Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Danau Kerinci merupakan danau tektonik di Pulau Sumatera dengan luas


permukaan mencapai 4.200 hektar. Wilayah danau yang terletak pada dataran tinggi
yakni 783 m di atas permukaan laut dengan kedalaman maksimal 110 m. Lokasi
danau Kerinci secara administratif berada dalam wilayah Kabupaten Kerinci
Provinsi Jambi yang terletak di dua kecamatan yaitu Kecamatan Danau Kerinci dan
Kecamatan Keliling Danau (Samuel et al., 2013). Danau kerinci dimanfaatkan
untuk berbagai kepentingan umum yaitu tempat pariwisata, pembangkit listrik,
sumber air minum, dan kepentingan dalam bidang perikanan budidaya dan
perikanan tangkap. Pada Danau Kerinci ada beberapa jenis alat tangkap yang
digunakan oleh masyarakat yaitu jaring, lukah, anco, pancing, rawai, jala, serok,
tambun/bagan dan serok remis. Salah satu alat tangkap yang ditemui di Danau
Kerinci adalah bagan tancap
Bagan tancap adalah alat tangkap ikan yang digolongkan kedalam kelompok
jaring angkat (lift net). Bagian utama dari alat tangkap ini terdiri dari atas jaring
bagan dan alat bantu pengumpul ikan berupa lampu. Bagan tancap merupakan
bagan yang dipasang secara menetap di periran, terdiri dari rangkaian bambu yang
dipasang secara membujur dan melintang (Sudirman dan Natsir,2011). Hasil
tangkapan utama bagan tancap di Danau Kerinci adalah ikan nila, ikan barau dan
ikan medik.
Fakor keberhasilan operasi alat tangkap bagan tancap salah satunya adalah
waktu hauling. Waktu hauling dipengaruhi oleh waktu makan ikan yang berbeda
salah satunya menurut peneliti, Gunarso (1985) menyatakan bahwa terdapat spesies
yang aktif makan pada waktu siang hari, sore hari, malam hari serta malam
menjelang pagi hari. Dengan adanya waktu makan yang berbeda pada spesies
spesies yang berkumpul di lokasi penangkapan. Kebiasan nelayan bagan tancap di
danau kerinci melakukan operasi penangkapan ikan mulai jam 18.00 WIB sampai

1
dengan 06.00 WIB dengan melakukan hauling sebanyak 4-6 kali per trip. Menurut
nelayan setempat waktu hauling dapat dilakukan 2-3 jam setelah setting.
Secara umum penelitian tentang alat tangkap bagan telah banyak dilakukan
oleh beberapa peneliti yaitu Pengaruh waktu hauling terhadap hasil tangkapan
bagan diesel di perairan Carocok, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Telah
dilakukan oleh zulfia (1999) Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa hasil
tangkapan bagan yang optimal pada waktu hauling sesudah tengah malam (jam
24.00-06.00 WIB) sebanyak 3371 kg sedangkan hasil tangkapan terendah pada
waktu hauling sebelum tengah malam (jam 18.00-24.00 WIB) sebanyak 868,5 kg
dengan hasil tangkapan ikan teri (2274 kg dan 255,5 kg), ikan selar (761 kg dan
197 kg), ikan kembung (16 kg dan 137 kg), ikan alu-alu (174 kg dan 106 kg), ikan
tongkol (0 kg dan 150 kg), cumi-cumi ( 5 kg dan 15 kg), ikan layur ( 3 kg dan 5
kg), ikan pepetek (18 kg dan 3 kg), ikan tembang (40 kg dan 0 kg), ikan layang (80
kg dan 0 kg).
Selain itu Manggabarani (2011) juga melakukan penelitian tentang
perbandingan Hasil tangkapan bagan tancap berdasarkan waktu hauling pada jarak
yang berbeda dari pantai di Desa Punagaya Kab. Jeneponto menunjukkan bahwa
hauling tertinggi terdapat saat hauling setelah tengah malam (jam 23.53-02.49)
sebanyak 482,92 kg pada hasil tangkapan bagan relatif jauh dan 262,8 kg pada hasil
tangkapan relatif dekat dengan presentase hasil tangkapan bagan relatif jauh dan
bagan relatif dekat adalah biddo (Tryssa sp) 51% dan 18%, ikan peperek
(Leigonathus sp) 23% dan 16%, ikan balombong (Atherinomonus sp) 11% dan 5%,
ikan teri (Stolephorus commersionii) 5% dan 6%, ikan srinding (Rhabdamia
cypselurus) 3% dan 2%, dan jenis ikan lainnya 7% dan 53%.
Selanjutnya Fauziah (2013), dengan penelitian tentang perbedaan waktu
hauling bagan tancap terhadap hasil tangkapan di perairan Sungsang, Sumatera
Selatan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa rataan hasil tangkapan
tertinggi diperoleh pada periode waktu hauling tengah malam (00.00-02.59 WIB)
sebanyak 78,5 kg dengan hasil tangkapan ikan teri (60,1 kg), ikan cumi (3,9 kg),
dan pepetek (9,1 kg). Periode waktu hauling tengah malam adalah waktu paling
optimal untuk mengoperasikan bagan tancap di perairan Sungsang. Banyaknya
hasil tangkapan ikan pelagis pada periode hauling tengah malam mengindikasikan

