Anda di halaman 1dari 5

Nama: Aulia Dofani Ramadana

NIM : 042345763

TUGAS 1 HUKUM TATA PEMERINTAHAN


1. Apa hubungan kewenangan antara Pemerintahan Atasan (gubernur) dengan pemerintahan bawahan
kabupaten/kota (bupati/walikota) ditinjau dari HTP dan Ilmu Pemerintahan pada kasus di atas?

2.Prof. Mr. Remmelink menyatakan bahwa “Tiada hukuman tanpa adanya melawan hukum secara
materiil”. Dalam kasus di atas, bagaimana perbuatan/perilaku yang tidak mengikuti arahan program
provinsi yang berhubungan dengan aspek hukum materiil?

3.Dalam hal hubungan pembinaan dan pengawasan di antara pemerintahan provinsi dengan pemerintahan
kabupaten/kota. Bagaimana pendapat Anda tentang best-practices pengawasan dan pembinaan yang
dijalankan pemerintah provinsi terhadap pemerintah kabupten/kota dalam kasus tersebut di atas?

JAWABAN
1.Kedudukan dan wewenang gubernur tidak lepas dari konsepsi pemerintahan secara keseluruhan dimana
pemerintah daerah merupakan subsistem dari sistem pemerintahan negara Indonesia. Sebuah sistem
pemerintahan dalam negara hanya akan berfungsi jika subsistem yang ada terintegrasi, saling mendukung
, dan tidak berlawanan serta terkoordinasi dalam sistem pemerintahan berdasar UUD 1945. Pemahaman
terhadap ini memberi landasan terhadap pentingnya penataan hubungan kewenangan dan kelembagaan
antar level pemerintahan di pusat, di provinsi, dan di kabupaten/kota. Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945 amandemen kedua menyatakan bahwa pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah
kabupaten/kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
UU 32/2004 yang merupakan perwujudan dari amanat konstitusi tentang pemerintahan daerah
berdasarkan Pasal 37 dan Pasal 38 menempatkan gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah yang salah
satu tugasnya adalah melakukan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
daerah kabupaten/kota. konstruksi perwilayahan yang dianut oleh UU tersebut menempatkan gubernur
dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah di daerah hubungannya dengan bupati/walikota bersifat
hirarkis, namun meskipun demikian dalam prakteknya sering kali kedudukan gubernur tersebut tidak di
“hormati” oleh bupati/walikota yang berakibat pada disharmoni hubungn seperti antara Gubernur Jawa
Barat dengan Walikota Solo, tidak di taatinya hasil klarifikasi Perda yang di lakukan Gubernur NTB
terhadap Perda Kabupaten Sumbawa Barat Nomor 1 Tahun 2010 tentang Komisi Pertambangan, konflik
antarkabupaten terkait dengan perebutan wilayah yang terjadi di Sumatra Utara dimana dalam hal ini
berdasarkan wewenang yang ada gubernur dapat menyelesaikannya namun peran tersebut tidak
diindahkan oleh bupati/walikota. Mengingat akan hal tersebut dan dalam rangka revitalisasi kedudukan
gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah, pemerintah kemudian menerbitkan PP 19/2010 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Serta Kedudukan Keungan Gubernur Sebagai Wakil
Pemerintah Di Wilayah Provinsi. Keberadaan PP tersebut diharapkan mampu memulihkan gejah
Gubernur namun apa yang terjadi khususnya dalam pelaksanaan koordinasi sering kali tidak dindahkan
oleh bupati/walikota contoh konkrit baru-baru ini banyak bupati/walikota yang tidak hadir pada
penyerahan DIPA atau pada saat dilakukan MUSRENGBANG Provinsi atau pada saat rapat kerja.

