7 Aktifitas nelayan Papagaran, NTT pada saat musim perikanan sancara yang ditangkap
dengan alat sero (photo oleh Andreas Muljadi – The Nature Conservancy)
Cerita nelayan Muncar, Jawa Timur tentang perikanan lemuru tidak kalah menariknya dengan
nelayan Papagaran, Komodo. Sejak tahun 1958, peneliti Indonesia sudah melaporkan hasil penelitian
tentang perikanan lemuru Selat Bali sebagai salah satu jenis perikanan tropis yang sangat spesifik.
Bahkan hasil penelitian tersebut dilaporkan pada sidang Perserikatan Bangsa Bangsa. Nelayan tetua
mengatakan bahwa dulu mereka menangkap ikan lemuru di depan kali Mati dan Kali Moro, di dalam
Teluk Pangpang. Pada saat musim lemuru, nelayan bahkan tidak perlu menggunakan alat khusus
untuk mengambil ikan lemuru, untuk keperluan konsumsi keluarga. Dongeng nelayan tua sangat
berbeda dengan kenyataan yang dihadapi oleh nelayan saat ini, yang bahkan menggunakan perahu
pukat cincin bermesin ganda. Mereka harus keluar jauh dari Teluk, bahkan sampai ke wilayah
Paparan Bali dan Selatan Jawa Timur. Berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah Propinsi Bali dan
Jawa Timur, jumlah pukat cincin yang diperbolehkan beroperasi di Selat Bali mencapai 275 unit, 190
unit dari Banyuwangi dan 85 unit dari Bali. Seorang peneliti perikanan (Prof. Sahri Muhammad)
menyarankan untuk menurunkan jumlah pukat cincin, menjadi 145 unit, 100 unit dari Banyuwangi
dan 45 unit dari Bali. Pada kondisi perikanan lemuru di Selat Bali sudah mengalami indikasi
penangkapan berlebih, saran ini dirasakan cukup beralasan – memberikan kesempatan kepada Selat
Bali untuk beristirahat dan memulihkan populasi ikan lemuru. Namun saran ini sulit diterima oleh
berbagai kalangan dan peneliti lain. Alasan utamanya ialah bahwa saran tersebut tidak didasari oleh
data pendukung yang kuat – suatu alasan klasik yang memang benar adanya. Dibalik alasan kuat
tersebut, kita semua menyadari bahwa perikanan lemuru Selat Bali sudah mengalami penangkapan
berlebih. Konsekuensi dari penangkapan berlebih ialah menurunkan jumlah usaha atau Effort untuk
menangkap ikan lemuru (pukat cincin), dan hal ini sangat sulit untuk bisa diterapkan. Implikasi inilah
yang membuat pemerintah masih enggan untuk membahas perikanan pukat cincin di Selat Bali.
Seorang pengajar di Fakultas Perikanan UNIBRAW, beberapa waktu lalu menerima pesan singkat dari
seorang petugas perikanan lapang di Muncar. Isi pesan singkat tersebut ialah sebagai berikut: “dulu,
Tabel 5.3 Persepsi nelayan yang menunjukkan penurunan hasil tangkap dalam periode waktu 20
tahun terakhir (time trends) pada berbagai daerah di Indonesia
Hasil tangkap dulu (> Hasil sekarang (sejak 3
NO Asal Nelayan Jenis Perikanan
20 tahun lalu) tahun lalu)
1 Papagaran, Komodo Kamande (tuba) 10 boatload/hari 3 boatload/hari
2 Papagaran, Komodo Sero/perangkap 2 boatload/hari ½ boatload/hari
3 Wakatobi, Sulawesi Pancing 150 kg/hari 5 kg/hari
4 Muncar, Jawa Timur Sotok Operasi dalam teluk Operasi keluar teluk
5 Derawan, Kalimantan Pancing 60 kg/hari 15 kg/hari
Timur
6 Banyuwangi Jaring permukaan Operasi Selat Bali Operasi di Selat
menangkap cumi Lombok & NTT
7 Tuban, Jawa Timur Pukat cicin, pelagis Operasi di Laut Jawa Operasi di Selatan
kecil Jawa Timur
8 Prigi, Jawa Timur Pancing ulur, layur Operasi di Prigi dan Operasi di Pacitan dan
Popoh Wonogiri
9 Manokwari, Papua Gillnet permukaan Operasi tanpa Operasi dengan
perahu di depan perahu motor, ke
kampung tengah
10 Prigi, Jawa Timur Jaring tarik (beach 1.500 kg/operasi 75 kg/operasi
seine)
Pengalaman terjadinya penangkapan berlebih di Indonesia tidak saja terjadi pada wilayah
perairan dengan penduduk atau jumlah nelayan yang padat, seperti Pulau Jawa. Pengalaman ini juga
dialami oleh sebagian nelayan di wilayah Timur Indonesia maupun Kalimantan. Beberapa nelayan
dari Pulau Kofiau, Raja Ampat (Papua) menceritakan pengalaman menangkap ikan kerapu sunu tidak
menggunakan pancing. Menjelang dan saat bulan purnama, ikan kerapu sunu biasanya bergabung
(agregasi) untuk melakukan pemijahan. Selesai melakukan perkawinan, sebagian induk kerapu sunu
akan kehabisan energi dan terdampar di darat (maksudnya perairan dangkal dekat pantai).