2
banyaknya frekuensi kemunculan ikan di catchable area bagan tancap dan ikan
telah beradaptasi dengan sempurna.
Penelitian tentang pengaruh waktu hauling bagan tancap di Danau Kerinci
terhadap hasil tangkapan belum ada dilakukan. Oleh karena itu peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian tentang pengaruh waktu hauling pada alat tangkap
bagan tancap di Danau Kerinci, sehingga nanti penelitian ini dapat dikembangkan
untuk mengetahui waktu hauling yang optimal dalam penangkapan ikan.

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah

Pentingnya waktu hauling untuk pengoperasian bagan tancap karena waktu


makan ikan yang berbeda pada spesies spesies yang berkumpul pada lokasi
penangkapan. Pada umumnya nelayan bagan tancap di Danau Kerinci melakukan
operasi penangkapan ikan mulai jam 18.00 WIB – 06.00 WIB dengan waktu
hauling 2-3 jam setelah setting dengan hauling sebanyak 4-6 kali per trip.
Pengoptimalan waktu hauling pada pengoperasian bagan tancap belum diketahui

Berdasarkan uraian tersebut dengan mengetahui waktu hauling pada alat


tangkap bagan sehingga mendapatkan hasil tangkapan ikan yang. Apabila waktu
hauling tersebut tepat maka penangkapan ini lebih mengeluarkan biaya yang sedikit
dengan hasil tangkapan yang banyak, sehingga dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat.

1.3 Hipotesis
1) Waktu hauling bagan tancap tidak berpengaruh nyata terhadap hasil
tangkapan
2) Minimal ada satu waktu hauling bagan tancap yang berpengaruh terhadap
hasil tangkapan
1.4 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui jenis ikan,
jumlah hasil tangkapan ikan (ekor), dan bobot ikan (kg) pada saat pengoperasian
bagan tancap serta menentukan waktu hauling yang paling optimal pada bagan
tancap di Danau Kerinci.

3
1.5 Manfaat
Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan informasi tentang jenis ikan
pada hasil tangkapan alat tangkap bagan tancap yang bermanfaat sebagai bahan
acuan untuk peneliti diversifikasi hasil perikanan tangkap dan sebagai informasi
dasar kepada pengelola perikanan tangkap tentang keberadaan spesies-spesies ikan
air tawar yang tertangkap bagan tancap di danau Kerinci dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan tangkap skala kecil di perairan ini.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Danau

Ekosistem secara luas adalah hubungan mahluk hidup dengan


lingkungannya (biotik dan abiotik), masing-masing bersifat saling mempengaruhi
dan diperlukan keberadaannya untuk memelihara kehidupan yang seimbang,
selaras dan harmonis. Meneurut lokasinya ekosistem dapat dibedakan menjadi
ekosistem daratan, ekosistem air tawar dan ekosistem laut/pantai (Gumilar, 2005).

Danau merupakan salah satu bentuk ekosistem air tawar yang ada di
permukaan bumi. Secara umum, danau merupakan perairan umum daratan yang
memiliki fungsi dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat dan meningkatkan
pembangunan nasional (Suharti, 2004).

Danau Kerinci secara administratif berada dalam wilayah Kabupaten


Kerinci Provinsi Jambi. Tercatat empat kecamatan di kabupaten tersebut yang
berbatasan langsung dengan Danau Kerinci yaitu Kecamatan Danau Kerinci,
Kecamatan Keliling Danau, Kecamatan Bukit Kerman dan Kecamatan Batang
Merangin (Dirjen Tangkap, 2014).

Danau Kerinci terletak di Pegungungan Bukit Barisan di Kabupaten


Kerinci, Propinsi Jambi, Sumatra. Secara geografis danau ini berada antara 2°7′28″
sampai 2°8′14″ LS dan 101°26′50″ sampai 101°31′34″ BT. Danau ini beserta
Daerah Tangkapan Airnya (catchment area) merupakan enclave dalam kawasan
Taman Nasional Kerinci Seblat. Ada enam kecamatan yang berbatasan dengan
Daerah Tangkapan Air Danau Kerinci yakni: Kecamatan Sungai Penuh, Air
Hangat, Gunung Kerinci, Danau Kerinci, Sitinjau Laut dan Gunung Raya (Nontji,
2016).

