Anda di halaman 1dari 15

MASTODON DAN BURUNG KONDOR KARYA W.S.

RENDRA:
KRITIK TERHADAP PENGUASA ORDE BARU
Oleh Lita Juliantini*

Abstrak

Dalam artikel ini, peneliti membahas mengenai cara Rendra melakukan


kritik terhadap penguasa dan keadaan sosial politik Orde Baru. Data yang
digunakan sebagai objek penelitian adalah drama Mastodon dan Burung Kondor
karya W.S. Rendra. Peneliti menggunakan teori semiotika Charles Sanders Peirce
untuk menganalisis objek penelitian tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, Rendra
tidak hanya mengkritik penguasa dan keadaan sosial politik Orde Baru melalui
simbol binatang tetapi seluruh unsur yang membangun drama yang ditulisnya
tersebut mengandung unsur kritik. Kritik secara tidak langsung disisipkannya pula
di dalam unsur tokoh dan latar. Rendra membuktikan bahwa ia adalah seorang
penyair yang turut berperan sebagai pemberi kesaksian terhadap kenyataan hidup,
salah satunya terhadap masalah sosial Orde Baru.

Abstract

In this article, the researcher studied about how Rendra did criticize toward
the ruler and sociopolitical condition of New Order government. The data used as
research object was a Mastodon dan Burung Kondor drama written by W.S.
Rendra. Researcher used a semiotic theory of Charles Sanders Peirce to analyze
the research object. According to the result of the research, Rendra did not only
criticize toward the ruler and sociopolitical condition of the New Order through
the symbol of animal, but also all of the elements built the drama which he wrote
contain of criticism element. The criticism was inserted in the element of
characterization and background. Rendra had proven that he was a poet who also
served as a testimony giver to the real life, one of those was about social problem
of New Order.
Kata kunci: simbol binatang, orde baru, kritik

Pendahuluan

Damono (1979:5) mengatakan bahwa, karya sastra tidak dapat dipahami


secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan
atau peradaban yang telah menghasilkannya. Karya tersebut harus dipelajari
dalam konteks yang seluas-luasnya, tidak hanya pada karya itu sendiri. Artinya,
karya sastra tidak hanya dimaknai melalui tanda-tanda yang ada dalam teks
tertulis. Makna dapat ditemukan di luar teks karya sastra dan akan selalu

*Penulis adalah mahasiswi Universitas Padjadjaran, Fak. Ilmu Budaya


Sastra Indonesia, lulus 28 Juni 2012 1
berhubungan dengan penulis yang merangkum pengalaman dan wawasannya,
pembaca yang mengapresiasinya, dan zaman yang turut menciptakan karya sastra.
Jadi, melalui pernyataaan di atas dapat dikatakan bahwa, karya sastra memiliki
makna yang utuh jika dipahami dari aspek dalam dan luar karya tersebut.
Selain itu, sastra menyajikan kehidupan yang sebagian besar terdiri atas
kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif
manusia (Wellek dan Warren, 1989:109). Hubungan antara karya sastra dan
kenyataan sosial menjadi objek yang dikritik oleh sastrawan dengan pandangan
bahwa sastra sebagai cermin masyarakatnya. Hal tersebut mencakup pengertian
bahwa sastra mencerminkan persoalan sosial yang ada dalam masyarakat dan
kalau pengarang memiliki taraf kepekaan yang tinggi, karya sastranya pasti juga
mencerminkan kritik sosial yang (barangkali) tersembunyi dalam masyarakatnya
(Damono, 1979:4).
Sebagai penyair dan dramawan, Rendra menyatakan diri sebagai seseorang
yang memberikan kesaksian. Kesaksian yang melihat dan memahami keadaan
masyarakat pada masa rezim Orde Baru. Kesaksian tersebut ditunjukkannya
dalam karya sastra yaitu puisi dan drama. Kumpulan sajaknya yang berjudul
Potret Pembangunan dalam Puisi (1980) adalah salah satu bentuk kesaksiannya
terhadap kepincangan kehidupan sosial akibat sistem ekonomi yang melahirkan si
kaya dan si miskin, pengangguran, penanaman modal asing, konsumerialistis, dan
ketidakadilan penguasa terhadap rakyat.
W.S. Rendra yang lahir di Surakarta tepatnya pada 7 November 1935,
sering melontarkan kritik terhadap pemerintah Orde Baru, sehingga ia
mendapatkan larangan untuk melakukan pertunjukan drama dan pembacaan puisi.
Melalui esainya yang terkumpul dalam buku Penyair dan Kritik Sosial (2001:19),
Rendra menyatakan ”Bagi saya, membela kebudayaan dan kemanusiaan berarti
membela daya hidup, karena komitmen saya itulah yang menyebabkan saya
sering melontarkan kritik-kritik sosial melewati sajak-sajak saya. Bukan karena
ideologi politik”. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa dalam menanggapi
masalah-masalah politik Rendra memakai paradigma kesenian dan kebudayaan.