Kesempatan ini digunakan oleh penduduk di sekitar pulau untuk mengambil induk-induk yang sudah
dalam kondisi lemah. Hasil tangkapan hanya untuk memenuhi konsumsi keluarga (subsisten). Ketika
tim melakukan observasi di lapang (Pulau Gebe), kami tidak menemukan banyak ikan kerapu sunu
selama periode bulan purnama. Beberapa nelayan dari luar desa, bahkan luar pulau kami amati
tinggal sementara pada gubuk-gubuk dekat Pulau Gebe. Mereka menggunakan alat selam dan
karamba untuk menyimpan hasil tangkapan ikan hidup. Saat dikonfirmasi ulang kepada nelayan
lokal, mereka mengatakan bahwa itu terjadi beberapa tahun yang lalu (sebelum tahun 2000).
Bukti-bukti sudah sangat jelas mengisyaratkan bahwa sebagian besar wilayah perairan
Indonesia sudah mengalami penangkapan berlebih. Hasil temuan ilmiah per wilayah pengelolaan
perikanan (WPP), data perikanan Tuna Long-Line maupun pengalaman nelayan lokal selalu tertuju
pada kesimpulan bahwa stok sumber daya ikan sudah berkurang. Pengelolaan perikanan terutama
Sejak tahun 1992, Indonesia secara resmi ikut menanda tangani komitmen untuk melindungi
keragaman hayati. Dua tahun kemudian, pemerintah menetapkan Undang Undang Nomor 5 tahun
1994 tentang ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati, sebagai kelanjutan dari tanggung jawab
yang dilakukan di Brasil pada tahun 1992. Indonesia menggunakan dua pendekatan dalam
perlindungan keragaman hayati, ialah: konservasi kawasan dan konservasi spesies bersama genetik.
Jauh sebelum itu, pemerintah telah menerapkan sistem konservasi kawasan, dengan ditetapkannya
Taman Nasional Kepulauan Seribu dan Taman Nasional Komodo (tahun 1980). Selanjutnya,
pemerintah menetapkan Undang Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya.
Definisi tentang kawasan konservasi akan dibahas secara khusus pada bab tersendiri – pada
dasarnya, kawasan konservasi ialah suatu wilayah (di darat atau di laut) yang dilindungi dari segala
bentuk kegiatan ekstraktif atau pengambilan, dengan tujuan untuk perlindungan keragaman hayati
dan pemanfaatan berkelanjutan (sustainable use). Berdasarkan lokasinya, kawasan konservasi di
Indonesia bisa dibedakan dalam tiga bentuk, ialah: kawasan konservasi yang seluruh wilayahnya
terdiri dari daratan, terdiri dari wilayah darat bersama perairan (laut), dan seluruh wilayahnya
merupakan perairan (laut). Taman Nasional Teluk Cendrawasih ialah kawasan konservasi yang
seluruh wilayahnya merupakan perairan (laut). Contoh lainnya ialah Taman Nasional Wakatobi,
Taman Nasional Bunaken dan Taman Nasional Kepualuan Seribu. Taman Nasional Ujung Kulon terdiri
dari wilayah darat dan laut. Sedangkan Taman Nasional Gede Pangrango seluruh wilayahnya
merupakan daratan. Kawasan Konservasi Perairan (KKP) ialah jenis kawasan konservasi yang
sebagian atau seluruh wilayahnya terdiri dari wilayah perairan.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, sejak tahun 1975 pemerintah Indonesia sudah mulai
menerapkan sistem konservasi kawasan dengan tujuan untuk perlindungan keragaman hayati.
Wilayah kawasan konservasi bisa terdiri dari daratan, daratan bersama perairan (laut) atau
seluruhnya merupakan Wilayah Perairan (laut). Kawasan konservasi akan melindungi seluruh
ekosistem, termasuk habitat dan organisme yang terdapat di dalamnya. Untuk kategori KKP,
konservasi memberikan dampak pada kesehatan ekosistem di dalam wilayah yang dikonservasi. Hal
ini termasuk: lingkungan terumbu karang, bakau dan padang lamun yang lebih sehat, ukuran ikan
dan induk yang lebih besar, dan terpeliharanya lokasi-lokasi perkawinan ikan. Kawasan konservasi di
wilayah perairan akhirnya memberikan dampak positif bagi stok perikanan di sekitarnya. Pada
kondisi perikanan laut yang sudah mengalami tangkap lebih, Kawasan Konservasi Perairan ialah
suatu ide untuk memperbaiki sistem pengelolaan perikanan tangkap.
Pada bab sebelumnya, kita sudah membahas tentang habitat dan sumberdaya ikan di laut yang
terancam mengalami kepunahan. Sumber ancaman utama berasal dari penangkapan berlebih dan
penangkapan destruktif atau dengan metode yang tidak ramah lingkungan. Pada bab ini kita juga
Kawasan konservasi perairan, seperti sudah sering diungkapkan, ialah wilayah di laut (dengan
batas-batas yang jelas), dilindungi untuk mencapai tujuan tertentu – perlindungan keanekaragaman
hayati, perikanan tangkap atau perlindungan lokasi penting untuk pariwisata. Karakteristik paling
mendasar dari suatu Kawasan Konservasi Perairan ialah adanya suatu wilayah dengan status sebagai
Wilayah Larang-Ambil (WLA) atau sering disebut No-Take Zone (NTZ). Pada wilayah WLA berlaku
aturan untuk melarang seluruh aktifitas yang bersifat ekstraktif, seperti pengambilan atau
penangkapan ikan. Dengan demikian, KKP bisa saja terdiri dari beberapa wilayah untuk peruntukan
Gambar 5.8 Berbagai zonasi atau wilayah peruntukan didalam Kawasan Konservasi Perairan,
salah satu diantaranya ialah wilayah larang ambil; pada gambar ditunjukkan sebagai
area perlindungan terumbu karang (Gambar diambil dari Poster PHKA-TNC-USAID
dan GAHAWISRI tentang Kawasan Perlindungan laut).