Iklim Danau Kerinci merupakan iklim tropis basah. Hujan terjadi hampir
setiap bulan dengan maksimum pada bulan Januari (sekitar 250 mm.bulan),
sedangkan bulan Juni-Juli agak kering (sekitar 100 mm/bulan). Curah hujan di
kawasan ini menujukkan pola bipolar, yakni dengan dua puncak, yang primer pada

5
bulan Januari dan sekunder di bulan April. Secara keseluruhan Danau Kerinci
mendapat curah hujan sebesar 2.000 – 3.000 mm/tahun (DPU dan Yaramaya, 1983
dalam Nontji, 2016). Suhu udara rata-rata di kawasan Danau Kerinci berkisar
19,2ºC – 20,2ºC dengan rerata 19,6ºC , sedangkan kelembaban berkisar 81% – 86
% dengan rerata 84 % (DPU dan Yaramaya, 1983 dalam Nontji, 2016).

2.2 Defenisi Alat Tangkap Bagan Tancap

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara yang memiliki perairan


laut seluas 5,8 juta km2 dengan panjang pantainya mencapai 95,181 km.
Disepanjang pantai tersebut terdapat berbagai jenis alat penangkapan ikan yang
dioperasikan oleh nelayan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada
diperairan tersebut. Salah satu jenis alat tangkap yang umum digunakan oleh
nelayan Indonesia dari Sabang sampai Marauke dan dari Pulau Miangas sampai
Pulau Rote adalah jenis bagan (Sudirman dan Natsir, 2011).

Bagan merupakan salah satu alat tangkap yang digunakan oleh para nelayan
diseluruh perairan Indonesia. Alat tangkap ini menggunakan alat bantu cahaya
untuk menarik perhatian ikan agar mendekati alat tangkap atau masuk ke areal
penangkapan atau catchable area.Berdasarkan cara pengoperasiannya bagan dapat
dikelompokkan ke dalam jaring angkat (Von Brandt, 1985).

Bagan tancap adalah alat penangkap ikan yang digolongkan kedalam


kelompok jarring angkat (lift net). Bagian utama dari jarring angkat ini terdiri atas
jarring bagan dan alat bantu pengumpul ikan berupa lampu. Pemanfaatan lampu
sebagai alat bantu penangkapan ikan berkaitan dengan tingkah laku ikan yang
menyukai cahaya. Penggunaan lampu dalam kegiatan penangkapan ikan saat ini
juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pengembangan jenis dan bentuk
lampu yang selalu berubah dari yang sederhana sampai dengan lampu listrik seperti
Compact Fluorescent Lamp (CFL) dan Light Emitting Diode (LED).
Berkembangnya teknologi penangkapan pada alat tangkap bagan memang sudah
banyak menggunakan alat bantu lampu celup LED (Sulaiman et al. 2015).

Pada dasarnya alat ini terdiri dari bangunan bagan yang terbuat dari bambu,
jaring yang berbentuk segi empat yang diikatkan pada bingkai yang terbuat dari

6
bambu. Pada keempat sisinya terdapat bambu-bambu menyilang dan melintang
yang dimaksudkan untuk memperkuat berdirinya bagan. Diatas bangunan bagan di
bagian tengah terdapat bangunan rumah yang berfungsi sebagai tempat istirahat,
pelindung lampu dari hujan dan tempat untuk melihat ikan. Diatas bangunan ini
terdapat roller yang terbuat dari bambu yang berfungsi untuk menarik jarring.
Umumnya alat tangkap ini berukuran 9x9 m sedangkan tinggi dari dasar perairan
rata-rata 8 m. Jaring yang biasa digunakan pada alat tangkap ini adalah jaring yang
terbuat dari waring dengan mesh size 0,4 cm. Posisi jaring dari bagan ini terletak
dibagian bawah dari bangunan bagan yang diikatkan pada bingkai bambu yang
berbentuk segi empat. Bingkai bambu tersebut dihubungkan dengan tali pada ke
empat sisinya yang berfungsi untuk menarik jaring. Pada ke empat sisi jaring ini
diberi pemberat yang berfungsi untuk memberikan posisi jaring yang baik selama
dalam air. Ukuran jaring biasanya satu meter lebih kecil dari ukuran bangunan
bagan (Sudirman dan Mallawa,2004).

2.3 Teknik Operasi Penangkapan Bagan Tancap

Proses penangkapan pada bagan tancap sangat sederhana. Ketika malam


mulai gelap, jaring mulai diturunkan. Seiring dengan penurunan jaring, lampu
penarik perhatian ikan mulai dinyalakan. Selang waktu 2-3 jam, jaring ditarik
dengan menggunakan roller. Waktu yang dibutuhkan untuk penarikan hanya 10
menit. Setelah itu ikan diangkat ke atas bagan. Selanjutnya jaring kembali
diturunkan untuk menunggu operasi selanjutnya. Dalam semalam pengangkatan
jaring dilakukan 4-5 kali (Sudirman dan Natsir, 2011).