2
Selain itu, kritik sosial perlu dipahami sebagai masukan yang menyegarkan
kehidupan masyarakat dan dapat diterima secara wajar dan lapang dada.
Drama Mastodon dan Burung Kondor (selanjutnya ditulis MdBK) yang
ditulis pada 1973, turut pula menjadi kesaksian Rendra dalam melihat arti
pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru. Secara terang-
terangan, Rendra mengecam rezim dan pimpinannya yang telah bertindak
sewenang-wenang dengan kekuatan militernya. Khususnya, rezim tersebut
membatasi ruang gerak masyarakat untuk berekspresi dalam kesenian.
Drama merupakan salah satu genre sastra yang memiliki karakteristik
khusus yaitu memiliki dimensi sastra dan seni pertunjukan. Drama memiliki
dialog sebagai sarana primer. Unsur intrinsik dan ekstrinsik drama diungkapkan
pula melalui dialog (Hasanuddin, 2009:7). Dialog memang menjadi bagian yang
sangat penting tetapi ada bagian lain dari drama yaitu teks samping yang dapat
membantu pembaca dalam memahami isi drama. Teks samping biasanya
menjelaskan latar waktu dan suasana di dalam drama yang tidak dapat
disampaikan melalui dialog.
Drama MdBK mendapatkan larangan dari pemerintah Orde Baru karena
memiliki hubungan erat dengan situasi pada masa rezim Soeharto. Hal tersebut
dapat dilihat dari perwatakan dan kemiripan tokoh-tokoh cerita. Max Carlos
adalah salah satu tokoh dalam drama yang digambarkan menjadi seorang
pemimpin yang menyerukan pembangunan. Pemimpin yang memiliki kekuatan
militer tersebut melarang adanya hal-hal yang mengganggu pembangunan.
Kegiatan mahasiswa yang menyerukan kritik terhadap pemerintah dan
menginginkan perubahan adalah salah satu sikap yang tidak dibenarkan oleh Max
Carlos.
Drama MdBK menceritakan keadaan sosial politik di negara bagian
Amerika Selatan yang sedang menghadapi demonstrasi mahasiswa. Mahasiswa
tersebut berusaha keras untuk menjatuhkan pemerintahan. Mahasiswa melakukan
strategi untuk revolusi yang didukung oleh cendekiawan dan militer. Seorang
penyair, Jose Karosta menentang hal tersebut, ia berpendapat bahwa revolusi

3
selayaknya manusia yang mengganti pakaiannya saja sedangkan jiwanya tetap
sama.
Pada masa itu, pemerintahan dipegang oleh Max Carlos. Ia adalah seorang
pemimpin negara yang otoriter. Ia melakukan ketertiban dan keamanan di dalam
masyarakat dengan mengendalikan ruang ekspresi masyarakat. Ia tidak menerima
kritik terhadap dirinya dan pembangunan. Walaupun pembangunan memberikan
hasil secara fisik, masyarakat khususnya mahasiswa menyadari bahwa tetap ada
ketidakpuasan dan kepincangan dalam pembangunan.
Dalam drama MdBK, Rendra menggunakan nama binatang seperti semut,
tikus, gajah, mastodon, dan burung kondor. Nama-nama binatang ini dapat
menjadi simbol yang memiliki makna dalam drama. Simbol yang digunakan
pengarang dapat ditafsirkan dengan perilaku manusia dan salah satu cara
pengarang dalam melontarkan kritik terhadap penguasa Orde Baru. Kritik dapat
disembunyikan melalui simbol walaupun pada dasarnya simbol tersebut akan
ditafsirkan dan menghasilkan makna.
Simbol dapat dikatakan sebagai suatu bentuk yang sudah terkait dengan
dunia penafsiran dan secara asosiatif memiliki hubungan dengan berbagai aspek
di luar bentuk simbol itu sendiri. Unsur hubungan dengan berbagai aspek di luar
bentuk simbol itu antara lain ciri acuan simbol, ciri acuan simbol dengan
pengertian lain yang diasosiasikan, hubungan antarsimbol dalam konteksnya, dan
implikasi penggarapan bentuk simbol itu pada wujud penampilannya. Jika bentuk
simbol terkait dengan bentuk, makna, dan perwujudannya, maka pembicaraan
tentang bentuk simbol ditinjau dari objeknya merujuk pada bentuk kebahasaan
dalam suatu karya (Dharmojo, 2005:38).
Simbol hanya menjadi salah satu cara pengarang dalam mengungkapkan
kritik terhadap keadaan sosial masyarakat. Kritik menjadi bentuk pengungkapan
gagasan yang mempertimbangkan segi baik dan buruk sesuatu dan seringkali
kritik selalu dianggap menjadi hal yang negatif. Padahal, kritik bisa dijadikan
saran untuk melakukan perbaikan sekaligus sebagai penilaian.
Dalam drama MdBK, simbol binatang bukanlah satu-satunya cara pengarang
untuk menyampaikan kritik tetapi seluruh isi drama ini adalah kritik. Mulai dari