Penangkapan ikan berdampak negatif pada sumberdaya ikan dan habitat tempat ikan untuk
melakukan pemijahan, wilayah asuhan dan tempat mencari makan. Pengambilan ikan target secara
belebihan bisa mempengaruhi struktur populasi dan rakitan spesies yang pada akhirnya
mempengaruhi kesehatan habitat ikan. Operasi alat tangkap atau meode yang tidak ramah
lingkungan secara langsung bisa mempengaruhi kondisi habitat. Jika habitat termasuk jenis yang
sensitif, tingkat eksploitasi pada skala rendah sekalipun bisa berdampak pada kerusakan habitat
ikan. Pencadangan sebagian wilayah penangkapan sebagai wilayah larang-ambil memberikan
kesempatan untuk perbaikan habitat, terutama yang ada di dalam wilayah larang-ambil.
Tabel 5.4 Kondisi habitat (persentase tutupan karang keras hidup) di dalam dan di luar wilayah
larang-ambil (WLA) dari 12 Kawasan Konservasi Perairan di Filipina. Nelayan bisa
menangkap ikan di luar WLA namun tidak ada penangkapan di dalam WLA (Sumber: Russ
et al., 1995)
Nama KKP – wilayah Tahun Umur KKP Karang keras hidup (%)
NO Luas (ha)
larang-ambil (WLA) penetapan ketika disurvei Didalam WLA Di luar WLA
1 Alegre 1991 13 20,0 46,8 (3.4) 37,5 (8.0)
2 Sumilon 1974 -3 sampai 9 37,5 34,0 (2.8) 17,0 (1.3)
3 Bolisong 1995 7 10,0 51,2 (6.4) 48,8 (5.2)
4 Tandayang 1996 6 6,0 52,8 (6.5) 28,2 (7.0)
5 Cangmating 1997 4 6,0 14,4 (4.9) 18,4 (3.9)
6 Masaplod 1995 6 6,0 14,5 (5.4) 4,5 (4.5)
7 Apo 1982 1 sampai 19 22,5 53,6 (2.6) 17,5 (2.7)
8 Tambobo 1995 7 8,0 25,8 (1.8) 25,6 (6.5)
9 Bongalonan 1993 9 20,0 27,8 (2.5) 25,3 (3.6)
10 Canlucani 2000 2 9,0 5,9 (1.2) 16,6 (4.7)
11 Binaliwan 2000 1 8,5 13,9 (4.2) 12,8 (3.7)
Keterangan : Sumilon mempunyai umur negatif karena ada periode dimana WLA dibuka kembali
(nelayan menangkap ikan di dalam WLA); kawasan WLA dan luar WLA di daerah Apo
dan Sumilon dimonitor secara regular sejak tahun 1983 – 2001; angka di dalam kurung
menunjukkan nilai ragam dari rata-rata penutupan karang keras hidup.
Penelitian yang hampir sama dengan di Filipina juga dilakukan di dalam Kawasan Taman
Nasional Komodo. Sejak bulan Mei 1996, petugas di Taman Nasional mulai melakukan patroli intensif
untuk melarang penggunaan alat tangkap destruktif di dalam kawasan. Sebelumnya, dilakukan
monitoring terhadap frekuensi insiden suara bom ikan yang didengar oleh petugas dari darat.
Setelah patroli rutin, jumlah kejadian penangkapan dengan menggunakan bom ikan menurun drastis
di dalam kawasan. Sebelum patroli rutin, secara rata-rata petugas mencatat antara 20 – 30 kali
ledakan bom yang terjadi di dalam kawasan per bulan. Setelah mulai patroli rutin, jumlah tersebut
30
Luar WLA
Da lam WLA
Karang keras hidup (%)
25
20
15
10
199 6 19 98 20 00 2 002
Tahun
Gambar 5.9 Hasil monitoring tutupan karang keras hidup di dalam kawasan Taman Nasional
Komodo dibandingkan dengan wilayah di luar kawasan. Pemantauan dilakukan
selama 8 (delapan) tahun (sumber: digambar ulang dari Mous et al., 2007)
Soufriere ialah sebuah kota kecil di bagian Barat Daya St. Lucia, West Indies. Sumber mata
pencaharian masyarakat berasal dari perikanan dan pariwisata. Aktifitas wisata utama ialah
snorkeling, menyelam dan yachting. Kegiatan terbagi antara perikanan karang di pantai dan
perikanan lepas pantai untuk menangkap ikan tuna. Sejak tahun 1980an terjadi peningkatan konflik
antara pengguna sumber daya – perikanan dan pariwisata. Pada saat yang sama, hasil tangkap ikan
karang dan kesehatan terumbu karang mengalami penurunan.
