Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIKUM

METODE PENANGKAPAN IKAN


DENGAN MENGGUNAKAN ALAT TANGKAP BUBU LIPAT
DI DESA NELAYAN 2 SUNGAILIAT

Oleh
Kelompok : 1

Andini Okta Lastari 2021911040


Eka Maulana 2021911006
Feni Marlinda 2021911047
Lanang Satria Wiralaga 2021911026
Nova Saputri 2021911029

UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG


FAKULTAS PERTANIAN PERIKANAN DAN BIOLOGI
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
BALUNIJUK
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan pertolongan-Nya, sehingga Laporan Mata Kuliah Metode
Penangkapan Ilmiah ini yang berjudul “Metode Penangkapan Ikan Dengan
Menggunakan Alat Tangkap Bubu Lipat Di Desa Nelayan 2 Sungailiat”. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan laporah ini masih terdapat
banyak kekurangan. Namun berkat dan pertolongan Tuhan Yang Maha Esa
melalui bantuan berbagai pihak, laporan ini dapat terselesaikan. Penulis
menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Orang tua penulis yang telah mendoakan, membimbing, mengayomi, dan
memberi semangat dalam menulis laporan ini.
2. Pak Kurniawan S.Pi., M.Si dan pak Rizaldi S.Pi selaku dosen pengampu
mata kuliah Metode Penangkapan Ikan.
3. Rekan-rekan kerja kelompok yang telah membantu dalam proses
penyelesaian laporan.
4. Seluruh teman-teman mahasiswa Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan terkhususnya angkatan 2019.
Demikianlah harapan penulis, semoga laporan praktikum ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan juga pembaca tentunya. Adanya saran yang
membangun dari pembaca untuk perbaikan laporan selanjutnya sangat dihargai,
penulis ucapkan terima kasih.

Balunijuk,15 April 2022

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

iii
DAFTAR TABEL

iv
DAFTAR GAMBAR

v
DAFTAR LAMPIRAN

vi
1

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Provinsi kepulauan Bangka Belitung memiliki potensi sumberdaya


perikanan tangkap yang besar dengan letak geografis kepulauan, Bangka Belitung
mempunyai wilayah laut 4 (empat) kali lebih luas dari wilayah daratannya, yakni
sebesar 65,301 km atau sebesar 79 persen dari wilayah daratan dengan luas
16,424 km. Produksi perikanan tangkap di provinsi ini sebesar 203.284,4 ton
(Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, 2015).
Sektor perikanan merupakan potensi yang besar untuk dikembangkan dan
dijadikan sebagai salah satu prime mover pembangunan suatu daerah (Kurniawan,
2018). Perikanan tangkap merupakan kegiatan berbasis perekonomian yang
mencangkup penangkapan dan pengumpulan biota baik itu perairan laut maupun
tawar (Monintja 2000). Perikanan tangkap merupakan suatu system yang terdiri
dari beberapa elemen atau subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi
satu dengan yang lainnya.
Jenis alat tangkap ikan merupakan salah satu sarana pokok yang penting
dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaaan sumberdaya ikan secara optimal dan
berkelanjutan. Jenis alat tangkap ikan sudah digunakan untuk kegiatan
penangkapan ikan sangat banyak dan bervariasi. Jenis dan ragam alat tangkap
ikan terus berkembang sesuai dengan kreativitas manusia yang menggunakannya
dan juga mengikuti perkembangn teknologi yang tersedia ( Martasuganda, 2005)
Bubu lipat merupakan alat tangkap yang saat ini popular digunakan oleh
nelayan untuk menangkap kepiting. Alat tangkap ini mulai digunakan oleh
nelayan untuk menangkap rajungan pada awal tahun 2000 (Nurhakim, 2000).
Bubu lipat menjadi alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan karena
mudah dioperasikan, bisa dilipat sehingga mudah untuk dibawa di kapal dengan
jumlah yang banyak dan harga relative murah dibanding jenis alat tangkap
lainnya. Penggunaan bubu lipat selanjutnya semakin luas tidak hanya digunakan
untuk menangkap rajungan, namun juga digunakan untuk menangkap kepiting
bakau.
I.2 Rumusan Masalah
2