Pada saat nelayan tiba di bagan maka yang pertama dilakukan adalah
menurunkan jaring dan memasang lampu yaitu pada bulan gelap. Setelah beberapa
jam kemudian (sekitar 4 jam) atau dianggap sudah banyak ikan yang terkumpul di
bawah bagan maka penarikan jaring mulai dilakukan. Penarikan dilakukan dengan
memutar roller, sehingga jaring akan terangkat ke atas. Setelah jaring terangkat
maka pengambilan hasil tangkapan dilakukan dengan menggunakan scoop net.
Dalam satu malam operasi penangkapan bisa dilakukan sampai tiga kali tergantung
umur bulan (Sudirman dan Mallawa, 2004).

7
2.4 Perbedaan Waktu

Tingginya hasil tangkapan pada hauling sebelum tengah malam dan sesudah
tengah malam dan total hasil tangkapan selama penelitian merupakan suatu gejala
tingkah laku ikan yang berhubungan feeding behavior dan sifat phototaxis. Diduga
bahwa waktu tersebut merupakan kebiasaan makan (feeding habits) dan puncak
fhototaxis dari jenis ikan yang dominan tertangkap. Waktu hauling juga
mempengaruhi hasil tangkapan dimana semakin lama waktu yang digunakan saat
hauling maka jumlah hasil tangkapan sedikit. Dimana jika waktu yang digunakan
lama, makan kemungkinan ikan untuk meloloskan diri juga banyak karna ikan akan
mulai jenuh terhadap cahaya kalau waktu yang digunakan lama, dan kemungkinan
ikan meloloskan diri karna adanya predator yang datang mendekat. Dimana waktu
yang digunakan saat hauling sebelum tengah malam dilakukan sekitar jam 19.30-
21.30 WITA, hauling saat tengah malam jam 23.53-02.49 WITA, dan hauling
setelah tengah malam jam 02.50-05.44 WITA. Dimana hauling yang tertinggi
terdapat saat hauling setelah tengah malam dan terendah saat hauling tengah malam
(Andi, 2011).

Rataan hasil tangkapan tertinggi diperoleh pada periode waktu hauling


tengah malam (00.00-02.59 WIB) dimana hasilnya mencapai 2-3 kali lipat dari
periode sebelum maupun sesudah tengah malam pada katagori total hasil tangkapan
dan tangkapan ikan teri. Periode waktu hauling tengah malam adalah waktu paling
optimal untuk mengoperasikan bagan tancap di perairan Sungsang. Banyaknya
hasil tangkapan ikan teri pada periode hauling tengah malam mengindikasikan
banyaknya frekuensi kemunculan ikan di catchable area bagan tancap dan ikan telah
beradaptasi dengan sempurna (Fauziah, 2013).

Pengaruh waktu hauling terhadap hasil tangkapan bagan diesel di perairan


Carocok, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa berat hasil tangkapan bagan sesudah tengah malam (jam
24.00-06.00 WIB) lebih besar jika dibandingkan dengan sebelum tengah malam
(jam 18.00-24.00 WIB) (Zulfia, 1999).

8
Hasil tangkapan bagan tancap di Jeneponto menunjukkan bahwa hauling
tertinggi terdapat saat hauling setelah tengah malam dan terendah saat hauling
tengah malam (Manggabarani,2011).

2.5 Hasil Tangkapan

Pengertian hasil tangkapan adalah jumlah dari spesies ikan maupun


binatang air lainnya yang tertangkap saat kegiatan operasi penangkapan. Hasil
tangkapan bisa dibedakan menjadi dua, yaitu hasil tangkapan utama dan hasil
tangkapan sampingan. Hasil tangkapan utama adalah spesies yang menjadi target
dari operasi penangkapan sedangkan hasil tangkapan sampingan adalah spesies
yang merupakan di luar dari target operasi penangkapan (Ramdhan, 2008).

Didanau kerinci hasil tangkapan nelayan untuk Produksi ikan nila


(Oreochromis niloticus), barau (Hampala macrolepidota) dan medik (Osteochilus
waandersii) masih tergolong dominan dibandingkan dengan jenis ikan lainnya.
Nilai indeks status trofik perairan Danau Kerinci berkisar antara 60,81-62,86
dengan nilai rata-rata 61,75, menggolongkan perairan dengan tingkat kesuburan
tinggi (eutrofik). Potensi produksi ikan berkisar antara 219-392 kg/ha/tahun dengan
angka rata-rata 307 kg/ha/tahun (1287 ton/tahun). Jenis-jenis ikan dan udang yang
tertangkap di Danau Kerinci terdiri dari 16 jenis ikan dan 2 jenis udang. Dari 16
jenis ikan, hanya 3 jenis yang dominan yaitu nila (Oreochromis niloticus), barau
(Hampala macrolepidota) dan medik (Osteochilus waandersii) (Samuel et al.,
2013).

