Danau merupakan salah satu bentuk ekosistem air tawar yang ada di permukaan bumi. Menurut Suharti (2004), secara umum Danau merupakan perairan umum daratan yang memiliki fungsi dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat dan meningkatkan pembangunan nasional. Danau Kerinci memiliki luas 4.200 hektar dengan kedalaman 110 meter dan terletak pada ketinggian lebih kurang 783 meter dari permukaan laut. Secara geografis, Danau Kerinci berada pada dua Kecamatan dan Kabupaten Kerinci yaitu Kecamatan Danau Kerinci dan Kecamatan Keliling Danau. Jarak Danau Kerinci dari Kota Jambi lebih kurang 420 km dan dari Kota Sungai Penuh lebih kurang 20 km dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. (Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, 2014). Danau Kerinci terletak di Pegungungan Bukit Barisan di Kabupaten Kerinci,Propinsi Jambi, Sumatra. Secara geografis danau ini berada antara 2°7′28″sampai 2°8′14″ Lintang Selatan dan 101°26′50″ sampai 101°31′34″ BujurTimur. Danau ini beserta daerah tangkapan airnya (catchment area) merupakan enclave dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Ada enam kecamatan yang berbatasan denganDaerah Tangkapan Air Danau Kerinci yakni: Kecamatan Sungai Penuh, Air Hangat, GunungKerinci, Danau Kerinci, Sitinjau Laut dan Gunung Raya (Nontji, 2016). Iklim Danau Kerinci merupakan iklim tropis. Hujan terjadi hampir setiap bulan dengan maksimum pada bulan Desember (151,3 mm³), sedangkan bulan mei - juli agak kering (sekitar 32,6 mm³). Curah hujan dikawasan ini menunjukan pola bipolar, yakni dengan dua puncak, yang primer pada bulan Desember dan sekunder di bulan September. Secara keseluruhan Danau Kerinci mendapat curah hujan sekitar 86,0 mm³. Suhu udara rata-rata dikawasan Danau Kerinci berkisar 16,9 0C - 28,8 0C dengan rata rata 22 0C, sedangkan kelembaban berkisar 78%- 86% dengan rerata 82 % (Badan Pusat Statistik Kabupaten Kerinci, 2010) Danau Kerinci secara administratif berada dalam wilayah Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Tercatat empat kecamatan di Kabupaten tersebut yang berbatasan langsung dengan Danau Kerinci yaitu Kecamatan Danau Kerinci, Kecamatan Keliling Danau, Kecamatan Bukit Kerman dan Kecamatan Batang Merangin (Dirjen Tangkap, 2014) 2.2 Ikan Nilem (Osteochilus waandersii) 2.2.1 Klasifikasi Ikan Nilem (Osteochilus waandersii) Kingdom : Animalia Filum : Chordata Class : Actinopterygii Ordo : Cypriniformes Family : Cyprinidae Genus : Osteochilus Spesies : Osteochilus waandersii Ikan Nilem merupakan ikan air tawar asli perairan Indonesia dan salah satu jenis ikan yang umum dikonsumsi di Sumatera, Jawa dan Kalimantan (Kottelat, 2013). Ikan Nilem sangat potensial dikembangkan sebagai produk unggulan budidaya karena mudah dipelihara, serta memiliki sintasan dan reproduksi tinggi (Cholik et al., 2005).
Gambar 1. Ikan Nilem (Osteochillus waandersii)
Dari aspek ekonomi, nilai jual ikan nilem meningkat jika dijadikan produk olahan populer yang dikenal dengan baby fish (Rahardjo dan Marliani, 2007). Telur ikan nilem digemari masyarakat karena rasanya yang lezat dan juga berpeluang sebagai komoditas ekspor. Dari sisi ekologi karena sifat ikan nilem yang merupakan pemakan detritus dan perifiton, maka ikan ini berfungsi sebagai pembersih perairan yang mengalami ledakan populasi fitoplankton atau blooming (Syandri, 2004). 2.2.2 Morfologi Ikan Nilem (Osteochilus waandersii) Morfologi ikan nilem dicirikan dengan ujung mulut runcing dengan moncong (rostral) terlipat, terdapat sungut peraba pada sudut-sudut mulut. Bentuk tubuh agak pipih, dan bintik hitam besar pada ekor. Sirip punggung terdiri dari tiga jari jari keras dan 12-18 jari-jari lunak. Sirip ekor berbentuk simetris dan sirip dubur terdiri dari tiga jari-jari keras dan lima jari-jari lunak serta jumlah sisik-sisik gurat sisi berkisar antara 33-36 keping (Susanto, 2006).