Bangka Belitung merupakan salah satu wilayah yang memiliki sektor


perikanan yang cukup melimpah, salah satunya di Sungailiat, Kabupaten Bangka
dimana terdapat desa Nelayan 2 merupakan salah satu desa yang memiliki potensi
perikanan tangkap yang melimpah. salah satu alat tangkap yang digunakan oleh
masyarakat desa nelayan 2 adalah bubu lipat. Adapun rumusan masalah tersebut
sebagian berikut :
1. Bagaimana Metode penangkapan ikan menggunakan alat tangkap bubu
lipat?
2. Apa saja hasil tangkapan yang di peroleh menggunakan bubu lipat ?
I.3 Tujuan Praktikum

Adapun tujuan mengenai penangkapan ikan menggunakan bubu lipat di


Nelayan 2 Sungailiat, Kabupaten Bangka yaitu sebagai berikut :
1. Mengetahui metode penangkapan ikan menggunakan alat tangkap bubu
lipat
2. Mengetahui hasil tangkapan menggunakan bubu lipat
I.4 Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian mengenai hasil tangkapan ikan


menggunakan alat tangkap bubu lipat di Nelayan 2 Sungailiat, Kabupaten Bangka
sebagai berikut ;
1. Sebagai sumber informasi untuk penelitian selanjutnya dijadikan acuan
dalam melakukan penelitian dalam bidang hasil tangkapan ikan di
Kabupaten Bangka
2. Sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam mengatur kebijakan
terhadap bidang sector perikanan di Kabupaten Bangka
3. Sebagai informasi kepada nelayan batas penangkapan ikan di Kabupaten
Bangka
3

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Perikanan Tangkap

Perikanan tangkap berperan penting serta memiliki peran yang strategis bagi
perikanan di Indonesia. Hal ini juga sesuai dengan pendapat (Purnomo, dkk)
Perikanan tangkap memiliki peran penting dan strategis di Indonesia, setidaknya
dapat dilihat dari tiga peran, yaitu sumber pertumbuhan ekonomi, sumber pangan
khususnya protein hewani, dan penyedia lapangan kerja. Pentingnya perikanan
tangkap tidak hanya terjadi di Indonesia namun juga di beberapa negara di Asia,
Eropa dan Amerika. Fakta ini diungkapkan Fauzi (2010) bahwa sektor perikanan
di beberapa negara di Eropa dan Amerika telah menjadi sumber “energi” dan
mesin pertumbuhan ekonomi regional. Peran sektor perikanan di beberapa negara
ditandai dengan tajamnya peningkatan produksi perikanan dunia. Bahkan untuk di
China, perikanan tangkap berdampak secara ekonomi dan sosial (Huang & He
2019). Fauzi & Anna (2002) menyebutkan bahwa sumber daya perikanan sebagai
salah satu aset penting negara apabila dikelola secara baik, dan memberikan
manfaat maksimum bagi masyarakat. Sementara itu, kontribusi produksi
perikanan tangkap laut di dunia terus menurun, hingga sebesar 46,38% dari total
produksi perikanan dunia pada tahun 2016. Pada saat produksi perikanan
meningkat, produksi perikanan tangkap di laut mengalami penurunan, dari sebesar
81,25 juta ton pada tahun 2015 menjadi 79,28 juta ton pada tahun 2016 (FAO,
2018).
II.2 Alat Tangkap Bubu Lipat

Alat tangkap bubu lipat adalah alat tangkap nelayan yang dioperasikan di
perairan pesisir pantai secara pasif untuk memanfaatkan sumberdaya rajungan.
Pengoperasian bubu lipat ini mudah dan bersifat pasif, menggunakan umpan
yaitu dengan cara menunggu rajungan masuk terperangkap. Saat terperangkap di
dalam bubu, rajungan tetap hidup dan dapat bergerak di dalam bubu.
4

Penamaan bubu lipat sendiri di berbagai daerah di Indonesia berbeda- beda.