10.0
Luar WLA
Dalam WLA
8.0
Bio ma s p er coun t, kg
6.0
4.0
2.0
0.0
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Ta hun
Gambar 5.10 Rata-rata biomass ikan komersial per count (dalam kg) sejak tahun 1995 – 2001 di
dalam dan di luar wilayah larang-ambil (Sumber: Gell & Roberts, 2002).
Penetapan dan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan oleh pemerintah St. Lucia terbukti
memberikan hasil yang nyata dari sisi kejelasan wilayah untuk pariwisata, peningkatan jumlah
kunjungan wisata dan peningkatan hasil tangkap nelayan. Keberhasilan tersebut didapat bukan
tanpa pengorbanan. Pada awal penetapan kawasan, nelayan harus menanggung resiko
berkurangnya wilayah penangkapan ikan karang sampai 35% dari kondisi sebelumnya. Keputusan ini,
pada awalnya tentu saja mengundang pro vs kontra diantara nelayan, pengguna sumberdaya lainnya
(pariwisata) dan pemerintah sebagai pemegang autoritas di wilayah tersebut. Namun, setelah 5 – 6
tahun pengelolaan, masyarakat nelayan bisa melihat dampak kawasan konservasi pada perikanan.
Namun, keuntungan yang datang belakangan, setelah pengorbanan pengurangan 35% wilayah
penangkapan, belum tentu bisa dirasakan sebagai kompensasi oleh semua nelayan.
Penetapan Kawasan Konservasi Perairan dengan mengurangi 35% daerah penangkapan
menjadi wilayah larang-ambil mungkin telah merugikan beberapa komponen nelayan. Oleh karena
itu, pemerintah melakukan survei persepsi masyarakat akan manfaat kawasan konservasi pada
mereka. Survei dilakukan di desa Creole melalui bantuan seorang penterjemah. Pertanyaan kunci
yang diajukan kepada nelayan ialah “apakah perikanan sekarang (a) lebih baik, (b) sama, atau (c)
lebih jelek, setelah Soufriere ditetapkan sebagai kawasan konservasi dengan mencadangkan 35%
dari daerah penangkapan ikan karang sebagai wilayah larang-ambil. Pertanyaan diajukan pada 4
(empat) kategori umur nelayan: 15 – 30 tahun, 31 – 45 tahun, 46 – 60 tahun dan 61 – 85 tahun.
Hasil survei mendapatkan gambaran yang berbeda berdasarkan kategori umur nelayan
responden. Nelayan kategori umur muda (< 45 tahun) sebagian besar menyatakan kawasan
konservasi memberikan manfaat bagi perikanan tangkap. Pada kelompok umur 45 – 60 tahun
cenderung bersifat netral, mungkin karena tidak tahu, sedangkan kelompok nelayan tua cenderung
menyatakan bahwa Kawasan Konservasi Perairan menyebabkan turunnya kondisi perikanan
tangkap. Kesimpulannya ialah bahwa manfaat kawasan konservasi bagi perikanan lebih banyak
dirasakan oleh kelompok nelayan muda dibandingkan dengan nelayan yang sudah berumur lebih
tua.
Tabel 5.5 Hasil survei pada persepsi nelayan Soufriere terkait dengan manfaat Kawasan Konservasi
Perairan (yang ditetapkan oleh pemerintah St. Lucia) bagi perikanan (Sumber: Roberts et
al., 2001)
Survei untuk mengukur persepsi masyarakat nelayan akan manfaat Kawasan Konservasi
Perairan bagi masayarakat juga pernah dilakukan pada 4 (empat) lokasi kawasan di Indonesia, ialah:
Komodo, Wakatobi, Derawan dan Raja Ampat. Pada ke-empat lokasi survei, belum ada bukti ilmiah
peningkatan hasil tangkap sebagai akibat dari penetapan dan implementasi Kawasan Konservasi
Perairan. Satu-satunya data yang bisa dsampaikan ialah peningkatan tutupan karang keras hidup dari
dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Survei lebih ditujukan untuk mempelajari dampak
75
% jawaban responden
Ans wer ID
tidak tahu
50
setuju
tidak s etuju
25
0
Derawan Komodo Raja Ampat W ak atobi
L okasi KKP
SITE
Gambar 5.11 Hasil survei masyarakat nelayan pada 4 (empat) Kawasan Konservasi Perairan di
Indonesia: Derawan, Komodo, Raja Ampat dan Wakatobi, yang dilakukan pada tahun
2007 (Sumber: Widodo et al., 2009)
Kawasan Konservasi Perairan, secara teoritis dan empiris terbukti berdampak positif bagi
perikanan tangkap. Mekanisme berjalannya manfaat ini berlangsung dalam dua tahap. Pada tahap
pertama, akan terjadi perbaikan populasi dan habitat ikan yang dimulai dari dalam wilayah larang-
ambil. Beberapa waktu kemudian manfaat tersebut mengalir keluar wilayah larang-ambil dari suatu
Kawasan Konservasi Perairan.