Dalam rangka peningkatan sinergitas dan koordinasi antara satuan pemerintahan, diterbitkanlah PP
23/2011 sebagai revisi atas PP 19/2010. Dalam ke dua PP tersebut diatur tugas dan wewenang gubernur
yang dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c gubernur diberikan wewenang untuk menerapkan sanksi kepada
bupati/walikota terkait dengan kinerja, pelanggaran kewajiban, dan pelaksanaan sumpah janji. Jika dikaji
lebih lanjut wewenang tersebut mengandung kekaburan norma (vage norm) karena multitafsir sebagai
akibat dari tidak dijelaskannya mekanisme penjatuhan, bentuk, tolok ukur serta akibat sanksi tersebut.
Meskipun wewenang gubernur mengandung kekaburan norma hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi
gubernur dalam menggunakan wewenang tersebut oleh karena berdasarkan sifat dari wewenang tersebut
adalah wewenang bebas maka dalam penerapannya gubernur dapat menggunakan diskresi untuk
mengambil keputusan dan tindakan apabila bupati/walikota berkinerja rendah, tidak melaksanakan
kewajiban yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, dan melanggar sumpah/janji.

secara konseptual kekuasaan diskresi pemerintah merupakan kekuasaan yang timbul karena
perkembangan atau perluasan konsep fungsi pemerintahan. Diskresi adalah kebebasan bertindak
pemerintah dalam kaitan untuk menjawab perkembangan tuntutan dalam hidup kemasyarakatan terkait
dengan fungsi pemerintah sebagai penyelenggara kepentingan umum dalam sebuah negara. Kebebasan
bertindak pada pemerintah ini lahir karena situasi keterbatasan pengaturan hukum sebagai landasan
bertindak bagi pemerintah untuk menjawab kekaburan norma yang terjadi. Diskresi tidak dapat dilakukan
tanpa adanya conditio sine quo non yang mendasari diberikannya diskresi itu sendiri.

Pada dasarnya tidak semua kata, istilah, dan kalimat yang menunjukkan suatu kaedah hukum , baik yang
dikemukakan dengan lisan atau dinyatakan dengan tertulis dalam bentuk perundangan itu sudah jelas dan
mudah di pahami termasuk dalam hal ini ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf c PP 23/2011 dan untuk
menjawab ketidakjelasan dan kekaburan yang terdapat didalam norma tersebut dalam ilmu hukum dikenal
salah satu metode penafsiran/interpretasi sistematis untuk menjawab kekaburan norma. Interpretasi
sistematis adalah metode yang menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya
dengan peraturan hukum (undang-undang lain) atau dengan keseluruhan sistem hukum. Hukum dilihat
sebagai satu kesatuan atau sebagai sistem paraturan. Satu peraturan tidak dilihat sebagai peraturan yang
berdiri sendiri tetapi sebagai bagian dari suatu sistem. Undang-undang merupakan bagian dari
keseluruhan sistem perundang-undangan artinya tidak satupun dari perundang-undangan tersebut dapat
ditafsirkan seakan-akan ia berdiri sendiri, tetapi ia harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis
peraturan yang lainnya.

Terhadap ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf c PP 23 Tahun 2011 adalah merupakan satu kesatuan sistem
hukum dengan peraturan perundang-undangan lainya khususnya yang mengatur tentang pemerintahan
daerah. Oleh karena dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf c tidak diatur tentang mekanisme,tolok ukur,
dan bentuk sanksi apa yang dapat diberikan kepada bupati/walikota, maka digunakan penafsiran
sistematis dengan menghubungkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf c PP 23 Tahun 2011 dengan Pasal 29
UU 32/2004, Pasal 123 PP 6/2005, Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) PP 79/2005, Pasal 58 ayat (2) PP
6/2008.Dalam hal wewenang gebernur yang terkait dengan kinerja jika dihubungkan dengan ketentuan
Pasal 58 ayat (2) PP 6/2008 dan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) PP 79/2005 maka bentuk sanksi yang dapat
diterapkan kepada bupati/walikota yang terkait dengan kinerja adalah:
Penataan kembali daerah otonom
Pembatalan pengangkatan pejabatPenangguhan dan/atau pembatalan kebijakan daerah
AdministratifFinancial/penundaan pencairan dana perimbangan.
Sedangkan tolok ukur kinerja adalah berupa evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah(EPPD) yang
dilakukan melalui evaluasi kinerja penyelenggaran pemerintahan daerah(EKPPD) yang diukur dari
masukan, keluaran, manfaat, dan dampak dari kinerja bupati/walikota yang bersumber dari laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah (LPPD) kepada gubernur. Adapun terkait dengan sanksi
pelanggaran kewajiban dan sumpah/janji bupati/walikota berdasarkan penafsiran sistematis dengan Pasal
29 UU 32/2004 dan Pasal 132 PP 6/2005 pengaturan nya sudah jelas baik mengenai mekanisme/tata cara
ataupun bentuk dan akibat hukum sanksinya.