Nelayan Cirebon menangkap rajungan dengan menggunakan jaring kejer
(Nurhakim, 2000). Di wilayah Papua, kepiting bakau banyak ditangkap dengan
gae-gae. Gae gae adalah alat yang terbuat dari ranting pohon bakau dengan diberi
kait pada bagian ujungnya untuk menangkap kepiting bakau. Di wilayah Sulawesi
Selatan, kepiting bakau ditangkap menggunakan rakkang. Rakkang adalah alat
yang terbuat dari bahan bambu dan tali plastik. Satu bilah bambu dibentuk
menjadi tongkat pada bagian ujung bawah runcing, satu bilah bambu lainnya
dibentuk lingkaran berfungsi sebagai tempat anyaman tali plastik. Rakkang
dipasang di daerah pantai, muara sungai dan pintu masuk tambak (Soim, 1994).
Di Cilacap nelayan menangkap kepiting bakau dengan menggunakan bubu
wadong. Bubu lipat menjadi alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan
karena mudah dioperasikan, bisa dilipat sehingga mudah untuk dibawa di kapal
dengan jumlah yang banyak dan harga relative murah dibanding jenis alat tangkap
lainnya. Penggunaan bubu lipat selanjutnya semakin luas tidak hanya digunakan
untuk menangkap rajungan, namun juga digunakan untuk menangkap kepiting
bakau.
II.3 Jenis-jenis Bubu Lipat berdasarkan metode pengoperasiannya

Sainsbury (1996) membagi bubu kedalam dua kategori berdasarkan metode


pengoperasiannya, yaitu sistem tunggal dan sistem rawai:
1. Sistem tunggal Pada pengoperasian bubu dengan menggunakan sistem
tunggal, bubu dipasang di dasar perairan secara satu per satu. Bubu jenis ini
biasanya dioperasikan pada daerah berkarang dan berbatu dengan jarak yang
cukup jauh antara bubu yang satu dengan lainnya. Pada bubu dilengkapi
dengan pemberat agar posisi bubu tidak tersapu oleh arus dan berpindah
posisi. Untuk dapat mengetahui 10 posisi pemasangan bubu ini, dipasang
pelampung tanda untuk memudahkan dalam pencarian bubu. Pemasangan
bubu dengan sistem tunggal dapat dilihat pada. (Sainsbury,1996).
5

Gambar 1. Pengoperasian bubu dengan Sistem tunggal


Sumber : (Nurwahyuni, S. 2020)
2. Sistem Rawai
Pengoperasian bubu pada sistem rawai yaitu bubu dipasang dalam jumlah
banyak dan dirangkai menggunakan tali antara bubu satu dengan bubu
lainnya. Biasanya bubu dengan system rawai dioperasikan pada laut dalam.
Bubu yang dipasang dengan sistem rawai biasanya dihubungkan dengan
pengait (snap) antara tali cabang dan tali utama, kemudian ditandai dengan
pelampung tanda pada kedua ujungnya dan dilengkapi pemberat agar bubu
tidak berpindah tempat. (Sainsbury,1996)

Gambar 2. Pengopersian bubu dengan sistem rawai


Sumber: (Nurwahyuni, S. 2020)
Jenis-jenis Bubu menurut Subani dan Barus (1989), dalam operasionalnya,
bubu sistem rawai terdiri dari tiga jenis, yaitu :
1. Bubu dasar (Ground Fish Pots) adalah bubu dioperasikan di dasar perairan.
Perngoperasian bubu jenis ini bisa dilakukan secara tunggal dan bisa pula di
operasikan secara rawai. Tempat pemasangan bubu dasar biasanya di
perairan karang atau di antara karang-karang atau bebatuan. Pengambilan
6