Ketika aturan di dalam wilayah larang-ambil mulai diterapkan, dia mulai memberikan dampak
langsung dalam periode waktu jangka pendek. Manfaat tersebut bisa dibedakan dalam 5 (lima)
mekanisme utama, ialah: mortalitas penangkapan, ukuran populasi, struktur populasi, kapasitas
Laju kematian karena penangkapan (fishing mortality rate) bisa mencapai beberapa kali lipat
lebih tinggi dibandingkan dengan mortalitas yang terjadi secara alami. Hal ini terutama terjadi pada
ikan-ikan yang menjadi target penangkapan oleh nelayan. Karakteristik dari ikan target ini ialah
harganya mahal (termasuk jenis ikan ekonomis penting) dan permintaan pasar tinggi sehingga
nelayan memanfaatkan peluang untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi. Dalam waktu
yang relatif singkat, ikan-ikan target bisa terkuras karena perisitwa penangkapan berlebih (over-
fishing). Pengelolaan perikanan tangkap ialah usaha untuk mengontrol mortalitas penangkapan
untuk mempertahankan keberlanjutan usaha perikanan pada hasil yang optimal (MSY). Keberhasilan
untuk mengontrol mortalitas penangkapan sangat tergantung dari cara atau pendekatan yang
digunakan. Kawasan Konservasi Perairan melalui wilayah larang-ambil ialah pendekatan tambahan
dari metode yang sudah ada dan diterapkan saat ini, bukan sebagai pengganti dari pendekatan
tersebut. Wilayah larang-ambil ditujukan sebagai usaha untuk mencegah atau mengurangi porsi
mortalitas penangkapan pada sebagian dari daerah penangkapan (fishing ground).
Mortalitas penangkapan pada ikan target ialah hanya salah satu mortalitas yang disebabkan
oleh operasi alat tangkap. Sering kali tidak kita sadari bahwa pada saat yang sama, alat tangkap juga
menyebabkan jenis mortalitas lainnya, seperti: mortalitas ikan yang tidak menjadi target
penangkapan, mortalitas ikan target yang disebabkan alat lain yang tidak menangkap ikan tersebut,
mortalitas insidental yang terjadi karena operasi alat tangkap seperti trawl atau metode tidak ramah
lingkungan (bom ikan), dan mortalitas insidental karena kerusakan habitat. Data perikanan tangkap
global mendapatkan bahwa 1/3 dari produksi perikanan tangkap dunia ialah dalam bentuk hasil
samping (by-catch) dan dibuang di laut. Wilayah larang-ambil juga ditujukan untuk memberikan
perlindungan bagi jenis ikan-ikan non target ini. By-cath bisa menyebabkan penurunan populasi dari
ikan target. Bisa terjadi, fase juvenile dari ikan target tertentu tertangkap sebagai by-catch dari alat
tangkap yang lain. Dampak ini bisa dikurangi melalui perlindungan di dalam wilayah larang-ambil.
B. Ukuran populasi
C. Struktur populasi
Selain perubahan ukuran, densitas dan biomass populasi, selanjutnya akan terjadi perubahan
struktur dari ikan target (ikan-ikan yang penting untuk tujuan penangkapan). Eliminasi mortalitas
penangkapan memberikan harapan pada ikan-ikan untuk bisa hidup lebih lama dan tumbuh lebih
D. Reproduksi
Mortalitas penangkapan umumnya terjadi paling besar pada klas ukuran yang paling besar,
dan klas ukuran ini mempunyai potensi reproduksi yang paling tinggi. Ketika mortalitas penangkapan
dihilangkan dampak langsung di dalam wilayah larang-ambil ialah terjadinya reproduksi yang relatif
tinggi, dibandingkan dengan wilayah di luarnya. Dengan meningkatnya jumlah individu, ukuran
individu yang lebih besar dan lebih tua, semuanya berada dalam densitas lebih tinggi, wilayah
larang-ambil akan mengalami aktifitas reproduksi yang jauh lebih tinggi, fertilisasi mengalami
keberhasilan tinggi sehingga menghasil larva dalam jumlah yang sangat banyak. Jelasnya, wilayah
larang-ambil, pada akhirnya akan meningkatkan induk ikan, meningkatkan kapasitas reproduksi dan
melindungi sebagian stok untuk menghasilkan anakan baru. Hipotesis ini merupakan kunci sukses
dari wilayah larang-ambil sebagai alat pengelolaan perikanan secara berkelanjutan. Eliminasi
mortalitas penangkapan akan meningkatkan kualitas habitat di dalam wilayah larang-ambil, dan ini
akan berdampak positif sebagai tempat yang baik bagi larva yang baru menetas. Dampak lanjutan
ialah meningkatnya rekruitmen secara ekologi (ecological recruitment), terjadi secara tidak langsung
dalam jangka waktu menengah.
Ikan dan invertebrata lainnya yang berada di dalam wilayah larang-ambil bisa tumbuh menjadi
ukuran lebih besar dibanding di luar wilayah larang-ambil. Hal ini sangat penting artinya bagi potensi
untuk menghasilkan generasi anakan. Ikan yang lebih besar bisa menghasilkan telur dan larva yang
jauh lebih banyak dibandingkan pada ukuran induk yang lebih kecil. Sebagai contoh, ikan kakap
berukuran 60 cm bisa menghasilkan telur 10 kali lebih banyak dibandingkan ikan sejenis ukuran 30
cm. Beberapa jenis ikan Biji Nangka bahkan bisa menghasilkan telur 65 kali lebih banyak pada ukuran
dua kali lebih besar. Jadi, bertambah besarnya ukuran dan jumlah ikan di dalam wilayah larang-ambil
akan berdampak sangat besar dalam menghasilkan anakan baru yang bermanfaat untuk perikanan di
luar wilayah larang-ambil.
E. Kualitas Habitat
Sebagian besar operasi alat atau praktek penangkapan bersifat destruktif pada habitat. Contoh
yang bisa kita lihat adalah pada Trawl (Pukat Harimau), jaring tarik atau penggunaan bom ikan dan
racun. Penangkapan akan mempengaruhi kompleksitas struktur dan keanekaragaman habitat.