4
tema, tokoh, latar, dan isi cerita drama ini dapat dikatakan sebagai kritik. Salah
satunya, tokoh drama bernama Max Carlos yang memiliki ikonositas dengan
penguasa Orde Baru. Kemiripan yang diciptakan oleh pengarang bukan sekadar
pengimajinasian yang dilakukan tanpa tujuan tetapi dalam drama ini
penggambaran tokoh dapat menjadi sebuah tanda kritik terhadap tokoh
sesungguhnya di luar karya yang ditulisnya. Oleh karena itu, peneliti mencoba
untuk mengungkapkan hal-hal tersebut dalam penelitian ini.
Dalam menganalisis drama MdBK, peneliti menggunakan teori semiotika
Charles Sanders Peirce (1839-1914) yang mengemukakan bahwa ”kita hanya
berpikir dalam tanda”. Tanda menjadi unsur komunikasi dan tanda hanya berarti
tanda apabila berfungsi sebagai tanda. Jadi, bagi Peirce fungsi esensial sebuah
tanda adalah membuat sesuatu efisien, baik dalam komunikasi kita dengan orang
lain, maupun dalam pemikiran dan pemahaman kita tentang dunia. Semua itu, kita
lakukan dengan menetapkan apa yang kita percayai. Kita mempercayai segala
sesuatu, tetapi seringkali kita sangat tidak menyadari hal itu. Dengan bantuan
perangkat pengertian yang disajikan oleh semiotika, kita jadi lebih menyadari apa
yang kita dan orang lain percayai, tentang apa yang sebagai ”kebiasaan dalam
kepercayaan” mendasari pemikiran dan perilaku manusia. Inilah salah satu sebab
adanya usaha di bidang semiotika (Zoest, 1993:10-11).
Sebagai pembaca dan peneliti, makna yang ada dalam karya sastra
mengungkapkan hal-hal yang bermanfaat karena berisi mengenai perenungan,
pemikiran, dan penghayatan mengenai masalah kehidupan. Ditegaskan pula oleh
seorang penyair Romawi, Horatius (65-8 SM) bahwa karya sastra memiliki tujuan
dan fungsi utile dan dulce yaitu bermanfaat dan nikmat. Bermanfaat bagi pembaca
yang mendapatkan pelajaran dari karya sastra dan menikmati karya sastra melalui
keindahan isi dan gaya bahasanya.

Pembahasan

Pada 27 Maret 1968 berdasarkan ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968,


Soeharto ditetapkan oleh MPRS sebagai presiden Republik Indonesia. Setelah
menjadi presiden, Soeharto membentuk kabinet pembangunan sebagai cara untuk

5
menciptakan stabilitas politik dan ekonomi, menyusun dan melaksanakan
pemilihan umum, serta membersihkan pihak-pihak yang memiliki hubungan
dengan Gerakan G30 September. Selain itu, penataan politik luar negeri dilakukan
Soeharto, salah satu penataannya adalah dengan kembali menjadi anggota PBB
pada 28 September 1966.
Soeharto yang lahir pada 8 Juni 1921 di Dusun Kemusuk, Bantul,
Yogyakarta tersebut, memerintah sebagai presiden lebih dari 30 tahun. Selama itu,
ia menjadi pemimpin yang sangat mementingkan pertumbuhan ekonomi
khususnya pembangunan negara sebagai tujuan dan tugas pokok pemerintah.
Pembangunan dilaksanakannya dengan melakukan kerja sama dengan investor
asing dan akhirnya negara dikuasai oleh swasta. Sebagaimana dikatakan Elson
(2005:323) bahwa, sasaran-sasaran utama investasi asing adalah industri-industri
eksploitasi sumber daya alam yang padat modal. Kebijakan-kebijakan yang
diterapkan dalam mencapai sasaran tersebut menganaktirikan kalangan pengusaha
pribumi, yang hampir tidak memiliki pengaruh dalam konstelasi politik baru itu.
Di tahap-tahap awal upaya stabilisasi ekonomi, tidak banyak perhatian yang
diberikan pada pengembangan industri manufaktur. Dan kebijakan-kebijakan baru
tersebut bukan saja memfasilitasi masuknya perusahaan-perusahaan asing untuk
bersaing dengan perusahaan Indonesia, arus barang-barang konsumen impor pun
meningkat dan merugikan kepentingan produsen Indonesia. Akhirnya,
pembangunan yang dilakukan oleh Soeharto ternyata hanya memberikan
ketimpangan sosial di dalam masyarakat. Kehidupan si kaya dan si miskin
menjadi sangat mencolok. Kesejahteraan yang dikatakan oleh Bapak
Pembangunan tersebut hanya dirasakan oleh pihak-pihak tertentu bukan oleh
seluruh rakyat Indonesia.
Rendra (2001:124) menyatakan bahwa ia adalah pihak yang tidak anti
pembangunan tetapi ia hanya prihatin terhadap pembangunan mental bangsa yang
sangat terhambat, sehingga ada ”gap” dengan tuntutan alat-alat pembangunan
yang sudah hadir di tengah-tengah masyarakat. Ia pun berpikir kecenderungan
seniman yang dianggap sebagai oposan itu adalah bentuk dari sempitnya
hubungan manusia di dalam budaya dan belum memberi tempat kepada dialog