hasil tangkapan dilakukan dua sampai tiga hari setelah bubu dipasang
bahkan beberapa hari setelah di pasang.
2. Bubu apung (Floating Fish Pots), adalah bubu yang dioperasikan dengan
cara diapungkan dipermukaan perairan. Bubu ini umumnya terbuat dari
bambu dan dilengkapi dengan pelampung. Bentuk bubu apung ada yang
slindris dan ada pula yang berbentuk seperti kurung-kurung. Bubu jenis ini
menangkap jenis ikan pelagis. Tipe bubu apung berbeda denga bubu dasar,
bubu apung dilengkapi dengan pelampung dari bambu atau rakit bambu
yang penggunaannya ada yang diletakkan tepat dibagian atasnya.
3. Bubu hanyut (Drifting Fish Pots), adalah bubu yang dioperasikan di
permukaan air. Ditinjau dari kedudukannya di air, bubu hanyut sama dengan
bubu apung, namun bubu ini kemudian dihanyutkan mengikuti arus air.
Bubu jenis ini umumnya dirangkai dari beberapa bubu yang berukuran kecil
berjumlah 20-30 buah. Bubu hanyut di indonesia umumnya dikenal dengan
sebutan pakaja, luka , atau patorani. Pakaja atau luka artinya sama yaitu
bubu, sedangkan patorani merupakan penamaan bubu karena bubu ini
menangkap ikan torani atau ikan terbang (flying fish). Bubu hanyut biasa
berukuran kecil, berbentuk silindris, panjang 0,75 m, diameter 0,4-0,5 m.
II.4 Kontruksi Bubu Lipat

Selanjutnya Brandt (1984) membedakan pengertian perangkap dan bubu.


Perangkap merupakan alat tangkap dua dimensi, kadang-kadang pagar perangkap
dibuat lebih tinggi dari permukaan air untuk mencegah ikan-ikan lolos dengan
cara melompati pagar tersebut. Berbeda dengan perangkap, Bubu merupakan alat
tangkap tiga dimensi yang memiliki ruangan yang sepenuhnya tertutup, dengan
pengecualian, satu atau lebih pintu masuk dilengkapi dengan alat pencegah ikan
lolos (non-return device).
Penggunaan bubu memilki beberapa kelebihan dibandingkan dengan alat
tangkap lain. Adapun kelebihan dari penggunaan bubu menurut Martasuganda
(2003) adalah :
1. Pembuatan alatnya mudah
2. Pengoperasiannya mudah
3. Memilki tingkat kesegaran hasil tangkapan yang tinggi
7

4. Daya tangkapan ya bisa diandalkan, dan bisa dioperasikan di tempat –


tempat dimana alat tangkap lain tidak bisa dioperasikan
Menurut Baskoro (2006) faktor dalam keberhasilan penangkapan ikan
menggunakan bubu antara lain desain alat penangkapan ikan dan attraction factor,
yaitu umpan, bahan pembuat alat dan dimensi pintu masuk. Menurut Tirtana
(2003), mengatakan bahwa ikan yang masuk ke dalam bubu bisa meloloskan diri
sangat ditentukan oleh tinggi bubu (body depth) atau tubuh (body girth) dan celah
pelolosan. Jadi semakin besar tinggi bubu (body depth) atau lingkar tubuh (body
girth), maka peluang ikan meloloskan diri semakin kecil, dan bila semakin kecil
tinggi bubu (body depth) atau lingkar tubuh (body girth), maka peluang ikan
untuk meloloskan diri semakin besar.
Menurut Subani dan Barus (1989), alat tangkap ini umumnya terdiri atas
kerangka (Frame), badan, dinding (wall), mulut (funnel), pintu (hantch) dan
tempat umpan (bait case), celah pelolosan dan pemberat.
1. Rangka (frame) Rangka bubu berfungsi memberi bentuk pada bubu. Rangka
dibuat dari material yang kuat dan dapat mempertahankan bentuk bubu
ketika dioeprasikan. Rangka bubu dapat terbuat dari kayu, besi, baja atau
bahkan terbuat dari plastik. Pada umumnya rangka bubu dibuat dari besi dan
baja. (Subani dan Barus, 1989).
2. Badan (body) Badan bubu pada alat tangkap bubu moderm biasanya terbuat
dari kawat, jaring nylon, baja, bahkan plastik. Pemilihan material badan
bubu tergantung dari penggunaan tradisional dan ketersediaan material serta
biaya dalam pembuatan. Pada beberapa daerah, bambu dan anyaman rotan
masih digunakan dalam pembuatan badan bubu. Selain itu, pemilihan
material tergantung pula pada hasil tangkapan dan kondisi daerah.
3. Mulut (funnel) Salah satu bentuk mulut pada bubu adalah corong. Lubang
corong bagian dalam biasanya mengarah kebawah dan dipersempit untuk
menyulitkan ikan keluar dari bubu. Selain itu ada juga yang berbentuk celah
seperti pada bubu lipat segi empat serta berbentuk horse neck pada jenis
bubu tambun. Jumlah mulut bubu bervariasi ada yang hanya satu buah dan
ada pula yang lebih dari satu. (Subani dan Barus, 1989) penangkapan.
8