Tabel 5.6 Potensi manfaat Kawasan Konservasi Perairan bagi perikanan, dimulai dari dalam wilayah
larang-ambil (WLA) (Sumber: Ward et al., 2001)
1 MORTALITAS PENANGKAPAN (manfaat langsung, jangka pendek, hasilnya segera bisa
dirasakan)
1.1. Eliminasi mortalitas penangkapan dari ikan target
1.2. Eliminasi mortalitas ikan yang menjadi hasil sampling (by-catch)
1.3. Eliminasi mortalitas insidental yang disebabkan oleh operasi alat tangkap / praktek alat
tangkap
1.4. Eliminasi mortalitas yang disebabkan oleh kerusakan habitat sebagai akibat dari oeparai
alat tangkap
1.5. Eliminasi mortalitas tidak langsung akibat mortalitas penangkapan dari ikan mangsa (prey
A. Mekanisme Spill-Over
Karakteristik paling awal yang membedakan antara wilayah larang-ambil dan wilayah di
luarnya ialah pada perbedaan jumlah dan densitas ikan, dan bahkan ukuran ikan. Jumlah ikan di
dalam wilayah larang-ambil secara teoritis akan lebih banyak dibandingkan dengan di luar kawasan.
Sedangkan jumlah ikan di luar kawasan akan jauh lebih sedikit, karena pengaruh mortalitas
penangkapan. Perbedaan ini akan menyebabkan keluarnya ikan-ikan dari wilayah larang-ambil ke
wilayah di sekitarnya. Kompetisi dan predasi alami di dalam wilayah larang-ambil cenderung
menyebabkan ikan untuk keluar kawasan (Gambar 5.12). Istilah ini sering disebut “spill-over” atau
melimpah keluar – ikan-ikan tersebut diantaranya termasuk ikan yang menjadi target penangkapan
nelayan. Dalam hal ini Kawasan Konservasi Perairan (melalui wilayah larang-ambil) akan memberikan
dampak positif bagi perikanan tangkap. Penangkapan berlebih selalu menurunkan hasil tangkap-per-
satuan-usaha atau CpUE. Dengan mencadangkan sebagian wilayah penangkapan sebagai wilayah
larang-ambil, dia akan mengembalikan jumlah ikan, dimulai dari wilayah larang-ambil. Setelah
beberapa lama, ikan akan keluar dari wilayah larang-ambil. Peningkatan populasi di luar akan
meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Jumlah ikan yang keluar wilayah larang-ambil akan segera
digantikan melalui proses reproduksi di dalam wilayah larang-ambil. Populasi ikan di dalam wilayah
arang-ambil umumnya berada dalam kondisi yang lebih sehat dan berukuran relatif lebih besar.
Gambar 5.12 Mekanisme spill-over memberikan dampak positif bagi perikanan di sekitar (luar)
wilayah larang-ambil
Gambar 5.13 Meknisme ekspor larva memberikan dampak positif bagi perikanan tangkap dalam
cakupan area yang relatif luas, tergantung dari arus yang membawa telur dan larva
keluar wilayah larang-ambil.
Tabel 5.7 Potensi manfaat Kawasan Konservasi Perairan pada perikanan, di luar wilayah larang-ambil
(Sumber: Ward et al., 2001)
1 SPILL-OVER (manfaat langsung: antara jangka menengah dan panjang)
1.1. Sebagai hasil dari emigrasi ikan kecil atau besar yang bergerak keluar dari wilayah larang-
ambil
1.2. Meningkatnya biomass dan/atau ukuran ikan hasil tangkap di sekitar (luar) wilayah
larang-ambil
1.3. Meningkatnya kelimpahan dan ukuran dari ikan di sekitar (luar) wilayah larang-ambil
2 LARVAL EXPORT (manfaat langsung: dalam jangka menengah)
Praktisi di lapang atau pengelola Kawasan Konservasi Perairan sering menghadapi pertanyaan
praktis terkait dengan ukuran dan rancangan suatu wilayah laang-ambil. Ukuran suatu wilayah
larang-ambil mempengaruhi tingkat keberhasilannya untuk melindungi ekosistem dan perikanan.
Namun penentuan ukuran, jumlah dan rancangan suatu wilayah larang-ambil sering kali sangat
tergantung pada kondisi lokal, seperti pemahaman masyarakat, faktor sosial-ekonomi, komitmen
pengelola dan keinginan masyarakat (social willingness), bahkan faktor penghambat lainnya.
Kelompok kecil nelayan bisa mendapatkan keuntungan dari persaingan penggunaan alat efektif jika
tidak ada wilayah larang-ambil. Kelompok ini bisa mengambil keuntungan jangka pendek sebelum
sumberdaya ikan terkuras. Setelah sumberdaya habis, mereka akan berpindah mencari daerah
penangkapan ikan yang baru dan persaingan dimulai dengan sistem yang baru. Jika kelompok
nelayan ini mempunyai suara yang kuat, mereka menjadi faktor dominan dalam mempengaruhi
keberadaan dan/atau rancangan suatu wilayah larang-ambil.
