrade
T
in Asia and the Western Pacific. The Nature Conservancy. Jakarta.
Jompa, J., 1996. Monitoring and Assessment of Coral Reef in Spermonde Archipelago, South Sulawesi,
Indonesia. Unpubl. M.Sc. Thesis, McMaster University.
Moka, A.G., 2001. Bentuk Kepulauan Spermonde (Sangkarang). Materi Pendidikan dan Latihan Metodologi
Penelitian Terumbu Karang. Puslitbang Oseanologi LIPI UNHAS - BAPPEDA Sulawesi Selatan -
COREMAP- POSSI Sulawesi Selatan. Makassar. Indonesia
Nessa, M.N., 2001. Pengelolaan Sumberdaya Laut Sulawesi Selatan yang Berkelanjutan . Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Hasanuddin. Makassar.
Pet-Soede, L., 2000. Options For Co-Management of an Indonesia Coastal Fishery. Wageningen Universiteit.
Wageningen. The Netherlands.
Pet-Soede. L., et al., 1999. Economics of Blast Fishing in Spermonde Archipelago, Indonesia. Environmental
Conservation.
Sembiring,S.N. dan Husbani,F., 1999. Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di
Indonesia : Menuju Pengembangan Desentralisasi dan Peningkatan Peran serta Masyarakat
. Lembaga
Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia Indonesian Center for Environmental Law. Natural
Resources Management Program. USAID.
Subandi, N., 2002. Pengembangan Metode Penyidikan Ilmiah dalam Pembuktian Kasus-kasus Penangkapan
Ikan dengan Bahan Peledak dan Sianida. Usulan Penelitian. Program Pascasarjana Insitut Pertanian
Bogor. Bogor.
Suharsono, 1981. Beberapa Penyebab Kerusakan T erumbu Karang. Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI.
Jakarta.
Tim Studi Analisa Sosial Coremap Propinsi Sulawesi Selatan, 1996. Studi Analisa Sosial untuk Progra m
Perencanaan Rehabilitasi dan Pengelolaan T erumbu Karang Sulawesi Selatan : Buku II. Analisa
Lingkungan Sosial (Social Assessment). Kerjasaman LIPI dengan Fakultas ISIPOL Universitas
Hasanuddin. Ujung Pandang.
Tim Studi Sosioeconomic Assessment Pokja Coremap Sulawesi Selatan, 2001. Penilaian Kondisi Sosial dan
Ekonomi di Kepulauan Spermonde dan Kepulauan Sembilan Sulawesi Selatan
.
World Resources Institute, Washington-USA. http://www.wri.org
YKL Indonesia, 1999. Laporan Akhir Survei Oseanografi untuk Penanggulangan Kerusakan Pantai Pulau
Kodingareng Lompo. Kerjasama Yayasan Konservasi Laut Indonesia dan Plan International (Program
Unit Ujung Pandang). Makassar. Indonesia.
i
Keterangan Foto