Gambar 2. Morfologi Ikan Nilem
Hardjamulia dan Atmawinata (1980) menyatakan bahwa spesies ikan nilem dapat dibedakan dari warna sisik pada dasar sirip punggung yaitu coklat kehitaman yang biasa disebut Osteochilus hasselti sedangkan hitam kehijauan adalah Osteochilus vitatus. Rata-rata ikan nilem mempunyai panjang berkisar antara 25-32 cm dengan bobot 150-310 gr. 2.2.3 Reproduksi Ikan Nilem (Osteochilus waandersii) Reproduksi adalah kemampuan individu untuk menghasilkan keturunan dalam upaya melestarikan suatu spesies atau kelompok. Ikan memiliki waktu reproduksi yang berbeda tergantung pada jenis, kebiasaan hidup dan habitatnya. Ikan nilem tergolong ikan yang bertelur secara musiman. Di alam, umumnya hanya pada musim hujan (Cholik et al, 2005). Jenis reproduksi ikan nilem adalah pemijahan parsial atau pemijahan ganda. Pemijahan ikan nilem di perairan dikaitkan dengan fluktuasi tinggi muka air akibat hujan atau banjir (Junaidi et al., 2015). Dalam reproduksi, ikan nilem memiliki sebaran diameter telur, sebaran diameter tersebut akan mencerminkan pola pemijahan. Tempat bertelur Ikan nilem disukai berupa perairan yang jernih dengan arus yang lambat. Pemijahan ikan nilem berlangsung pada malam hari dengan suhu air berkisar antara 18-24°C telur yang telah dibuahi akan menetas dalam waktu 15-17 jam (Rachman et al., 2015). 2.3 Klasifikasi Alat Tangkap Bagan tancap
Gambar 3. Bagan Tancap
Menurut (Mulyono, 1986) Bagan merupakan salah satu jaring angkat yang dioperasikan diperairan pantai pada malam hari dengan menggunakan cahaya lampu sebagai faktor penarik ikan. Tertariknya ikan pada cahaya karena terjadinya peristiwa phototaxis. Antara lain hal disebutkan bahwa cahaya merangsang ikan dan menarik (attrack) ikan berkumpul pada sumber cahaya itu atau juga disebutkan karena rangsangan cahaya (stimulus), kemudian ikan memberikan responnya. Penangkapan dengan bagan menggunakan bantuan lampu dinamakan light fishing. Peristiwa phototaxis dimanfaatkan untuk menangkap ikan itu sendiri. Dapat juga dikatakan dalam light fishing, penangkapan ikan tidak seluruhnya memaksakan keinginannya secara paksa untuk menangkap ikan tetapi menyalurkan ikan sesuai dengan nalurinya untuk ditangkap. Fungsi cahaya pada penangkapan ikan ini ialah untuk mengumpulkan ikan sampai pada sesuatu catchable area tertentu, lalu penangkapan dilakukan dengan jaring. Dengan alat jaring ini dapat dikatakan bahwa jaring bersifat pasif, cahaya berfungsi untuk menarik ikan ke tempat jaring. Peristiwa berkumpulnya ikan di bawah cahaya ini dapat dibedakan menjadi 2 yaitu peristiwa langsung dan peristiwa tidak langsung. Peristiwa langsung yaitu ikan tertarik oleh cahaya lalu berkumpul. Sedangkan peristiwa tidak langsung yaitu dengan adanya cahaya maka sebagai tempat plankton berkumpul lalu banyak ikan yang berkumpul untuk memakan plankton tersebut (Ayodhyoa, 1981). Komponen bagan tancap yang biasanya tidak pernah luput dari pembuatan bagan itu sendiri adalah rumah bagan, daun bagan, penggiling, tali-tali, lampu dan serok. Rumah bagan merupakan rumah yang dibuat diatas bagan untuk tempat istirahat nelayan. Dalam rumah bagan biasanya digunakan juga sebagai tempat penyimpanan bahan bakar minyak untuk lampu petromaks. Menurut (Subani dan Barus, 1989), daun bagan terbuat dari waring plastik, berbentuk seperti kantong besar yang keempat sisinya diikatkan pada bambu. Penggilingan merupakan bambu yang digunakan untuk menarik dan menggulingkan tali jaring. Tali-tali merupakan bagian penting pada bagan untuk mrnunjang operasi penangkapan. Lampu disini digunakan sebagai perangsang atau penarik ikan saat pengoperasian. Sedangkan serok digunakan untuk mengambil hasil tangkapan saat jaring dinaikkan. Menurut (Mulyono, 1986), hasil tangkapan yang umumnya tertangkap dengan alat tangkap bagan ini adalah jenis-jenis ikan pelagis yang umumya bergerak cepat dan berada di permukaan. 