Ada beberapa konsep ekologis berdasarkan hasil studi ilmiah yang bisa kita gunakan sebagai
pedoman dasar terkait ukuran dan rancangan suatu wilayah larang-ambil. Suatu wilayah larang-
ambil, walaupun berukuran kecil, dia bisa memberikan dampak positif pada kelimpahan, ukuran,
diversitas dan biomass ikan atau organisme lainnya di sekitar (luar) wilayah larang-ambil. Namun,
ukuran yang lebih besar akan mencakup jenis habitat yang lebih besar atau lebih beragam, jumlah
spesies ikan yang lebih banyak dan jumlah yang lebih banyak pada masing-masing spesies ikan.
Dengan demikian, wilayah larang-ambil yang berukuran besar mampu melindungi habitat dan
spesies dalam jumlah yang lebih banyak. Ukuran yang lebih besar juga mampu memberikan dampak
positif pada perikanan dalam kisaran jarak yang lebih luas. Untuk mendapatkan perlindungan secara
penuh, ukuran wilayah larang-ambil harus mampu melindungi seluruh siklus (life stage) dari suatu
spesies, terutama pada stadia yang sensitif terhadap perubahan. Beberapa jenis ikan bisa
menyelesaikan seluruh siklus hidupnya pada wilayah yang sangat kecil (lebih kecil dari 1 km2 ). Untuk
organisme jenis ini, kita hanya membutuhkan wilayah larang-ambil beberapa km2 saja. Sayangnya,
para ahli jarang yang mengetahui jarak atau wilayah pergerakan spesies selama hidupnya. Satu
strategi yang bisa diterapkan ialah dengan melindungi porsi masing-masing habitat secara
keseluruhan, yang dibutuhkan oleh masing-masing spesies untuk menyelesaikan seluruh siklus
Gambar 5.15A Ilustrasi suatu wilayah larang-ambil dengan ukuran yang relatif kecil dan tunggal,
diduga tidak bermanfaat bagi perikanan tangkap di luar kawasan (A); suatu wilayah
larang-ambil berjumlah lebih dari satu dan menyebar pada hampir semua pulau
namun ukuran individu relatif kecil sehingga tidak bermanfaat optimal bagi
perikanan(B); suatu wilayah larang-ambil yang memenuhi beberapa kriteria
perancangan, mungkin bermanfaat bagi perikanan tangkap di sekitar (luar) kawasan
(C)
Gambar 5.15B menyajikan alternatif rancangan wilayah larang-ambil pada daerah yang sama
seperti disajikan pada Gambar 5.15A. jumlah kawasan mencapai 6 (enam) unit dan tersebar pada
hampir semua pulau. Secara ekologis, ukuran wilayah larang-ambil tersebut masih terlalu kecil
untuk bisa memberikan manfaat bagi perikanan tangkap di sekitarnya, melalui proses spill-over.
Rancangan cukup memenuhi syarat kalau memperhatikan faktor resiko, namun ukuran individu
kawasan masih belum optimal. Dia tidak bisa mencegah faktor kebocoran (leaking) sebelum ukuran
di dalam kawasan mencapai jumlah dan biomass cukup besar.
Wilayah larang-ambil berada di dalam atau merupakan salah satu zona di dalam suatu
Kawasan Konservasi Perairan. Oleh karena itu melakukan estimasi luas total wilayah larang-ambil
harus dimulai dari luas Kawasan Konservasi Perairan. Berdasarkan catatan dan kompilasi dari PISCO
sampai tahun 2006, jumlah total Kawasan Konservasi Perairan di dunia mencapai 4.500 unit dengan
luas total 2,2 juta km2 . Luas ini setara dengan sekitar 0,6% dari luas laut yang ada di dunia. Dari luas
total Kawasan Konservasi Perairan, wilayah larang-ambil hanya mencapai 36.000 km2, kurang dari
0,01% luas laut di dunia. Hal ini hanya berarti bahwa Kawasan Konservasi Perairan, melalui wilayah
larang-ambil didalamnya, belum bisa memberikan dampak positif pada perbaikan perikanan tangkap
global. Luas wilayah larang-ambil, secara ekologis belum mencapai batas minimal dimana
mekanisme spill-over dan ekspor larva bisa memperbaiki wilayah di luar kawasan – Laporan WWF
menyatakan bahwa luas total Kawasan Konservasi Perairan di dunia hanya mencapai luas yang
setara dengan luas daratan Afrika Selatan. Dari luas tersebut, wilayah larang-ambil hanya mencapai
luas setara dengan Negara Belanda.