6
dan percakapan yang akrab antarsesama. Jadi, kalau sedikit saja kritik dilakukan
sudah dianggap membahayakan keutuhan. Hal tersebut adalah cara berpikir yang
dipengaruhi oleh anggapan bahwa kedamaian itu seperti kedamaian ”landscape”
(pemandangan alam). Lalu hubungan interaksi antarnilai yang dinamis sangat
sukar terjadi.
Dalam drama MdBK, ada tiga tokoh yang berperan penting dalam peristiwa
cerita dan memiliki pertentangan yang tidak bisa disatukan. Pertentangan tersebut
berupa pemikiran dan pandangan yang berbeda tentang pembangunan. Ketiga
tokoh tersebut adalah Jose Karosta sebagai seorang penyair, Juan Frederico
sebagai mahasiswa, dan Max Carlos sebagai pemimpin negara yang diktator.
Pertentangan ketiga tokoh tersebut diperlihatkan melalui sikap masing-masing
dalam menginginkan perubahan keadaan sosial politik dalam masyarakat. Negara
dengan rakyat yang menderita sudah menjadi realitas yang pantas diubah dan
diperjuangkan oleh mereka.
Jose Karosta menjadi penyair yang tidak segan melakukan ekspresi kesenian
dengan membaca sajak-sajak berisi kritik sosial. Kritik yang ditujukan kepada
pemerintah itu, dibacakan di dalam kampus yang sudah jelas dijaga ketertibannya
oleh pihak universitas. Lalu, Juan Frederico sebagai mahasiswa menjadi
seseorang yang memiliki kesadaran bahwa musuhnya adalah sistem dan aspirasi.
Universitas hanya menjadi tempat untuk menghafalkan kebijaksanaan dan tidak
boleh mempertanyakannya. Juan Frederico berpikir bahwa penderitaan rakyat
harus diubah dengan cara revolusi. Revolusi dengan melakukan aksi dan
menjatuhkan pemerintahan karena tanpa penyelesaian politis tidak mungkin ada
perbaikan. Di samping itu, Max Carlos pelaku dan pelaksana kebijaksanaan
pembangunan memastikan kesejahteraan kehidupan rakyat dengan mengarahkan
negara kepada pembangunan. Pembangunan memberikan kenaikan pendapatan
nasional dan akhirnya, menghasilkan ketertiban. Ketertiban yang dimaksud adalah
tidak adanya pihak-pihak yang melakukan kekacauan terhadap kebijakan dan
aturan pembangunan. Kritik bukannya ditiadakan tetapi harus melalui saluran
yang sengaja dibentuk oleh pemerintah sebagai cara untuk menjaga ketertiban dan
keamanan masyarakat.