2.5.1 Ikan Nila

Ikan nila termasuk kedalam Filum Chordata, Klas Pisces, Sub


kelasTeleostei, Ordo Percomorphi, Subordo percoidea, Famili Cichlidae, Genus
Oreochromis, dengan Species Oreochromis Sp.(Sucipto, dan Prihartono, 2007).

9
Habitat ikan nila adalah air tawar seperti sungai, danau, waduk, dan rawa-
rawa tetapi karena toleransi ikan nila tersebut sangat luas terhadap salinitas (eury
haline) sehingga dapat pula hidup dengan baik di air payau dan air laut. Salinitas
yang cocok untuk nila adalah 0-35 ppt (part per thousand), pertumbuhan ikan
nilasecara optimal pada saat salinitas 0-30 ppt. Nila dapat hidup pada salinitas 31-
35 ppt, tetapi pertumbuhannya lambat (Ghufran, 2011). Ikan nila dapat dilihat pada
Gambar 1.

Gambar 1. Ikan nila

2.5.2 Ikan Barau

Ikan barau merupakan penghuni perairan umum seperti sungai, rawa dan
danau yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan (Kottelat et al. 1993).
ikan barau akan berlimpah jumlahnya di perairan yang jernih dengan tipe dasar
berpasir, kerikil, atau berbatu. Hal ini disebabkan jenis ikan barau mencari makan
dengan menggunakan indera penglihatannya. Disamping itu, ikan barau yang masih
kecil hidup di daerah dangkal dan ikan dewasanya di daerah perairan dalam. Ikan
barau termasuk jenis ikan yang whitefishes karena selalu aktif bermigrasi dan sangat
sensitif terhadap perubahan lingkungan. (Jubaedah 2004). Ikan barau dapat dilihat
pada Gambar 2.

Gambar 2. Ikan barau

10
2.5.3 Ikan Medik

Ikan medik menghuni aliran sub-sungai ke dataran tinggi air terjun. Ikan
medik bermigrasi dalam sistem sungai yang lebih besar. Ikan medik bisa pindah ke
hutan banjir yang berdekatan dengan sungai dataran tinggi. Ikan medik dapat dilihat
pada Gambar 3.

Gambar 3. Ikan medik

2.6 Parameter Kualitas Air

Keberadaan ikan disuatu perairan dan hasil tangkapan sangat tergantung


kepada faktor fisika, kimia (Mahendra et al., 2014). Berikut beberapa faktor yang
mempengaruhi hasil tangkapan :

2.6.1. Temperatur (Suhu)

Menurut Rachmanda (2011), menyatakan bahwa suhu dapat menjadi


faktor penentu atau pengendali kehidupan organisme aquatik. Jenis, jumlah dan
keberadaan organisme aquatik sering berubah dengan adanya perubahan suhu
air, terutama terjadinya kenaikan suhu. Menurut (Wibisono, 2005) suhu yang
masih dapat ditolerir oleh organisme berkisar antara 20 – 30ºC, suhu yang
sesuai dengan perkembangan fitoplankton berkisar antara 25 – 30ºC, namun
suhu yang optimal untuk pertumbuhan dari zooplankton antara 15 – 35ºC.

Menurut Arizuna et al. (2014) menyatakan bahwa pengaruh suhu dalam


perairan sangat penting dalam hal produktifitas perairan, perairan yang lebih
dingin lebih kaya akan nutrient dibandingkan dengan perairan yang lebih
hangat. Suhu air laut yang lebih dingin akan meningkatkan penyerapan zat hara
untuk mengendap di dasar laut. Sementara saat suhu air laut naik, zat hara akan
melarut di air laut karena penurunan laju penyerapan. Kombinasi dari

11
temperatur dan peningkatan kandungan zat hara yang timbul dari pencampuran
ini akan meningkatkan produktivitas perairan.

Menurut Hidayat (2001) suhu optimum untuk pertumbuhan


fitoplankton dan kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25º - 31º C.
Meningkatnya suhu di perairan akan meningkatkan toksisitas dari banyak
kontaminan – kontaminan terlarut dan akan meningkatkan pula konsumsi
oksigen. Suhu juga akan mempengaruhi nitrat dan fosfat dalam perairan, hal
ini memungkinkan karena semakin tinggi suhu, semakin rendah kandungan
nitrat dan fosfat. Suhu erat hubungannya dengan peristiwa metabolisme tubuh,
bila keadaan suhu tinggi maka kecepatan makan ikan akan berkurang
(Mahendra et al., 2014).