Pada awal bab ini kita sudah singgung bahwa perikanan tangkap global mengalami
penangkapan berlebih sehingga nilai hasil tangkap-per-satuan-usaha terus menurun dan
menyebabkan kerugian setara 50 juta USD per tahun. Diskusi selanjutnya ialah tentang Kawasan
Konservasi Perairan, melalui wilayah larang-ambil, sebagai alat pengelolaan tambahan (additional
management tool) dari pendekatan pengelolaan yang sudah ada selama ini (model produksi surplus
oleh Schaefer). Kawasan Konservasi Perairan sudah mulai diterapkan pada banyak negara di dunia,
namun perikanan laut masih mengalami penangkapan berlebih. Kita tidak bisa menarik kesimpulan
bahwa kawasan konservasi laut telah gagal dalam memenuhi fungsinya sebagai alat bantu untuk
memperbaiki kondisi perikanan global. Ada beberapa ketentuan yang belum bisa kita penuhi
sehingga kawasan konservasi belum bermanfaat optimal, ialah:
• Luas total wilayah larang-ambil belum mencapai target luas minimal untuk bisa memberikan
dampak optimal bagi perikanan tangkap;
• Wilayah larang-ambil tidak semuanya dirancang dengan tujuan utama untuk memperbaiki
perikanan tangkap, walaupun pada akhirnya, dia akan bermanfaat bagi perikanan;
Gambar 5.16 Perkembangan jumlah dan luas kawasan konservasi di dunia, menunjukkan
perkembangan pesat sejak awal tahun 1960an (sumber: WDPA, 2007)
Hasil survei persepsi masyarakat, termasuk yang dilakukan pada 4 (empat) lokasi di Indonesia
(Gambar 5.15) menunjukkan dukungan yang kuat pada ide untuk mencadangkan sebagian daerah di
laut sebagai wilayah larang-ambil. Dukungan tersebut baru berada pada tingkat kesadaran dan
wacana. Ketika pencadangan kawasan mulai disosialisasikan dan disusun pada tahap perancangan
serta perencanaan, penolakan masyarakat akan selalu lebih kuat dibandingkan dengan hasil survei
persepsi yang dilakukan sebelumnya. Sebagian masyarakat kita ternyata sangat persuasif dalam
tatanan ide, namun sangat sulit ketika implementasi mulai diterapkan di lapang.
Gambar 5.16 menyajikan suatu ilustrasi kondisi perikanan tangkap di Indonesia saat ini, dan
peluang wilayah larang-ambil untuk mengembalikan pada posisi yang lebih sehat. Skenario -1 (kurva
A pada grafik) menggambarkan manfaat yang diterima oleh nelayan dari sistem pengelolaan
perikanan tangkap seperti yang terjadi saat ini di Indonesia, sebut saja sistem dasar. Nilai hasil
tangkap-per-satuan-usaha, CpUE, menurun sesuai dengan perjalanan waktu. Bukti-bukti ilmiah yang
menggambarkan kondisi ini ialah seperti sudah disajikan dan dibahas pada sub-bab 5.3.1 dan 5.3.2 di
atas. Jika kondisi ini dibiarkan terus, sumber daya ikan akan segera terdeplesi, perikanan tangkap
akan segera mengalam colaps dan besar kemungkinan masyarakat pantai akan kehilangan salah satu
sumber mata pencaharian dari usaha penangkapan ikan. Kerugian juga akan dialami oleh sektor
ikutan lain, seperti pengolahan, distribusi dan konsumsi. Untuk mencegah terjadinya penangkapan
berlebih, pengelola perikanan harus segera melakukan moratorium melalui penghentian ijin usaha
penangkapan. Hal ini sesuai dengan surat rekomendasi Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan kepada
Menteri Kelautan dan Perikanan, tertanggal 21 Oktober 2007 lalu. Tim menyarankan pemerintah
untuk segera melakukan moratorium penangkapan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) laut
Banda. Namun saran ini sangat sulit diterapkan pemerintah pada tingkat lapang. Beberapa perahu
dan kapal perikanan tidak boleh beroperasi, sejumlah nelayan akan kehilangan pekerjaan dan sektor
Gambar 5.17 Dua skenario pengelolaan perikanan (pendekatan lama dan pencadangan wilayah
larang-ambil) dengan resiko kerugian jangka pendek namun mendapatkan
keuntungan jangka panjang, atau sebaliknya.
Gambar 6.18 Kencenderungan ukuran suatu Kawasan Konservasi Perairan di dunia berkisar
antara 10 – 50 km2 (dikumpulkan dari berbagai sumber)
Arnason, R., K. Kelleher & R. Wilmann (2009). The sunken billions - the economic justification for
fisheries reform. Washington, DC, The World Bank & FAO Rome: 100.
EJF (2003). Squandering the Seas: How shrimp trawling is threatening ecological integrity and food
security around the world. London, UK, Environmental Justice Foundation.
FAO (2008). The state of world fisheries and aquaculture. Rome, Italy, FAO Fisheries and Aquaculture
Department: 176.
Gell, F. R., & C.M. Roberts (2002). The Fishery Effects of Marine Reserves and Fishery Closures.
Washington, DC 20037, USA, WWF-US, 1250 24th Street, NW: 89
PISCO (2002). The Science of Marine Reserves, Partnership for Interdisciplinary Studies of Coastal
Oceans (PISCO). http://www.piscoweb.org: 22.
PISCO (2007). The Science of marine Reserves. Latin America and Caribbean, www.piscoweb.org: 22.
Sparre, P., & S.C. Venema (1998). Introduction to fish stock assessment. Rome, Italy, FAO. Part 1:
Manual: 407.
Widodo, H., E. carter, T. Soekirman, A. halim & Y. Andreas. (2009). Community perceptions of marine
protected areas in Indonesia. Phase II. Bali, The Nature Conservancy: 69.
Ringkasan:
1. Tabel di bawah ialah data jumlah unit Tuna Longline, total hari operasi aktif dan total hasil
tangkap dari Tuna Longline yang berbasis dari Pelabuhan Benoa Bali. Data berasal dari PT.
Samudera Besar, Bali.
• Gunakan model Schaefer untuk menentukan status perikanan Tuna Longline di wilayah
perairan Samudera Hindia.
• Apa kesimpulan anda tentang perikanan Tuna Long-Line di Indonesia?
• Apa rekomendasi anda kepada pemerintah sebagai pengelola perikanan tangkap di
Indonesia?