7
Tentara adalah angkatan bersenjata yang digunakan negara sebagai bagian
pertahanan, jika ada konflik yang harus diselesaikan dengan cara mengangkat
senjata. Tentara perlu memahami perannya di dalam masyarakat sebagai pihak
pertahanan bukan instansi yang turut intervensi ke dalam masalah-masalah
negara, khususnya dalam hal politik. Namun, pada masa Orde Baru tentara atau
militer memiliki keistimewaan untuk turut serta di dalam menangani masalah
negara dan dapat melakukan intervensi.
Dalam drama MdBK, Max Carlos merupakan seorang kolonel yang
memiliki kewenangan dan menguasai kekuatan militer. Sebagai pemimpin negara,
ia tidak segan menggunakan kekuasaan militernya untuk menyelesaikan masalah
sosial. Akhirnya, masalah-masalah yang diselesaikan dengan interogasi dan
penahanan. Selain itu, militer digunakan oleh seorang pemimpin diktator bukan
untuk menjaga ketertiban masyarakat tetapi dapat sebagai alat untuk ”menjaga”
kekuasaan.
Drama MdBK ditulis Rendra dengan latar Amerika Latin. Latar tidak
dijelaskan di negara mana hanya dikatakan bahwa negara tersebut sudah lama
dijajah oleh Spanyol. Selain itu, suasana Amerika Latin tidak hanya dalam bentuk
latar tempat, seperti nama wilayah provinsi, tetapi dalam penamaan tokoh pun,
pengarang menggunakan nama-nama masyarakat Amerika Latin. Amerika Latin
menjadi sebuah bentuk analogi yaitu bentuk persamaan atau persesuaian terhadap
dua hal yang berlainan. Rendra menganalogikan Indonesia menjadi Amerika
Latin. Ia melakukan proses penyesuaian berdasarkan hal yang sudah ada, lalu
mengubahnya dengan sedikit rekaan dan menghasilkan bentuk baru dari contoh
atau dasar yang telah ada.
Tentunya, Rendra memiliki alasan menggunakan latar atau suasana Amerika
Latin di dalam drama MdBK. Pada dasarnya, keadaan negara yang dipimpin oleh
seorang diktator bukan hanya Indonesia. Chili yang berada di bagian tenggara
Amerika Selatan itu menjadi negara yang lama dijajah oleh Spanyol dan setelah
merdeka negara tersebut pernah merasakan kediktatoran pemimpinnya, yaitu
Augusto José Ramón Pinochet Ugarte (1915-2006). Pinochet adalah seorang
jenderal dan diktator pada periode 1970-an. Ia dapat berkuasa setelah melakukan

8
kudeta terhadap pemimpin Chili yang sebelumnya yaitu Presiden Salvador
Allende (1908-1973). Keadaan Chili dan Indonesia memiliki persamaan dalam
keadaan yang lama dijajah oleh bangsa asing. Indonesia oleh Belanda dan Chili
oleh Spanyol. Selain itu, kedua diktator tersebut dianggap pernah melakukan
strategi untuk mengkudeta pemerintahan sebelumnya dengan bantuan dari CIA,
Amerika Serikat. Menurut Elson (2005:243) beberapa pengamat menyatakan
bahwa Amerika Serikat memberi dukungan kuat kepada Soeharto dalam hal
kudeta. Marshall Green lebih lanjut mengatakan ”Peristiwa 1 Oktober 1965
merupakan kejutan besar bagi kami,” sebuah pengakuan bahwa ”Amerika Serikat
mendukung dan mendapat banyak manfaat dari momen perubahan ini”. Tapi, ia
menegaskan, ”Tidak ada campur tangan AS dalam hal ini. Ini murni hasil usaha
Indonesia”. Meskipun demikian, kebijakan AS untuk mendukung secara diam-
diam telah membantu kepemimpinan baru di Indonesia yang selama bertahun-
tahun terbelakang akibat ambisi Soekarno yang sewenang-wenang. Bantuan besar
dari Amerika terbukti dengan adanya bantuan darurat rahasia yang diberikan oleh
staf kedutaan Amerika Serikat di Jakarta, berupa daftar rinci anggota PKI kepada
Angkatan Darat, propaganda anti-PKI, pasokan obat-obatan, radio, beras,
peralatan transportasi dan bahkan uang serta persenjataan ringan.
Dalam drama, nama-nama kota seperti San Fernando, Nova Castilia, Santo
Agustin, Nova Valencia, Saragosa, Dio Valeria, dan Rio Gladiria adalah tempat-
tempat yang sengaja menggunakan padanan kata yang bernuansa Amerika Latin.
Selain itu, lagu yang dipilih oleh Rendra di dalam drama berhubungan dengan
kehidupan Amerika Latin, yaitu ”El Condor Pasa” (”Jika Aku Bisa”) adalah lagu
yang dirilis oleh Simon dan Garfunkel pada 1970. Lagu ini sebelumnya adalah
karangan komposer Daniel Alomia Robles yang berasal dari Peru yang ditulisnya
pada 1913 dan terkenal di wilayah masyarakat tradisional Andes.
Terlepas dari persamaan antara Chili dan Indonesia, Rendra menjadikan
drama berlatarkan Amerika Latin ini untuk menyembunyikan kritiknya melalui
peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi di Amerika Latin. Hal ini disebabkan,
pemerintah sangat rentan untuk dikritik dan memang pemerintah sepertinya
mengetahui jelas isi drama yang ditulisnya, sehingga drama ini mendapatkan