2.6.2. pH

Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai
pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai
pH yang sangat rendah akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme
dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan
mobilitas berbagai senyawa logam yang bersifat toksik semakin tinggi yang
tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme aquatik. Kisaran
nilai pH bagi kehidupan organisme perairan adalah 6 – 9,5 (Effendi, 2003).

Menurut Santoso (2007) organisme akuatik dapat hidup dalam suatu


perairan yang mempunyai nilai pH yang netral dengan kisaran toleransi antara
asam lemah sampai basa lemah. pH yang ideal bagi kehidupan organisma
akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang
bersifat sangat asam maupun sangat basa membahayakan kelangsungan hidup
organisma karena menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan
respirasi. Sementara pH yang tinggi menyebabkan keseimbangan antara
amonium dan amoniak dalam air akan terganggu. Kenaikan pH di atas netral
meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi
organisme. Nilai pH dipengaruhi oleh faktor fisik sedimen, berkaitan dengan
konsentrasi bahan-bahan organik yang ada di sedimen. Semakin kecil ukuran
butir sedimen, pHnya semakin rendah demikian juga sebaliknya. Perubahan

12
nilai pH dalam sedimen mempengaruhi sebaran mempengaruhi sebaran
mikroorganisme yang metabolismenya tergantung pada sebaran faktor-faktor
kimia tersebut. Sebagian mikroorganisme sangat peka terhadap perubahan nilai
pH dalam perairan. Nilai pH akan mempengaruhi proses-proses biokimia
perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah (Effendi,
2003)

Hasim et al. (2015) menyatakan bahwa pH ideal suatu perairan ialah


6,7-8,6. Selanjutnya disampaikan bahwa pH yang rendah dapat menyebabkan
kenaikan toksitas dalam suatu perairan yang lama kelamaan akan
menyebabkan penurunan nafsu makan ikan.

2.6.3 Arus

Menurut Mason (1981) berdasarkan kecepatan arusnya perairan dapat


dikelompokkan menjadi berarus sangat cepat (>1 m/s), cepat (0,5-1 m/s),
sedang (0,25-0,5 m/s), lambat (0,1-0,25 m/s) dan sangat lambat (<0,1 m/s).
Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh
tiupan angina, perbedaan dalam densitas air laut, maupun oleh gerakan
gelombang panjang, misalnya pasang surut. Di laut terbuka, arah dan kekuatan
yang sedang berkembang dan larva dari hewan laut, toleransi terhadap suhu air
laut cenderung bertambah ketika mereka menjadi lebih tua. Dalam perubahan
suhu tersebut, pertumbuhan larva dipercepat oleh suhu yang lebih tinggi
(Romimohtahto dan Juwana, 2001).
Pola arus dan asal arus diperairan umum (danau, sungai, dan resevoir)
berbeda dengan di laut. Pada perairan umum yang mengalir (lotic system) misal
sungai, air berasal dari tiga sumber, yaitu mata air, hujan, dan aliran
permukaan. Aliran sungai dipengaruhi oleh adanya dua kekuatan yaitu
gravitasi dan hambatan (friksi). Oleh karena itu, kekuatan arus di sungai
tergantung pada letak daerahnya. Pada daerah hulu, kecepatan arusnya tinggi,
sedangkan di daerah hilir kecepatan arusnya menurun ( Sri Rejeki, 2001).
Arus merupakan gerakan air secara perlahan maupun cepat
dipermukaan air maupun di dalam air yang merupakan wujud dari penyinaran
bumi yang tidak merata, dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti sifat air itu

13
sendiri, gravitasi bumi, keadaan dasar perairan, distribusi pantai dan gerakan
rotasi bumi. Arus-arus dipengaruhi oleh 2 faktor lain selain dari angin.
Akibatnya, arus yang mengalir dipermukaan lautan merupakan hasil kerja
gabungan dari 2 faktor tersebut. Faktor-faktor itu adalah bentuk topografi dasar
lautan dan pulau-pulau yang ada disekitarnya (Hutabarat, 2000).

2.6.4 Kedalaman

Kedalaman perairan sangat berpengaruh penting terhadap kualitas air,


lokasi yang dangkal akan lebih mudah terjadi pengadukan dasar akibat
pengaruh gelombang, arus atau aktivitas organisme didalamnya. Kedalaman
juga mempengaruhi tekanan yang diterima di dalam air, sebab tekanan
bertambah seiring bertambahnya kedalaman. Dengan bertambahnya
kedalaman, proses fotosintesis akan semakin kurang efektif, maka akan
terjadi penurunan kadar oksigen terlarut sampai pada suatu kedalam yang
disebut compensation depth, yaitu kedalaman tempat oksigen yang dihasilkan
melalui proses fotosintesis sebanding dengan oksigen yang dibutuhkan
(Effendi, 2003).