2.4. Hasil Tangkapan Bagan Tancap Proses penangkapan pada bagan tancap sangat sederhana. Saat malam semakin gelap, jaring mulai diturunkan. Saat jaring turun, lampu mata ikan mulai menyala. Setelah 2-3 jam, jaring ditarik menggunakan roller. Waktu yang dibutuhkan untuk penarikan hanya 10 menit. Setelah itu ikan diangkat ke atas bagan. Kemudian jaring diturunkan lagi untuk menunggu operasi selanjutnya. Semalam net lifting dilakukan 4-5 kali (Sudirman dan Nessa, 2011). Ikan yang mencari makan, jika makanan tersedia, akan tinggal lama di area yang terang untuk makan dan akan segera meninggalkan area tersebut jika tidak ada makanan. Positifnya ikan phototaxis akan memilih cahaya yang disukainya. Berenanglah di atas atau di bawah jaring dan berlama-lama di sekitar lampu yang menyala. Ikan fototaktik positif dan mencari makan akan sama-sama berada di area iluminasi saat melakukan aktivitas makan (Sudirman dan Nessa, 2011). Pengoperasian bagan tancap umumnya dimulai pada saat matahari mulai tenggelam. Penangkapan diawali dengan penurunan jaring sampai kedalaman yang diinginkan. Selanjutnya lampu mulai dinyalakan untuk menarik perhatian ikan agar berkumpul di bawah sinar lampu atau di sekitar bagan. Pengangkatan jaring dilakukan apabila ikan yang terkumpul sudah cukup banyak dan keadaan ikan-ikan tersebut cukup tenang. Jaring diangkat sampai berada di atas permukaan air dan hasil tangkapan diambil dengan menggunakan serok. Pengoperasian tersebut menggunakan atraktor cahaya sehingga alat ini tidaklah efisien apabila digunakan pada saat bulan purnama. Adapun tahapan-tahapan metode pengoperasian bagan tancap adalah sebagai berikut : persiapan, setting, hauling dan brailing. Persiapan sangat diperlukan sebelum pengoperasian alat tangkap karena hal ini dapat menentukan keberhasilan dalam penangkapan ikan. Hal yang biasa dilakukan adalah pengecekan jaring bagan, pengecekan roller untuk menurunkan dan menarik jaring bagan, dan segala yang dibutuhkan pada saat pengoperasian (Subani & Barus 1989). Awal penggunaan alat tangkap yakni penurunan jaring pada bangunan bagan. Tahap ini merupakan tahap setting dimana jaring biasanya diturunkan secara perlahan-lahan dengan memutar roller. Penurunan jaring beserta tali penggantung dilakukan hingga jaring mencapai kedalaman yang diinginkan. Proses setting tidak membutuhkan waktu begitu lama (Takril 2005). Proses selanjutnya ialah proses perendaman jaring. Selama jaring berada dalam air, nelayan melakukan pengamatan terhadap keberadaan ikan di sekitar bangunan untuk memperkirakan jaring akan diangkat. Proses pengamatan dilanjutkan dengan pengumpulan ikan yakni dengan menyalakan lampu di atas permukaan air, yaitu jarak 0,5 m dari permukaan laut bila laut tenang dan 1-1,5 m dari permukaan laut bila laut bergelombang. Lampu tersebut dibiarkan menyala hingga ikan tampak berkumpul di lokasi bagan (Subani & Barus 1989). Adapun ikan yang menjadi target penangkapan bagan adalah jenis ikan pelagis kecil yang memiliki sifat fototaksis positif atau jenis-jenis ikan yang tertarik terhadap cahaya. Kecenderungan ini disebabkan daya tembus cahaya yang pada saat pengoperasian hanya berada di permukaan. Namun, pada kenyataannya jenis-jenis ikan lain seperti ikan predator dan demersal non-fototaksis positif ikut tertangkap oleh bagan. Beberapa ikan predator yang tertangkap oleh bagan antara lain, layur, tenggiri, alu-alu hingga