9
larangan untuk dipentaskan. Drama MdBK dapat saja menjadi karya sastra yang
hanya mengkritik keadaan Orde Baru tetapi dapat pula menjadi gambaran bangsa
mana pun yang dipimpin oleh seorang diktator dan menjadi himbauan bagi para
pemimpin dan masyarakat. Rendra menulis karyanya berdasarkan referensi yang
dimilikinya dan tujuannya bukan untuk menghujat atau menyesatkan tetapi untuk
memberikan kesadaran dalam berpikir dan menghayati peran sosial politik di
dalam suatu bangsa.
Simbol binatang yang ada di dalam drama MdBK dapat menjadi suatu cara
pengarang dalam menyembunyikan makna yang ingin disampaikan. Simbolisasi
tersebut digunakan agar pihak-pihak yang dituju tidak terlalu mudah mendapatkan
pengertian akan makna yang ada di dalamnya. Namun, simbol yang ditampilkan
Rendra sangat jelas diperlihatkan sehingga tidak sulit bagi pihak-pihak yang
ditujunya. Ia hanya ingin menunjukkan dengan lebih jelas mengenai kritik,
pemikiran, dan kenyataan sosial kepada masyarakat pada masa Orde Baru.
Dalam drama MdBK, Rendra sangat terang-terangan dalam menyampaikan
kritik walaupun menggunakan simbol binatang. Mastodon yang dijadikan judul
sudah memiliki tafsiran lain dan menjadi sebuah simbol kritik, tetapi ia tetap
menjelaskan melalui deskripsi cerita. Kritik yang dilontarkan Rendra menjadi
sangat jelas khususnya, pada siapa simbol tersebut ditujukan. Sikap terang-
terangan dari Rendra ini dapat menjadi sebuah ciri khas Rendra dan dapat pula
menjadi cara dirinya bercerita agar masyarakat umum dapat dengan mudah
memahaminya. Namun, bagaimanapun cara Rendra menampilkan kritiknya,
drama ini tetap sinis dan memberikan nilai yang berarti dalam karya sastra.
Jose Karosta : ...Saya memberikan kesaksian akan adanya satu
kekhawatiran, bahwa gajah-gajah akan beranak pinak,
sehingga dalam tempo singkat di seluruh padang belantara,
di seluruh hutan rimba, di lembah-lembah dan bahkan
sampai ke lorong-lorong kota, akan dipenuhi oleh gajah-
gajah yang lalu menjadi mastodon-mastodon, dengan
derak-derak kaki yang terlalu berat, dengan tubuh-tubuh
yang terlalu tegak, dengan gading-gading perkasa dan
memusnahkan alam secara lahap (hlm 313).

10
Burung kondor menjadi simbol rakyat kecil yang dituliskan Rendra dalam
bentuk puisi dan saat dipentaskan puisi tersebut diberi nada dan dinyanyikan. Jika
burung kondor menjadi salah satu binatang yang dianggap hampir punah, maka
rakyat kecil seolah-olah mengalami kehidupan yang ”punah”. Dalam arti, rakyat
kecil tidak sejahtera dan hidup dengan ketidakadilan.
Jose Karosta : ...Beribu-ribu burung kondor, berjuta-juta burung kondor,
gumpalan awan burung kondor, bergerak menuju ke puncak
guung yang tinggi. Dan di sana mendapat hiburan dari sepi,
karena hanya sepi yang mampu menghisap dendam dan
sakit hati (hlm 295).
Simbol burung kondor dikembangkan oleh pengarang dalam bentuk sajak
dan memang Rendra menulis sajak berjudul ”Sajak Burung-burung Kondor” pada
tahun 1970-an dan memasukkan sajak tersebut ke dalam bagian dialog drama
MdBK. Melalui teks drama, pembaca dapat melihat Rendra meneriakkan tentang
burung kondor bukan hanya satu burung kondor tetapi beribu-ribu burung kondor.
Dalam hal ini, pembaca dapat melihat keadaan banyak ”burung kondor” yang
kesulitan hidup dan menjerit sakit hati. Rakyat kecil menjadi ”burung kondor”
yang tertekan keadaannya oleh ”mastodon”. Keadaan salah satu ”burung kondor”
dalam drama digambarkan sebagai berikut.
Lelaki Tua : Hai kamu! Hai kamu! (makin merintih karena sudah tua).
Kehidupan di desaku terlalu berat, aku pergi ke kota dengan
kedua anakku ini, maksudku untuk berdagang sayur kecil-
kecilan, tetapi banyak pasar di kota telah dijadikan tokoh-
toko. Pasar-pasar yang kecil sudah penuh dan terpaksa aku
berdagang di kaki lima. Di situ aku menjadi mangsa
bajingan-bajingan pemeras dan akhirnya polisi juga
mengusir aku dari kaki lima. Semangatku berkata:
”Janganlah aku sampai menjadi gelandangan, tetapi
keadaan membuat aku menjadi gelandangan”. (Sambil
menangis tersedu). Aku malu pada anak-anakku (hlm 305).