14
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan di Danau Kerinci Kecamatan Danau


Kerinci Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi, pada bulan Januari hingga Februari
2018.

Gambar 4. Peta lokasi penelitian

3.2 Materi dan Peralatan

Materi yang digunakan yaitu Hasil tangkapan bagan tancap (jenis, berat,
jumlah, dan panjang) sebagai objek penelitian. Sedangkan peralatan yang
digunakan yaitu 9 unit penangkapan bagan tancap, Timbangan, thermometer, pH
meter, alat ukur panjang, alat hitung, Kamera, Lembar kerja dan alat tulis.

15
3.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Experimental


Fishing yaitu data diperoleh secara langsung melalui penelitian dilapangan. Data
tersebut adalah hasil tangkapan yang diperoleh dengan menggunakan alat tangkap
bagan tancap berdasarkan perbedaan waktu hauling dengan pelakuan waktu hauling
dibagi tiga yaitu 21.00-23.59 WIB (T1), 00.00-02.59 WIB (T2) dan 03.00-05.59
WIB (T3). Pengambilan data di lapangan dilakukan dengan menggunakan 3 stasiun
dengan 3 perlakuan dan 7 pengulangan .

Pada penelitian ini dilakukan pengamatan dan pengumpulan data hasil


tangkapan yang meliputi jenis ikan, bobot (kg), jumlah hasil tangkapan (ekor), dan
ukuran. Spesies yang tertangkap didokumentasikan dan diidentifikasi
menggunakan buku Identifikasi Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan, Saanin
(1984) dan dibantu menggunakan fishbase.org

3.4 Analisis data

Analisis pengaruh waktu hauling bagan tancap, tahap awal untuk


menganalisis pengaruh waktu hauling bagan tancap adalah melakukan uji
kenormalan data (uji Kolmogorov-Smirnov). Jika data tidak menyebar normal
maka dilakukan normalisasi data dengan cara menghilangkan data-data pencilan
(outliers). Setelah data menyebar normal, kemudian data dianalisis dengan
menggunakan analisis Rancangan Acak Lengkap (RAL). Analisis RAL dilakukan
per spesies (Nila, Barau dan Medik) maupun total hasil tangkapan. Data-data
tersebut diolah dengan bantuan software SPSS for windows. Secara matematis,
tahapan analisis RAL sebagai berikut:

1. Model linier:
Yij = μ+ τi + εij
Keterangan:
Yij = nilai respon perlakuan waktu hauling bagan tancap ke-i dan
ulangan ke-j

16
μ = rataan umum
τi = pengaruh perlakuan waktu hauling bagan tancap ke-i
εij = pengaruh acak perlakuan waktu hauling bagan tancap ke-i
ulangan ke-j
i = 1,…,t dan j = 1,…,r ; r = ulangan dan t = perlakuan
2. Asumsi:
(1) komponen-komponen μ, τi, dan εij bersifat aditif;
(2) nilai τi tetap, Στi = 0; E(τi) = τi;
(3) εij ~ N(0,σ2);
3. Hipotesis:
H0 : waktu hauling bagan tancap tidak berpengaruh nyata terhadap hasil
tangkapan
H1 : minimal ada satu waktu hauling bagan tancap yang berpengaruh
terhadap hasil tangkapan
4. Analisis sidik ragam Analisis sidik ragam diolah menggunakan software SPSS.
5. Keputusan
Tolak H0 : nilai sig < 0,05 artinya minimal ada satu perlakuan waktu hauling
bagan tancap yang berbeda nyata terhadap hasil tangkapan
Terima H0 : nilai sig > 0,05 artinya tidak ada perbedaan nyata antar
perlakuan waktu hauling bagan tancap terhadap hasil tangkapan
6. Uji lanjut
Uji lanjut Duncan digunakan untuk melihat perlakuan mana yang
berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Andi H S.M. 2011. Perbandingan Hasil Tangkapan Bagan Tancap Berdasarkan