ikan besar seperti albakor dan cakalang juga tidak jarang ikut tertangkap. Tertangkapnya ikan predator oleh bagan disebabkan jenis ikan tersebut menemukan gerombolan ikan-ikan kecil di sekitar bagan sebagai makanan ikan tersebut. Ikan akan mendekati cahaya karena cahaya merupakan indikasi keberadaan makanan bagi predator (Lee 2010). Takril (2005) menyebutkan hasil tangkapan bagan selama kurun waktu 1984 hingga 2003 menunjukan bahwa ikan hasil bagan terdiri dari empat kelompok besar yaitu pelagis kecil, pelagis besar, demersal dan total spesies yang tertangkap selama kurun waktu tersebut berjumlah 39 jenis. Beberapa spesies dominan yang tertangkap oleh bagan diantaranya teri (Stolephorus spp), tembang (Sardinella fimbriata), kembung (Rastrelliger spp), selar (Selaroides sp), layang (Decapterus spp), pepetek (Leiognathus sp), layur (Trichiurus savala) dan cumi- cumi (Loligo sp). 2.5. Hubungan Panjang Berat Ikan Pertumbuhan adalah perubahan panjang atau berat dari suatu organisme dalam waktu tertentu. Pengukuran panjang dan berat organisme sebagai dasar untuk menghitung dan menguji potensi yang tersedia dalam suatu perairan (Erna, 1996). Pertumbuhan secara fisik diekspresikan dengan adanya perubahan jumlah atau ukuran sel penyusun jaringan tubuh pada periode tertentu, yang kemudian diukur dalam satuan panjang ataupun bobot (Rahardjo, 2011). Hubungan bobot panjang beserta distribusi panjang ikan sangat perlu diketahui untuk mengkonversi secara statistik hasil tangkapan dalam bobot ke jumlah ikan, untuk menduga besarnya populasi, dan untuk menduga laju kematiannya (Bayliff, 1966 dalam Andy Omar, 2012). Salah satu nilai yang dapat dilihat dari adanya hubungan panjang bobot ikan adalah bentuk atau tipe pertumbuhannya. Apabila harga b = 3 maka dinamakan isometrik yang menunjukkan ikan tidak berubah bentuknya dan pertambahan ikan seimbang dengan pertambahan bobotnya. Apabila b < 3 dinamakan alometrik negatif dimana pertambahan panjangnya lebih cepat dibanding pertambahan bobotnya, jika b > 3 dinamakan alometrik positif yang menunjukkan bahwa pertambahan bobotnya cepat dibanding dengan pertambahan panjangnya (Hile, 1963 dalam Effendie, 1979). Pertumbuhan merupakan suatu proses yang terjadi di dalam tubuh organisme yang menyebabkan perubahan ukuran panjang dan bobot tubuh dalam periode waktu tertentu. Pertumbuhan itu sendiri merupakan proses gabungan dari tingkah laku dan proses fisiologis. Hubungan panjang dan bobot merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menganilisis pola pertumbuhan suatu kelompok ikan atau udang yang berguna dalam kegiatan pengelolaan perikanan (Sofian dan Yulia, 2018).
2.6. Ukuran Layak Tangkap Ikan Nilem
Pengamatan mengenai tingkat kematangan gonad penting dilakukan untuk mengetahui ukuran ikan yang didapatkan memang telah layak ditangkap atau belum. Salah satu parameter yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan ukuran ikan yang layak ditangkap ialah dengan menghitung panjang pertama kali matang gonad pada ikan. Ukuran pertama kali matang gonad dapat dijadikan sebagai parameter penting dalam menentukan ukuran layak tangkap atau ukuran terkecil ikan boleh ditangkap. Kematangan gonad awal dapat ditentukan dengan melihat ketika 50% individu dalam suatu populasi telah matang gonad (Sudirman et al., 2010) Ukuran panjang pertama kali matang gonad ikan juga dapat dijadikan sebagai indikator ketersediaan stok reproduktif (Budimawan et al,. 2004) Ukuran pertama kali matang gonad penting untuk diketahui sebagai acuan pengelolaan sumberdaya ikan. Ukuran pertama kali matang gonad ikan Nilem (Lm) yaitu 102,93 mm (Siti Yuliana et al., 2014).