Simbol binatang lain yang ditulis Rendra adalah semut. Semut menjadi
simbol binatang yang sifatnya dapat dibandingkan dengan kehidupan manusia.
Rendra mendeskripsikan pemerintah dengan koloni yang tidak seperti semut, yang
selalu berusaha menciptakan kesatuan dan dengan sungguh menyiapkan serta
memperbaiki diri dengan terus bekerja demi kesejahteraan koloninya. Max Carlos

11
bukan menjadi pemimpin dari koloni ”semut” malah menjadi koloni ”gajah-
gajah” yang hanya akan menginjak-injak hak rakyat dan akhirnya berubah
menjadi ”mastodon-mastodon” yang memiliki gading-gading besar dan derak-
derak kakinya hanya digunakan untuk menunjukkan pertahanan kekuasaan dan
kesejahteraan sendiri.
Jose Karosta : Saya memberi kesaksian, bahwa pemerintah telah
bersungguh-sungguh membina tenaga tidak untuk
mobilitas, tetapi untuk kekukuhan, tidak untuk dinamis,
tetapi untuk teguh dan angker, tidak untuk menciptakan
barisan semut-semut yang bekerja, tetapi barisan gajah-
gajah yang suka serba mempertahankan... akan dipenuhi
oleh gajah-gajah yang lalu menjadi mastodon-mastodon,
dengan derak-derak kaki yang terlalu berat, dengan tubuh-
tubuh yang terlalu tegak, dengan gading-gading perkasa
dan memusnahkan alam secara lahap (hlm 313).

Tikus pun menjadi salah satu simbol binatang yang ditulis Rendra sebagai
simbol kritik. Simbol tikus tersebut terdapat dalam dialog tokoh drama yaitu Juan
Frederico dan Profesor Topas. Ketika Juan Frederico hendak menjadikan Profesor
Topas sebagai calon presiden, Profesor Topas seolah-olah merendahkan diri
sebagai seekor ”tikus kampus”. Merendahkan diri dalam hal ini memiliki arti
bahwa dirinya hanya makhluk kecil yang tidak memiliki kekuatan. Namun, di sisi
lain, tikus adalah hewan yang berkoloni dan memiliki perkembangbiakan yang
cepat yang dapat menghasilkan massa yang banyak. Pada akhirnya, ”tikus”
memiliki kekuatan yang besar. Oleh karena itu, Hernandez yang turut dalam
percakapan antara Juan Frederico dan Profesor Topas mengingat dan meyakinkan
bahwa Profesor Topas adalah ”tikus” yang mampu menggerogoti tembok benteng
militerisme. Selain itu, tikus pandai menyelinap untuk mencuri makanan, cerdik,
dan bersifat defensif atau bertahan. Artinya, Profesor Topas memiliki kekuatan
untuk menumbangkan kekuasaan ”mastodon” dengan strategi dan dukungan
massa yang dimilikinya.
Profesor Topas : Lantas, menurut maumu peranku apa?
Juan Frederico : Anda adalah calon presiden kami.
Profesor Topas : Yesus Kristus! Jangan terlalu bermimpi. Aku tak lebih
dari tikus kampus.