Waktu Hauling Pada Jarak Yang Berbeda Dari Pantai, Di Desa Punagaya
Kab.Jeneponto. Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan. Universitas
Hasanuddin. Makassar
Arizuna, M., D. Suprapto, dan M. R. Muskananfola. Kadungan nitrat dan fosfat
dalam air pori sedimen di sungai dan muara sungai Wedung Demak.
Diponegoro Journal Of Maquares. 3(1) : 7-16.
Dirjen Tangkap. 2014. Rencana Pengelolaan Danau Kerinci. 6 hal
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kansius. Halaman. 168-169.
Fauziyah, Supriyadi F, Saleh k dan Hadi. 2013. Perbedaan Waktu Pengoperasian
terhadap Hasil Tangkapan Bagan Tancap di Perairan Sungsang, Sumatera
Selatan. Jurnal Lahan Suboptimal ISSN: 2252-6188 (Print), ISSN: 2302-
3015 (Online, www.jlsuboptimal.unsri.ac.id) Vol. 2, No.1: 50-57, April
2013.
Gumilar, I. 2005. Pengelolaan ekosistem air tawar di danau. makalah individu
pengantar falsafah sains (Pps702). Program Pasca Sarjana / S3. Institut
Pertanian Bogor. 14 Hal.
Gunarso W. 1985. Tingak Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metode
dan Taktik Penangkapan. Diktat Kuliah Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan. Institut Pertanian
Bogor.
Hasim., Y. Koniyo, dan F. Kasim. 2015. Parameter fisik-kimia perairan Danau
Limboto sebagai dasar pengembangan perikanan budidaya air tawar analisis
hubungan kualitas air terhadap komunitas zooplankton dan ikan di Danau
Hanjalutung. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 3(4) : 130-136.
Hidayat, Y. 2001. Tingkat kesuburan perairan berdasarkan kandungan unsur hara
N dan P serta struktur komunitas fitoplankton di Situ Tonjong, Bojonggede,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 58 hal.
Mahendra, O., Bustari, dan A. Brown. 2014. The Difference of Fish Catches by
Using Jaring Insang (Gill Nets) Before and After Midnight in Nagari
Tikalak (Tikalak Village), X Koto Singkarak, Solok Regency, West
Sumatera. The Student of Faculty of Fisheries and Marine Science.
University of Riau. 13 hal.
Manggabarani, A H S. 2011. Perbandingan hasil tangkapan bagan tancap
berdasarkan waktu hauling pada jarak yang berbeda dari pantai di Desa

18
Punagaya Kabupaten Jeneponto. [Skripsi]. Makasar (ID). Universitas
Hasanuddin.
Marasabessy, M.D., Edward, dan T. Kai-supy. 2005. Kadar oksigen terlarut di
ekosistem terumbu karang kep. Mentawai, nias, dan sibolga untuk
kepentingan biota laut dan pariwisata, prosiding: Seminar Nasional
Perikanan STIP. Jakarta.
Mubarak A. S., D. A. Satyaru U, dan R. Kusdarwati. 2010. Korelasi antara
konsentrasi oksigen terlarut pada kepadatan yang berbeda dengan skoring
warna Daphnia spp. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 2(1) : 45-50.
Nontji, A. 2016. Danau Kerinci. https://anzdoc.com/danau-kerinci-gambar-1-peta-
lokasi-danau-kerinci-gambar-2-pa.html. Diunduh 12 maret 2018. 10 hal
Rachmanda, A. 2011. Estimasi populasi gastropoda di sungai tambak bayan
yogyakarta. Jurnal Ekologi Perairan. 1 : 1-7.
Ramdhan D. 2008. Keramahan gillnet millenium indramayu terhadap lingkungan :
Analisis hasil tangkapan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. 70 hal.
Samuel., N. K Suryati, V. Adiansyah, D. Pribadi, Y. P Pamungkas, dan B. Irawan.
2013. Penelitian bioekologi dan kajian stok ikan di Danau Kerinci Provinsi
Jambi. Laporan Teknis. Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum : 103
hal.
Subani, W., dan H. R. Barus, 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut. Jurnal
Penelitian Perikanan Laut No. 5 tahun 1988 (Edisi Khusus). Jakarta. 248 hal
Sudirman dan Mallawa, A. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Rineka Cipta. Jakarta.
Sudirman dan Natsir. 2011. Perikanan Bagan dan Aspek Pengelolaannya. UMM
Press. Malang.
Suharti, T. 2004. Pengelolaan sungai, danau dan waduk untuk konservasi
sumberdaya air. Makalah Pribadi Falsafah Sains (Pps 702). Sekolah Pasca
Sarjana/S3. Institut Pertanian Bogor. 18 Hal.
Sulaiman H, Mulyono SB, Taurusman AA, Wisudo SH dan Roza Y. 2015. Tingkah
Laku Ikan pada Perikanan Bagan Petepete yang Menggunakan Lampu Led.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 7(1):205-223.
Supratno KP, T. 2006. Evaluasi lahan tambak wilayah pesisir jepara untuk
pemanfaatan budidaya ikan kerapu. Tesis. Program Pasca Sarjana.
Universitas Diponegoro. 187 hal.
Von Brant, A.. 1985. Fish Catching Methods of the Word. Third Edition. Fishing
News Books. London.
Zulfia. 1999. Pengaruh perbedaan waktu hauling terhadap hasil tangkapan bagan
diesel di Perairan Carocok, Kabupaten Pesisir Selatan, Propinsi Sumatera
Barat [skripsi]. Bogor: FKIP-IPB.

19

Anda mungkin juga menyukai