2.Unsur ada perbuatan melawan hukum


Perbuatan melawan hukum berarti adanya perbuatan atau tindakan dari pelaku yang melanggar/melawan
hukum.Dulu, pengertian melanggar hukum ditafsirkan sempit, yakni hanya hukum tertulis saja, yaitu
undang-undang. Jadi seseorang atau badan hukum hanya bisa digugat kalau dia melanggar hukum tertulis
(undang-undang) saja.Tapi sejak tahun 1919, ada putusan Mahkamah Agung Belanda dalam kasus Arrest
Cohen-Lindenbaum (H.R. 31 Januari 1919), yang kemudian telah memperluas pengertian melawan
hukum tidak hanya terbatas pada undang-undang (hukum tertulis saja) tapi juga hukum yang tidak
tertulis, sebagai berikut:[1]:Melanggar Undang-Undang, artinya perbuatan yang dilakukan jelas-jelas
melanggar undang-undang.Melanggar hak subjektif orang lain, artinya jika perbuatan yang dilakukan
telah melanggar hak-hak orang lain yang dijamin oleh hukum (termasuk tapi tidak terbatas pada hak yang
bersifat pribadi, kebebasan, hak kebendaan, kehormatan, nama baik ataupun hak perorangan lainnya.
Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, artinya kewajiban hukum baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis, termasuk hukum publik.
Bertentangan dengan kesusilaan, yaitu kaidah moral (Pasal 1335 Jo Pasal 1337 KUHPerdata)
Bertentangan dengan sikap kehati-hatian yang sepatutnya dalam masyarakat. Kriteria ini bersumber pada
hukum tak tertulis (bersifat relatif). Yaitu perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan sikap yang
baik/kepatutan dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.
 Unsur adanya kesalahan
Kesalahan ini ada 2 (dua), bisa karena kesengajaan atau karena kealpaan.
Kesengajaan maksudnya ada kesadaran yang oleh orang normal pasti tahu konsekuensi dari perbuatannya
itu akan merugikan orang lain.
Sedang, Kealpaan berarti ada perbuatan mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan, atau tidak
berhati-hati atau teliti sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain[2]
Namun demikian adakalanya suatu keadaan tertentu dapat meniadakan unsur kesalahan, misalnya dalam
hal keadaan memaksa (overmacht) atau si pelaku tidak sehat pikirannya (gila)
 Unsur adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan (Hubungan Kausalitas)
Maksudnya, ada hubungan sebab akibat antara perbuatan yang dilakukan dengan akibat yang muncul.
Misalnya, kerugian yang terjadi disebabkan perbuatan si pelaku atau dengan kata lain, kerugian tidak
akan terjadi jika pelaku tidak melakukan perbuatan melawan hukum tersebut.
 Unsur adanya kerugian
Akibat perbuatan pelaku menimbulkan kerugian. Kerugian di sini dibagi jadi 2 (dua) yaitu Materil dan
Imateril.Materil misalnya kerugian karena tabrakan mobil, hilangnya keuntungan, ongkos barang, biaya-
biaya, dan lain-lain.
materil misalnya ketakutan, kekecewaan, penyesalan, sakit, dan kehilangan semagat hidup yang pada
prakteknya akan dinilai dalam bentuk uang.
Adapun pemberian ganti kerugian menurut KUHPerdata sebagai berikut
 Ganti rugi untuk semua perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata);