12
Hernandez : Tikus kampus yang mampu menggerogoti tembok benteng
militerisme. Inilah yang kami butuhkan (hlm 319).

Simpulan
W.S. Rendra adalah salah satu sosok penyair dan dramawan Indonesia yang
memiliki dedikasi tinggi terhadap kebudayaan. Pemikirannya akan kebudayaan
sekaligus sebagai bagian dari daya hidupnya yang dituangkan dalam cita dan
memegang teguh peran kebudayaan tersebut di dalam kehidupannya. Ia tidak
hanya berperan seorang diri tetapi keluarga dan teman-temannya turut serta dalam
berkarya untuk menunjukkan keaktifan mereka dalam kesenian dan budaya.
Seperti yang dikatakannya dalam ”Renungan Dasar tentang Kebudayaan”
(2001:50), Rendra menyatakan bahwa, ”Mengolah hidup adalah hal yang sangat
penting dalam membina kesejahteraan manusia. Dan ancaman terhadap daya
hidup adalah hal yang merugikan kesejahteraan manusia. Karena kebudayaan
adalah usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya, maka adalah
urusan kehidupan yang pertama dan utama untuk menjaga daya hidup”.
Drama MdBK bukan hanya sebuah karya sastra bagi Rendra tetapi bentuk
perjuangannya dalam menyuarakan ketidakadilan yang ada di dalam masyarakat.
Rendra berjuang untuk memperlihatkan ketimpangan sosial yang harus segera
dipahami dan diperbaiki oleh masyarakat, khususnya pemerintah Orde Baru.
Rendra mendapatkan kesulitan dalam bentuk pelarangan atas karyanya ini, yaitu
tidak dapat dipentaskan di Yogyakarta pada 1973. Namun, Rendra tetap gigih dan
walaupun ada karang yang menghalangi jalannya, ia mampu mengikisnya dan
berjalan dengan penuh semangat dan cita.
Selain melalui simbol binatang, Rendra melakukan kritik dengan cara
mengemas karyanya dalam cerita bernuansa Amerika Latin. Chili menjadi negara
Latin yang mengalami keadaan sosial politik yang sama dengan Indonesia pada
tahun 1970-an. Dengan latar dan tokoh drama yang bernuansa Latin, Rendra
melakukan kritik dengan menjadikan tokoh dalam drama memiliki kemiripan
dengan tokoh dalam kenyataan. Rendra menulis drama tersebut tepat pada masa
Orde Baru, jadi sulit memungkiri bahwa kritik yang ada di dalam drama tidak
mengarah pada Soeharto. Sebenarnya, simbol binatang di dalam drama tidak

13
dipastikan tertuju pada penguasa Orde Baru. Namun, simbol binatang tersebut
tetap berisi kritik bagi diri seseorang. Kritik yang disampaikan Rendra juga tidak
menutup kemungkinan menjadi kritik bagi negara-negara lain yang mengalami
kediktatoran dari penguasa negaranya.
Pada akhir cerita drama MdBK, Rendra tidak memberikan solusi dari
permasalahan sosial yang diangkatnya di dalam drama tersebut. Rendra hanya
mengakhiri kisah dengan kepergian Jose Karosta ke luar negeri, ia menjadi salah
satu ”burung kondor” yang harus pergi ke luar negeri. Ia tidak menghendakinya
tetapi karena keadaan sosial politik yang menyulitkan keadaannya, ia pun harus
pergi. Dalam hal ini, Rendra hanya ingin menunjukkan permasalahan-
permasalahan sosial dan memberikan solusinya melalui pemikiran pembaca
sendiri. Ia menyajikan dalam karya lalu pembacalah yang menentukan maksud
dan perkiraan jalan yang harus ditempuh jika permasalahan sosial politik tersebut
terjadi dan sedang berkembang di dalam masyarakat. Melalui karyanya ini,
Rendra menunjukkan diri sebagai seseorang yang kuat dan berani dalam
mengatakan benar dan salah. Permasalahan yang muncul dari dua hal tersebut
bukan lagi resiko baginya tetapi sebuah tantangan.

Daftar Sumber

Damono, Sapardi Djoko. 2009. Drama Indonesia: Beberapa Catatan. Ciputat:


Editum.
_____________________. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa
Catatan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Elson, Robert Edward. 2005. Suharto Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Pustaka
Minda Utama.
Emmerson, Donald K. 2001. Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi,
Masyarakat, Transisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hasanuddin, WS. 2009. Drama Karya dalam Dua Dimensi Kajian Teori, Sejarah,
dan Analisis. Bandung: Angkasa Bandung.
Rahayu, Lina Meilinawati. Publikasi terbatas, tanpa tahun. Antologi Drama
Indonesia. Bandung: Fakultas Sastra Unpad.
Rahayu, Lina Meilinawati dan Yayat Hendayana. 2010. Sastra Drama:
Perjalanan, Perkembangan, dan Pengkajiannya. Bandung: Sastra Unpad
Press.
__________. 2001. Penyair dan Kritik Sosial. Yogyakarta: Penerbit KEPEL
Press.

14
Rendra, W.S. dkk. 1999. Teater Indonesia Konsep, Sejarah, Problema, Rendra.
Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta
Sardjono-Pr., Partini. 1992. Pengantar Pengkajian Sastra. Bandung: Yayasan
Pustaka Wina.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT
Gramedia.
Yoesoef, M. 2007. Sastra dan Kekuasaan Pembicaraan atas Drama-Drama
Karya W.S. Rendra. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
______________. 1993. Semiotika Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang
Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

15

Anda mungkin juga menyukai