4. Tempat umpan (bait case) Tempat umpan pada umumnya terletak didalam
bubu. Tempat umpan ini biasanya terbuat dari kawat, plastik ataupun jaring
sentetis. Fungsinya untuk menahan umpan agar tidak terpisah dan tetap pada
tempatnya. Dalam beberapa kasus, umpan diletakkan pada ruangan yang
terbuat dari besi atau plastik dengan beberapa lubang kecil untuk
mengamankan umpan. Cara ini hanya biasa dilakukan apabila umpan uyang
digunakan sangat atraktif pada ikan yang ingin di tangkap. (Subani dan
Barus, 1989).
5. Pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan (hatch) Pintu biasanya terletak
pada bagian tengah badan bubu agar mudah untuk mengeluarkan hasil
tangkapan. Kebanyakan perangkap dilengkapi dengan pintu untuk
memudahkan dalam mengeluarkan hasil tangkapan (Subani dan Barus,
1989).
6. Celah pelolosan
Celah pelolosan dibuat agar ikan – ikan yang belum layak tangkap dari segi
ukuran dapat keluar dari bubu. Bentuk celah pelolosan dapat mempengaruhi
9 keberhasilan bubu dalam meloloskan hasil tangkapan sampingan. Bentuk
escape gap sebaiknya disesuaikan dengan morfologi maupun tingkah laku
dari terget spesies yang akan diloloskan. Adapun bentuk celah pelolosan
yang umum digunakan yaitu kotak, persegi panjang dan oval. Pada beberapa
negara, celah pelolosan menjadi keharusan pada setiap alat tangkap untuk
meloloskan ikan – ikan dan crustacea yang masih berukuran kecil. (Subani
dan Barus, 1989)
7. Pemberat
Pemberat dipasang pada bubu untuk mengatasi pengaruh pasang surut, arus
laut dan gelombang sehingga posisi bubu tidak berpindah – pindah dari
tempat setting semula. Pemeberat diperlukan terutama untuk bubu yang
terbuat dari kayu dan material ringan lainnya. Pemberat pada bubu bisa
terbuat dari besi, baja, batu bara dan jenis batuan lainnya. (Subani dan
Barus, 1989).
9

III. METODOLOGI PRAKTIKUM

III.1 Waktu dan tempat

Pratikum Metode Penangkapan Ikan dengan menggunakan alat tangkap


bubu lipat dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 26 maret 2022 pukul 08.00 WIB
– selesai, bertempat di Desa Nelayan 2 Sungaliat.

Gambar 3. Peta foto udara


Sumber : SAS Planet
III.2 Alat dan bahan
10

Alat dan bahan yang digunakan dalam penggunaan alat tangkap bubu lipat
adalah sebagai berikut:
Table 1. Alat dan bahan
No Alat dan Bahan Kegunaan
1 Bubu Lipat Menangkap kepiting
2 Tali Mengangkat bubu lipat
3 Pelampung Menandai Bubu lipat
4 Wareng Tempat umpan
5 Gunting Memotong Wareng
6 Ikan Sebagai umpan