Ganti rugi untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (Pasal 1367 KUHPerdata). Pasal 1367 ayat (1)
KUHPerdata, seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya
sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada dalam pengawasannya (vicarious liability)
 Ganti rugi untuk pemilik binatan (Pasal 1368 KUHPerdata)

 Ganti rugi untuk pemilik gedung yang ambruk (Pasal 1369 KUHPerdata)

 Ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuh (Pasal 1370 KUHPerdata)

 Ganti rugi karena telah luka tau cacat anggota badan (Pasal 1371 KUHPerdata)
 Ganti rugi karena tindakan penghinaan (Pasal 1372 KUHPerdata)KUHPerdata tidak mengatur
soal ganti kerugian yang harus dibayar karena Perbuatan Melawan Hukum sedang Pasal 1243
KUHPerdata membuat ketentuan tentang ganti rugi karena Wanprestasi.Maka menurut
Yurisprudensi ketentuanganti kerugian karena wanprestasi dapat diterapkan untuk menentukan
ganti kerugian karena Perbuatan Melawan Hukum.[4]
Jadi berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa unsur-unsunr PMH bisa dibagi menjadi 4
unsur; Pertama: unsur adanya perbuatan yang melawan hukum, Kedua: unsur adanya kesalahan Ketiga:
Unsur adanya hubungan kausalitas, dan Keempat: unsur adanya kerugian.

3. [07.35, 27/4/2021] Ns: Pemerintah kembali mengeluarkan peraturan perundang-undangan berkaitan


dengan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Peraturan tersebut yakni Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Pemerintahan Daerah yang
ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada 5 April 2017.
PP tersebut ditetapkan sebagai bentuk melaksanakan ketentuan Pasal 353 dalam rangka memberi
kepastian hukum terhadap tata cara pengenaan sanksi administratif dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 383 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah.

Menurut PP ini, pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah: a. provinsi, dilaksanakan oleh: 1.


Menteri, untuk pembinaan umum; dan 2. menteri teknis/kepala lembaga pemerintah nonkementerian,
untuk pembinaan teknis; b. kabupaten/kota, dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
untuk pembinaan umum dan teknis.
Pembinaan umum sebagaimasa dimaksud meliput: a. pembagian urusan pemerintahan; b. kelembagaan
daerah; c. kepegawaian pada Perangkat Daerah; d. keuangandaerah; e. pembangunan daerah; f. pelayanan
publik di daerah; g. kerja sama daerah; h. kebljakan daerah; i. kepala daerah dan DPRD; dan j. bentuk
pembinaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan pembinaan teknis dilakukan terhadap teknis penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
diserahkan ke daerah provinsi. Pembinaan teknis sebataimana dimaksud dilakukan terhadap tenis
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah kabupaten/kota.
Adapun pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, menurut PP ini untuk: a. provinsi,
dilaksanakan oleh: 1. Menteri, untuk pengawasan umum; dan 2. menteri teknis/kepala lembaga
pemerintah nonkementerian, untuk pengawasan teknis; b. kabupaten/kota, dilaksanakan oleh gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk pengawasan umum dan teknis.

Pengawasan umum sebagaimana dimaksud meliputi: a. pembagian urusan pemerintahan; b. kelembagaan


daerah; c. kepegawaian pada Perangkat Daerah; d. keuangan daerah; e. pembangunan daerah; f.
pelayanan publik di daerah; g. kerja sama daerah; h. kebijakan daerah; i. kepala daerah dan DPRD; dan j.
bentuk pengawasan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan pengawasan teknis sebagaimana dimaksud dilakukan terhadap teknis pelaksanaan substansi
urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah provinsi, dan pengawasan teknis sebagaimana
dimaksud dilakukan terhadap teknis pelaksanaan substansi urusan pemerintahan yang diserahkan ke
daerah kabupaten/ kota.
Ketentuan penutup dari Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang tentang Pembinaan dan
Pengawasan Pemerintahan Daerah diantaranya menyebutkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 79
Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4593), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Anda mungkin juga menyukai