III.3 Cara kerja


Bubu lipat merupakan alat tangkap yang dibuat khusus untuk menangkap
kepiting bakau (Scylla paramamosain), terbuat dari jaring berbentuk persegi atau
kotak dengan besi sebagai rangka dan memiliki dua buah pintu sebagai tempat
masuk kepiting, dapat dilipat apabila tidak sedang dioperasikan. Bubu lipat
diklasifikasikan ke dalam kelompok perangkap dan penghadang. Bubu lipat
sangat bermanfaat dalam mendapatkan hasil tangkapan yang banyak, sehingga
perlu diketahui cara pengoperasiannya.
Adapun tahapan dalam pengoperasian bubu lipat ada empat tahap, yaitu
sebagai berikut :
Pertama dilakukan pemasangan umpan, posisi umpan harus didesain
sedemikian rupa sehingga mampu menarik perhatian ikan baik dari bau maupun
bentuknya. Umpan sendiri dipasang di bagian tengah bubu lipat yang ditancapkan
pada besi yang telah didesain sebagai tempat umpan.
Kedua pemasangan bubu (setting), bubu yang telah siap diturunkan ke
perairan. Sebagai penanda posisi pemasangan bubu dilengkapi dengan
pelampung. Hal ini akan memudahkan untuk menemukan kembali bubunya.
langkah ketiga dilakukannya perendaman bubu (soaking), lama perendaman
bubu lipat adalah 30 menit sampai 1 jam, kadang kadang juga bisa 1-2 hari.
Ke-empat pengangkatan bubu (hauling), proses hauling pada bubu dapat
dilakukan dengan setelah perendaman selesai yaitu dengan mengangkat kembali
bubu keatas perairan.
11

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil

Adapun hasil yang didapatkan dari praktikum metode penangkapan ikan


yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Hasil tangkapan menggunkan alat tangkap bubu lipat
No Lokasi Hasil Tangkapan Jumlah
1. Lokasi 1 Tidak Ada Tidak ada
2. Lokasi 2 Kepiting 1
Scylla paramamosain

IV.2 Pembahasan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan menggunakan alat tangkap


bubu lipat dapat dijelaskan bahwa:
Penangkapan ikan menggunakan bubu lipat dilakukan pada dua lokasi yang
sama hanya di bedakan pada titiknya saja. Pada lokasi pertama dari 9 bubu lipat
yang dipasang tidak ada hasil tangkapan yang di peroleh. Pada lokasi kedua dari 9
bubu yang dipasang terdapat satu bubu yang dimakan umpan dengan hasil
tangkapan kepiting spesies Scylla paramamosain.
IV.3 Kontruksi bubu lipat
12

Bubu lipat yang digunakan dalam praktikum ini berbentuk persegi empat,
dengan bukaan mulut bubu (funnel) berbentuk horizontal seperti celah, dengan
bentuk rangka tubuh yang terbuat dari besi. Badan bubu sendiri berbentuk
anyaman yang dirangkai menggunakan tuban dan terbuat dari PE. Tempat umpan
bubu sendiri terletak didalam bubu yang dikaitkan dengan salah satu kerangka
besi pada badan bubu. Pelampung bubu yang digunakan terbuat dari gabus yang
kemudian diikat menggunakan tali. Kedalaman dalam pemasangan bubu sendiri
sekitar 1 m -1,5 m. dengan lama waktu satu jam pada tiap masing-masing lokasi.
Berdasarkan pengoperasiannya bubu lipat yang digunakan pada praktikum
ini menggunakan metode sistem tunggal yaitu dengan memasang bubu pada dasar
perairan secara satu persatu yang kemudian sebagai penanda digunakan
pelampung hal ini sesuai dengan pendapat (Sainsbury, 1996).
Berikut merupakan gambar kontruksi dari bubu lipat yang digunakan pada
saat praktikum di desa Nelayan 2 Sungailiat:

Gambar 4. Kontruksi bubu lipat persegi empat


Sumber : Dokumentasi pribadi
Keterangan :
a. Rangka
b. Badan jaring
c. Mulut
d. Engsel
e. Pengait umpan
IV.4 Morfologi Scylla paramamosain
13

Kepiting bakau jenis Scylla paramamosain memiliki duri yang relatif agak
tinggi/sedang, memiliki warna karapas cokelat kehijauan, sumber pigmen
polygonal terdapat pigmen putih pada bagian terakhir dari kaki-kaki.
Menurut Stephenson dan Campbell (1960), Motoh (1977), Warner (1977),
Moosa (1980) dan Keenan dkk (1998), kepiting bakau dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
Class : Crustacea
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Scylla (de Han)
Spesies : Scylla paramamosain (Estampador, 1949)
Kepiting bakau merupakan salah satu kelompok Crustacea. Tubuh kepiting
ditutupi dengan karapas, yang merupakan kulit keras atau exoskeleton (kulit luar)
dan berfungsi untuk melindungi organ bagian dalam kepiting (Prianto, 2007).
Kulit yang keras tersebut berkaitan dengan fase hidupnya (pertumbuhan) yang
selalu terjadi proses pergantian kuit (moulting). Kepiting bakau genus Scylla
ditandai dengan bentuk karapas yang oval bagian depan pada sisi panjangnya
terdapat 9 duri di sisi kiri dan kanan serta 4 yang lainnya diantara ke dua matanya.
Spesies-spesies di bawah genus ini dapat dibedakan dari penampilan morfologi
maupun genetiknya. Seluruh organ tubuh yang penting tersembunyi di bawah
karapas. Anggota badan berpangkal pada bagian cephalus (dada) tampak mencuat
keluar di kiri dan kanan karapas, yaitu 5 (lima) pasang kaki.

Gambar 5. Scylla paramamosain tampak depan


Sumber : Dokumentasi pribadi
14

Pasangan kaki pertama disebut cheliped (capit) yang berperan sebagai alat
memegang dan membawa makanan, menggali, membuka kulit kerang dan juga
sebagai senjata dalam menghadapi musuh, pasangan kaki kelima berbentuk
seperti kipas (pipih) berfungsi sebagai kaki renang yang berpola poligon dan
pasangan kaki selebihnya sebagai kaki jalan. Pada dada terdapat organ
pencernaan, organ reproduksi (gonad pada betina dan testis pada jantan). Bagian
tubuh (abdomen) melipat rapat dibawah (ventral) dari dada. Pada ujung abdomen
itu bermuara saluran pencernaan (dubur). Jenis yang kepiting Scylla
paramamosain di lokasi 2 adalah jantan yang dicirikan dari abdomen yang
diidentifikasi.

Gambar 6. Scylla paramamosain tampak belakang


Sumber : Dokumentasi pribadi

Alasan mengapa hanya sedikit kepiting bakau yang tertangkap dikarenakan


pada lokasi tersebut ada berbagai aktivitas antropogenik salah satunya adalah
tambang illegal yang masih berjalan. Dampak adanya kegiatan tambang illegal
mengakibatkan terjadinya kerusakan pada manggrove serta penyempitan,
pendangkalan kolom perairan dan kekeruhan perairan yang dapat mengurangi
jumlah dan jenis spesies ikan, udang serta kepiting hal ini menurut pendapat
(Ismail, dkk. 2019).
15

V. KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari kegiatan praktikum Metode


Penangkapan Ikan menggunakan alat tangkap bubu lipat di desa Nelayan 2
Kabupaten Bangka sungailiat adalah sebagai berikut:
1. Metode dalam penggunaan alat tangkap bubu lipat adalah pertama
pemasangan umpan, pelampung. kedua pengaturan alat (setting) pada bubu
lipat sebelum penurunan, ketiga dilakukannya perendaman alat (soaking)
pada bubu lipat dan ke-empat yaitu pengangkatan alat (hauling) pada bubu
lipat.
2. Hasil tangkapan yang diperoleh berdasarkan 2 titik lokasi yang sama
terdapat satu lokasi yang terdapat hasil tangkapan yaitu kepiting bakau
(Scylla paramamosain) dengan jumlah tangkapan satu ekor. Adapun faktor
yang mempengaruhi hasil tangkapan yaitu adanya aktifitas manusia satunya
tambang illegal yang membuat berkuranggnya hasil tangkapan dikarenakan
menimbulkan pendangkalan sedimentasi kolom perairan sehingga spesies
kepiting bakau mengalami tekanan dan jarang tertangkap.
V.2 Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan dari kegiatan praktikum yang telah
dilakukan yaitu:
16

1. Perlu adanya penelitian lanjutan terkait fisika kima dan biologi sehingga
dapat ditentukan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan pada
bubu lipat secara terperinci.
2. Sebaiknya penggunaan umpan tidak diikat mengggunakan jaring
dikarenakan banyak bubu yang umpannya habis dimakan akan tetapi tidak
terperangkap kedalam bubu, sehingga perlu dilakukan kajian lebih lanjut
terkait pemasangan umpan yang baik dalam penggunaan bubu lipat.

DAFTAR PUSTAKA

Baskoro M.S. 2006. Alat Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan. Kumpulan


pemikiran tentang teknologi penangkapan ikan yang bertanggung jawab.
Kenangan pernabakti Prof.Dr.Ir. Daniel R Monintja. Departeman
Pemamfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan Dan
Perikanan, IPB. Hal : 7- 19.

Brandt, A 1984. Fishing Catching Methods of The World. Fishing News Books
Ltd.Farnham surrey, England.166 p.

[FAO] Food & Agriculture Organization. (2018). Fishery and Aquaculture


Statistics 2016. Roma, Italia.

Fauzi A. (2010). Ekonomi Perikanan “Teori, Kebijakan dan Pengelolaan”.


Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.

Fauzi A & Anna Z. (2002). Penilaian Depresiasi Sumber daya Perikanan Sebagai
Bahan Pertimbangan Penentuan Kebijakan Pembangunan Perikanan.
Jurnal Pesisir dan Lautan, Volume 4. No 2. 2002 : 36 – 49 Bogor : Pusat
Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.

Huang S & He Y. (2019). Management of China’s Capture Fisheries : Review and


Prospect. Journal Aquaculture and Fisheries, Vol 4 (2019) : 173-182

Iskandar. D, 2012. Daya tangkap Bubu lipat yang di operasikan oleh nelayan
tradisional di desa Mayangan kabupaten Subang. Vol. 8 no 2 1-5.
17

Kurniawan, 2018. Strategi pengembangan perikanan tangkap di kabupaten


Bangka selatan. Akuatik, jurnal sumber daya perairan.

Marlyna. S. Kurniawan, 2020. Kepuasan nelayan : pelayanan di pelabuhan


perikanan nusantara Sungailiat

Martasuganda S. 2003. Bubu (traps). Bogor : Departeman Pemamfaatan


Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.69 Hal.

Monitnja. D dan R. Yuspiandayani. 2001. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dalam


bidang perikanan tangkap. Prosiding pelatihan pengelolaan wilayah pesisir
terpadu, institute pertanian bogor.

Nurhakim, M.A. 2000. Analisis hasil tangkapan jaring kejer pada kedalaman
pemasangan jaring yang berbeda di Gebang Mekar, Cirebon. Skripsi.
(tidak dipublikasikan). Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,
Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.71 hal.

Purnomo BH. (2012). Peranan Perikanan Tangkap Berkelanjutan untuk


Menunjang Ketahanan Pangan di Indonesia. Artikel. Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Jember.

Soim. 1994. Pembesaran Kepiting. Jakarta. Penebar Swadaya. 21 hal.

Subani W dan Barus HR. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di
Indonesia. (Fishing Gears for marine Fish and Shrimp in Indonesia).
No.50 Tahun 1988/1989. Edisi khusus. Jurnal Penelitian Perikanan laut.
Jakarta : Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan
pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 248 Hal.

Tirtana S. 2003. Selektivitas Ukuran Ikan Kakap (lutjanus sp) Pada Bubu yang
Dilengkapi Celah Pelolosan (escaping gaps).Skripsi. Bogor.: Program
Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 60 hal.
18

LAMPIRAN

Lampiran 1. Bubu lipat Lampiran 2. Pelampung

Lampiran 3. Umpan Lampiran 4. Tali


19

Lampiran 5. Lokasi 1 Lampiran 6. Lokasi 2

Lampiran 7. Bagian belakang Scylla Lampiran 8. Bagian depan Scylla


paramamosain paramamosain

Anda mungkin juga menyukai